Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangannya, pelayanan kefarmasian merupakan
suatu bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung apoteker untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Selain itu, apoteker bertanggung jawab atas
semua obat yang digunakan oleh pasien sehingga dapat memastikan semua terapi
yang digunakan sudah efektif, efisien, rasional, aman, bermutu dan terjangkau.
Salah satu praktik apoteker yang dilakukan di apotek adalah pelayanan resep.
Pelayanan resep merupakan suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis
oleh dokter, dokter gigi, maupun dokter hewan baik dalam bentuk paper ataupun
elektronik kepada apoteker untuk menyediakan obat kepada pasien.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan


bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Dalam pelayanan kefarmasian, apoteker memiliki peran yang penting


sehingga apoteker harus menyadari bahwa adanya kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) jika dalam proses pelayanan tidak
mengidentifikasi resep secara tepat. Pelayanan kefarmasian adalah suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan
2

obat yang rasional dalam melakukan praktik tersebut. Apoteker juga dituntut
untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya (PP RI No.51, 2009,
PerMenKes RI, No. 73, 2016).

Laporan ini disusun sebagai salah satu tugas akhir dari Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Perapotekan mengenai pelayanan resep yang
dilaksanakan pada tanggal 19 maret-24 april 2018 di Apotik Prodya Care
Makassar. Laporan ini akan dibahas mengenai pelayanaan resep di apotek untuk
memberikan gambaran mengenai peran apoteker dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian di apotek khususnya dalam pelayanan resep.

I.2 Tujuan Pelayanan Resep di Apotek


Tujuan pelayanan resep di apotek ini adalah agar mahasiswa calon
apoteker dapat :
1. Mengetahui peran apoteker dalam hal pelayanan resep, mulai dari penerimaan
resep dengan memperhatikan persyaratan administrasif, kesesuaian farmasetik,
pertimbangan klinis hingga penyerahan obat kepada pasien.
2. Mengetahui cara berkomunikasi yang baik dan jelas dalam memberikan
informasi terkait obat yang diterima oleh pasien.
3 .Meningkatkan pengetahuan tentang kualitas hidup pasien yang berfokus pada
pasien oriented.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Apotek


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9
(2017) Tentang Apotek pada pasal 1 menyebutkan bahwa apotek adalah sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker
(PerMenKes RI, No. 9, 2017).
3

Menurut PerMenKes RI No. 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Apotek, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (PerMenKes, 2016). Apotek
merupakan salah satu sarana pelayanan untuk masyarakat di bidang kesehatan.
Untuk mengelolah apotek, dibutuhkan seorang apoteker sebagai tenaga
profesional dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak
melakukan pekerjaan kefarmasian, karena memiliki pengetahuan tentang obat-
obatan serta manajemen apotek.

II.2 Tugas dan Fungsi Apotek


Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di apotek harus menjamin
ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau (PerMenKes No. 9, 2017).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 (2009), tugas dan fungsi apotek
adalah:
1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
2. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan
farmasi antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetik.
4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional.

II.3 Definisi dan Tugas Apoteker


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 9
tahun 2017 dikatakan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Pelayanan
kefarmasian di apotek diselenggarakan oleh apoteker, dapat dibantu oleh apoteker
pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian yang memiliki surat tanda
registrasi, surat izin praktik atau surat izin kerja.
4

Tugas dan fungsi apoteker sesuai dengan kompetensi yaitu nine stars
pharmacist adalah sebagai berikut (WHO, 2006) :
1. Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien, memberi
informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya.
2. Decision maker, artinyaapoteker mampu mengambil keputusan, tidak hanya mampu
mengambil keputusan dalam hal manajerial namun harus mampu mengambil
keputusan terbaik terkait dengan pelayanan kepada pasien, sebagai contoh ketika
pasien tidak mampu membeli obat yang ada dalam resep maka apoteker dapat
berkonsultasi dengan dokter atau pasien untuk pemilihan obat dengan zat aktif
yang sama namun harga lebih terjangkau.
3. Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi dengan baik
dengan pihak ekstern (pasien atau customer) dan pihak intern (tenaga
profesional kesehatan lainnya).
4. Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang pemimpin di
apotek. Sebagai seorang pemimpin, apoteker merupakan orang yang
terdepan di apotek, bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai dari
manajemen pengadaan, pelayanan, administrasi, manajemen SDM serta
bertanggung jawab penuh dalam kelangsungan hidup apotek.
5. Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek dengan baik dalam
hal pelayanan, pengelolaan manajemen apotek, pengelolaan tenaga kerja dan
administrasi keuangan. Untuk itu apoteker harus mempunyai
kemampuan manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-
prinsip ilmu manajemen.
6. Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus menggali
ilmu pengetahuan, senantiasa belajar, menambah pengetahuan dan
keterampilannya serta mampu mengembangkan kualitas diri.
7. Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru, pembimbing
bagi stafnya, harus mau meningkatkan kompetensinya, harus mau menekuni
profesinya, tidak hanya berperan sebagai orang yang tahu saja, tapi
harus dapat melaksanakan profesinya tersebut dengan baik.
5

8. Researcher, artinya apoteker berperan serta dalam berbagai penelitian


guna mengembangkan ilmu kefarmasiannya.
9. Entrepreneur, artinya apoteker harus juga dapat menjadi seorang pengusaha.
Berbagai macam keahlian yang dimiliki seorang apoteker akan mendukung
kemampuannya untuk menjadi seorang pengusaha, baik dalam kesehatan
maupun non kesehatan. Pendidikan yang diajarkan kepada apoteker haruslah
mendukung dan mendorong seorang apoteker menjadi entrepreneur.

II.4 Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan


sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.Untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, maka diperlukan suatu standar yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian di apotek
(PerMenKes No.73, 2016).

Menurut PerMenKes RI No. 73 Tahun 2016 standar pelayanan


kefarmasian diapotek meliputi standar :

1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
2. Farmasi klinik.

II.2.1Pengelolaan Sediaan Farmasi


Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi
(PerMenKes RI, No. 73, 2016):
a) Perencanaan
6

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan,


dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan polapenyakit, pola konsumsi,
budaya dan kemampuan masyarakat.

b) Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan
farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

c) Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

d) Penyimpanan
1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas
pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor
batch dan tanggal kadaluwarsa.
2. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang
lainnya yang menyebabkan kontaminasi
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan
kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
5. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out )dan FIFO
(First In First Out)
e) Pemusnahan dan Penarikan
1. Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kedaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh
7

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan


psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu lima tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain diapotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yangdibuktikan dengan berita acara pemusnahan
resepdanselanjutnya dilaporkan kepada Dinas KesehatanKabupaten/Kota.
3. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai
yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakandengan cara yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhistandard/ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukanoleh pemilik izin edar berdasarkan
perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi
sukarela oleh pemilikizin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan
laporan kepada Kepala BPOM.
5. Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap
produk yang izin edarnya dicabut oleh menteri.
f) Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau
pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan
dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa,
jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

g) Pencatatan dan Pelaporan


8

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat


kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri atas
pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang
digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya. Petunjuk
teknis mengenai pencatatan dan pelaporan akan diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.
II.2.2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan
kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
(PerMenKes RI, No. 73, 2016).
Pelayanan farmasi klinik meliputi (PerMenKes RI, No. 73, 2016):
a) Pengkajian dan Pelayanan Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi:

1. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan


2. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf
3. Tanggal penulisan Resep
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1. Bentuk dan kekuatan sediaan
2. Stabilitas
3. Kompatibilitas (ketercampuran obat)
Pertimbangan klinis meliputi:
9

1. Ketepatan indikasi dan dosis obat


2. Aturan, cara dan lama penggunaan obat
3. Duplikasi dan/atau polifarmasi
4. Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi
klinis lain)
5. Kontraindikasi
6. Interaksi
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,


penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian
informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error).

Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan resep akan diatur


lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
b) Dispensing
Dispensing terdiri atas penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:
1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:
a. Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep
b. Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat
2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
a. Warna putih untuk obat dalam/oral
b. Warna biru untuk obat luar dan suntik
c. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi
10

4. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang
berbeda untuk menjaga mutu obat danmenghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:
a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan
serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
resep)
b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
d. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
e. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait
dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus
dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-
lain
f. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya
tidak stabil
g. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya
h. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh
apoteker (apabila diperlukan)
i. Menyimpan resep pada tempatnya
j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien
Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat
bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
c) Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
11

Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal. Informasi
meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian,
farmakokinetik, farmakologi, terapeutikdan alternatif, efikasi, keamanan
penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas,
ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain.

Kegiatan Pelayanan Informasi obat di apotek meliputi:


1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan)
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi
5. Melakukan penelitian penggunaan obat
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah
7. Melakukan program jaminan mutu

Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu


penelusuran kembali dalam waktu yang relatif.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi Pelayanan Informasi


Obat:
1. Topik pertanyaan
2. Tanggal dan waktu pelayanan informasi obat diberikan
3. Metode pelayanan informasi obat (lisan, tertulis, lewat telepon)
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat
alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui,data laboratorium)
5. Uraian pertanyaan
6. Jawaban pertanyaan
7. Referensi
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data apoteker
yang memberikan pelayanan informasi obat.
d) Konseling
12

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan


pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan
pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode health belief model.
Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah
memahami obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:

1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau


ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,
AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan
satu jenis obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:

1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien


2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three prime
questions, yaitu:
a. Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?
b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?
c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
Anda menerima terapi obat tersebut?
13

3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien


untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan
pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam
konseling.
e) Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh
apoteker, meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan
2. Identifikasi kepatuhan pasien
3. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya
cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien
6. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah.
f) Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui
2. Menerima obat lebih dari lima jenis
3. Adanya multi diagnosis
14

4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati


5. Menerima obat dengan indeks terapi sempit
6. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang
merugikan.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang
terdiri atas riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi;
melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga
kesehatan lain
3. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara lain
adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi,
pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah,
terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensiakan terjadi
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk
mengoptimalkan tujuan terapi
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat
g) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obatyang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.

II.5 Penggolongan Obat


15

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 tahun 2009 bahwa sediaan


farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Obat-obat yang
beredar di Indonesia digolongkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan
dalam 4 kategori, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras (termasuk obat
golongan psikotropika dan obat wajib apotek), dan obat golongan narkotika.
Penggolongan ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap
peredaran dan pemakaian obat-obat tersebut. Setiap golongan obat diberi tanda
pada kemasan yang terlihat. Berdasarkan Undang-Undang, obat dibagi menjadi 4
golongan yaitu:
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan
dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan
etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi
berwarna hitam, dengan ukuran diameter lingkaran terluar dan tebal garis tepi
yang proporsional, berturut-turut minimal l cm dan 1 mm (DepKes RI, 2007).

