Anda di halaman 1dari 11

Nama : Rizki Amalia Arifiani

NIM : 051711133037

Kelas :B

Kelompok : BK-15

Topik : Label HA dan LASA


a. Pengertian
b. Penyebab dan Tujuan
c. Ketentuan Penanganan Obat HA dan LASA
d. Contoh Obat Golongan HA dan LASA

A. PENGERTIAN
1. High-alert Medication (HA)

High-alert medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering


menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan Obat yang berisiko
tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).1

Sentinel event adalah suatu keadaan tak diharapkan yang menyebabkan kematian
atau cedera fisik atau psikologis serius, atau resiko daripadanya. 2 Sedangkan, Reaksi Obat
yang Tidak Diinginkan (ROTD) adalah respons terhadap obat yang membahayakan atau
tidak diharapkan yang terjadi pada dosis lazim dan dipakai oleh manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis maupun terapi.3

Berdasarkan Permenkes No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di


Rumah Sakit, kelompok Obat high-alert di antaranya:

a) Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan
Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
Obat LASA adalah obat-obat yang secara visual serupa dalam penampilan fisik atau
kemasan serta nama obat yang memiliki kesamaan ejaan dan/atau fonetik serupa.4

1
Kementerian Kesehatan RI, Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit, Bab II.
2
The Joint Commission. 2013. Comprehensive Accreditation Manual for Hospitals.
3
WHO. 1972. International Drug Monitoring: The Role of National Centres. Technical Report Series WHO: no
498.
4
Pharmaceutical Services Division, Ministry of Health Malaysia. 2012. Guide on Handling Look Alike, Sound
Alike Medications
Obat LASA dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
1) Obat dengan rupa mirip (Look alike)
 Obat yang bentuk sediaan sama namun berbeda dosis. Contoh: Captropil 25 mg
tablet dan Captropil 12,5 mg tablet

 Obat yang berbeda namun kemasan/penampilan luarnya sama. Contoh: Vometa


tablet dan Rhinofed tablet

2) Obat dengan pengucapan nama mirip (Sound alike)


 TIPE A, obat yang sama namun bentuk sediaan berbeda. Contoh: Levofloxacin
500 mg tablet dan Levofloxacin infus.

 TIPE B, obat yang berbeda namun pengucapan nama mirip. Contoh: Vometa
tablet dan Vomitas tablet
b) Elektrolit konsentrasi tinggi
Misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida
lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat.
c) Obat-Obat sitostatika.
Sitostatika yaitu golongan obat yang mempunyai khasiat dapat membunuh sel-sel
jaringan hidup yang sekarang sangat terkenal dan digunakan untuk mengobati penyakit
kanker.5

5
Widjajanti, V. Nuraini. 1991. Obat-obatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 19
Menurut High Alert Medications Policy University of Toledo, kelompok obat yang termasuk
high-alert medications antara lain:
a) Opiat
b) Larutan elektrolit konsentrat (garam potassium klorida dan fosfat, garam hipertonik,
magnesium sulfat, dan garam kalsium)
c) Agen kemotrapi
d) Antikoagulan
e) Insulin
f) Total Parenteral Nutrition (TPN)
g) Obat LASA (Look Alike and Sound Alike)

B. PENYEBAB DAN TUJUAN


1. Penyebab Penggolongan Obat HA/LASA

Keselamatan pasien didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mencegah terjadinya


bahaya atau cedera pada pasien selama proses pengobatan. Kejadian medication error
merupakan salah satu ukuran pencapaian keselamatan pasien. Medication error adalah
kejadian yang merugikan pasien akibat kesalahan pemakaian obat selama perawatan,
yang sebenarnya dapat dicegah. Hasil dari berbagai studi membuktikan bahwa
medication error terjadi di berbagai tahap penggunaan obat, dari proses penggunaan obat
mulai dari peresepan (1,5%-15%), dispensing oleh farmasi (2,1%-11%), pemberian obat
kepada pasien (5%-19%), dan ketika pasien menggunakan obat.6 Melihat besarnya
presentase kesalahan pada fase dispensing obat, diperlukan suatu strategi untuk menekan
angka tersebut, salah satu caranya adalah label HA dan LASA. Adapun penyebab lainnya
sebagai berikut.

a) Tulisan tangan dokter yang sulit terbaca, sehingga menimbulkan potensi kesalahan
pembacaan
b) Kurangnya pengetahuan apoteker terhadap nama obat
c) Tersedia banyak produk obat baru yang dipasarkan sehingga dapat memungkinkan
pelabelan dan kemasan beberapa obat terlihat mirip
d) Dosis, sediaan, dan frekuensi administrasi yang mirip
e) Penggunaan klinis yang mirip

