Anda di halaman 1dari 15

1.

KASUS I
Pada Tahun 2012 seorang apoteker bernama Yuli diganjar hukuman 4 bulan
penjara oleh Pengadilan Negeri Semarang. Hukuman diberikan oleh karena
Yuli dilaporkan oleh Pemilik Sarana Apotek (PSA) tempat Yuli bekerja dengan
tuduhan pencurian dan penggelapan. Kasus tersebut bermula adanya
kejanggalan perihal stok obat di apotek termasuk obat golongan keras,
psikotropik, dan narkotik. Yuli menganggap adanya kecurangan PSA yang
melakukan pemesanan obat tersebut tanpa sepengetahuannya. Yuli kemudian
berinisiatif melaporakan kejadian tersebut ke Dinkes Kota Semarang. Yuli
melakukan pengunduran diri setelah adanya kasus tersebut dan mengembalikan
Surat Ijin Apotek (SIA) serta menitipkan obat psikotropik dan narkotik ke
Dinkes untuk mengamankan agar tidak disalahgunakan. PSA kemudian
melaporkan Yuli ke polisi dengan tuduhan pencurian dan penggelapan.
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor. Reg. Perk : PDM-134/
Semar/Epp.2/3/2012
Pasal 374
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap
barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau
karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.”

