Anda di halaman 1dari 25

FARMAKOEKONOMI

“COST MINIMAZATION ANALYSIS (CMA) 1”

Kajian Farmakoekonomi Penggunaan Obat Antihipertensi pada pasien

Hipertensi yang Dirawat di RSUD Kota Tasikmalaya dengan Penggunaan

obat yang digunakan oleh pasien Hipertensi Rumah Sakit di Nigeria

Dosen Apt. Elvina Triana Putri, M.Farm

DI SUSUN OLEH :

1. Atika Nurul Hidayati (21340261)


2. Yusuf Anggoro Mukti (21340262)
3. Inka Kandida (21340263)
4. Ni’matul Khoeriyah (21340264)
5. Rahayu Septia Ayuni (21340265)

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA 2022

1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kajian Farmakoekonomi

Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi yang Dirawat di RSUD Kota

Tasikmalaya” ini tepat pada waktunya.

Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW

beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau dari dulu hingga akhir zaman. Adapun tujuan

dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Farmakoekonomi

Program Studi Profesi Apoteker. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah

wawasan ataupun pengetahuan tentang CMA bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan Ibu Apt. Elvina Triana Putri,

M.Farm selaku dosen Mata Kuliah Farmakoekonomi Program Studi Profesi Apoteker yang

telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai

dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua

pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, penulis pengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan tugas ini, Kami sangat berharap tugas Farmakoekonomi ini dapat memberikan

manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi.

Jakarta, Maret 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 3

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 4


1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................................... 6


2.1 Farmakoekonomi .......................................................................................................................... 6
2.1.1 Definisi Farmakoekonomi .................................................................................................. 6
2.1.2 Tujuan dan Manfaat Farmakoekonomi............................................................................... 6
2.1.3 Metode Analisis Farmakoekonomi ..................................................................................... 6
2.2 Cost Minimization Analysis (CMA) ................................................................................................ 9
2.2.1 Definisi Cost Minimization Analysis (CMA) ..................................................................... 9
2.2.2 Tujuan Cost Minimization Analysis (CMA) ...................................................................... 9
2.2.3 Kelebihan dan kekurangan Cost Minimization Analysis (CMA) ..................................... 9
2.3 Hipertensi .................................................................................................................................... 10
2.3.1 Definisi Hipertensi ......................................................................................................... 10
2.3.2 Klasifikasi Hipertensi .................................................................................................... 10
2.3.3 Penggolongan Obat Hipertensi ..................................................................................... 11

BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 18


3.2. biaya penggunaan ...................................................................................................................... 19
3.3. Analisa farmakoekonomi .......................................................................................................... 20

BAB IV PENUTUP .................................................................................................................................. 23


3.4 KESIMPULAN ............................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 24

3
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, pembiayaan kesehatan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan


biaya kesehatan terjadi akibat penerapan teknologi canggih, karakter supply induced
demand dalam pelayanan kesehatan, pola pembayaran tunai langsung ke pemberi
pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif, serta inflasi. Kenaikan biaya
pemeliharaan kesehatan semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana
pemerintah maupun masyarakat. Peningkatan biaya tersebut dapat mengancam akses dan
mutu pelayanan kesehatan (Murti, 2013).
Dalam menjawab berbagai tantangan tersebut diperlukan pemikiran-pemikiran khusus
dalam peningkatan efisiensi atau penggunaan dana secara lebih rasional. Ekonomi
kesehatan sebagai suatu alat untuk menemukan cara dalam peningkatan efisiensi dan
memobilisasi sumber dana dapat dipergunakan untuk membantu mengembangkan
pemikiran-pemikiran khusus tanpa mengabaikan aspek-aspek sosial dari sektor kesehatan
itu sendiri (Bootman et al., 2005).
Farmakoekonomi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan
membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi
serta determinasi suatu alternatif yang terbaik. Evaluasi farmakoekonomi memperkirakan
harga dari produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih sudut pandang. Tujuan dari
farmakoekonomi diantaranya membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pda
kondisi yang sama selain itu juga dapat membandingkan pengobatan yang berbeda untuk
kondisi yang berbeda (Septiyani, 2007).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang, lebih lanjut,
Kemenkes RI menjelaskan sampai saat ini, hipertensi merupakan penyakit yang memiliki
prevalensi tinggi sebesar 25,8% berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 dan naik menjadi
34,1% berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 (Riskesdas Kementerian Kesehatan RI,
2013; 2018).

