Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Outcome Farmakoekonomi”
ini. Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan mata kuliah Farmakoekonomi. Kami menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
3.2 Pendahuluan................................................................................................ 13
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 4. Distribusi pasien hipertensi berdasarkan usia, jenis kelamin, lama rawat inap
Tabel 9. Analisis Outcome Klinis Berdasarkan Kualitas Hidup dan Biaya Medik
Tabel 10. Analisis Outcome Klinis Berdasarkan Kualitas Hidup dan Biaya Medik
Tabel 11. Analisis Outcome Klinis Berdasarkan Kualitas Hidup dan Biaya Medik
iv
BAB I
OUTCOME FARMAKOEKONOMI
1.1. Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah deskripsi dan analisis biaya terapi menggunakan obat untuk
memelihara fungsi kesehatan dan sosial. Penelitian farmakoekonomi adalah proses
identifikasi, mengukur, dan membandingkan harga (yang akan dikeluarkan konsumen)
dengan konsekuensi (klinik, ekonomi, humanistic) dari produk dan pelayanan kefarmasian
(Bootman, 2005).
1.1.1. Kategori Biaya
1) Biaya medis langsung (direct medical cost) adalah biaya yang harus dibayarkan untuk
pelayanan kesehatan. Biaya ini meliputi biaya pengobatan, tenaga medis, biaya tes
laboraturium, dan biaya pemantauan efektivitas dan efek samping (Budiharto &
Soewarta, 2008).
2) Biaya medis tidak langsung (direct non medical cost) adalah biaya yang harus
dikeluarkan secara langsung yang tidak terkait langsung dengan pembelian produk
atau jasa pelayanan kesehatan. Biaya yang termasuk didalamnya adalah biaya
transportasi dari dan ke rumah sakit, makanan untuk keluarga pasien (Budiharto &
Soewarta, 2008).
3) Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas
pasien maupun keluarga, kehilangan pendapatan karena tidak biasa bekerja akibat
sakit, kehilangan waktu (Budiharto & Soewarta, 2008).
4) Biaya tidak teraba (intangible cost) adalah biaya yang berhubungan dengan rasa sakit
pasien dan penderitaannya, khawatir tertekan, efek nya pada kualitas hidup. Kategori
ini tidak bias diukur dalam matar uang, namun sangat penting bagi pasien maupun
dokter (Budiharto & Soewarta, 2008).
1
3) Perspektif pembayar (perusahaan asuransi) yaitu membayarkan biaya terkait dengan
pelayanan kesehatan yang digunakan peserta asuransi selama pelayanan kesehatan
yang digunakan peserta termasuk dalam tanggungan perusahaan bersangkutan.
Menyusun program pelayanan kesehatan yang lebih efektif sehingga nantinya dapat
memberikan keuntungan bagi perusahaan.
4) Perspektif masyarakat yaitu masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan untuk
mencegah terjangkitnya berbagai penyakit, seperti program pencegahan penyakit
dengan imunisasi (Anny, 2007).
1.1.3. Jenis Jenis Cost
Tergantung perspektif yang dipilih, seluruh biaya yang terkait harus diikutkan dalam
analisis (Poulsen). Biaya bahan habis pakai/obat/bahan farmasi dan (kadang-kadang) insentif
karyawan. Komposisi biaya ini akan berbeda bila di RS Swasta yang sudah menerapkan unit
cost analysis secara lebih konsekuen dimana sudah menambahkan unsur profit dan discounted
price dalam price setting nya.
Tabel 1. Perilaku Biaya dan Komponen Biaya
Discount
Profit
Indirect Biaya/Harga Jual
Cost Biaya Overhead
Fixed List
Peraltan Selling
Cost Total Price
Medik/Sarana Manuf Price
Direct Cost
Gaji/Insentif/Dokter Cost
Cost Variabel
Bahan Habis Pakai
Cost
Obat/Farmasi
2
yang dapat dihasilkan dari analisis untuk bahan pengambilan (Poulsen). Alternatif perspektif
termasuk society, public payers, insurance companies, providers, and patients. Hubungan
perspektif dengan elemen biaya terilustrasi pada tabel:-2, yang menunjukkan bahwa elemen
biaya dipertimbangkan dari perspektif society, the provider/payer, and the patient (Smith).