Keterangan Penuntut
 Terdakwa (apoteker Yuli) membawa obat-obat narkotika dan psikotropika
keluar dari apotik tanpa persetujuan saksi pemilik sarana apotik (PSA) lalu
menyerahkannya kepada kantor Dinas Kesehatan Kota Semarang untuk
disimpan
 Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, pemilik sarana apotik (PSA)
mengalami kerugian ditaksir sekitar Rp 2.213.675,- ( dua juta dua ratus tiga
belas ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah)
Keteragan Saksi Ahli
Sebelumnya perlu diingat, bahwa dalam menjalankan profesinya, apoteker
dilindungi oleh beberapa peraturan, yaitu undang-undang kesehatan no. 36
tahun 2009, PP. 51 tahun 2009 mengenai pekerjaan kefarmasian, undang-
undang narkotika dan undang undang psikotropika. Pengamanan sediaan
psikotropika yang dilakukan oleh Apoteker Yuli ke Dinas Kesehatan
Semarang, demi keamanan agar tidak terjadi penyalahgunaan adalah suatu
kewenangan bagi Apoteker. Hal ini jelas tertera pada pasal 108 Undang-
undang kesehatan no. 36 tahun 2009 ayat 1 : “Praktik kefaramasian yang
meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,”
Dijelaskan adalam penjelasan ayat 1, tenaga kesehatan yang dimaksud
dalam pasal tersebut adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya. Ketika tenaga kefarmasian tidak ada, maka tenaga kesehatan
tertentu dapat melakukan praktek kefarmasian secara terbatas.
Pada PP. 51 tahun 2009, juga dipaparkan mengenai penjelasan tenaga
kefarmasian, bahwa Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Asisten
Apoteker. Dalam hal ini jelas, bahwa pihak-pihak diluar Apoteker dan Asisten
Apoteker bukanlah tenaga kefarmasian, dan sudah pasti tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
Pada pasal 25 PP 51 tahun 2009, dipaparkan tiga point mengenai
kerjasama Apoteker dan pemilik modal dalam pendirian Apotek:
(1) Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan atau modal
dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik
modal, maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya
oleh Apoteker yang bersangkutan.
(3) Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimakasid ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Yuli sebagai Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik modal telah
melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan wewenangnya, berdasarkan
undang-undang kesehatan, yang salah satunya adalah mengamankan sediaan
farmasi.
Dilihat dari Kasus Yuli, tentu vonis yang diterimanya kurungan selama 4
bulan adalah bentuk ketidak adilan. Hal ini dikarenakan setelah dipelajari oleh
bagian etik profesi, Dinas kesehatan dan BPOM, apa yang dilakukan Yuli
adalah sesuai dengan kewenangannya. Tidak tepat menjerat Yuli dengan pasal
374 KUHP.
 Bahwa hal ini sudah Terdakwa sampaikan ke Asisten Apoteker bahwa akan
mengembalikan SIA dan mengamankan sediaan narkotika dan psikotropika,
lalu dibuat inventarisasi sedian tersebut kemudian membuat Surat Perintah
jalan Ke DKK. Surat Perintah Jalan untuk Obat Keras ini diatur dalam pasal
5 ayat (1) dan (2) UU Obat Keras:
(1). Pemasukan, Pengeluaran, Pengangkutan bahan- bahan G. dilarang,
terkecuali dalam jumlah yang sedemikian rupa sehingga secara normal
dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakaian
pribadi.
(2). Larangan ini tidak berlaku jika tindakan ini dijalankan oleh pemerintah
atau Pedagang-pedagang besar yang diakui atau oleh Apoteker-
apoteker, Dokter-dokter yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.
 Bahwa pelaporan dan pengamanan sediaan narkotika dan psikotropika
tanpa pemberitahuan kepada PSA, karena aspek kewenangan sepenuhnya
ada pada apoteker sesuai PP No. 51 Th. 2009 pasal 1 ayat (1) :
(1). Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional.
 Bahwa mengapa disimpan di Dinas Kesehatan Kota karena Terdakwa tidak
ingin mendapat resiko, dan merasa aman di DKK. Dan hal ini sudah
dikonsultasikan dahulu.
 Bahwa hal ini tidak merugikan pemilik karena merupakan kewenangan
apoteker sesuai aturan PP 51.
 Bahwa Terdakwa tidak melanggar kode etik apoteker, itu sudah aturan ;
Sesuai pasal 50 ayat 1 KUHP, “Seseorang tidak bisa dihukum karena
kewajiban perbuatan dari pekerjaannya".
 Bahwa Apotik ditutup karena tidak ada apoteker dengan alasan apoteker
tidak mau kerjasama lagi dengan alasan sering terjadi pelanggaran yang
dilakukan PSA. Sering terjadi pemalsuan resep dimana obat A diganti obat
generik tetapi dengan harga obat A, pengeluaran obat psikotropik dimana
apoteker tidak merasa membeli jenis obat tersebut, Apoteker menemukan
kejanggalan lagi pada resep psikotropika, dimana resep yang jumlahnya 10,
diganti menjadi 20 oleh Asisten Apoteker yang diminta oleh PSA.
 Bahwa dengan adanya pelanggaran, dilakukan mediasi dengan kesepakatan
untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Tetapi ternyata ada pelanggaran
lagi, bahwa atas keterangan Asisten Apoteker apotek masih melayani resep
setelah disegel.
 Bahwa Terdakwa pernah ajukan laporan ke IAI yang meminta
perlindungan. Dari bukti yang ada, dari rapat Majelis Etis, tidak
diketemukan pelanggaran, maka kemudian majelis profesi yang
menyimpulkan : tidak ditemukan pelanggaran etika, pelanggaran. Jadi
tindakan yang dilakukan terdakwa sudah sesuai dengan UU dan peraturan
yang terkait.
PUTUSAN
Nomor : 223 / PID.B / 2012 / PN. SMG

