B
KELOMPOK :
• HESLI (PO713251161054)
• ANDI SUDIRMAN (PO713251161058)
• AFNITASARI (PO713251161062)
• NOVA NURDIANTI (PO713251161070)
• RAHMAT (PO713251161076)
• RESKI RAMADANI (PO713251161078)
• RUSNIATI (PO713251161085)
• SULWESTI (PO713251161095)
STUDY KASUS DI
APOTEK
Apa itu APOTEK ?
o Resep putih merupakan dokumen palsu dan tidak bertanggung jawab sehingga
melanggar kode etik dan UU, seharusnya bila apoteker menyerahkan obat selain
OWA, maka harus berani bertanggung jawab. Keadaan pasien ditanya terlebih
dahulu beserta alasannya.
o Tidak benar karena copi resep ada tulisan pcc (pro copi confirm) artinya sesuai
benarnya/aslinya. Apoteker ini hanya takut peraturannya tapi tidak tau prinsipnya.
Menurut bu Bondan apoteker bisa memberikan judgement profesi (keputusan)
karena kita seorang profesional yang berbasis keilmuan.
o Jadi jika berdasarkan judgement kita amox harus diserahkan maka buat catatan
dan keterangan (tanggal, nama & alamat pasien, dasar pertimbangan, keluhan,
nama obat, dosis, dan jumlah obat, keterangan lain yang jelas, saat penyerahan
diberikan informasi dan konseling) dan dibubuhi tanda tangan apoteker sehingga
apoteker tidak perlu membuat dokumen palsu.
o Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat
judgement profesi yang bisa kita pertanggungjawabkan.
Study kasus 2
1. P3K.
2. Beri/sediakan tempat yang nyaman untuk penyelamatan
pasien/korban.
3. Beri minum untuk meringankan syok.
4. Menyiapkankan tenaga.
5. Jika ada dokter/tenaga medisyang kompeten/sesuai serahkan kepada
ahlinya, jika tidak baru apoteker turun tangan.
6. Jadi, kita harus bisa menempatkan diri, saat kapan kita turun
langsung untuk mengambil tindakan.
7. Jangan mencari celah untuk mencari keuntungan/jasa
profesi/memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Study kasus 3
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil
kejang yang diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah
sakit anak tersebut kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan
ke rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek untuk minta tolong pengobatan
darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan apoteker S harus
mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan
keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke
rumah sakit terdekat.
Kesimpulan :
– Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24
ayat c, tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya
adalah Diazepam yang termasuk dalam golongan psikotropika.
– Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak
tersebut dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU
36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1 dan pasal 53 ayat 3).
– Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan kemanusiaan
serta dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang
dimilikinya.
Study kasus 4
– Apoteker mengganti merek obat dengan harga yang lebih mahal tanpa konfirmasi
kepada pasien itu tidak boleh. Harusnya sampaikan kepada pasien alasan dan
rekomendasi bahwa beda tapi sama isinya.
– Apoteker ganti obat dengan harga lebih mahal tanpa konfirmasi itu Salah,
harusnya konfirmasi dulu ke pasien.
– Apoteker tidak bersedia membuat kopi resep itu salah (copi resep adalah hak
pasien).