Anda di halaman 1dari 17

KELAS : II.

B
KELOMPOK :
• HESLI (PO713251161054)
• ANDI SUDIRMAN (PO713251161058)
• AFNITASARI (PO713251161062)
• NOVA NURDIANTI (PO713251161070)
• RAHMAT (PO713251161076)
• RESKI RAMADANI (PO713251161078)
• RUSNIATI (PO713251161085)
• SULWESTI (PO713251161095)
STUDY KASUS DI
APOTEK
Apa itu APOTEK ?

Menurut Permenkes RI No 35 tahun 2014 tentang Standar


Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apotek adalah suatu sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker.
Sediaan farmasi meliputi obat, bahan obat, obat alat kesehatan dan
kosmetik. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang
diperlukan untuk menyelanggarakan upaya kesehatan. Untuk itu apotek
sebagai alat distribusi dan penyaluran perbekalan farmasi kepada
masyarakat, harus mampu menyediakan pelayanan kefarmasian yang
memadai dan terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Tugas dan Fungsi APOTEK

– Sebagai tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah


mengucapkan sumpah jabatan.
– Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan,
pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan
obat.
– Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan
obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
– Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya
kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan
pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya, dan mutu obat.
Peran APOTEK
Apotek berperan sebagai tempat untuk mengelola perbekalan farmasi di
apotek, pengelolaan perbekalan farmasi diapotek meliputi:
1. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,
penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.
2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan
farmasi lainnya.
3. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi diantaranya:
• Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi diberikan baik
kepada Dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.
• Pengalaman dan pelaporan informasi mengenai khasiat,keamanan, bahaya
suatu obat dan perbekalan farmasi lainnya. Pelayanan informasi tersebut
diatas wajib didasarkan kepada kepentingan masyarakat. Tanggung jawab
pengelolaan ini secara penuh diberikan kepada Apoteker.
APOTEK harus memiliki :
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien
2. Tempat unt memberi informasi bagi pasien, termasuk
penempatan brosur/materi informasi.
3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi
dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan
medikasi pasien.
4. Ruang racikan
5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.
6. Perabotan harus tertata rapi, lengkap dgn rak-rak penyimpanan
obat & barang2 lain yg tersusun rapi, terlindung dari debu,
kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada
kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan
Study kasus 1
Apotek menjual antibiotik secara bebas tanpa resep
misal Amox adalah obat yang tidak termasuk OWA, tetapi
banyak pasien minta amox tanpa resep dokter. Apotek A
tetap melayani. Sehingga untuk mengantisipasi jika diperiksa
oleh Dinkes & POM, agar tidak ketahuan maka apoteker di
apotek tersebut membuat copi resep sendiri ‘resep putih’
untuk melegalkan transaksi.
Kesimpulan dan penyelesaian :

o Resep putih merupakan dokumen palsu dan tidak bertanggung jawab sehingga
melanggar kode etik dan UU, seharusnya bila apoteker menyerahkan obat selain
OWA, maka harus berani bertanggung jawab. Keadaan pasien ditanya terlebih
dahulu beserta alasannya.
o Tidak benar karena copi resep ada tulisan pcc (pro copi confirm) artinya sesuai
benarnya/aslinya. Apoteker ini hanya takut peraturannya tapi tidak tau prinsipnya.
Menurut bu Bondan apoteker bisa memberikan judgement profesi (keputusan)
karena kita seorang profesional yang berbasis keilmuan.
o Jadi jika berdasarkan judgement kita amox harus diserahkan maka buat catatan
dan keterangan (tanggal, nama & alamat pasien, dasar pertimbangan, keluhan,
nama obat, dosis, dan jumlah obat, keterangan lain yang jelas, saat penyerahan
diberikan informasi dan konseling) dan dibubuhi tanda tangan apoteker sehingga
apoteker tidak perlu membuat dokumen palsu.
o Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat
judgement profesi yang bisa kita pertanggungjawabkan.
Study kasus 2

Telah terjadi kecelakaan antarmotor di depan sebuah


apotek . Kedua korban mengalami luka-luka dan salah
seorang diantaranya pingsan. Apa yang seharusnya dilakukan
oleh apoteker?
Tindakan :