MENGADILI
1. Menyatakan Terdakwa Yuli Setyarini, S.Farm., Apt binti Soepangat
bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dalam pekerjaan ;
2. Menjatuhkan hukuman penjara kepada Terdakwa selama 4 (empat) bulan
dan memerintahkan kepada Terdakwa untuk ditahan ;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
1. Codein tab 10mg 175,05 tab ;
2. Codein tab 20mg 199,675 tab ;
3. Condipront caps 45 ;
4. Condipront syrup 1 botol ;
5. Condipront cum exp syrup 3 botol ;
6. Amitrypilin 25mg 91 tab ;
7. Carbamazepin 63 tab ;
8. Haloperidol 110 tab ;
9. Cpz 525,5tab ;
10. Clobazam 60/tab ;
11. Danalgin 61/tab ;
12. Metaneuron 60 tab ;
13. Luminal 30mg 979,9 tab ;
14. Stesolid rectal 5mg 3 tab ;
15. Tramol 15 tab ;
4. Membebani kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah) ;
(Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id)
Pembahasan
Hasil sidang akhir yang berlangsung pada tanggal 15 Agustus 2012,
memutuskan Yuli divonis hukuman 4 bulan penjara, berkurang dari tuntutan
jaksa sebelumnya yang menuntut Yuli hukuman 7 bulan penjara. Yuli dijerat
dengan pasal 374 KUHP dengan tuduhan penggelapan. Hasil keputusan ini
rupanya membuat Yuli merasa tidak diperlakukan adil, hal ini terkait dengan
pembelaan Yuli, bahwa apa yang dituduhkan kepada Yuli adalah tidak benar,
karena pengamanan obat adalah kewenangan Yuli selaku Apoteker. Yuli pun
mengajukan banding.
Awalnya, Yuli berpraktek sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) di
Apotek Dirgantara Ngaliyan, Semarang, milik seorang pengusaha Apotek
bernama Wiwik. Selama perjalanannya menjadi Apoteker, beberapa kali Yuli
merasa ada kejanggalan perihal stok obat di Apotek, terutama obat golongan
keras, narkotik dan psikotropik. Yuli menangkap adanya kecurangan dari
Pemilik Sarana Apotek (PSA), yang melakukan pemesanan obat psikotropik
yaitu diazepam dan Valisanbe, tanpa sepengetahuan Yuli selaku Apoteker.
Adanya pemesanan obat tanpa seepengetahuan Yuli, membuat Yuli
mengadukan hal ini ke Dinas Kesehatan Semarang. Dinas Kesehatan Semarang
kemudian melakukan sidak dan pembinaan kepada APA dan PSA. Dalam sidak
tersebut, memang ditemukan beberapa pelanggaran, dimana apotek memesan
psikotropik tanpa adanya faktur pemesanan, dan kesalahan beberapa
administrasi resep. Dalam pembinaan tersebut, Dinkes Semarang meminta
kepada APA dan PSA untuk membuat surat pernyataan bahwa Apotek
Dirgantara tidak akan melakukan pelanggaran lagi, jika tidak APA wajib
menyerahkan kembali SIA ke Dinkes.
Sayangnya, pernyataan tersebut kembali diingkari PSA. Yuli menemukan
kejanggalan lagi pada resep psikotropika, dimana resep yang jumlahnya 10,
diganti menjadi 20 oleh Asisten Apoteker yang diminta oleh PSA. Atas kejadian
ini, Yuli menyerahkan surat pengunduran diri pada PSA, dilanjutkan dengan
mengembalikan SIA kepada Dinkes Semarang. Sesuai dengan kewenangannya,
Yuli pun melakukan inventarisasi barang di Apotek, dan melakukan
pengamanan terhadap barang narkotik dan psikotropik. Yuli mengganggap
sedian tersebut bisa disalahgunakan jika tidak diamankan, Yuli memilih
menitipkannya ke Dinas Kesehatan Semarang. Sebulan sesudahnya, Dinkes
Semarang melakukan penyegelan terhadap Apotek Dirgantara, berikut
pengembalian obat yang ditipkan Yuli. Semua produk yang dimiliki Apotek
Dirgantara pun ikut disegel. `
Delapan bulan kemudian, PSA Wiwik melaporkan Yuli ke Polsek Ngaliyan
atas tuduhan pencurian dan penggelapan dengan No. Pol.
LP/40/VIII/2011/JATENG/Restabes Emg/sek Ngl. Yuli harus menelan pahit
tuntutan jaksa yang memvonisnya dengan paal 374 KUHP dengan masa
kurungan 7 bulan penjara. Namun, vonis akhir yang didapat Yuli adalah 4 bulan
penjara.
Kasus ini merupakan penodaan terhadap profesi Apoteker. Bagaimanapun,
Majelis Pertimbangan Etik telah menyatakan Yuli tidak melakukan pelanggaran
profesi, dan telah menjalankan profesi sesuai dengan kewenangannya. Apabila
tindakan penitipan obat berbahaya kepada Dinas Kesehatan seperti yang
dilakukan oleh Yuli, dikategorikan sebagai tindakan penggelapan bahkan
sampai dijatuhi hukuman, maka apoteker tidak lagi memiliki perlindungan
hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian yang pada akhirnya dapat
mengganggu kelancaran pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.
Kasus yang menimpa Yuli, sangat mungkin menimpa Apoteker lainnya.
Seharusnya, Ibu Yuli ini tidak dipenjarakan. Justru yang seharusnya mendapat
hukuman adalah pemilik sarana apotek yang telah menyalahgunakan dan
memesan obat psikotropika dan narkotik tanpa persetujuan dan sepengetahuan
Apoteker yang digunakan untuk pengkonsumsian pribadi. Sudah jelas-jelas ada
barang bukti, bahkan asisten apoteker yang diperintah untuk mengganti jumlah
obat psikotropika yang tertera dalam resep.
1. KASUS II
Berdasarkan informasi Polres A bahwa banyak ditemukan (Tablet
Carnophen beredar di kalangan remaja) telah dilakukan pemeriksaan terhadap
apotek-apotek di Kabupaten tersebut dan pada salah satu apotek ditemukan
penjualan bebas rata-rata per bulan sebanyak 12 box dan Trihexyphenidyl
sebanyak 7 box, penjualan tanpa resep Ephedrine tablet rata-rata 3 kaleng/1000
tablet serta penjualan tanpa resep diazepam 5 mg tablet sebanyak 30 tablet.