Gambar 1. Logo obat bebas (DepKes RI, 2007)

Contoh : Plantacid Forte® (tablet & suspensi), Gestamag® (tablet &


suspensi), Panadol® (tablet).
2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas atau obat daftar “W”, menurut bahasa Belanda “W”
singkatan dari “Waarschuwing” adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras
tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan
tanda peringatan.. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas
adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam, dengan ukuran diameter
lingkaran terluar dan tebal garis tepi yang proporsional, berturut-turut minimal l
cm dan 1 mm (DepKes RI, 2007).
16

Gambar 2. Logo obat bebas terbatas (DepKes RI, 2007)

Contoh: Tuzalos® (tablet), Paratusin® (tablet & sirup), Bufect® (tablet & suspensi).

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,


berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2
cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih.

Gambar 3. Tanda peringatan obat bebas terbatas (DepKes RI, 2007)

a. Contoh P.No.1 : Paratusin® (tablet & sirup), Antimo® tablet, Bisolvon® (tablet &
elixir), Silex® (sirup).
b. Contoh P.No 2 : Betadine® gargle.
c. Contoh P.No.3 : Biosepton® solution, Caladine® lotion, Canesten® krim.
d. Contoh P.No.4 : Rokok dan serbuk untuk penyakit asma untuk dibakar yang
mengandung scopolamin (asthma cigarettes).
e. Contoh P.No.5 : Rivanol® kompres yang digunakan untuk kompres luka.
f. Contoh P.No.6 : Anusol® suppositoria.
3. Obat Keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Untuk penandaan obat keras mengacu kepada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia tentang tanda khusus obat keras daftar G adalah
“Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf
K yang menyentuh garis tepi” (DepKes RI, 2006).
17

Gambar 4. Logo obat keras (DepKes RI, 2007)

Contoh : Lodia® (tablet), Asam Mefenamat (tablet), Piroxicam (tablet).


a. Psikotropika
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku (PerMenKes No.3, 2015).
Penggolongan psikotropika :
1) Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya antara
lain : Brolamfetamina, Etisiklidina, Mekatinona,
Tenamfetamina, Tenoksilidina (UU No. 5, 1997).
2) Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan (UU No. 5, 1997).
Contohnya antara lain : Amineptina, Metilfenidat, Sekobarbital
(PerMenKes No.3, 2017).
3) Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya
antara lain : Amobarbital, Butalbital, Pentazosina,
Pentobarbital, Siklobarbital (UU No. 5, 1997).
18

4) Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat


pengobat-an dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan (UU No. 5,
1997). Contohnya antara lain : Allobarbital, Alprazolam,
Diazepam, Fenobarbital, Klobazam (PerMenKes No. 3, 2017).
Pengelolaan psikotropika (PerMenKes No.3, 2015) :
1) Pemesanan
Pemesanan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan
dimana surat pesanan psikotropika dapat digunakan untuk satu atau beberapa
jenis psikotropika dan surat pesanan harus terpisah dari pesanan barang lain
serta dibuat paling sedikit 3 rangkap.
2) Penyimpanan psikotropika
Tempat penyimpanan psikotropika harus mampu menjaga
keamanan, khasiat, dan mutu.
Lemari khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Terbuat dari bahan yang kuat.
b) Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah
kunci yang berbeda.
c) Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh
umum.
d) Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung
jawab/apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang
dikuasakan.
3) Penyerahan psikotropika
Menurut PMK No.3 Tahun 2015 pasal 19 apotek dapat menyerahkan
psikotropika kepada apotek lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit,
instalasi farmasi klinik; dokter, dan pasien. Penyerahan psikotropika oleh
apotek dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
4) Pencatatan dan pelaporan psikotropika
19

Apotek wajib membuat, menyimpan, menyampaikan


laporan pemasukan dan penyerahan atau penggunaan
psikotropika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat
menggunakan sistem pelaporan secara elektronik paling
lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Seluruh dokumen
pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,
dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
psikotropika wajib disimpan secara terpisah paling singkat 3
(tiga) tahun.
Pencatatan paling sedikit terdiri atas :
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika.
b) Jumlah persediaan.
c) Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.
d) Jumlah yang diterima.
e) Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan
penyaluran/penyerahan.
f) Jumlah yang disalurkan/diserahkan.
g) Nomor batch dan tanggal kadaluarsa setiap penerimaan
atau penyaluran/penyerahan.
h) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Pelaporan paling sedikit terdiri atas :
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika.
b) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
c) Jumlah yang diterima.
d) Jumlah yang diserahkan.
5) Pemusnahan psikotropika
Pemusnahan psikotropika hanya dilakukan dalam hal :
a) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali.
20

b) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan


kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk sisa penggunaan.
c) Telah kadaluarsa.
d) Dibatalkan izin edarnya.
e) Berhubungan dengan tindak pidana.
Pemusnahan psikotropika harus dilakukan dengan tidak
mencemari lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan
masyarakat. Pemusnahan psikotropika di apotek, dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut :
a) APA menyampaikan surat permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan/atau Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat.
b) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c) Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
d) APA membuat berita acara pemusnahan, dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan
tembusannya disampaikan kepada Kepala Balai setempat.
Berita acara pemusnahan (BAP), paling sedikit memuat :
a) Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
b) Tempat pemusnahan.
c) Nama Apoteker Pengelola Apotek (APA).
d) Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut.
e) Nama dan jumlah psikotropika.
f) Cara pemusnahan.
g) Tanda tangan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan saksi.
b.Obat Wajib Apotek
Obat wajib apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan
oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter
(KepMenKes No. 347, 1990).
21

Apoteker di apotek diwajibkan (KepMenKes No. 347, 1990) :


1) Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan
dalam obat wajib apotek yang bersangkutan.
2) Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3) Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek
samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Penggolongan OWA :
1) OWA No. 1 (KepMenKes No. 347, 1990)
Contohnya antara lain : obat kontrasepsi oral tunggal (linastrenol) maupun
kombinasi (norgestrel-etinil estradiol, noretindron-mestranol, levonorgestrel-
etinil estradiol) diberikan 1 siklus, Metoklopramid HCl (maksimal 20 tablet),
Bisakodil (maksimal 3 suppositoria).

2) OWA No. 2 (KepMenKes No. 924, 1993)


Contohnya antara lain : Albendazol (maksimal 6 tablet 200 mg dan maksimal 3
tablet 400 mg), Klindamisin (maksimal 1 tube), Omeprazol (maksimal 7
tablet), Sukralfat (maksimal 20 tablet).

3) OWA No. 3 (KepMenKes No. 1176, 1999)


Contohnya antara lain : Ranitidin (maksimal 10 tablet 150 mg), Alopurinol
(maksimal 10 tablet 100 mg), Siproheptadin (maksimal 10 tablet), Gentamisin
obat mata (maksimal 1 tube 5 g atau botol 5 ml).

4. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan (PerMenKes No.3,
2015). Penandaan narkotika berdasarkan peraturan yang terdapat dalam
Ordonansi Obat Bius yaitu “Palang Medali Merah”.
22

Gambar 5. Logo obat narkotika (DepKes RI, 2007)

Penggolongan narkotika :
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan (UU No.35,
2009). Contohnya antara lain : Opioum, Kokaina,
Tetrahydrocannabiol, Delta 9 Tetrahydrocannabiol, dan
Asetorfina (PerMenKes No. 2, 2017).
b. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan (UU No. 35, 2009). Contohnya antara lain:
Alfasetilmetadol, Fentanil, Metadona, Morfina, Petidina
(PerMenKes No. 2, 2017).
c. Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan (UU No. 35, 2009).
Contohnya antara laian : Etilmorfina, Kodeina, Nikodikodina,
Nikokodina, Propiram (PerMenKes No. 2, 2017).
Pengelolaan narkotika (PerMenKes No. 3, 2015) :
1) Pemesanan
Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan
surat pesanan dimana surat pesanan narkotika hanya dapat
digunakan untuk satu jenis narkotika dan surat pesanan harus
terpisah dari pesanan barang lain serta dibuat paling sedikit 3
rangkap.
23

2) Penyimpanan narkotika
Tempat penyimpanan narkotika harus mampu menjaga
keamanan, khasiat, dan mutu.
Lemari khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Terbuat dari bahan yang kuat.
b) Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah
kunci yang berbeda.
c) Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh
umum.
d) Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung
jawab/apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang
dikuasakan.
3) Penyerahan narkotika
Penyerahan narkotika antara lain kepada apotek lainnya, puskesmas,
instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, dokter, dan pasien.
Penyerahan narkotika oleh apotek dilaksanakan berdasarkan resep dokter
4)Pencatatan dan pelaporan narkotika
Apotek wajib membuat, menyimpan, menyampaikan
laporan pemasukan dan penyerahan atau penggunaan
narkotika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat
menggunakan sistem pelaporan secara elektronik paling
lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Seluruh dokumen
pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,
dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
narkotika wajib disimpan secara terpisah paling singkat 3 (tiga)
tahun.
Pencatatan paling sedikit terdiri atas :
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika.
b) Jumlah persediaan.
c) Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.
24

d) Jumlah yang diterima.


e) Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan
penyaluran/penyerahan.
f) Jumlah yang disalurkan/diserahkan.
g) Nomor batch dan tanggal kadaluarsa setiap penerimaan
atau penyaluran/penyerahan.
h) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Pelaporan paling sedikit terdiri atas :
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika.
b) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
c) Jumlah yang diterima
d) Jumlah yang diserahkan.
5)Pemusnahan narkotika
Pemusnahan narkotika hanya dilakukan dalam hal :
a) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali.
b) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk sisa penggunaan.
c) Telah kadaluarsa.
d) Dibatalkan izin edarnya.
e) Berhubungan dengan tindak pidana.
Pemusnahan narkotika di apotek, dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :

a) APA menyampaikan surat permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota dan/atau Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat.
b) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c) Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
25

d) APA membuat berita acara pemusnahan, dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan
tembusannya disampaikan kepada Kepala Balai setempat.
Berita acara pemusnahan (BAP), paling sedikit memuat :
a) Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
b) Tempat pemusnahan.
c) Nama apoteker pengelola apotek (APA).
d) Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut.
e) Nama dan jumlah narkotika.
f) Cara pemusnahan.
g) Tanda tangan apoteker pengelola apotek (APA) dan saksi.