Perspektif yang paling komprehensif adalah yang berkaitan dengan sosial, dimana
semua biaya terkait dan konsekuensinya dari teknologi kesehatan harus diidentifikasi, diukur
dan dinilai, tidak perduli biaya dan konsekuensinya berdampak pada siapa. Akan tetapi,
seringkali, analisa ekonomi dilakukan dari perspektif yang sempit, seperti perspektif sektor
pelayanan kesehatan, perspektif rumah sakit saja; atau perspektif pasien saja (Poulsen). Lebih
sempit lagi adalah bila evaluasi ekonomi dilakukan dari sudut kepentingan kebijakan
pengambilan keputusan penetapan anggaran; misalnya oleh pemerintah atau asuransi
kesehatan nasional. Melakukan analisa ekonomi sebaiknya dilakukan dari perspektif yang
terluas, dan memiliki perspektif budget. Jika suatu ekonomi analisis digunakan untuk
memprioritaskan pada suatu tingkat sosial tertentu, agar prioritas menjadi optimal; analisis
yang ada harus dilakukan berdasarkan perspektif sosial. Hal ini untuk menghindarkan situasi
dimana teknologi ditunjukkan cost effective dari perspektif yang sempit, tetapi tidak cost
effective dari perspektif sosial (Coyle).
Tabel 2. Cost Element Under Alternatif Perspectives
Cost Elemen Societal Veteran Affairs Patient and
Patient’s Family
Medical care (total cost) All costs All covered costs Out-of-pocket
Payments
Pateint time for treatment All costs None Atient’s opportunity
Costs
Paid caregiving All costs All covered costs Out-of-pocket
Payments
Unpaid caregiving All costs Opportunity costs of
caregiver time
Transportation and non All costs All covered costs (if All costs
medical services any)
Sick/disability leave, Administrative Amount paid + Amount received
transfer payments cost only administrative costs (negative cost)
3
Karena adanya ketidakpastian dalam memperkirakan penggunaan sumber daya dan
effectiveness, analisa sensitivitas yang lengkap harus diterapkan untuk menilai seberapa
sensitif hasil penelitian dapat diubah dalam hal parameter atau anggapan inti (Coyle).
Evaluasi pelayanan kesehatan harus memberi jawaban menyangkut efficacy,
effectiveness dan availability dari program. Efikasi disini berarti; apakah program bermanfaat
dan terlaksana semestinya. Effectiveness dari program menjawab pertanyaan mutu dan
relevansinya, dan menilai availability menjawab apakah program menyentuh populasi target.
Jika ketiga pertanyaan ini terjawab positif, masih harus dinilai secara ekonomis (economically
oriented questions), untuk menjawab pertanyaan apakah biaya dan sumber daya yang
dikeluarkan program yang sekarang lebih pantas dibandingkan program alternatif. Para ahli
ekonomi menyebut hal ini sebagai opportunity cost dari program (Martinez-Giralt).
Empat jenis utama metode analisis adalah: CMA, CEA, CUA dan CBA. Keempat
jenis ini dalam penerapannya berbeda datam outcome yang diestimasi, begitu juga
rekomendasi untuk pengambilan keputusan yang dihasilkan (Shea-Lewis, 2000) (Poulsen).