Permasalahan Kasus :
Pelanggaran yang telah dilakukan apotek tersebut adalah :
1. Menjual obat-obat ilegal yang mengandung narkotika (Cannabis sativa) dan
psikotropika (diazepam) secara bebas.
2. Trihexyphenidyl digunakan untuk pengobatan parkinsonisme, gangguan
ekstrapiramidal karena obat. Obat-obat dengan bahan aktif Trihexyphenidyl
yang beredar di Indonesia yaitu Arkine®, Artane®, Hexymer® , Parkinal®.
3. Carnophen mengandung bahan aktif Karisoprodol 200 mg, Asetaminofen
160 mg dan kafeina 32 mg yang diindikasikan untuk nyeri otot, lumbago,
rheumatoid arthiritis, spondilitis. Obat lain sejenis Carnophen yang beredar
di Indonesia yaitu Somadril Compositum®.
4. Obat-obatan tersebut termasuk golongan obat keras di mana penjualannya
harus berdasarkan resep dokter. Setelah dilakukan pemeriksaan, apotek
melakukan pelanggaran karena menjual Trihexyphenidyl dan Carnophen
secara bebas.
5. Dari pemeriksaan terhadap obat-obat Cina yang beredar di apotek-apotek
Kabupaten A ditemukan bahwa obat-obat tersebut tidak memiliki izin edar
dan mengandung bahan aktif Diazepam yang dijual secara bebas. Diazepam
termasuk psikotropika golongan IV yang meskipun dapat digunakan untuk
terapi tetapi dapat menyebabkan ketergantungan (ringan).
Landasan Hukum :
1. Undang-undang No. 5 tahun 1997
 Pasal 9 ayat 1
Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
 Pasal 14 ayat 4
Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai
pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan berdasarkan
resep dokter.
2. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Bagian Kelima Belas “Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan”
 Pasal 102
- Ayat (1) : Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter
gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
- Ayat (2) : Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika diatur dengan
undang-undang.
 Pasal 103
- Ayat (1) : Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan,
dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standart
dan atau persyaratan tertentu.
- Ayat (2) : Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta
penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana 55 dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan undangundang
3. Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
 Pasal 8 ayat 1c
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
 Pasal 8 ayat 4
 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan info
secara lengkap dan benar.