1. P3K.
2. Beri/sediakan tempat yang nyaman untuk penyelamatan
pasien/korban.
3. Beri minum untuk meringankan syok.
4. Menyiapkankan tenaga.
5. Jika ada dokter/tenaga medisyang kompeten/sesuai serahkan kepada
ahlinya, jika tidak baru apoteker turun tangan.
6. Jadi, kita harus bisa menempatkan diri, saat kapan kita turun
langsung untuk mengambil tindakan.
7. Jangan mencari celah untuk mencari keuntungan/jasa
profesi/memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Study kasus 3
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil
kejang yang diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah
sakit anak tersebut kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan
ke rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek untuk minta tolong pengobatan
darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan apoteker S harus
mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan
keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke
rumah sakit terdekat.
Kesimpulan :

– Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24
ayat c, tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya
adalah Diazepam yang termasuk dalam golongan psikotropika.
– Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak
tersebut dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU
36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1 dan pasal 53 ayat 3).
– Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan kemanusiaan
serta dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang
dimilikinya.
Study kasus 4

Apoteker B mengelola apotek yang cukup


ramai. Suatu saat, ia menerima resep racikan berisi
campuran 2 tube salep masing-masing 5 gram. Di
apotek tersebut tersedia salep dimaksud 10 gram.
Salep racikan tetap dibuat namun dengan
pertimbangan bahwa separo dari persediaan nanti
tidak dapat digunakan (kecuali ada resep yang
sejenis maka apoteker B menggunakan salep sesuai
resep) tetapi harga menggunakan salep 10 gram.
Apoteker B telah merugikan pasien karena pasien harus membayar obat
lebih mahal dari yang diterimanya.
Disini memang terjadi dilema. Disatu sisi resep minta misalnya setengah tube.
Jika dibayar Cuma setengah, apotik rugi . Kalau dibayar 1 tube, padahal resep
minta hanya setengah tube.
jadi, solusi:
– Racik obat sesuai dengan resep, lalu komunikasikan kepada pasien, resep
dibuat sekian tapi harga tetap 1 tube, sisanya bisa pasien bawa, nanti kalau
ada resep serupa bawa aja lagi tubenya jadi ntar gag perlu bayar lagi dengan
catatan penyimpanannya benar dan belum ED. Cara menghitung ED obat
campuran racik lihat ED obat paling pendek trus ED campuran adalah ½
dari ED terpendek tadi. Walaupun ini perkiraan si, sulit ditentukan secara
pasti soalnya. Biasanya si kalau salep steril ED kira-kira 2 bulan setelah
dibuka, kalua tetes mata steril githu sekitar 1 bulan setelah dibuka.
Study kasus 5
Karena suatu kondisi (stok kosong) obat X, yang diminta dalam resep
tidak dapat dilayani. Setelah di cek ternyata IFRS mempunyai obat Y yang
kandungannya sama dari pabrik lain. Harga obat pengganti memang lebih
mahal, tetapi dengan pertimbangan agar pasien segera dapat dilayani, tidak ada
pasien yang membeli obat di luar RS dan efisiensi perputaran stok di
IFRS, Apoteker segera memberikan obat Y tersebut. Setelah menerima
obatnya, pasien yang bersangkutan minta dibuatkan kopi resep, namun
Apoteker keberatan karena resep sudah ditebus semua. Namun karena pasien
terus mendesak akhirnya Apoteker membuatkan kopi resep dan menuliskan
obat Y, sesuai obat yang diterima pasien pada kopi resep tersebut.
Kesimpulan dan Penyelesaian :

– Apoteker mengganti merek obat dengan harga yang lebih mahal tanpa konfirmasi
kepada pasien itu tidak boleh. Harusnya sampaikan kepada pasien alasan dan
rekomendasi bahwa beda tapi sama isinya.

– Apoteker ganti obat dengan harga lebih mahal tanpa konfirmasi itu Salah,
harusnya konfirmasi dulu ke pasien.

– Sebaiknya Apoteker melakukan konfirmasi kepada dokter penulis resep dan


menghimbau untuk mematuhi formularium rumah sakit.

– Apoteker tidak bersedia membuat kopi resep itu salah (copi resep adalah hak
pasien).

Anda mungkin juga menyukai