II.4 Prekursor Farmasi


Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan
kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku / penolong
untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk
antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung
ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine /
phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau potasium
permanganat (PerMenKes No. 3, 2015).
Pengelolaan prekursor farmasi :
1. Pemesanan prekursor farmasi
Pemesanan prekursor farmasi hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dimana surat pesanan prekursor
farmasi dapat digunakan untuk satu atau beberapa jenis
prekursor farmasi dan surat pesanan harus terpisah dari
pesanan barang lain (PerMenKes No. 3, 2015).
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No. 40 (2013), penyerahan obat
mengandung prekursor farmasi harus memperhatikan kewajaran jumlah yang
26

diserahkan sesuai kebutuhan terapi. Hal-hal yang harus diwaspadai dalam


melayani pembelian obat mengandung prekursor farmasi, yaitu :
a. Pembelian dalam jumlah besar, misalnya oleh
medical representative/sales dari industri farmasi atau PBF.
b. Pembelian secara berulang-ulang dengan frekuensi
yang tidak wajar.
2. Penyimpanan prekursor farmasi
Tempat penyimpanan prekursor farmasi harus mampu
menjaga keamanan, khasiat, dan mutu. Apotek harus
menyimpan prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi di
tempat penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis
risiko (PerMenKes No. 3, 2015).
3. Pencatatan dan pelaporan prekursor farmasi
Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan,
dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan
termasuk surat pesanan prekursor farmasi wajib disimpan
secara terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun (PerMenKes No. 3,
2015).
Pencatatan paling sedikit terdiri atas (PerMenKes No. 3,
2015) :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan prekursor farmasi.
b. Jumlah persediaan.
c. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.
d. Jumlah yang diterima.
e. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan
penyaluran/penyerahan.
f. Jumlah yang disalurkan/diserahkan.
g. Nomor batch dan tanggal kadaluarsa setiap penerimaan
atau penyaluran/penyerahan.
h. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
27

Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No. 40 (2013), APA wajib


membuat laporan pemasukan dan pengeluaran obat mengandung prekursor
farmasi efedrin dan pseudoefedrin dalam bentuk sediaan
tablet/kapsul/kaplet/injeksi dan dikirimkan kepada Badan POM dalam hal ini
Direktorat Pengawasan Napza dengan tembusan ke Balai Besar/Balai POM
paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Pelaporan prekursor paling
sedikit terdiri atas:
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan prekursor farmasi.
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
c. Jumlah yang diterima
d. Jumlah yang diserahkan.
4. Pemusnahan prekursor farmasi
Pemusnahan prekursor farmasi hanya dilakukan dalam hal
(PerMenKes No.3, 2015):
a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali.
b. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk sisa penggunaan.
c. Telah kadaluarsa.
d. Dibatalkan izin edarnya.
e. Berhubungan dengan tindak pidana.
Pemusnahan prekursor farmasi di apotek, dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut (PerMenKes No.3, 2015):

a. APA menyampaikan surat permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota dan/atau Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat.
b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
28

d. APA membuat berita acara pemusnahan, dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan
tembusannya disampaikan kepada Kepala Balai setempat.
Berita acara pemusnahan (BAP), paling sedikit memuat
(PerMenKes No. 3, 2015) :
a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
b. Tempat pemusnahan.
c. Nama apoteker pengelola apotek (APA).
d. Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut.
e. Nama dan jumlah prekursor farmasi.
f. Cara pemusnahan.
g. Tanda tangan apoteker pengelola apotek (APA) dan saksi.
Pencatatan dan pelaporan prekursor farmasi
Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan,
dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan
termasuk surat pesanan prekursor farmasi wajib disimpan
secara terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun (PerMenKes No. 3,
2015).
Pencatatan paling sedikit terdiri atas (PerMenKes No. 3,
2015) :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan prekursor farmasi.
b. Jumlah persediaan.
c. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.
d. Jumlah yang diterima.
e. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan
penyaluran/penyerahan.
f. Jumlah yang disalurkan/diserahkan.
g. Nomor batch dan tanggal kadaluarsa setiap penerimaan
atau penyaluran/penyerahan.
h. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
29

Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No. 40 (2013), APA wajib


membuat laporan pemasukan dan pengeluaran obat mengandung prekursor
farmasi efedrin dan pseudoefedrin dalam bentuk sediaan
tablet/kapsul/kaplet/injeksi dan dikirimkan kepada Badan POM dalam hal ini
Direktorat Pengawasan Napza dengan tembusan ke Balai Besar/Balai POM
paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Pelaporan prekursor paling
sedikit terdiri atas:
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan prekursor farmasi.
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
c. Jumlah yang diterima
d. Jumlah yang diserahkan.
BAB III
PELAYANAN RESEP DI APOTEK

III.1 Contoh Resep

dr. Dita Paramitha, Sp.PK


N014171740
30

An. K

III.2 Skrining Resep


A. Skrining Administratif
Tabel 1. Kelengkapan Administratif Resep Racikan Narkotik dan Antibiotik
Kelengkapan Tidak
Ada Keterangan
resep ada
Nama dokter √ - dr. Dita Paramitha, S.PK
SIP √ - SIP. N014171740
Alamat dokter √ - Jl. Rapocinni Raya No 10, Makassar
No. Telp/Hp √ - 081373426635
Paraf atau tanda
√ - Tidak Tercantum
tangan dokter
Tempat dan tanggal
√ - 25 – 01 – 2018
penulisan R/
Tanda R/ √ - Tercantum
31

R/ Sanprima Syrup No I
R/ Antiza No II
Paracetamol 500 mg No II
Tremenza No II
Nama obat, bentuk Vectrin 300 mg No II
sediaan, dosis, dan √ - Amoxicillin 500 mg No II
jumlah obat Metilprednisolon 4 mg No II
Diazepam No II
Metoclopramid 10 mg No II
mf pulv No X
R/ L-Bio No X
1. s 2 dd cth (2 kali sehari 1 sendok teh)
Aturan pemakaian √ - 2. s 3 dd 1 (1 kali sehari 1 kapsul )
3. s 2 dd 1 (2 kali sehari 1 sachet)
Nama pasien √ - An. K
Umur pasien √ - 2 th
Alamat pasien √ Rapocinni Raya
Bobot badan
√ - 9,5 kg
pasien
Jenis kelamin - √ Tidak tercantum
No. Telp./Hp
- √ Tidak tercantum
pasien

Setelah dilakukan skrining resep, masih terdapat kekurangan dalam hal


administratif dari resep tersebut yaitu:
1. Paraf dokter
Pencantuman paraf dokter sangat diperlukan, hal ini untuk melihat
keaslian dari resep yang dituliskan oleh dokter, namun resep ini masih
dilayani karena kemungkinan apoteker atau asisten apoteker telah
menghubungi dokter. Meskipun terdapat beberapa persyaratan administratif
yang belum terpenuhi, namun secara keseluruhan resep ini dapat diterima dan
dikerjakan.

2. Jenis kelamin pasien


Pada resep tersebut tidak tercantum jenis kelamin pasien, namun hal ini
dapat diketahui dari nama pasien yaitu An. K yang menandakan pasien
berjenis kelamin perempuan.
3. Nomor telepon pasien
32

Pada resep tidak dicantumkan nomor telepon pasien, padahal sangat


penting dan dibutuhkan untuk menghubungi kembali pasien jika terjadi
kekeliruan atau kesalahan dalam hal ini seperti dispensing error. Sehingga, hal
yang dapat dilakukan yaitu saat pemberian informasi obat atau penyerahan
obat sebaiknya nomor telepon ditanyakan agar dapat mengkonfirmasi kembali
kepada pasien jika terjadi sesuatu atau kekeliruan maupun jika ada informasi-
informasi tambahan yang dibutuhkan pasien.

III.3. Skrining Farmasetik


1. Kesesuaian bentuk sediaan
Bentuk sediaan yang diberikan pada R/ pertama adalah Sanprima ® syrup
60ml. R/ kedua adalah obat racikan sediaan serbuk yang berisi Paracetamol
500 mg, Amoxicillin 500 mg, Antiza®, Tremenza®, Metilprednisolon 4 mg,
Diazepam 2 mg, Vectrin®300 mg, dan Metoklopramid 10 mg. R/ ketiga adalah
L-bio sachet. Pada resep diketahui pasien berumur 2 tahun yang tergolong
anak-anak, sehingga pemberian obat dengan bentuk sediaan syrup dan sediaan
serbuk sudah tepat.
2. Inkompatibilitas
Obat racikan dalam bentuk puyer yang berisi Antiza ®, paracetamol,
Tremenza®, Vectrin®, amoxicillin, metilprednisolon, diazepam dan
metoklopramid tidak terjadi inkompatibilitas selama pencampuran.
3. Stabilitas
Obat-obat yang diresepkan oleh dokter umumnya stabil disimpan ditempat
kering, pada suhu penyimpanan suhu kamar (15-300C) dan terlindung dari
cahaya. Untuk racikan puyer disimpan dalam wadah yang tertutup rapat untuk
mencegah kelembaban obat.