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian farmakoekonomi dan Analisa Cost Minimization Analusis?
2. Manakah biaya penggunaan golongan obat Antihipertensi yang paling minimal
pada pasien hipertensi yang di rawat di RSUD Kota Tasikmalaya?
3. Manakah biaya penggunaan golongan obat Antihipertensi yang paling minimal
pada pasien hipertensi yang di rawat di Rumah Sakit di Nigeria?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui pengertian farmakoekonomi dan Analisa Cost Minimization Analysis.
2. Mengetahui biaya penggunaan golongan obat Antihipertensi yang paling minimal
pada pasien Hipertensi di RSUD Kota Tasikmalaya
3. Mengetahui biaya penggunaan golongan obat Antihipertensi yang paling minimal
pada pasien hipertensi yang di rawat di Rumah Sakit di Nigeria

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Farmakoekonomi
2.1.1 Definisi Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah suatu ilmu yang digunakan untuk menganalisis biaya
terapi obat pada system pelayanan Kesehatan. Didalam farmakoekonomi terdapat
proses identifikasi, pengukuran, membandingkan biaya, resiko dan manfaat dari
program, pelayanan serta menentukan alternatif pengobatan dengan hasil yang terbaik
dari sumber daya yang digunakan. (Andayani,2013).

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Farmakoekonomi


Tujuan dari farmakoekonomi adalah mengidentifikasi, mengukur dan
membandingkan biaya serta konsekuensi dari suatu pelayanan Kesehatan.
Farmakoekonomi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan biaya, menentukan
alternatif pengobatan dan membantu dalam pengambilan keputusan dalam hal
pemilihan terapi yang efektif dan efisien (Andayani,2013).

2.1.3 Metode Analisis Farmakoekonomi


Adapun prinsip farmakoekonomi sebagai berikut yaitu menetapkan masalah,
identifikasi alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income dan outcome
sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan mengukur outcome dari
alternatif intervensi, menilai biaya dan efektivitas, dan langkah terakhir adalah
interpretasi dan pengambilan kesimpulan. Data farmakoekonomi dapat merupakan alat
yang sangat berguna dalam membantu membuat beberapa keputusan klinik, seperti
pengelolaan formularium yang efektif, pengobatan pasien secara individual, kebijakan
pengobatan dan alokasi dana (Vogenberg, 2001).

Metode evaluasi farmakoekonomi terdiri dari lima macam yaitu Cost-Analysis (CA),
Cost Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Utility
Analysis (CUA), Cost-Benefits Analysis (CUA) (Dipiro et al.,2005).