1. Cost Minimzation Analysis (CMA)
CMA merupakan jenis khusus EE (Zierler, 2000). Penggunaan analisis ekonomi jenis
ini adalah dengan pemahaman yang nyata bahwa kedua program atau teknologi yang
dibandingkan menghasilkan dampak (health outcome) yang sama atau ekivalen; berupa
efektivitas yang sama, setara secara klinis dan statistik; berbeda dalam biaya, oleh karenanya
jenis analisis ini hanya menyoroti dan memperhitungkan biaya saja dengan kata kunci yang
harus diperhatikan yaitu "equivalent outcome" (Shea-Lewis, 2000) (Zierler, 2000) (Poulsen)
(Coyle) (WHO)(Balekdjian, 2002).
Analisis jenis ini sangat berguna bagi manajer rumah sakit ketika akan memutuskan
rasio perawat dan pasien. Kombinasi ketenagaan paramedik keperawatan, pembantu perawat,
paramedik non perawatan, dan teknisi; untuk hasil yang sama, akan tebih murah biayanya bila
petayanan keperawatan hanya diselenggarakan oleh paramedik keperawatan saja (Shea-
Lewis, 2000)
2. Cost–Effectiveness Analysis (CEA)
Dalam CEA, effectiveness pembanding diukur dengan single outcome. Perbandingan
yang dibuat dengan tambahan cost sumber daya yang dibutuhkan untuk mendapatkan unit
effectiveness tambahan (Coyle). Outcome diukur dalam hasil bentuk natural; misalnya berapa
tahun umur bertambah oleh penerapan teknologi kesehatan tersebut. (Gyrd-Hansen et al.
1998). Sama halnya dengan CMA; CEA merupakan jenis evaluasi yang paling jarang
digunakan dalam pengambilan keputusan. Hanya mungkin menyimpulkan kondisi cost-
4
effective dan seberapa besarnya nilai cost effectiveness-nya (Drummond et al. 1987). CEA
dapat dilakukan bila tujuan evaluasi ada(ah untuk membandingkan beberapa alternatif strategi
dengan both different cost and different effectiveness. Tujuannya adalah melihat strategi mana
yang lebih murah biayanya per unit outputatau memberi output terbanyak untuk sejumlah
biaya yang tersedia (the lowest cost per unit of output, or alternatively the strategy that
delivers the highest output for a given fixed budget).
Dalam cost-effectiveness analysis, indikator yang dibandingkan haruslah sama dengan
pengukuran yang lazim digunakan pada sektor pelayanan kesehatan (WHOICDS/TB12002.
305 a). CEA digunakan untuk menetapkan biaya dan manfaat suatu program pengobatan
untuk mencari program yang paling memberi manfaat untuk sejumlah biaya tertentu (Russell,
Gold, Siegel, Daniels & Weinstein, 1996). Cost effectiveness analysis berusaha untuk
menunjukkan benefit yang relatif terhadap intervensi medis versus beberapa intervensi atau
benefit yang relatif terhadap satu treatment dengan yang lain. Hal ini merupakan cost analysis
yang paling sering digunakan dalam pelayanan kesehatan. (Shea-Lewis, 2000).
3. Cost-utility analysis (CUA)
Analisis jenis ini mencakup biaya dan pengukuran quality of life sebagai outcome
pengukuran. Sebagai hasil, cost-utility analysis memungkinkan dokter dan manajer untuk
membandingkan pilihan investasi bagi berbagai upaya penyembuhan dengan berpatokan
kepada skala "Quality-Adjusted Life" (Edbrooke).
CUA berbeda dari CEA dalam hal outcome yang diukur yaitu dalam bentuk quality-
adjusted life-years (QALY). Selain pertambahan umur dan mutu penambahan umur,
penurunan insidens morbidity dan mortality, juga penting menilai penggunaan teknologi
kesehatan itu pada penderita kronis. Pada cost-utility analysis pertambahan umur dikaitkan
dengan mutu tahun-tahun sehat kehidupan (Poulsen). CUA adalah kategori analisa
farmakoekonomi yang paling kontroversial, karena merupakan inti dari penghitungan quality
of life (QoL). Karena quality of life sulit dinilai, metode ini jarang dilakukan kecuali pada
penelitian khusus pasien kanker (Shea-Lewis, 2000). Dengan penekanan pada persepsi dan
perasaan individu, studi seperti ini dapat digunakan untuk kasus-kasus yang membutuhkan
outcome yang lebih konkrit seperti kanker dan AIDS stadium lanjut (Balekdjian, 2002).