III.4. Skrining Klinis


A. Kesesuaian Dosis
a. Sanprima Sirup (Sweetman, 2009)
33

Tiap 5 ml sanprima sirup mengandung Co-trimoxazole: Trimetoprim 40 mg,


Sulfametoxazol 200 mg
Dosis lazim untuk anak yaitu 24 mg/kgBB, 2 kali sehari
Dosis lazim untuk anak 9,5 kg adalah 24 mg x 9,5 kg = 228 mg, 2 kali sehari
Dokter memberikan resep sanprima sirup (60 ml) dengan aturan pakai 2 kali
sehari satu sendok teh.
Berdasarkan resep:
Dosis sekali pakai : 240 mg x 1 = 240 mg (mememnuhi dosis lazim)
Dosis sehari : 240 mg x 2 = 480 mg (melebihi dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian dosis co-trimoxazole dalam resep tersebut memenuhi dosis lazim
untuk pemakaian sekali dan melebihi dosis lazim untuk pemakaian sehari.
b. Antiza (MIMS, 2017)
Tiap tablet mengandung paracetamol, dextromethorphan, chlorpheniramine
maleate, phenylpropanolamine
Dosis lazim 1 kaplet salut selaput, 3-4 kali sehari
.
9,5
Dosis lazim untuk anak dg BB 9,5 kg adalah x 1 tablet = 0,14 kaplet,
68
3-4 kali sehari
Dosis yang diberikan oleh dokter adalah sebanyak 2 kaplet, 2/10 = 0,2
kaplet/bungkus racikan
Dosis sekali : 0,2 kaplet x 1 = 0,2 kaplet (lebih dari dosis lazim)
Dosis sehari : 0,2 kaplet x 3 = 0,6 kaplet (sesuai dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dosis
pemakaian sekali yang diberikan tidak sesuai karena melebihi dosis lazim.
c. Paracetamol (Sweetman, 2009)
Dosis lazim 500-1000 mg, tiap 4-6 jam jika perlu
9,5
Dosis lazim anak dengan BB 9,5 kg adalah x (500-1000 mg) = 70-140
68
mg, tiap 4-6 jam
34

Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 500 mg sebanyak 2 tablet yang dibagi
dalam 10 bungkus puyer, 500 mg x 2 tablet = 1000 mg; 1000 mg/10 = 100 mg
dalam 1 bungkus racikan.
Berdasarkan resep:
Dosis sekali : 100 mg x 1= 100 mg (memenuhi dosis lazim)
Dosis sehari : 100 mg x 3 = 300 mg (memenuhi dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian obat Paracetamol pada resep tersebut sesuai karena memenuhi
dosis lazim baik untuk sekali pakai maupun sehari.
d. Vectrin (Sweetman, 2009)
Tiap kapsul mengandung erdostein 300 mg
Dosis lazim dewasa Vectrin 300 mg, 2 kali sehari
9,5
Dosis lazim untuk anak dg BB 9,5 kg adalah x 300 mg = 41,91 mg
68
Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 300 mg sebanyak 2 kapsul, 300 mg x
2 kapsul = 600 mg, 600 mg/10 = 60 mg dalam 1 bungkus racikam
Dosis sekali : 60 mg x 1 = 60 mg (lebih dari dosis lazim)
Dosis sehari : 60 mg x 3 = 180 mg (lebih dari dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian obat Vectrin pada resep tersebut tidak sesuai karena melebihi dosis
lazim pada pemakaian sekali dan sehari.
e. Tremenza (MIMS, 2017)
Tiap tablet tremenza mengandung pseuoephedrin HCl 60 mg, triprolidine Hcl
2,5 mg
Dosis lazim Tremenza adalah 1 tablet, 3-4 kali sehari
9,5
Dosis lazim anak dengan BB 9,5 kg adalah x 1 tablet = 0,14 tablet, 3-4
68
kali sehari
Dosis yang diberikan oleh dokter sebanyak 2 tablet yang dibagi dalam 10
bungkus puyer, 2 tablet/10 = 0,2 tablet/bungkus racikan.
Dosis sekali : 0,2 tablet x 1 = 0,2 tablet (lebih dari dosis lazim)
Dosis sehari : 0,2 tablet x 3 = 0,6 tablet (memenuhi dosis lazim)
35

Berdasarkan perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


pemberian obat Tremenza pada resep pemakaian sekali melebihi dosis lazim
sedangkan untuk pemakaian sehari telah memenuhi dosis lazim.
f. Amoxicillin (DIH, 2009)
Dosis lazim untuk anak > 3 bulan dan BB < 40 kg: 20-50 mg/kg BB/hari.
Dosis lazim untuk anak dengan BB 9,5 kg: 190 – 475 mg/hari
Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 500 mg sebanyak 2 tablet yang dibagi
dalam 10 bungkus puyer, 500 mg x 2 tablet = 1000 mg; 1000 mg/10 = 100 mg
dalam 1 bungkus racikan.
Berdasarkan resep:
Dosis sekali : 100 mg x 1 = 100 mg (kurang dari dosis lazim)
Dosis sehari : 100 mg x 3 = 300 mg (memenuhi dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian obat Amoxicillin pada resep tersebut untuk pemakaian sekali
belum memenuhi dosis lazim akan tetapi untuk pemakaian sehari telah
memenuhi dosis lazim
g. Metilprednisolon (AHFS, 2011).
Dosis lazim: 0,117-1,66 mg/kg BB/hari
Dosis pada anak dg BB 9,5 kg: 1,1-15,77 mg/hari
Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 4 mg sebanyak 2 tablet yang dibagi
dalam 10 bungkus puyer, 4 mg x 2 tablet = 8 mg; 8 mg/10 = 0,8 mg dalam 1
bungkus racikan.
Dosis sekali : 0,8 mg x 1 = 0,8 mg (kurang dari dosis lazim)
Dosis sehari : 0,8 mg x 3 = 2,4 mg (memenuhi dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian obat metilprednisolon pada resep tersebut untuk pemakaian sekali
belum memenuhi dosis lazim akan tetapi untuk pemakaian sehari telah
memenuhi dosis lazim.
h. Diazepam (DIH, 2009)
Dosis lazim untuk anak 0,12 – 0,8 mg/kg/hari
Dosis lazim untuk anak dengan BB 9,5 kg: 1,14 – 7,6 mg/hari
36

Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 2 mg sebanyak 2 tablet, 2 mg x 2


tablet = 4 mg, 4 mg/10 = 0,4 mg dalam 1 bungkus racikan.
Berdasarkan resep:
Dosis sekali : 0,4 mg x 1 = 0,4 mg (kurang dari dosis lazim)
Dosis sehari : 0,4 mg x 3 = 1,2 mg (memenuhi dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian obat Diazepam pada resep tersebut untuk pemakaian sekali belum
memenuhi dosis lazim akan tetapi untuk pemakaian sehari telah memenuhi
dosis lazim.
i. Metoclopramid (Sweetman, 2009)
Dosis lazim dewasa adalah 10 mg, 4 kali sehari
9,5
Dosis lazim anak dengan BB 9,5 kg adalah x 10 mg = 1,4 mg, 3 kali
68
sehari

Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 10 mg sebanyak 2 tablet, 10 mg x 2


tablet = 20 mg, 20 mg/10 = 2 mg dalam 1 bungkus racikan.
Berdasarkan resep:
Dosis sekali : 2 mg x 1 = 2 mg (memenuhi dosis lazim)
Dosis sehari : 2 mg x 3 = 6 mg (lebih dari dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian obat Diazepam pada resep tersebut sesuai untuk pemakaian sekali
dan tidak sesuai untuk pemakaian sehari karena melebihi dosis lazim.
j. L-Bio (MIMS, 2017)
Anak ≥ 2 taun 2-3 sachet/hari
Berdasarkan resep:
Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 2 sachet per hari. Dosis yang
diberikan memenuhi dosis lazimnya.
B. Pertimbangan Klinis
Berdasarkan kajian terhadap resep racikan tersebut dapat diinterpretasikan
bahwa pasien kemungkinan mengalami infeksi saluran pernafasan akut. Infeksi
37

pada saluran napas terbagi menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran
napas bawah.
ISPA bagian atas meliputi rhinitis (radang pada lapisan mukosa dalam
hidung), sinusitis (radang pada rongga sinus), faringitis (radang tenggorok), dan
laringitis (radang pada area sekitar pita suara). ISPA bagian atas sering dikenal
dengan istilah sakit “batuk pilek”. Gejala yang sering timbul adalah demam,
batuk, pilek, hidung tersumbat, atau bersin-bersin, nyeri tenggorokan/nyeri
menelan, suara serak, sakit kepala, badan pegal-pegal, atau nyeri sendi. Penyakit
ini lebih banyak disebabkan oleh virus dan dapat sembuh dengan sendirinya (self-
limiting). ISPA bagian bawah meliputi bronkitis (radang pada percabangan
saluran napas) dan pneumonia (radang pada alveolus/jaringan paru). ISPA bagian
atas yang teraspirasi ke saluran napas bawah dapat menjadi ISPA bagian bawah.
Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri.
Beberapa kasus infeksi saluran napas atas akut disebabkan oleh virus yang tidak
memerlukan terapi antibiotika, cukup dengan terapi suportif. Terapi suportif
berperan besar dalam mendukung sukses terapi dengan atau tanpa antibiotika,
karena berdampak mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi
suportif tersebut meliputi antihistamin, analgetik-antipiretik, dekongestan dan
mukolitik (DepKes RI, 2005).
Menurut WHO (1999) dalam the management of acute respiratory
infections in children, menyatakan bahwa terdapat 4 klasifikasi infeksi saluran
pernafasan pada anak dengan umur 2-5 tahun yaitu penyakit sangat parah,
pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia: batuk atau pilek. Kategori
penyakit sangat parah memiliki gejala seperti tidak bisa minum, kejang, sangat
mengantuk atau sulit untuk bangun, stridor pada anak yang tenang, atau malnutrisi
berat. Kategori pneumonia berat memiliki gejala menarik dada dan kadang
mengi/sesak. Kategori pneumonia adalah tidak ada tarikan dada dan kecepatan
pernafasan 50/menit untuk anak umur 2-12 bulan serta 40/menit untuk anak umur
1-5 tahun. Kategori bukan Pneumonia: batuk atau pilek tidak memilki gejala
tarikan dada atau pun pernafasan cepat. Penatalaksanaan yang diberikan untuk
38

kategori bukan pneumonia adalah dengan tidak memberikan antibiotik pada anak
dengan batuk atau pilek yang tidak menunjukkan tanda-tanda pneumonia.
Pada R/ pertama dokter memberikan resep sanprima sirup. Sanprima sirup
merupakan antibiotik kotrimoksazol. Kotrimoksazol adalah antibiotik kombinasi
yang terdiri dari 5 bagian sulfamethoxazole dan 1 bagian trimethoprim yang
diindikasikan untuk infeksi karena organisme yang rentan, terutama organisme
saluran kemih, saluran pernapasan, dan gastrointestinal, meskipun indikasi untuk
penggunaannya dibatasi dalam UK. Kegunaan utamanya sekarang adalah
pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis, dan nocardiosis. Mekanisme kerja
sulfametoksazol yaitu mengganggu sintesis asam folat bakteri dan pertumbuhan
melalui penghambatan pembentukan asam dihidrofolik dari asam para-
aminobenzoat sedangkan trimetoprim menghambat penurunan asam dihidrofolik
menjadi tetrahidrofolat sehingga terjadi penghambatan sekuensial enzim jalur
asam folat (DIH, 2009). Kotrimoksazol memiliki mekanisme kerja saling
menguatkan (sinergis) dengan menghambat sintesis asam folat bakteri. Dimana
asam folat ini dibutuhkan oleh bakteri untuk kelangsungan hidupnya. (Sweetman,
2009).
R/ kedua pasien yang diberikan adalah obat racikan berupa puyer yang
terdiri dari Antiza, Paracetamol, Tremenza, Vectrin, Amoxicillin,
Metilprednisolon, Diazepam dan Metoklopramid. Antiza mengandung
paracetamol 500 mg, dextromethorphan Hbr 15 mg, chlorpeniramine maleate 1
mg, fenilpropanolamin HCl 250 mg. Antiza diindikasikan untuk meringankan
gejala flu seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat dan bersin-bersin yang
disertai batuk. Antiza memiliki mekanisme kerja sebagai analgesik-antipiretik,
antitusif, antihistmin dan dekongestan hidung.
Paracetamol bertindak sebagai analgesik-antipiretik dengan mekanisme
kerja menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat dan
menghambat pertumbuhan rasa sakit; sebagai antipiretik yaitu penghambatan
pada pusat pengatur panas di hipotalamus (DIH, 2009).
39