6
a) Cost Analysis (CA)
Cost-Analysis, yaitu tipe analisis yang sederhana yang mengevaluasi
intervensi-intervensi biaya. Cost-Analysis dilakukan untuk melihat semua biaya
dalam pelaksanaan atau pengobatan, dan tidak membandingkan pelaksanaan,
pengobatan atau evaluasi efikasi (Tjandrawinata, 2000). Menurut Trisnantoro
(2005) adanya tiga syarat mutlak yang harus dilakukan, sebelum analisis biaya
dilakukan, yaitu : struktur organisasi rumah sakit yang baik, sistem akuntansi yang
tepat, adanya informasi statistik yang cukup baik.
b) Cost-Minimization Analysis (CMA)
Cost-Minimization Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya
program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis
ini digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi
yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Suatu kekurangan yang nyata dari
analisis costminimization yang mendasari sebuah analisis adalah pada asumsi
pengobatan dengan hasil yang ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat menjadi tidak
akurat, pada akhirnya studi menjadi tidak bernilai. Pendapat kritis analisis cost-
minimization hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama (Orion,
1997). Contoh dari analisis cost-minimization adalah terapi dengan antibiotika
generik dengan paten, outcome klinik (efek samping dan efikasi sama), yang
berbeda adalah onset dan durasinya. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat
yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).
c) Cost-Effectiveness Analysis (CEA)
Analisis cost-effectiveness adalah tipe analisis yang membandingkan biaya
suatu intervensi dengan beberapa ukuran nonmoneter, dimana pengaruhnya
terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis cost-effectiveness merupakan salah
satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa
program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria
penilaian program mana yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost
dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai
discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau pengambil
keputusan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).
Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-effectiveness berdasarkan pada
perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari
program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa
7
dicegah. Analisis cost effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke
dalam rasio pada obat yang dibandingkan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).
Dalam studi farmakoekonomi untuk menginterpretasikan dan melaporkan hasil
dapat diwujudkan kedalam bentuk rasio efektivitas, yaitu average cost-
effectiveness ratio (ACER) dan incremental costeffectiveness ratio (ICER). Apabila
suatu intervensi memiliki average cost-effectiveness ratio (ACER) paling rendah
per unit efektivitas, maka intervensi tersebut paling cost-effective, sedangkan
incremental costeffectiveness ratio (ICER) merupakan tambahan biaya untuk
menghasilkan satu unit peningkatan outcome relatif terhadap alternatif
intervensinya (Spilker, 1996).
d) Cost-Utility Analysis (CUA)
Analisis Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam
utility beban lama hidup, menghitung biaya per utility, mengukur ratio untuk
membandingkan diantara beberapa program. Analisis costutility mengukur nilai
spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat. Seperti
analisis cost-effectiveness, cost-utility analysis membandingkan biaya terhadap
program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang
diakibatkan perawatan kesehatan (Orion, 1997).
Dalam cost-utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk
penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya
ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan
kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai QALYs, sebagai contoh jika pasien
dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu).
Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup.
Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat
kesehatan pasien (Orion, 1997).
e) Cost-Benefits Analysis (CBA)
Analisis Cost-Benefit adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat
suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil
perawatan kesehatan. Tipe analisis ini sangat cocok untuk alokasi bahan-bahan jika
keuntungan ditinjau dari perspektif masyarakat. Analisis ini sangat bermanfaat pada
kondisi antara manfaat dan biaya mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah (Orion,
1997).

8
Merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan
beberapa ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan.
Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi
yang berbeda. Merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif
dan sulit dilakukan karena mengkonversi benefit kedalam nilai uang (Vogenberg,
2001).

2.2 Cost Minimization Analysis (CMA)


2.2.1 Definisi Cost Minimization Analysis (CMA)
Cost minimization analysis (CMA) membandingkan dua atau lebih pilihan dengan
tingkat efektivitas yang sama, untuk mencari mana yang membutuhkan sumber daya
paling sedikit . Merupakan teknik yang didesain untuk melakukan pilihan diantara
beberapa alternatif yang mungkin dilakukan dengan mendapatkan outcome yang setara
dengan melakukan identifikasi biaya yang dibutuhkan atau dikeluarkan dari alternatif-
alternatif tersebut.(Merliana, 2015)