6
Tajuddin, Rusmi Sari, dkk. Faktor Penyebab Medication Errors di Instalasi Gawat Darurat. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan Vol. 15 Desember 2012, hal. 182-187
2. Tujuan Penggolongan Obat HA/LASA

Untuk mengurangi kebingungan tersebut, digunakan penggolongan obat HA dan LASA


yang memiliki tujuan sebagai berikut:

a) Mengurangi kebingungan apoteker dalam menghadapi obat dengan rupa dan ucapan
mirip
b) Mengurangi risiko terjadinya medication error berkaitan dengan dispensing obat
c) Menjamin kemanan penggunaan obat oleh pasien agar menghasilkan outcomes yang
diharapkan
d) Meningkatkan keselamatan pasien
e) Meningkatkan mutu pelayanan apotek/rumah sakit

C. KETENTUAN PENANGANAN OBAT HA DAN LASA

1. Pengadaan

a) Meminimalisir ketersediaan obat dengan dosis yang beragam


b) Apabila memungkinkan, menghindari pengadaan obat dengan kemasan dan tampilan
yang mirip.
2. Penyimpanan
a) Menggunakan Tall Man lettering untuk memperjelas perbedaan pada obat dengan
pengucapan nama yang serupa. Tall Man lettering adalah teknik menulis nama obat
dengan huruf capital untuk membedakan obat LASA. The Institute for Safe
Medication Practices (ISMP), US Food and Drug Administration (FDA), The Joint
Commission dan organisasi serupa lainnya telah mempromosikan penggunaan Tall
Man lettering sebagai salah satu cara untuk mengurangi kebingungan akibat nama
obat yang serupa.
b) Menggunakan label peringatan untuk obat high alert khusunya obat dengan tampilan
yang serupa (LASA). Label dibuat dengan bentuk, warna, dan tulisan yang mencolok
sehingga memudahkan untuk dilihat secara cepat.

c) Meletakkan obat LASA terpisah dari pasangan LASA-nya. Apabila memungkinkan,


menghindari peletakkan produk pada tempat yang berdekatan satu sama lain.

3. Cara Menghindari Medication Error

Dalam menghindari medication error yang berkaitan dengan obat HA


khususnya LASA, ada dua unsur yang berperan penting, yaitu apoteker dan produsen.

Peran apoteker:

a) Nama dan informasi penting obat harus dieja dan dilakukan berulang-ulang
(double-check) untuk meyakinkan bahwa yang diambil adalah obat yang benar
b) Tentukan tujuan penggunaan obat sebelum diberikan kepada pasien. Banyak
produk dengan tampilan dan pengucapan nama yang serupa namun berbeda tujuan
penggunaannya
c) Meletakkan obat LASA pada tempat yang berbeda dan tidak berdekatan
d) Menambahkan label peringatan HA/LASA agar dapat berhati-hati
e) Menghindari penerimaan resep secara lisan atau telepon. Apabila terpaksa,
pastikan untuk mengeja nama obat dan dosisnya.

Peran produsen:

a) Meningkatkan keterbacaan label dan kemasan obat.


b) Mengurangi kekacauan pada kemasan
c) Menggunakan warna dengan pola background atau border yang memiliki ciri khas
d) Menyediakan label dua sisi
e) Memastikan kontrasnya nama obat, dosis dan informasi rute pemakaian pada
kemasan
f) Menggunakan tipe tulisan dengan ukuran besar dan kecil untuk mempermudah
pembedaan nama obat

D. CONTOH OBAT GOLONGAN HA DAN LASA

Berdasarkan daftar obat-obatan yang disebutkan pada Pemicu 2, ada beberapa obat
yang digolongkan sebagai obat LASA:

1. Glimepiride 1 mg tablet dan Glimepiride 2 mg tablet

Kedua obat di atas merupakan jenis obat yang sama, tetapi berbeda pada
dosis. Apabila dilihat secara sekilas, baik kemasan primer maupun sekunder dari
kedua obat tersebut mirip. Perbedaannya hanya pada warna garis dan tulisan “Tablet
1 mg/Tablet 2 mg”. Hal ini sangat perlu diperhatikan oleh para apoteker, karena bisa
saja mengambil obat dengan dosis yang salah. Apalagi Glimepiride merupakan obat
keras untuk penderita diabetes yang berfungsi untuk menurunkan kadar gula darah.
Apabila terjadi salah dosis (underdose atau overdose), maka akan langsung
berdampak pada kondisi kesehatan pasien.

Perlu diketahui, selain tersedia dalam dosis 1 mg dan 2 mg, Glimepiride juga
ada yang memiliki dosis 3 mg dan 4 mg. Apabila dalam suatu apotek terdapat
Glimepiride dengan empat dosis yang berbeda, maka dalam pengambilan obatnya
harus sangat berhati-hati dan dilakukan double check untuk mengurangi error.