Dextromethorphan bertindak sebagai antitusif dimana obat bekerja pada


susunan saraf pusat menekan pusat batuk dan menurunkan ambang rangsang
batuk (DIH, 2009).
Chlorpeniramin maleat bertindak sebagai antihistamin dengan mekanime
kerja bersaing dengan histamin untuk reseptor-H1 pada sel efektor di saluran
pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernapasan (DIH, 2009).
Chlorfeniramin maleat adalah sebagai antagonis reseptor H1. Chlorpeniramin
maleat akan menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan otot
polos. Selain itu, chlorfeniramin maleat dapat merangsang maupun menghambat
susunan saraf pusat. AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan oleh
debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak kontaknya lama. AH1
dapat mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi
(Gunawan, 2007).
Fenilpropanolamin bertindak sebagai dekongestan dengan mekanisme
kerja langsung menstimulasi reseptor alfa-adrenergik mukosa pernapasan yang
menyebabkan vasokonstriksi; langsung merangsang reseptor beta-adrenergik yang
menyebabkan relaksasi bronkus, meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas
(DIH, 2009). Dekongestan mengurangi pembengkakan pembuluh darah di dalam
hidung. Hal ini membantu untuk membuka jalan napas pada hidung sehingga
dapat bernapas dengan lebih mudah.
Tremenza terdiri dari pseudoephedrine HCl 60 mg dan triprolidin HCl 2,5
mg. Tremenza diindikasikan untuk meringankan gejala flu karena alergi pada
saluran pernafasan bagian atas yang memerlukan dekongestan nasal dan
antihistamin. Tremenza memiliki mekanisme kerja sebagai dekongestan dan.
antihistamin. Pseudoephedrin bertindak sebagai dekongestan yang bekerja pada
reseptor alfa-adrenergik dalam mukosa saluran pernafasan sehingga menghasilkan
vasokonstriksi. Pseudoephedrin juga mampu mengurangi pembengkakan karena
inflamasi pada membrane mukosa sehingga melancarkan jalan nafas pada hidung.
Triprolidin bertindak sebagai antihistamin yang bekerja sebagai antagonis reseptor
histamine H1 dalam pengobatan alergi pada sel efektor.
40

Vectrin mengandung erdostein 300 mg yang bertindak sebagai agen


mukolitik yang digunakan dalam pengobatan gangguan saluran pernapasan yang
ditandai dengan batuk produktif (DIH, 2009). Erdostein bekerja sebagai obat
pengencer mucus bronkus sehingga memudahkan ekspektorasi.
Amoxicillin bertindak sebagai antibiotik. Amoxicillin diindikasikan untuk
digunakan dalam infeksi yang rentan. Ini termasuk aktinomikosis, anthrax, infeksi
saluran empedu, bronkitis, endokarditis (terutama untuk profilaksis), gastro-
enteritis (termasuk enteritis salmonella, tetapi tidak shigellosis), gonore, penyakit
Lyme, infeksi mulut, otitis media, pneumonia, gangguan limpa, (Profilaksis
infeksi pneumokokus), tifus, dan demam paratifoid, dan infeksi saluran kemih
(Sweetman, 2009). Mekanisme kerja amoxicillin menghambat sintesis dinding sel
bakteri dengan mengikat satu atau lebih protein pengikat penisilin (PBPs) yang
menghambat pada tahap transpeptidifikasi akhir sintesis peptidoglikan di
dinding sel bakteri, sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri
akhirnya mengalami lisis akibat aktivitas enzim autolitik dinding sel yang sedang
terjadi (autolysins dan murein hydrolases) sementara perakitan dinding sel
dihambat (DIH, 2009).
Metilprednisolon adalah kortikosteroid yang memiliki aktivitas utama
glukokortikoid (antiinflamasi) (Sweetman, 2009). Methylprednisolone bekerja
dengan berikatan pada reseptor khusus dalam sitoplasma sel. Ikatan tersebut dapat
menghambat sintesis beberapa protein tertentu yang berperan pada reaksi
inflamasi dalam tubuh.
Diazepam digunakan untuk mengatasi ansietas yang dialami pasien. Obat
ini digunakan untuk mengatasi gangguan kecemasan, insomnia, kejang-kejang
karena demam, gejala putus alkohol akut, serta digunakan sebagai obat bius
sebelum operasi. Diazepam merupakan turunan benzodiazepine. Diazepam
bekerja sebagai agonis reseptor benzodiazepin pada reseptor GABA sehingga
menimbulkan efek penghambatan oleh GABA dan menimbulkan efek penenang.
Reseptor Benzodiazepin terdapat dalam sistem saraf pusat, terutama dalam
korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil
(Sweetman, 2009).
41

Metoklopramid diindikasikan sebagai antiemetik utnuk mengatasi mual


dan muntah pasien metoklopramid bekerja dengan cara memblok reseptor
dopamin dan (bila diberikan dalam dosis yang lebih tinggi) juga memblokir
reseptor serotonin di zona pemicu kemoreseptor dari SSP; meningkatkan respon
terhadap asetilkolin jaringan di saluran pencernaan atas menyebabkan
peningkatan motilitas dan mempercepat pengosongan lambung tanpa merangsang
lambung, biliaris, atau sekresi pankreas; meningkatkan nada sfingter esofagus
bagian bawah (DIH, 2009).
Resep ketiga yang diberikan adalah L-bio. L-Bio merupakan probiotik
(bakteri baik) yang bekerja untuk memelihara sistem pencernaan pada anak-anak,
membantu mengembalikan fungsi normal GI, menjaga keseimbangan flora
normal usus dan membantu fungsi fermentasi usus pada bayi (MIMS, 2017).
Obat yang digunakan secara rasional adalah penggunaan obat yang
mensyaratkan bahwa penderita menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan
klinik, dalam dosis yang memenuhi keperluan individual, lama penggunaan obat
dan harga yang terendah bagi mereka dan komunitas mereka (Siregar, 2003).
Pengobatan ISPA menurut pedoman pengendalian infeksi saluran
pernafasan akut menurut kementrian kesehatan tahun 2012 adalah kotrimoksazol
sebagai antibiotik lini pertama dan amoksisilin untuk lini kedua. Penggunaan
kotrimoksazol sirup untuk berat badan 6 hingga <10 kg adalah 5 ml dengan
pemberian 2 kali sehari. Penggunaan amoksisilin dengan berat badan 6 hingga
kurang dari 10 kg adalah setengah tablet dengan kekuatan 500 mg dengan
pemberian 2 kali sehari. Penggunaan antibiotik masih tidak dapat dikatakan
kerasionalannya karena tidak mengetahui kondisi pasien secara detail. Pada
umumnya penyebab ISPA pada balita adalah virus, sehingga dapat dikatakan
penggunaan antibiotik tidak rasional.
Berdasarkan uraian resep diatas resep racikan yang terdiri dari campuran
antibiotik lebih berpotensi menimbulkan kejadian efek yang tidak diinginkan
seperti resistensi obat antibiotik dan munculnya efek samping obat simptomatik
karena keharusan untuk menghabiskan obat simptomatik walaupun gejala yang
dirasakan sudah hilang. Sebaiknya antibiotik dipisahkan dari racikan. Lama
42

penggunaan antibiotik harus diperhatikan sebab rentan terjadi resistensi apabila


lama pemberian tidak sesuai ketentuan. Penggunaan antibiotik dianjurkan
minimal selama 3-5 hari untuk mencegah terjadinya resistensi bakteri. Pemberian
obat untuk penyakit yang bersifat simptomatik hanya boleh diberikan selama 3
sampai 7 hari. Pengobatan simptomatik bertujuan meringankan atau
menyembuhkan gejala, bukan mengobati sumber penyakit. Hal ini menandakan
lama penggunaan obat-obat simptomatik pada racikan yang dikonsumsi selama 3
hari sudah sesuai.
Ketepatan dosis obat berdasarkan pada resep diatas masih tidak memenuhi
dari ketentuan dosis terapi untuk pasien berusia 2 tahun diantaranya adalah antiza,
vectrin, tremenza, amoxicillin, metilprednisolon, diazepam dan metoklopramid.
Sebaiknya dosis disesuaikan dengan berat badan pasien agar memperoleh efek
yang diinginkan.
Penggunaan sanprima sirup telah sesuai dengan kondisi umur pasien yang
masih balita tetapi lama penggunaan sanprima belum sesuai, seharusnya diberikan
selama 5 hari-7 hari agar tidak terjadi resisten antibiotik. Sedangkan penggunaan
obat racikan selama 3 hari. Jika keluhan telah hilang, maka sebaiknya penggunaan
obat racikan dihentikan.
Pada kondisi infeksi saluran nafas atas, tatalaksana utamanya adalah
mengurangi gejala demam, hidung buntu dan batuk. Beberapa obat yang sering
digunakan adalah antihistamin generasi pertama, antipiretik (paracetamol), obat
antiinflamasi (ibuprofen), antitusif (dextrometorphan), ekspektoran (guaifenesin)
dan dekongestan (pseudoefedrin dan phenylpropanolamine). Walau dapat
meringankan gejala, tetapi obat-obatan tersebut tidak terbukti dapat mengurangi
durasi gejala (Tedjasaputra, 2014).
Berdasarkan resep yg diberikan, pasien mengalami batuk berdahak akibat
flu yang dialami. Dextromethorphan bertindak sebagai antitusif yang digunakan
untuk batuk non produktif dan dextromethorphan memiliki aktivitas kerja yang
berlawanan dengan vectrin yang mengandung erdostein yang bertindak sebagai
mukolitik. Sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan dextromethorphan yang
terkandung dalam antiza tidak rasional.
43