2.2.2 Tujuan Cost Minimization Analysis (CMA)


Analisis minimalisasi biaya untuk menentukan biaya program terendah dengan asumsi
besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya relatif yang
dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Kekurangan
yang nyata dari analisis minimalisasi biaya adalah asumsi pengobatan dengan hasil harus
ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat menjadi tidak akurat. Pada akhirnya studi dapat menjadi
tidak bernilai. Pendapat kritis analisis minimalisasi biaya hanya ditujukan untuk prosedur hasil
pengobatan yang sama (Vogenberg, 2001).
2.2.3 Kelebihan dan kekurangan Cost Minimization Analysis (CMA)
Cost Minimization Analysis (CMA) memiliki keuntungan menjadi yang paling
sederhana untuk dilakukan karena hasilnya dianggap setara; dengan demikian, hanya
biaya intervensi yang dapat dibandingkan. Keuntungan dari metode CMA juga
kerugiannya: CMA tidak dapat digunakan ketika hasil intervensi berbeda. Contoh
umum dari analisis minimalisasi biaya adalah membandingkan dua obat generik yang
dinilai setara oleh Food and Drug Administration (FDA). Jika obat-obatan tersebut
setara satu sama lain (tetapi diproduksi dan dijual oleh yang berbeda) perusahaan),
hanya perbedaan biaya obat yang digunakan untuk memilih yang memberikan nilai
terbaik. Dengan demikian, jenis intervensi yang dapat dievaluasi dengan CMA
mungkin terbatas. Tidaklah tepat untuk membandingkan kelas obat yang berbeda

9
menggunakan analisis minimalisasi biaya jika ada catatan perbedaan hasil (Rascati,
2009).
2.3 Hipertensi
2.3.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan
primer kesehatan. Hal itu merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi,
yaitu sebesar 25,8%. Di samping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun
obat-obatan yang efektif banyak tersedia (Riskesdas, 2013).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.
Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten)
dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung
koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat
pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak
terkontrol dan jumlahnya terus meningkat (Kemenkes, 2016).
Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang berusia
diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun
hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi merupakan silent
killer dimana gejala dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama
dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejalanya itu adalah sakit kepala/rasa berat di
tengkuk, mumet (vertigo), jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur,
telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan (AHA, 2014).

2.3.2 Klasifikasi Hipertensi


Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya TD dan berdasarkan
etiologinya. Berdasarkan tingginya TD seseorang dikatan hipertensi bila TD nya >140
mmHg (Gunawan, et al., 2012).

10
Tabel 1 Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC VII, 2003

Tekanan Darah Tekana Darah


Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Stage 1 140-159 90-99

Hipertensi Stage 2 160 atau > 160 100au >100

(Sumber : JNC VII, 2003)

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang
sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan
organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg, dikategotikan
sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Pada hipertensi emergensi
tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang
bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan
menit – jam) untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Contoh gangguan
organ target akut: encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut
disertai edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil, dan
eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan (Depkes, 2006).

Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan organ
target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi oral ke nilai
tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa jam s/d beberap hari. Faktor resiko
Hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik (faktor resiko yang
tidak dapat diubah/dikontrol), kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak
jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan konsumsi minum-minuman beralkohol, obesitas,
kurang aktifitas fisik, stres, penggunaan estrogen (Kemenkes, 2016).

2.3.3 Penggolongan Obat Hipertensi


Pemilihan pengobatan farmakologi tergantung pada drajat meningkatnya tekanan darah
serta keberadaan penyakit lain. Pemilihan obat antihipertensi pada lini pertama (first line
drug) yang digunakan pada awal hipertensi, yaitu ACEI atau ARB, second line yaitu CCB
atau thiazid, dan third line yaitu CCB dan ACEI atau ARB dan thiazid (JNC 8, 2014).