CUA lebih merupakan pendekatan komprehensif karena perbandingan nilai
ekonomisnya adalah outcome yang dinilai pada suatu populasi atau cohort hipotetis, diukur
sejak awal program sampai akhir periode observasi (Zierler, 2000). Seperti halnya dengan
CEA, CUA relevan dilakukan jika tujuan adalah membandingkan pelayanan kesehatan yang
terkait dengan biaya berbeda dan outcome yang berbeda pula; inilah sebabnya sering juga
5
dianggap sebagai suatu bentuk CEA. Hal yang membedakan adalah bahwa CUA lebih
mengukur utilitas pada berbagai program. Secara umum utility berarti kegunaan (usefulness).
(WHO/CDSITBI2002. 305 a).
4. CBA (CBA)
CBA mengukur biaya dan outcome dalam bentuk moneter mengacu perbandingan
langsung biaya dan outcome dalm unit yang sama. Langkahlangkah yang umum ditempuh
adalah sebagai berikut (Edbrooke):
a. Identifikasi sifat biaya dan manfaat
b. Mengukur biaya dan manfaat dalam nilai moneter (uang)
c. Kalkufasi nilai awal dari biaya dan manfaat
d. Membandingkan nilai awal biaya dan manfaat dan menginterpretasikannya hasilnya
untuk membantu pengambilan keputusan. CBA kurang luas digunakan di ICU karena
sulitnya menilai kehidupan (life) dalam nilai uang.
CBA membandingkan beberapa program, menghitung total biaya program,
mengestimasi manfaat dan membandingkan total biaya dengan manfaat (Shea-Lewis, 2000).
Kebaikan anilisis jenis ini adalah bahwa biaya dan outcome diukur dalam bentuk nilai uang
yang memungkinkan net benefit dapat dihitung, dan menilai teknologi yang diukur
dibutuhkan atau tidak dan apakah manfaat lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan (Poulsen).
Pengukuran ini tidak hanya terkait dengan biaya (cost) merawat suatu penyakit tetapi juga
benefit (manfaat) keuangan didapatkan berdasarkan outcome kesehatan yang meningkat.
Laporan disajikan sebagai benefit keuangan secara keseluruhan atau sebagai suatu
perbandingan: savings per dollar yang dihabiskan (Balekdjian, 2002),
(WHOICDSITB/2002.305 a). Program atau intervensi disebut "cost-beneficial' jika nilai
manfaat (benefits) melebihi biaya (cost) yang dikeluarkan. Akan tetapi, tehnik untuk
menempatkan nilai keuangan pada intangible outcome pelayanan kesehatan seringkali tidak
dapat diterima, sehingga CBAs menjadi jarang digunakan (Coyle).
Tabel 3. Pilihan Jenis Analisis Ekonomi
No Jenis Analisis Jenis Analisis Ekonomi Spesifik Keterangan
Ekonomi
1 CMA Bila teknologi yang dibandingkan setara Hanya membutuhkan data
(equally effective) biaya
2 CEA Bila teknologi yang dibandingkan Biaya yang berbeda
berbeda (different) Salah satu teknologi dinilai untuk effektifitas
6
mendominasi yang lain Aktifitas-aktifitas an berbeda Kemungkinan
memiliki tujuan yang sama, effektifitas lebih efektif dan lebih
dibanding kan murah dari an lain
3 CUA Bila quality of life penting sebagai hasil
keluaran Bila aktifitas lintas spesialisasi
dibandingkan
4 CBA Bila effek non-health juga penting Bila Proses pengobatan dan
hanya satu teknologi an di assess Bila informasi utilisasi
kehidupan individu dinilai secara
moneter Bila aktifitas sosial lintas sosial
Diperbandingkan
7
CEA tidak hanya mempertimbangkan cost tetapi juga outcome peningkatan kesehatan:
[(c1 + c2 + c3) - (s1 + s2 + s3)]/e. Sama halnya, CUA berkaitan dengan cost penilaian status
kesehatan ((c1 + c2 + c3) - (s1 + s2 + s3)]/u.
