o Resep putih merupakan dokumen palsu dan tidak bertanggung jawab sehingga
melanggar kode etik dan UU, seharusnya bila apoteker menyerahkan obat selain OWA,
maka harus berani bertanggung jawab. Keadaan pasien ditanya terlebih dahulu beserta
alasannya.
o Tidak benar karena copi resep ada tulisan pcc (pro copi confirm) artinya sesuai
benarnya/aslinya. Apoteker ini hanya takut peraturannya tapi tidak tau prinsipnya. Menurut
bu Bondan apoteker bisa memberikan judgement profesi (keputusan) karena kita seorang
profesional yang berbasis keilmuan.
o Jadi jika berdasarkan judgement kita amox harus diserahkan maka buat catatan dan
keterangan (tanggal, nama & alamat pasien, dasar pertimbangan, keluhan, nama obat,
dosis, dan jumlah obat, keterangan lain yang jelas, saat penyerahan diberikan informasi dan
konseling) dan dibubuhi tanda tangan apoteker sehingga apoteker tidak perlu membuat
dokumen palsu.
o Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat judgement profesi
yang bisa kita pertanggungjawabkan.
Study kasus 2
Telah terjadi kecelakaan antarmotor di depan
sebuah apotek . Kedua korban mengalami luka-
luka dan salah seorang diantaranya pingsan. Apa
yang seharusnya dilakukan oleh apoteker?
Tindakan :
1. P3K.
2. Beri/sediakan tempat yang nyaman untuk penyelamatan
pasien/korban.
3. Beri minum untuk meringankan syok.
4. Menyiapkankan tenaga.
5. Jika ada dokter/tenaga medisyang kompeten/sesuai serahkan
kepada ahlinya, jika tidak baru apoteker turun tangan.
6. Jadi, kita harus bisa menempatkan diri, saat kapan kita turun
langsung untuk mengambil tindakan.
7. Jangan mencari celah untuk mencari keuntungan/jasa
profesi/memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Study kasus 3
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada
pasien anak kecil kejang yang diantar oleh orang tuanya ke
rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut
kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam
perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek
untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut.
Dokter praktek sudah tidak ada dan apoteker S harus
mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya.
Dengan pertimbangan keilmuannya, apoteker S memberikan
valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu sehingga kejangnya
mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke
rumah sakit terdekat.
Kesimpulan :
• Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009
pasal 24 ayat c, tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran
dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian karena memberikan obat
Valisanbe rectal yang isinya adalah Diazepam yang termasuk dalam
golongan psikotropika.
• Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena
keadaan anak tersebut dalam kondisi darurat yang memerlukan
penanganan secepatnya (UU 36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1 dan pasal
53 ayat 3).
• Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan
kemanusiaan serta dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang
farmasi yang dimilikinya.
Study kasus 4
Apoteker B mengelola apotek yang cukup ramai. Suatu
saat, ia menerima resep racikan berisi campuran 2 tube
salep masing-masing 5 gram. Di apotek tersebut tersedia
salep dimaksud 10 gram. Salep racikan tetap dibuat
namun dengan pertimbangan bahwa separo dari
persediaan nanti tidak dapat digunakan (kecuali ada
resep yang sejenis maka apoteker B menggunakan salep
sesuai resep) tetapi harga menggunakan salep 10 gram.
Apoteker B telah merugikan pasien karena pasien harus membayar obat lebih
mahal dari yang diterimanya.
Disini memang terjadi dilema. Disatu sisi resep minta misalnya setengah tube. Jika
dibayar Cuma setengah, apotik rugi . Kalau dibayar 1 tube, padahal resep minta
hanya setengah tube.
jadi, solusi:
• Racik obat sesuai dengan resep, lalu komunikasikan kepada pasien, resep
dibuat sekian tapi harga tetap 1 tube, sisanya bisa pasien bawa, nanti kalau
ada resep serupa bawa aja lagi tubenya jadi ntar gag perlu bayar lagi dengan
catatan penyimpanannya benar dan belum ED. Cara menghitung ED obat
campuran racik lihat ED obat paling pendek trus ED campuran adalah ½ dari
ED terpendek tadi. Walaupun ini perkiraan si, sulit ditentukan secara pasti
soalnya. Biasanya si kalau salep steril ED kira-kira 2 bulan setelah dibuka, kalua
tetes mata steril githu sekitar 1 bulan setelah dibuka.
Study kasus 5
Karena suatu kondisi (stok kosong) obat X, yang diminta dalam resep
tidak dapat dilayani. Setelah di cek ternyata IFRS mempunyai obat Y
yang kandungannya sama dari pabrik lain. Harga obat pengganti
memang lebih mahal, tetapi dengan pertimbangan agar pasien segera
dapat dilayani, tidak ada pasien yang membeli obat di luar RS dan
efisiensi perputaran stok di IFRS, Apoteker segera memberikan obat Y
tersebut. Setelah menerima obatnya, pasien yang bersangkutan minta
dibuatkan kopi resep, namun Apoteker keberatan karena resep sudah
ditebus semua. Namun karena pasien terus mendesak akhirnya
Apoteker membuatkan kopi resep dan menuliskan obat Y, sesuai obat
yang diterima pasien pada kopi resep tersebut.
Kesimpulan dan Penyelesaian :
• Apoteker mengganti merek obat dengan harga yang lebih mahal
tanpa konfirmasi kepada pasien itu tidak boleh. Harusnya
sampaikan kepada pasien alasan dan rekomendasi bahwa beda
tapi sama isinya.
• Apoteker ganti obat dengan harga lebih mahal tanpa
konfirmasi itu Salah, harusnya konfirmasi dulu ke pasien.
• Sebaiknya Apoteker melakukan konfirmasi kepada dokter
penulis resep dan menghimbau untuk mematuhi formularium
rumah sakit.
• Apoteker tidak bersedia membuat kopi resep itu salah (copi
resep adalah hak pasien).