11
1. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACEI)
Secara umum ACE-inhibitor dibedakan atas dua kelompok yaitu yang bekerja
langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril, prodrug, contohnya enalapril, kuinapril,
prindopril, ramipril, silazapril, benazepril, benazeprilat, fosinoprilat, ramiprilat,
silazeprilat, benazeprilat, fosinoprilat dan lain-lain
ACE-inhibitor bekerja menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain
itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikidin dalam darah
meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Besarnya penurunan
tekanan darah pada pemberian akut sebanding dengan tingginya kadar renin plasma.
Namun obat golongan ini tidak hanya efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang
tinggi, tapi juga pada hipertensi dengan renin normal maupun rendah. Hal ini karena
ACE-inhibitor menghambat degradasi bradikinin yang mempunyai efek vasodilatasi.
Selain itu, ACE-inhibitor juga diduga berperan menghambat pembentukan angiotensin
II secara lokal di endotel pembuluh darah. ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi
ringan, sedang maupun berat. Bahkan beberapa diantanya dapat digunakan pada krisis
hipertensi seperti kaptopril dan enalaprilat. Obat ini efektif pada sekitar 70% pasien.
Kombinasi dengan diuretik memberikan efek sinergistik (sekitar 85% pasien TD-nya
terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek hipokalemia diuretik dapat dicegah.
Efek samping yang sering terjadi adalah batuk kering, ruam dan pusing. ACE-inhibitor
harus dihindari oleh pasien dengan arteri stenosisi ginjal karena beresiko menimbulkan
gagal ginjal akut (Gunawan, et al,. 2012).

2. Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)


Contoh obat yang termasuk kedalam golongan ARB adalah valsartan,
kandesartan, irbesarta dan losartan. ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah
pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular
dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang
rendah. Pada pasien dengan hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan. Pemberian ARB
menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung.
Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi reboud. Pemberian jangka
panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah. Losartan menunjukkan efek
urikosurik yang cukup nyata, sedangkan valsartan tidak mempengaruhi asam urat darah

12
ARB harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kerusan hati dan
ginjal serta dikontraindikasikan pada kehamilan. Efek samping yang timbul oleh
golongan obat ARB adalah pusing, diare, kelelahan, rasa sakit dan infeksi (Gunawan,
et al,. 2012).

3. Calcium Channel Bloker (CCB)


Contoh obat yang termasuk kedalam golongan CCB adalah verapamil,
diltiazem dan turunan dihidropiridin (amlodipin, felodipin, telodipin, isradipin,
nikardipin dan nifedipin). Bila CCB perlu dikombinasi dengan penyekat beta,
dihidropiridin harus dipilih karena tidak akan meningkatkan resiko heart block. CCB
bekerja dengan menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan
miokard. Dipembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi
arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering
diikuti dengan reflek takikardia dan vasokontriksi, terutama bila menggunakan
golongan dihidropiridinkerja pendek (nifedipin). Sedangkan diltiazem dan verapamil
tidak menimbulkan takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung
(Gunawan, et al,. 2007).

4. Diuretik
Golongan diuretik bekerja dengan meningkatkan eksresi natrium, air dan
klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler, akibatnya terjadi
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa
diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya.
Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan didalam sel otot polos
pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Bahkan bila
menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi, maka salah satunya dianjurkan
diuretik (Gunawan, et al,. 2012).

a. Diuretik Golongan Tiazid


Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klotiazid dan diuretik lain yang memiliki
gugus aryl-sulfonida (indapamid dan klortalidon). Obat golongan ini bekerja
dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal,

13
sehingga eksresi Na+ dan Cl- meningkat. Efek samping golongan tiazid dapat
menyebabkan hiponatremia dan hipomagnesemia serta hiperkalsemia. Selain
itu, tiazid dapat menghambat eksresi asam urat dari ginjal, dan pada pasien
heperurisemia dapat mencetuskan serangan gout akut. Untuk mengindari efek
metabolik ini, obat golongan tiazid harus digunakan dengan dosis yang rendah
dan dilakukan pengaturan diet (Gunawan, et al,. 2012).
b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics)
Obat yang termasuk dalam golongan diuretik kuat antara lain furosemid,
torasemid, bumetanid dan asam etakrinat. Waktu paruh diuretik kuat umumnya
pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari. Mula kerjanya lebih
cepat dan efek diuretiknya lebih kuat dari golongan tiazid, oleh karena itu
diuretik kuat jarang digunakan sebagai antihipertensi kecuali dengan psien
dengan gangguan fungsi ginjal (kreatin serum >2,5 mg/dL) atau gagal jantung.
Efek samping diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretik
kuat menimbulkan hiperkalsiura dan menurunkan kalsium darah, sedangkan
tiazid menimbulkan hipokalsiura dan meningkatkan kalsium darah (Gunawan,
et al,. 2012).
c. Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah.
Penggunaanya terutama dalam kombinasi diuretik lain untuk mencegah
hipoalemia. Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila
diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, atau bila dikombnasi dengan
penghambat ACE, ARB, beta-blocker, AINS atau dengan suplemen kalium.
Penggunaan harus dihindari bila kreatini serum lebih dari 2,4 mg/dL
(Gunawan, et al,. 2012).