Akhirnya, CBA dapat memastikan jumlah total seseorang mau untuk membayar
program tertentu, dan membandingkannya secara langsung dengan cost untuk menilai apakah
programnya berharga untuk dilakukan: (w+v+s1+s2+s3) - (c1+c2+c3). Untuk membedakan
beberapa teknik evaluasi ekonomi ini adalah sebagai berikut:
CEA menilai cost-effectiveness ratio. Hasilnya adalah berupa sejumlah nilai uang
untuk setiap tahun kehidupan yang bertambah (per life-year gained). CEA berguna biia
alternatif program yang dibandingkan diukur effeknya dalam unit yang sama, tidak
bermanfaat bila dilakukan dalam suatu program tunggal dimana tidak bisa dilakukan cost-
effectiveness ratio. CUA adalah bentuk khusus CEA untuk mengukur setiap effek
penambahan QALYs. Kelebihan CUA terhadap CEA adalah menggunakan unit pengukuran
yang umum sehingga mudah membandingkan beberapa program alternatif, tetapi CUA baik
dilakukan bila quality of life merupakan isu utama dari pelaksanaan program. CBA melihat
manfaat sosial dari program. Penetapan keputusannya sederhana: semua program yang
memberikan manfaat sosial yang positif pantas dilaksanakan. Panduan sederhana 20 tentang
ketiga tehnik analisis yang berbeda ini juga informasi yang dibutuhkan dapat ditemukan di
Jacobs (1997).
8
BAB II
EVALUASI JURNAL 1
9
2.4 Hasil dan Pembahasan
Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa pasien hipertensi terbanyak adalah pasien dengan
usia 51-70 tahun (51,16%), diikuti dengan pasien usia 30-50 tahun (25,58%) dan pasien
dengan usia 71-90 tahun (23,25%). Sedangkan untuk jenis kelamin, pasien dengan jenis
kelamin perempuan lebih banyak (53,48%) dari jenis kelamin laki-laki (46,51%).
Tabel 4. Distribusi pasien hipertensi berdasarkan usia, jenis kelamin, lama rawat inap, ruang
perawatan
Persentase (%)
Keterangan Jumlah
(n=43)
(1) (2) (3)
Usia
30-50 11 25,58
51-70 22 51,16
71-90 10 23,25
Jenis Kelamin
Perempuan 23 53,48
Laki-laki 20 46,51
Lama Rawat Inap
1-5 hari 41 95,34
6-10 hari 2 4,65
Ruang Perawatan
VIP 2 4,65
Kelas 1 18 41,86
Kelas 2 9 20,93
Kelas 3 14 32,55
10
Berdasarkan Tabel 5 di atas, kombinasi obat yang paling banyak digunakan adalah
kombinasi Amlodipin-Bisoprolol yang diresepkan pada 23 pasien (53,48%). Sedangkan
kombinasi Amlodipin-Captopril hanya diresepkan pada 20 pasien (46,51%).
11
Tabel 4. Analisis efektifitas biaya dengan perhitungan ACER dari kombinasi amlodipin-
bisoprolol dan kombinasi amlodipin-captopril di Rumah Sakit Gunung Maria Tomohon.
∆C ∆E ICER(∆C/∆E)
Dalam Tabel 5. menunjukkan harga ICER yang diperoleh adalah sebesar Rp. 114,24.
Hasil perhitungan ICER merupakan besarnya biaya tambahan yang diperlukan atau biaya
tambahan yang akan dikeluarkan untuk memperoleh 1% penurunan tekanan darah.