Sanksi Hukum:
1. Undang-undang No. 5 tahun 1997
 Pasal 60 ayat 1c
Barangsiapa memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa
obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di
bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
 Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standart dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
3. Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
 Pasal 62 ayat 1
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat 2, pasal 15, pasal 17 ayat 1 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf e, ayat 2 dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
4. Psikotropika
 UU RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 14 ayat 4
“Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai
pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
resep dokter“
 Peraturan Menteri Kesehatan No. 688/Menkes/Per/VII/1997 pasal 10
ayat 7 tentang Peredaran Psikotropika
“Penyerahan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari apotek
kepada pasien diberikan berdasarkan resep dokter“
5. Narkotika
 UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 8 ayat 1 :
“Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan“
 UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 39 ayat 1 :
“Narkotika hanya dapat disalurkan oleh industri farmasi, pedagang besar
farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang ini”
 UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 36 ayat 1 :
“Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar dari menteri“
 UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 43 ayat 3 :
“Rumah sakit, apotek, puskesmas dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.“
 UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 45 ayat 1 dan 3 :
(1) Industri farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika
baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika harus
lengkap dan tidak menyesatkan.
Sanksi Administratif :
1. Diberikan teguran/peringatan secara lisan.
2. Diberikan Surat Peringatan secara tertulis, maksimal 3 kali.
3. Penutupan apotek sementara.
4. Pencabutan ijin apotek.

Kesimpulan
Dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa Apoteker Pengelola Apotek
dapat dijadikan tersangka karena telah melangar undang-undang yang belaku.
Selain itu sebagai Apoteker Pengelola Apotek juga tidak mengawasi penjualan obat
keras, karena obat-obat keras tersebut diperjualbelikan secara bebas. Sebagai
penangung jawab apotek juga menerima atau mengedarkan obat-obat impor yang
tidak memiliki ijin edar dan mengandung golongan obat psikotropika dan narkotika.
2. KASUS III
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil
kejang yang diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai
rumah sakit anak tersebut kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam
perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek untuk minta tolong
pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan
apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya.
Dengan pertimbangan keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke
dubur anak kecil itu sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan
segera dikirim ke rumah sakit terdekat.

Identifikasi Masalah :
 UU No. 5 tahun 1997
Pasal 33
1) Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi Pemerintah, Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai
Pengobatan, Dokter, Lembaga Penelitian dan/atau Lembaga
Pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan
masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 34
1) Pabrik obat, Pedagang Besar Farmasi, Apotek, Rumah Sakit,
Puskesmas, Lembaga Penelitian dan/atau Lembaga Pendidikan wajib
melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
kepada Menteri secara berkala
Pasal 14
1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter
2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada
apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan
kepada pengguna/pasien. Penyerahan psikotropika oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam hal :
a. Menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Kode Etik Apoteker Indonesia :


 Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang
teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Implementasi PASAL 3:
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam
setiap tindakan dan keputusan seorang apoteker indonesia
2. Bilamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik
tanggung jawab profesional, maka dari berbagai opsi yang ada seorang
apoteker harus memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk
kepentingan pasien serta masyarakat.
 Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan
melindungi mahluk hidup insani.
Implementasi PASAL 9:
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak
pada kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga
kesehatan pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang dalam
kondisi lemah.
 UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 5 :
Ayat 1 : Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses
atas sumber daya di bidang kesehatan.
Ayat 2 : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Ayat 3 : Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya.

Kesimpulan
Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal
24 ayat c, tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal
yang isinya adalah Diazepam yang termasuk dalam golongan psikotropika.
Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak
tersebut dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU
36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1 dan pasal 53 ayat 3). Keputusan Apoteker S
memberikan Diazepam didasari oleh alasan kemanusiaan serta dasar
kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 Pasal 374 KUHP.


Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Peraturan Mentri Kesehatan No 688/Menkes/Per/VII/1997/ Tentang Peredaran
Psikotropika.
Undang-Undang RI No. 08 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang RI No. 05 Tahun 1997
Undang-Undang Obat Keras St No. 419

Anda mungkin juga menyukai