Penggunaan antihistamin oral digunakan dalam pengobatan alergi hidung,


khususnya rhinitis alergi musiman tetapi antihistamin biasanya kurang efektif
untuk hidung tersumbat. Anak-anak di bawah 6 tahun tidak boleh diberikan obat
batuk dan pilek yang dijual bebas, obat-obatan yang mengandung bahan-bahan
seperti brompheniramine, chlorphenamine, diphenhydramine, doxylamine,
promethazine, atau triprolidine (antihistamin); dextromethorphan atau pholcodine
(penekan batuk); guaifenesin atau ipecacuanha (ekspektoran);. phenylephrine,
pseudoephedrine, efedrin, oxymetazoline, atau xylometazoline (dekongestan)
(BNFC, 2009).
Pengobatan yang dianjurkan untuk kondisi infeksi saluran nafas atas untuk
anak adalah dengan hidrasi oral (banyak minum air hangat untuk mengencerkan
dahak), diberikan paracetamol jika demam, kurangi kongesti nasal apabila sampai
mengganggu proses menyusu/makan misalnya dengan memberikan tetes hidung
salin serta tetap memperhatikan tanda-tanda pneumonia dan kegawatdaruratan
lainnya (Tedjasaputra, 2014).
Metilprednisolon termasuk golongan kortikosteroid. Kortikosteroid
biasanya kontra-indikasi di hadapan infeksi akut yang tidak terkontrol oleh terapi
antimikroba yang tepat. Begitupun jika pasien sudah menerima kortikosteroid
lebih rentan terhadap infeksi, gejala yang mungkin tertutup sampai tahap lanjut
telah tercapai. Kortikosteroid seharusnya diberikan pada pasien ISPA bagian atas
dengan keluhan nyeri (seperti sakit tenggorokan) yang diinduksi oleh proses
inflamasi mengingat kortikosteroid sebagai agen anti inflamasi (Sweetman, 2009).
Metoklopramid digunakan sebagai antiemetik. Di Inggris, penggunaan
metoklopramid dibatasi pada pasien di bawah 20 tahun karena efek
extrapiramidalnya (Sweetman, 2009).
Erdostein berguna sebagai agen pengencer dahak. Erdosteine terbukti
ditoleransi dengan baik oleh pasien anak, tidak ada efek samping yang dilaporkan
dan tidak ada modifikasi negatif yang terdeteksi (Balli, 2007).
Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan obat lebih dari 3 macam
obat yang diberikan kepada pasien dalam satu resep. Namun, polifarmasi tidak
hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara klinis, kriteria
44

untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi menggunakan obat-obatan tanpa


indikasi yang jelas, menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama,
penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi, penggunaan obat dengan
dosis yang tidak tepat, dan penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek
samping obat. Pada resep diatas terdapat 3 macam resep dengan 14 komponen zat
aktif sehingga kejadian ini termasuk dalam kategori polifarmasi. Banyaknya
jumlah obat dalam resep juga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
interaksi antara obat yang satu dengan obat yang lain.
Sedangkan duplikasi obat adalah pemberian lebih dari satu obat yang
mempunyai khasiat dan mekanisme kerja obat yang sama. Dalam resep yang
diberikan, terdapat beberapa obat yang termasuk dalam golongan obat yang
sama/memiliki indikasi yang sama, seperti Triprolidine (yang terkandung dalam
Tremenza) dengan Chlorpheniramin maleate (yang terkandung dalam Antiza),
yang sama-sama memiliki efek antihistamin. Pseudoephedrin (yang terkandung
dalam tremenza) dan fenilpropanolamin (yang terkandung dalam antiza) yang
sama-sama memiliki efek dekongestan. Penggunaan paracetamol tunggal dengan
paracetamol yang terkandung pada antiza.
Reaksi obat yang tidak diinginkan didefinisikan oleh WHO sebagai respon
terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis
normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau
untuk modifikasi fungsi fisiologis. Reaksi yang terjadi pada kotrimoksazol seperti
gangguan saluran cerna (terutama mual dan muntah) dan reaksi kulit efek
samping yang paling umum. Ada sesekali kematian, terutama pada pasien usia
lanjut, terutama karena kelainan darah, nekrosis hati, atau kulit yang parah. Reaksi
yang terjadi pada paracetamol berupa kulit ruam dan reaksi hipersensitivitas
lainnya terjadi sesekali. Reaksi pada Gangguan gastrointestinal dapat terjadi
dengan erdosteine. Reaksi yang terjadi pada methylprednisolone mungkin sedikit
menyebabkan retensi natrium dan air. Ketika diterapkan secara topikal, khususnya
untuk area yang luas, ketika kulit rusak, atau di bawah dressing oklusif,
kortikosteroid dapat diserap dalam jumlah yang cukup menyebabkan efek
sistemik. Mengantuk, sedasi, kelemahan otot, dan ataksia merupakan efek
45

samping yang paling sering terjadi pada penggunaan diazepam. Metoclopramide


adalah antagonis dopamin dan mungkin menyebabkan gejala ekstrapiramidal
(biasanya akut reaksi distonik). Tremenza mengandung pseudoefedrin HCL dan
triprolidin HCL. Efek merugikan yang paling umum pada pseudoephedrine adalah
takikardia, kecemasan, gelisah, dan insomnia; ruam kulit dan retensi urin kadang-
kadang terjadi. Antiza memiliki kandungan paracetamol, dextromethorphan,
chlorpeniramin maleat dan fenilpropanolamin. Antihistamin seperti
chlorpeniramin maleat kadang-kadang menyebabkan ruam dan hipersensitivitas
reaksi (termasuk bronkospasme, angioedema, dan anafilaksis) dan kepekaan
silang terkait obat-obatan dapat terjadi. Efek samping dengan dextromethorphan
tampaknya langka dan mungkin termasuk pusing dan gangguan gastrointestinal.
(Sweetman, 2009).
Obat-obat yang diresepkan secara umum dikontraindikasikan untuk pasien
yang memiliki hipersensitifitas terhadap obat-obat tersebut. Namun, kontra
indikasi yang secara langsung berkaitan dengan kondisi klinik pasien maupun
obat-obat lain yang dikonsumsi pasien, tidak ditemukan adanya kontra indikasi.
Interaksi Farmasetik adalah interaksi yang terjadi karena adanya
perubahan atau reaksi kimia dan fisika antara 2 obat atau lebih yang dapat
dikenal/dilihat yang berlangsung diluar tubuh dan mengakibatkan aktivitas
farmakologik obat tersebut hilang/berubah. Pada resep yang dikaji tidak ada
interaksi farmasetik yang teriidentifikasi selama proses peracikan dan penyiapan
obat tersebut sampai obat diserahkan kepada pasien.
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi ini terjadi perubahan dalam
proses adsorbsi, distribusi, metabolisme, atau eksresi sehingga mengakibatkan
perubahan efek obat dimana dapat meningkatkan atau mengurangi
jumlah/konsentrasi obat. Pada resep yang dikaji terdapat interaksi farmakokinetik
yaitu interaksi antara Paracetamol dan diazepam adalah ekskresi diazepam di urin
menurun dengan penggunaan bersama parasetamol sehingga kadar diazepam di
plasma sedikit terpengaruh. Ekskresi urin selama 96 jam, dengan pemberian dosis
tunggal oral diazepam 10 mg dan metabolitnya, nordiazepam, berkurang dari 44%
menjadi 27% dan 12% menjadi 8%, masing-masing pada 2 subjek perempuan,
46

dan dari 11% menjadi 4,5% pada subjek laki-laki, dengan pemberian dosis 500
mg dosis tunggal parasetamol. Dengan alasan yang tidak dipahami. Kadar plasma
diazepam dan metabolitnya tidak terpengaruh secara signifikan (Stockley’s, 2008).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi ini terjadi bila antara obat yang
bekerja pada sistem reseptor, sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi aditif,
sinergistik (saling memperkuat) atau antagonistik (saling meniadakan). Pada resep
tidak terdapat interaksi farmakokinetik.

III.5. Uraian Obat (BNF, 2015; MIMS, 2017; Sweetman, 2009)


1. Methylprednisolone
a. Komposisi dan kekuatan dari obat :
Tiap tablet mengandung Metilprednisolon: 4mg; 8mg; 16mg
b. Nama dagang
Hexilon® tablet ( PT. Kalbe Farma), Lameson® tablet (PT. Lapi), Metrison®
tablet (PT. Dexa Medica).
c. Farmakologi
Adsorpsi: methylprednisolone asetat teradsorpsi dengan lambat melalui
intramuskular, ester sodium suksinatnya teradsorpsi dengan cepat setelah
pemberian dosis intramuskular dengan konsentrasi plasma puncaknya 2 jam.
Distribusi: terdistribusi secara cepat setelah pemberian dosis oral, dengan
waktu paruh plasma nya 3,5 jam atau lebih. Waktu paruh jaringan 18 sampai
36 jam. Methylprednisolone melewati plasenta secara cepat (Tjay, 2008).
d. Indikasi
Gangguan endokrin, reumatik, penyembuhan kolagen, kulit, alergi, mata,
gastrointestinal, pernafasan, penyembuhan neoplastik, edema, eksaserbasi
akut dari sklerosis multiple, meningitis TB dengan blok subaroknoid.
e. Kontra-indikasi
Infeksi jamur sistemik
f. Efek Samping
Retensi Natrium dan cairan, osteoporosis, hiperpigmentasi, konvulsi,
peningkatan TIK dan TIO, menurunkan toleransi karbohidrat.
47

g. Peringatan dan Perhatian


Katarak, wanita hamil dan laktasi, hipertensi, osteoporosis.
h. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa dan anak ≥ 12 tahun: Umumnya 4-48 mg/hr sebagai dosis tunggal
atau terbagi. Sklerosis 160 mg/hr selama 1 minggu, dilanjutkan 64 mg/hr
selama 1 bulan.