12
BAB III
EVALUASI JURNAL II
3.2 Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi
masalah kesehatan di dunia. Pada tahun 2018 diperkirakan terdapat 500 juta orang menderita
DM tipe 2. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2030, Indonesia
diperkirakan menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan jumlah penyandang DM
tertinggi di Asia Tenggara yaitu sebanyak 21.257.000 orang. Pada kasus DM tipe 2,
peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia terjadi karena resistensi insulin,
sehingga diperlukan terapi untuk mengontrol glukosa Darah. Glukosa darah merupakan
indikator penting yang menentukan perjalanan penyakit DM.
13
3.5 Hasil dan Pembahasan
Tabel 9. karakteristik demografi
Laki-laki 87 (43,5)
Umur
Durasi
Penyakit Penyerta
Pendidikan
SD 41 (20,5)
SMP 21 (10,5)
SMA 97 (48,5)
Pekerjaan
Tabel 9 sebagian besar pasien berjenis kelamin perempuan (56,5%) dan berusia ≥60
tahun (59%). Jenis kelamin dan umur merupakan faktor risiko DM yang tidak dapat
dimodifikasi. Perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena DM karena faktor
hormonal dan kecendrungan mengalami peningkatan berat badan. Pada penelitian ini durasi
pasien mengalami DM paling lama berkisar antara 5-10 tahun (40,5%) dan sebanyak 84%
pasien memiliki penyakit penyerta. Tingkat pendidikan pasien paling tinggi adalah SMA
(48,5%), sedangkan 50,5% pasien adalah orang yang memiliki pekerjaan (50,5%).
Pendidikan berhubungan dengan pengetahuan mengenai manajemen pengobatan dan
pengontrolan glukosa darah. sedangkan pekerjaan berkaitan dengan stres yang dapat
meningkatkan glukosa darah dan resistensi insulin.
Pada penelitian ini sebanyak 129 pasien menunjukkan outcome klinis yang tidak
14
terkontrol (64,5%). Hal ini ditandai dengan kadar GDS pasien yang menggunakan pola
peresepan antidiabetik yang sama selama 3 bulan (Juli-September 2017) tidak mengalami
penurunan dan menunjukkan nilai ≥200 mg/dL.
Rata-rata biaya medis langsung yang dikeluarkan pasien adalah Rp 489.005 yang terdiri dari
biaya obat antidiabetik (Rp 345.753) biaya komplikasi (Rp 86.726) biaya laboratorium (Rp 27.210)
dan biaya administrasi (Rp 29.750). Pada penelitian ini, biaya obat antidiabetik dan biaya komplikasi
menjadi komponen biaya terbesar yang mempengaruhi biaya medis langsung.
Tabel 10. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara outcome klinis
dengan rata-rata nilai kualitas hidup (p=0,000). Pasien dengan outcome klinis yang terkontrol
menunjukkan rata-rata nilai kualitas hidup yang lebih tinggi (68,9 ± 6,6) dibandingkan pasien dengan
outcome klinis yang tidak terkontrol (64,9 ± 6,8). pasien DM tipe 2 di Indonesia dengan kadar glukosa
darah terkontrol memiliki nilai kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan glukosa
darah yang tidak terkontrol yang diukur menggunakan kuesioner DQLCTQ.
Kualitas hidup pasien dengan outcome klinis yang terkontrol menunjukkan nilai lebih tinggi
pada ketujuh domain kecuali domain energi. Pada domain fungsi fisik, terkait pengaruh penyakit DM,
pasien yang tidak terkontrol merasakan kondisi yang lebih terbatas dalam melakukan aktivitas atau
pekerjaan sehari-hari, dimana secara statistic terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,034). Pada
domain energi, pasien dengan outcome klinis yang terkontrol dan tidak terkontrol sama-sama merasa
lelah, kurang bersemangat dan bertenaga dalam melakukan kegiatan, dimana tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (p=0,791).