2. Fentanyl injeksi

Fentanyl merupakan golongan obat high-alert karena termasuk ke dalam


senyawa opioid (narkotika golongan II). Sedikit saja kesalahan dalam pemakaian
obat ini akan berakibat fatal bagi kondisi kesehatan seseorang.
3. Cefspan 100 mg kapsul dan Cefspan 200 mg kapsul

Kedua obat di atas merupakan jenis obat yang sama, tetapi berbeda pada
dosis. Apabila dilihat secara sekilas, baik kemasan primer maupun sekunder dari
kedua obat tersebut mirip. Perbedaannya hanya pada warna kotak dan tulisan
“100/200”. Hal ini sangat perlu diperhatikan oleh para apoteker, karena bisa saja
mengambil obat dengan dosis yang salah. Apalagi Cefspan merupakan obat keras
golongan antibiotika sebagai pembunuh bakteri. Apabila terjadi salah dosis
(underdose atau overdose), maka akan langsung berdampak pada kondisi kesehatan
pasien.

4. Codein 20 mg tablet

Codein 20 mg tablet termasuk ke dalam obat high-alert karena merupakan


narkotika golongan III yang sangat berbahaya apabila terjadi kesalahan pemakaian dan
dosis.
5. Clobazam 10 mg tablet

Clobazam 10 mg tablet termasuk ke dalam obat high-alert karena merupakan


psikotropika yang berbahaya apabila terjadi kesalahan pemakaian dan dosis, serta dapat
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

6. Cataflam 50 mg tablet dan Cataflam D 50 mg tablet

Kedua obat di atas merupakan jenis obat yang kelas terapinya sama yaitu anti
inflamasi golongan nonsteroidal (Nonsteroidal Anti-Inflamatory Drug/NSAID).
Cataflam 50 mg merupakan kalium diklofenak, sediaannya berupa tablet biasa,
sedangkan Cataflam D 50 mg sediaannya berupa tablet dispersible dan mengandung
46,5 mg diklofenak asam bebas yang setara dengan 50 mg kalium diklofenak.
Karena berupa tablet dispersible, maka diminum dengan cara dilarutkan terlebih
dahulu. Larutannya akan cepat terserap sehingga lebih cepat menghilangkan nyeri
dibandingkan obat lain yang sejenis.7

Apabila dilihat secara sekilas, baik kemasan primer maupun sekunder dari
kedua obat tersebut sangat mirip. Perbedaannya hanya pada warna tulisan “D50 mg”
pada Cataflam D. Hal ini sangat perlu diperhatikan oleh para apoteker, karena bisa
saja mengambil obat yang salah. Cataflam 50 mg tidak boleh digunakan oleh anak-
anak, sedangkan Cataflam D 50 masih diperbolehkan. Sehingga apabila terjadi salah
pengambilan, maka akan berdampak pada kondisi kesehatan pasien.

7. Braxidin tablet

Braxidin 10 mg tablet menurut BPOM merupakan obat keras. Namun, salah


satu kandungan dari Braxidin yaitu Chlordiazepoxide merupakan senyawa aktif
golongan psikotropika. Maka, kami menyimpulkan bahwa obat ini termasuk ke
dalam obat high-alert karena merupakan psikotropika yang berbahaya apabila terjadi
kesalahan pemakaian dan dosis, serta dapat menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.

7
Barber, Paul, and Deborah Robertson. 2009. Essentials of Pharmacology for Nurses 2nd Edition. New York:
The McGraw Hills. Page 42.
DAFTAR PUSTAKA

The Joint Commission. 2013. Comprehensive Accreditation Manual for Hospitals.


WHO. 1972. International Drug Monitoring: The Role of National Centres. Technical Report
Series WHO: no 498.

Pharmaceutical Services Division, Ministry of Health Malaysia. 2012. Guide on Handling


Look Alike, Sound Alike Medications

Barber, Paul, and Deborah Robertson. 2009. Essentials of Pharmacology for Nurses 2nd
Edition. New York: The McGraw Hills. Page 42.

Smith, Karen E, and Sharon Murphy Enright. 2005. Chapter 102: Providing a Framework for
Ensuring Medication Use Safety in Remington: The Science and Practice of. Pharmacy 21st
Edition, Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Widjajanti, V. Nuraini. 1991. Obat-obatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 19

Tajuddin, Rusmi Sari, dkk. Faktor Penyebab Medication Errors di Instalasi Gawat Darurat.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 15 Desember 2012, hal. 182-187

Kementerian Kesehatan RI, Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Bab II.

Hospital Administration University of Toledo. 2017. High Alert Medications Policy. Toledo,
Spain.

Anda mungkin juga menyukai