2. Tremenza® tablet
a. Komposisi dan Kekuatan Sediaan
Tiap tablet mengandung Pseudoephedrine HCl 60 mg, Triprolidine HCl
2,5 mg.
b. Nama Dagang
Tremenza® tablet (PT. Sanbe Farma), Pseudofed® tablet (PT. Diamond
Pharma), Lidofrin® tablet (PT. Ultra Medica)
c. Farmakologi
Tremenza® merupakan kombinasi antara Pseuudoefedrin suatu
dekongestan nasal dan Triprolidin suatu antihistamin. Pseudoefedrin
adalah suatu amin simpatomimetik yang bekerja pada alfa-adrenergik
dalam mukosa saluran pernafasan sehingga menghasilkan vasokontriksi.
Triprolidin adalah suatu antihistamin yang bekerja sebagai antagonis
reseptor histamine H1 dalam pengobatan alergi pada sel efektor.
d. Indikasi
Meringankan gejala-gejala flu karena alergi pada saluran pernafasan
bagian atas yang memerlukan dekongestan nasal dan antihistamin.
e. Kontra Indikasi
Hipersensitivitas terhadap obat ini. Penyakit saluran napas bawah
termasuk asma. Pada penderita dengan gejala hipertensi, glaucoma,
diabetes, penyakit arteri koroner dan pada terapi dengan penghambat
monoamine oksidase.
f. Efek Samping
48

Mulut, hidung, dan tenggorokan kering. Dapat menimbulkan efek sedasi,


pusing, gangguan koordinasi, tremor, insomnia, halusinasi, tinnitus.
g. Peringatan dan Perhatian
Ibu hamil dan menyusui, anak < 2 tahun. Mempengaruhi kemampuan
mengemudi/mengoperasika mesin.
h. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa dan anak > 12 tahun 1 tablet 3 x sehari 1 tablet. Anak 6-12 tahun
½ tablet 3 x sehari.
3. Paracetamol
a. Komposisi dan kekuatan obat
Acetaminophen 500 mg
b. Nama dagang

Pamol®, Panadol®, Acetram®, Analtram®


c. Farmakologi
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen. Asetaminofen
(paracetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik
yang sama. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Efek
analgesik paracetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek
sentral seperti salisilat. Efek antiinflamasinya sangat lemah, oleh karena
itu paracetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Paracetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Efek
iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini,
demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa.
d. Indikasi
Paracetamol yang diberikan merupakan obat yang diindikasikan untuk
meringankan rasa nyeri ringan sampai sedang, serta menurunkan demam.
e. Kontraindikasi
Gangguan fungsi hati
f. Efek samping
49

Efek samping jarang terjadi pustulosis exanthematous akut, malaise,


reaksi kulit, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik,
gangguan darah, leucopenia, neutropenia dan trombositopenia.
g. Peringatan dan perhatian
Ketergantungan alkohol: sebelum diberikan periksa terlebih dahulu
kapan terakhir mengonsumsi paracetamol dan dosis kumulatif sebelum
lebih dari 24 jam. Kronik alkoholik, dehidrasi kronik, malnutrisi
kronik dan gangguan fungsi hati.
h. Dosis dan aturan pakai
Dosis: Anak-anak nyeri atau demam: Oral, rektal: Anak-anak <12 tahun:
10-15 mg / kg / dosis setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan; Tidak melebihi 5
dosis (2,6 g) dalam 24 jam.
Dewasa Nyeri atau demam: Oral, rektal: 325-650 mg setiap 4-6 jam atau
1000 mg 3-4 kali / hari; tidak lebih dari 4 g / hari
4. Amoxicillin
a. Komposisi dan kekuatan obat
Amoxicillin 500 mg
b. Nama generik/ nama dagang

Amoxil ®, Amoxillin®, Amoxan®, Arcamox®, Bufamoxi®


c. Farmakologi
Amoxicillin menghambat sintesis dinding sel bankteri dengan
mengikat satu atau lebih protein pengikat penisilin (PBPs) yang mana
dapat menghambat perubahan tahap akhir transpeptidase dari sintesis
peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Akhirnya bakteri mati karena
aktivitas yang terus menerus dari enzim autolitik dinding sel
(autolysins dan murein hydrolases) ketika dinding sel tertahan.
d. Indikasi
Infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, infeksi pneumonia,
salmonellosis dan infeksi pada mulut.
e. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap penisilin. Infeksi mononucleosis.
50

f. Efek samping
Efek samping umum terjadi mual, muntah. Ruam makulopapular
eritematosus, urtikaria, serum sickness, anafilaksis, gangguan GI,
reaksi hematologik.
g. Peringatan dan Perhatian
Hipersensitif terhadap sefalosporin, kerusakan ginjal, leukimia
limfatik, superinfeksi.
h. Dosis dan aturan pakai
Anak 1-11 bulan: 125 mg 3 kali sehari. Meningkat jika perlu sampai 30
mg / kg 3 kali sehari.
Anak 1-4 tahun: 250 mg 3 kali sehari. Meningkat jika perlu sampai 30
mg/ kg 3 kali sehari.
Anak 5-11 tahun: 500 mg 3 kali sehari. Meningkat jika perlu sampai 30
mg / kg 3 kali sehari (maks. Per dosis 1 g).
Anak 12-17 tahun: 500 mg 3 kali sehari. Meningkat jika perlu
sampai 1 g 3 kali sehari, gunakan peningkatan dosis pada infeksi berat.
Dewasa: 500 mg setiap 8 jam, meningkat jika perlu hingga 1 g
setiap 8 jam, dosis meningkat digunakan pada infeksi berat.
5. Vectrin
a. Komposisi
Tiap kapsul mengandung Erdosteine 300 mg.
b. Nama generik/nama dagang
Erdosteine
c. Farmakologi
Erdosteine bekerja dengan memperbaiki karakteristik rheologi dari mukus,
meliputi viskositas, elastisitas, dan komposisi biokimia dari mukus.
Erdosteine memperbaiki rheologi mukus melalui metabolit aktif yang
mengadung gugus SH bebas dengan cara memotong ikatan disulfida dari
glikoprotein mukus.
d. Indikasi
Pengobatan simtomatik eksaserbasi akut
51

e. Kontraindikasi
Sirosis hati dan defisiensi enzim sistationin sintetase, gagal ginjal berat
(bersihan kreatinin < 25 ml/menit), fenilketonuria.
f. Efek samping
S angat jarang : Sakit perut, diare, sakit kepala, mual dan muntah
g. Peringatan dan perhatian
Hamil, laktasi
6. Diazepam
a. Komposisi dan kekuatan obat
Tiap tablet mengandung Diazepam 2 mg
b. Nama generik/ nama dagang
Analsik ®, Danalgin®, Metaneuron®, Neurindo®, Neuropyron®, Neuroval®,
Opineuron®, Potensik®, Prozepam®, Stesolid®, Trazep®, Valdimex®,
Valisanbe®, Vodin® dan Zyparon®.
c. Farmakologi
Benzodiazepine berikatan langsung pada sisi spesifik reseptor GABA A
(reseptor kanal ion klorida kompleks). Ikatan ini akan menyebabkan
pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam
sel, menyebabkan peningkatan potensial elektrik sepanjang membran sel
dan menyebabkan sel sukar tereksitasi.
d. Indikasi
Kejang pada otot dari berbagai etiologi, kejang otot akut, tetanus,
kecemasan, insomnia dan serangan panik akut. Penderita neurotik,
psikosomatik, reumatik dan gangguan otot akibat trauma. Gejala putus
alkohol, status epileptikus, kondisi pra dan pasca operasi.
e. Kontraindikasi
Hindarikan dari suntikan yang mengandung benzil alkohol pada neonatus.
Psikosis kronis (pada orang dewasa), depresi SSP, terganggu jalan nafas,
hiperkinesis, bukan untuk digunakan sendiri untuk mengobati depresi
(atau kegelisahan yang berhubungan dengan epresi) pada orang dewasa
dan depresi pernapasan.
52

f. Dosis
Anak 1-11 bulan: Awalnya 250 mikrogram / kg dua kali sehari
Anak 1-4 tahun: Awalnya 2,5 mg dua kali sehari
Anak 5-11 tahun: Awalnya 5 mg dua kali sehari
Anak 12-17 tahun: Awalnya 10 mg dua kali sehari
Dewasa: 2-15 mg setiap hari dalam dosis terbagi, kemudian meningkat
jika perlu sampai 60 mg setiap hari, disesuaikan menurut respon, dosis
hanya meningkat pada kondisi kejang.
g. Peringatan dan perhatian
Hati-hati pemberian obat ini pada gangguan fungsi hati dan ginjal, pasien
depresi berat dan pasien dengan kelainan darah.
h. Efek smaping
Efek samping yang umum tejadi amnesia, ataksia, kebingungan,
dependensi, mengantuk keesokan harinya, kepala terasa ringan keesokan
harinya, kelemahan otot (BNF, 2015).
7. Sanprima Sirup
a. Komposisi dan Kekuatan Sediaan
Tiap 5 ml mengandung Sulfamethoxazole 400 mg dan Trimethoprim 80
mg.
b. Nama Generik dan/atau Nama Dagang
Sanprima® tablet, Nufaprim®tablet, Sisoprim® tablet.
c. Farmakologi
Cotrimoxazole bekerja dengan menghambat enzim metabolisme asam
folat pada bakteri yang peka.
d. Indikasi
Menagani infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti infeksi paru-paru
(pneumonia), infeksi saluran kemih, infeksi pada pencernaan, infeksi kulit,
infeksi telinga dan infeksi pada saluran pernafasan atas.
e. Kontra Indikasi
Hipersensitivitas terhadap komponen obat, pasien dengan gangguan hati
dan ginjal, wanita hamil dan menyusui.
53

f. Efek Samping
yang umum terjadi seperti mual, muntah, ruam kulit, diare, demam, gatal,
nyeri otot dan persendian.
g. Peringatan dan Perhatian
Wanita yang berencana hamil dan sedang hamil, manula yang menderita
gangguan hati parah, sakit kuning, gangguan ginjal, asma, malagizi,
kekurangan asam folat, serta trombositopenia, pecandu alkohol.
h. Dosis dan Aturan Pakai
Dosis dewasa untuk infeksi saluran pernafasan atas 960 mg setiap 12 jam
dan selama 10-14 hari.
8. Antiza
a. Komposisi
Setiap tablet mengandung paracetamol 500mg, phenylpropanolamine HCl
12,5 mg, chlorpheniramine maleat 1 mg, dextromethorphan HBr 15 mg .
b. Indikasi
Untuk gejala influenza seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat,
bersin disertai batuk.
c. Kontraindikasi
Pasien dengan riwayat hipertensi, kepekaan terhadap obat simptomatik
lain seperti ephedrine, pseudoephedrine, fenileprin dan pasien dengan
menggunakan obat golongan MAO inhibitor.
d. Efek Samping
Pada saluran cerna, seperti mual dan muntah pada dosis tinggi terjadi
pendarahan lambung, sakit kepala, mengantuk.
e. Peringatan dan Perhatian
Hati-hati pada penderita asma dan adanya reaksi alergi seperti ruam, gatal,
sakit tenggorokan.
f. Dosis dan Aturan Pakai
Dosis anak 6-9 tahun 1 sendok teh pada dewasa 1 tablet diberikan 3-4 kali
sehari.
9. Metoklopramid
54