Pada domain tekanan kesehatan, pasien yang tidak terkontrol kurang berbesar hati dalam
15
menerima kondisi kesehatannya, merasa ketakutan dan putus asa karena penyakit DM, namun secara
statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,344). Pada domain kesehatan mental, pasien
yang terkontrol lebih merasa tenang, bahagia, tidak merasa cemas, takut, sedih, dan rendah hati dalam
menghadapi DM, namun secara statistic tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,186).
Pada domain kepuasan pribadi, pasien yang terkontrol lebih merasa puas dengan keadaan
yang dialami, merasa penyakit DM yang dialami tidak membahayakan dirinya, puas terhadap waktu
yang dihabiskan untuk memeriksakan diri ke dokter, serta dapat mengatur atau mengendalikan DM
dengan menggunakan obat dan pola hidup yang baik. Secara statistik, parameter ini memiliki
perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan pasien tidak terkontrol (p=0,000). Pada domain
kepuasan pengobatan, pasien yang terkontrol merasa puas dengan terapi yang dijalani, lebih merasa
puas dengan pengobatan yang diterima serta memiliki harapan terhadap pengobatan di masa yang
akan datang dalam memperbaiki kondisi DM yang dialami. Secara statistik juga terdapat perbedaan
yang signifikan (p=0,000).
Pada domain efek pengobatan, pasien yang tidak terkontrol kurang merasakan efek
pengobatan dari obat antidiabetik yang diterima, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (p=0,073). Pada penelitian ini pola peresepan obat pada pasien terdiri dari monoterapi
antidiabetik oral (12%), monoterapi insulin (15%), kombinasi antidiabetik oral (24,5%) serta
kombinasi antidiabetik oral dengan insulin (48,5%). Jumlah pola peresepan kombinasi adalah lebih
banyak (73%) dibandingkan dengan monoterapi (27%). Berdasarkan algoritma terapi DM tipe 2,
apabila pengobatan yang diterima belum dapat mengontrol kadar glukosa darah, maka dilakukan
evaluasi terapi untuk penambahan antidiabetik.
Pada domain frekuensi gejala, pasien yang tidak terkontrol lebih sering mengalami gejala
penglihatan kabur, mual, lemah, lesu, haus, mulut kering, mudah lapar, sering buang air kecil, serta
kesemutan pada tangan dan kaki. Secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,012). Pada
kondisi glukosa darah yang tidak terkontrol terjadi hiperglikemia kronis yang memicu munculnya
gejala poliuri, polifagi, polidipsi, pusing, serta mudah lelah. Selain itu terjadi gangguan pada
pembuluh darah kecil yang menyebabkan gangguan penglihatan pada mata serta kesemutan pada
tangan dan kaki.
Outcome klinik
Rata-rata biaya (Rp) Nilai p
Terkontrol Tidak terkontrol
16
Biaya pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan outcome klinis yang tidak terkontrol
adalah lebih besar (Rp 30.720) dibandingkan dengan pasien dengan outcome klinis yang
terkontrol (Rp 21.690).Namun analisis statistic menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (p=0,134).
Biaya administrasi pada pasien dengan outcome klinis yang tidak terkontrol lebih besar
yaitu Rp 29.930 dibandingkan pasien dengan outcome klinis terkontrol yaitu Rp 29.422, namun
secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,294).
Tabel 11, menunjukkan bahwa biaya medis langsung yang dikeluarkan oleh pasien dengan
outcome klinis yang tidak terkontrol adalah lebih besar (Rp 526.963) dibandingkan dengan pasien
yang terkontrol (Rp 389.407). Secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,012).
Pada biaya obat antidiabetik, pasien dengan outcome klinis yang tidak terkontrol
mengeluarkan biaya lebih tinggi (Rp 362.502) dibandingkan dengan yang terkontrol (Rp
276.858), meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,052).
Biaya komplikasi pada penelitian ini terdiri dari biaya obat untuk mengatasi komplikasi
dan perawatan akibat komplikasi yang dialami. Pasien dengan outcome klinis yang tidak
terkontrol mengeluarkan biaya komplikasi lebih besar (Rp 103.810) dibandingkan pasien yang
terkontrol (Rp 61.436), namun berdasarkan analisis statistik tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (p=0,052).
17
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang didapatkan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Terapi kombinasi hipertensi yang lebih efektif di Rumah Sakit Gunung Maria
Tomohon adalah terapi kombinasi Amlodipin-Bisoprolol dengan keefektivitas yang
lebih besar yaitu 86.95% di bandingkan dengan terapi kombinasi AmlodipinCaptopril
sebesar 75%.
2. Yang memiliki biaya yang paling efektif berdasarkan nilai ACER yaitu terapi
kombinasi Amlodipin-Captopril yaitu sebesar Rp. 99,37 dibandingkan dengan terapi
kombinasi Amlodipin-Bisoprolol sebesar Rp. 114,26.
18
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, T.M. Analisis Biaya Terapi Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Dr.Sardjito
Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia. 2006.
Andayani, T.M. 2013. Farmakoekonomi: Prinsip dan Metodologi. Bursa Ilmu. Yogyakarta.
Anonim1 . 2013.
Anny VP. 2007. Perspektif Internasional Penelitian Farmakoekonomi dan Outcome,
Simposium Farmakoekonomi Badan Litbang Kesehatan.
Balekdjian, D and Russo, M. 2002. Outcome Based Access: Raising the Bar. Pharmaceutical
Executive. www. PharmExec. Com
Budiharto, Martuti, Soewarta Kosen. 2008. Peranan Farmakoekonomi dalam Sistem
Pelayanan Kesehatan Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan Vol 11: 337- 340.
Bootman JL. 2005. Principles of Pharmaeconomics, W Harvey Whitney Books Company.
Data Profil Kesehatan. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. Manado. Brunner dan
Suddarth, 2002,
Edbrooke, D. L. , Hibbert, C L. , Timme. , R Tintore, M. 2000. Intensive Care and Costing
Methodologies. Drager Medizin-technikGmbH. ISBN 3-926762-51-9
Heart Failure in Phar,acotherapy A Pathophysiologic Approach, 6th ed. Mc Graw Hill.
Co.LTD. Putera, F.R. 2008.
Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Vol 2, EGC, Jakarta. Dipiro, J.T., R.L. Talbert., G.C.
Yee., G.R. Matzke., B.G. Welss., L.M. Posey. 2005.
Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Anonim2 . 2017.
Poulsen, P. B. , Kristensen, F. B. , Mogens Horder, M. , Poulsen, P. B. 2001. Health
Technology Assessment Handbook: 1st edition. Danish Institute for Health
Technology Assessment 2001
Shea-Lewis, A. 2000. Cost Analysis in the Healthcare Arena. American Nurses'
Credentialing Center's Commission on Accreditation.
Smith, M. W. and Barnett, P. G. 2003. Direct Measurement of Health Care Cost. Medical
Care Research and Review, Vol. 60 No. 3, (Supplement to September 2003) 74S-91 S
Martinez-Giralt, Xavier. 1999. Market and Non-Market Values in Cost-(Benefit)
Analysis. CODE and Departament d'Economia, Universitat Aut'onoma de Barcelona.
08193 Bellaterra Spain.
Vita. 2005. Hipertensi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
WHO. 2002. Guidelines for cost and CEA of tuberculosis control: Introduction, Important
Economic Concepts, Protocols, And Useful References. World Health Organization,
2002. WHO/CDS/TB/2002. 305 a.
Zierler, B. K. , Gray, D. T. 2000. Clinical Review Article: The principles of cost-
effectiveness analysis and their application. The Society for Vascular Surgery and The
American Association for Vascular Surgery. 23
19