a. Komposisi dan kekuatan sediaan


Setiap Tablet mengandung Metoclorpramide 10 mg
b. Nama dagang
Sotatic®, Damaben®, Piralen® , Opram®
c. Farmakologi
Metoclorpramide bekerja dengan cara memblok reseptor dopamine dan
(ketika diberikan dalam dosis tinggi) juga memblok reseptor serotonin
dalam zona tigger chemoreseptor dari CNS (sistem saraf pusat),
mempertinggi respon terhadap jaringan asetilkolin dalam saluran cerna
atas yang menyebabkan tingginya motilitas dan mempercepat
pengosongan lambung tanpa menstimulasi lambung, atau sekresi pancreas,
meningkatkan nada otot esophageal bagian bawah.
d. Indikasi
Diindikasikan untuk pengobatan simtomatik dari mual dan muntah yang
dihubungkan dengan migraine akut.
e. Kontraindikasi
Perdarahan GI, obstruksi mekanis atau perforasi GI; dikonfirmasi atau
diduga pheochromocytoma; riwayat displasia tardif neuroleptik atau
metoklopramid; epilepsi, penyakit Parkinson; riwayat
methaemoglobinaemia w / metoclopramide atau defisiensi sitokrom-b5
NADH. Dengan menggunakan agonis w / levodopa atau dopaminergik.
f. Efek samping
Gejala ekstrapiramidal (biasanya reaksi dystonic akut); parkinsonisme;
gelisah, kantuk, pusing, gelisah, kebingungan, tremor, halusinasi (jarang);;
hipotensi, gangguan GI, dyspnoea, gangguan penglihatan, frekuensi
kencing dan inkontinensia, sakit kepala; reaksi hipersensitivitas (ruam,
bronkospasme, angioedema); galaktorea atau gangguan terkait; kelainan
darah; Peningkatan konsentrasi plasma-aldosteron secara transien.
g. Peringatan dan Perhatian
Asma, Bradicardia, gangguan konduksi jantung, anak – anak, lanjut usia,
epilepsy, penyakit Parkinson, ketidakseimbangan elektrolit
55

h. Dosis dan aturan pakai


Dewasa 10-15 mg/ dosis sampai 4 kali sehari 30 menit sebelum makan dan
sebelum tidur, tidak direkomendasikan pengobatan lebih dari 12 minggu
10. L.bio
a. Komposisi
Tiap tiap sachet mengandung : Rice starch, maltodextrin, Lactobacillus
acidophilus, Lactobacillus casei, Lactobacillus salivarius, Bifidobacterium
infantis, Bifidobacterium lactis, Bifidobacterium longum, Lactobacillus lactis.
b. Nama dagang
L-Bio, Lacto B
c. Farmakologi
Mengandung probiotik yang dapat menjaga fungsi flora normal pada usus

d. Indikasi

Melindungi sistem pencernaan,membantu menormalkan fungsi GI, menjaga


flora normal usus, dan membantu fungsi fermentasi usus pada bayi

e. Kontraindikasi

Hipersensitifitas

f. Efek samping

Perut terasa kembung dan bergas

g. Peringatan

Pasien diabetes dan hipertensi, pasien yang mengalami hipersensitivitas.

h. Dosis dan aturan pakai

2-3 kali sehari 1 sachet

III.6. Penyiapan Obat


56

A. Obat Racikan
i. Perhitungan Bahan
a) Paracetamol 500 mg sebanyak 2 tablet dari etalase obat.
b) Antiza sebanyak 2 tablet dari etalase obat.
c) Tremenza sebanyak 2 tablet dari etalase obat.
d) Vectrin 300 mg sebanyak 2 tablet dari etalase obat.
e) Amoxicillin 500 mg sebanyak 2 tablet dari etalase obat.
f) Metilprednisolon 4 mg sebanyak 2 tablet dari etalase obat.
g) Diazepam 2 mg sebanyak 2 tablet dari etalase obat.
h) Metoklopramid 10 mg sebanyak 2 tablet dari etalase obat.
j. Cara Peracikan
a) Semua obat disiapkan berdasarkan perhitungan bahan yang dibutuhkan
b) Obat yang telah disiapkan kemudian dimasukkan dalam wadah blender
yang bersih dan diblender hingga homogen.
c) Serbuk homogen tersebut dibagi hingaa sama rata sebanyak 10
bungkus,
d) Setelah selesai, 10 bungkus tersebut dipres menggunakan alat pres dan
dimasukkan ke dalam plastik obat dan diberi etiket berwarna putih
dengan aturan pakai 3 kali sehari 1 bungkus sesudah makan dan
dihabiskan.
B. Obat non Racikan
 Penyiapan
a) Disiapkan L-Bio Pulv sebanyak 10 sachet dan sanprima sirup 60 ml
sebanyak 1 botol
b) Kemudian L-Bio dan sanprima sirup dimasukkan ke dalam plastik obat
lalu diberi etiket putih dengan aturan pakai 2 x sehari, 1 bungkus untuk
L_Bio dan sanprima sirup diberi etiket putih denganaturan pakai 2 x sehari
saru sendok teh (5 ml), kocok dahulu sebelum digunakan dan harus
dihabiskan
III.7. Etiket dan Copy Resep
II.7.1 Etiket
57

1. Etiket untuk obat non racikan

Gambar 7. Etiket untuk R/ pertama

Gambar 8. Etiket untuk R/ ketiga

2. Etiket untuk obat racikan


58

Gambar 9. Etiket untuk R/ kedua


III.7.2 Copy Resep

Gambar 10. Copy resep


59

III.8. Penyerahan Obat


Sebelum menyerahkan obat kepada pasien, apoteker harus kembali
mengecek kesesuaian nama dokter, nama pasien, alamat, umur, obat (bentuk
sediaan, dosis, jumlah obat), aturan pakai dan etiket. Hal ini untuk mencegah
terjadinya kesalahan dalam pemberian obat. Selanjutnya, dilakukan pemberian
informasi obat kepada pasien. Informasi yang diberikan kepada pasien pada saat
penyerahan obat:
1. Sanprima sirup diindikasikan sebagai antibiotik, dengan aturan pakai 2 kali
sehari 1 sendok teh (5 ml) setelah makan pagi dan malam hari, serta obat ini
harus dihabiskan.
2. Obat racikan diindikasikan untuk mengatasi demam, batuk, pilek, hidung
tersumbat. Obat ini diminum 3 kali sehari 1 bungkus setelah makan pagi,
siang dan malam hari
3. L-Bio diindikasikan untuk memperbaiki sistem pencernaan pada bayi, obat
diminum 2 kali sehari 1 sachet. Obat dapat dicampur bersama makanan, susu
atau air putih.
4. Sediaan sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup rapat, di tempat sejuk dan
kering, terlindung dari cahaya, dan jauh dari jangkauan anak-anak
5. Apabila setelah obat habis dan tidak menunjukan perubahan,
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan kembali ke dokter.

6. Apabila terjadi efek samping yang tidak diinginkan hentikan penggunaan obat
dan segera menghubungi dokter.
BAB IV
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan resep yang telah dikaji dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan skrining administratif yang telah dilakukan, didapatkan bahwa
pada resep tersebut tidak memilki paraf dokter, jenis kelamin dan nomor
telepon pasien
60

2. Berdasarkan pertimbangan klinis, adanya penggunaan antibiotik yang tidak


tepat dan interaksi antara obat-obat yang terdapat pada resep yaitu antara
paracetamol dengan diazepam dan metoklopramid
3. Resep yang diberikan diindikasikan untuk mengatasi infeksi saluran napas
dengan gejala demam, batuk, pilek, hidung tersumbat disertai dengan diare.
Semua obat yang diresepkan belum sesuai dengan penyakit yang diderita
pasien.

IV.2 Saran
1. Dari segi administratif resep tersebut, sebaiknya apoteker selalu melakukan
skrining resep terutama untuk obat-obat yang mengandung narkotika, maupun
psikotropik, untuk memastikan kesesuaian dosis maupun keaslian resep.
2. Apoteker senantiasa selalu memberikan pelayanan informasi obat kepada
pasien yang menerima banyak obat (polifarmasi) untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dan meminimalkan resiko
penggunaan obat yang irasional.
DAFTAR PUSTAKA

AHFS, AHFS Drug Information, American Society of Health System Pharmacist,


Betesdha, 2011.

Baxter, Karen. 2010. Stockley Drug Interactions 9th edition. Pharmaceutical Press.
Jakarta.

British National Formulary 61th edition. Pharmaceutical Press. London.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi


Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk


Penyakit Saluran Pernafasan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen PPM dan PLP; 1996 13. Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Pneumonia
Balita. Jakarta : Dirjen PP & PL; 2007
61

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek, Jakarta, 2017.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Jakarta, 2016.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


919/MENKES/PER.X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan
Tanpa Resep, Jakarta, 1993.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan


No.1027/Kep/IX/2004, Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/Kep/IX/2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2004.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No. 2380/A/SK/VI/1983 tentang Tanda Khusus untuk
Obat bebas dan Obat bebas Terbatas. Jakarta. 1993.

DitJen Bina Kefarmasian, 2007, Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas
Terbatas. Departemen Kesehatan RI.

Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007.


Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI .

Medidata. 2017. MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 17. PT. Bhuana Ilmu Populer.
Indonesia.

Lacy, Charles. 2009. Drug Information Handbook. Copyright (c) Lexi-Comp.


2009.Kementrian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9
Tahun 2017 Tentang Apotek. Jakarta. 2017.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SK/VIII/86


tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G. Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.
62

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang


Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi.Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 tentang


Registrasi, Izin praktik, dan Izin kerja Tenaga Kefarmasian.Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun


2017perubahan penggolongan narkotika.Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2017perubahan penggolongan psikotropika golongan II dan IV.Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun


2018perubahan penggolongan narkotika.Jakarta.

Rantucci, M. J. 2010.Komunikasi Apoteker-Pasien. EGC. Jakarta.

Sweetman, S. C.. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36 th Edition.


Pharmaceutical Press. London.

Siregar, C. J. P., Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan, 91-
95, 101-105, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta

Tedjasaputra, Tjahjadi Robert. 2014. Inhealth Gazette 2014. Penerbit PT Asuransi


Jiwa InHealth Indonesia Plaza Setiabudi. Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.


Jakarta.

World Health Organization. 1999. The management of acute respiratory infections


in children : Practical guidelines for outpatient care.

Anda mungkin juga menyukai