5. Penghambat Sistem Adrenergik


a. Penghambat Adrenoseptor beta (β-Bloker)
Mekanisme antihipertensi : berbagai mekanisme penurunan tekanan darah
akibat pemberian β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara
lain penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan curah jantung, hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler
ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II, efek sentral yang
mempengaruhi efektivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
14
beroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan
biosintesis prostasiklin (Gunawan, et al,. 2012).
Penurunan tekanan darah oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung
lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi
dimulai, dan tidak diperoleh penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila
dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak
menimbulkan retensi air dan garam. Contoh obat dari golongan ini adalah
atenolol, asebutolol, bisoprolol, metoprolol, propanolol, labetolol dan
karvedilol (Gunawan, et al,. 2007).
b. Penghambat Adrenpseptor Alfa (α-Bloker)
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptoe alfa-1 yang digunakan
sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai
antihipertensi karena hambatan eseptor alfa-2 diujung saraf adrenergik akan
meningkatkan aktvasi simpatis. Mekanisme antihipertensi : hambatan reseptor
α1 menyebabkan vasodilatasi di arterior dan venula sehingga menurunkan
resistensi perifer (Gunawan, et al,. 2012).
Alfa-bloker memiliki beberapa keunggulan antara lain efek positf terhadap lipid
darah (menurunkan LDL, dan trigliserida dan meningkatkan HDL) dan
mengurangi retensi insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan
dislipidemia dan/atau diabetes melitus. Obat ini juga memperbaiki insufisiensi
vaskular perifer, tidak mengganggu fungsi jantung, tidak mengganggu aliran
darah ginjal dan tidak berinteraksi dengan AINS (Gunawan, et al,. 2012).
Efek samping golongan ini adalah hipotensi ortostatik sering terjadi pada
pemberian dosis awal atau pada peningkatan dosis (fenomena dosis pertama),
terutama pada obat yang kerjanya singkat seperti prosazin.efek samping lain
antara lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat, mual dan
lain-lain. Contoh obat dari golongan ini adalah prosazin, terazosin, bunazosin
dan deksazosin (Gunawan, et al,. 2012).
c. Adrenolitik Sentral
Contoh obat ini adalah metildopa, klonidin, guanfasin, guanabenz, moksinidin
dan relmedin. Yang paling sering digunakan dalam kelas ini adalah metildopa
dan klonidin. Guanabenz dan guanfasin sudah jarang digunakan, dan analog
klonidin yaitu monoksidin dan rilmedin masih dalam penelitian (Gunawan, et
al,. 2012).
15
Obat golongan ini menurunkan tekanan darah umumnya dengan cara
menstimulasi reseptor α2 adrenergik di otak yang mengurangi aliran simpatik
dari pusat vasomotor dan meningkatkan vonus vagal.
Efek samping yang sering pada golongan obat ini adalah mulut kering dan
sedasi yang dapat dihilangkan dengan pemberian dosis rendah. Sebagaimana
pemberian obat antihipertensi yang bekerja secara sentral. Obat ini juga dapat
menimbulkan depresi, insomnia dan cemas (Setiawati Arini, 2011).
d. Penghambat Saraf Adrenergik
Contoh obat dari golongan ini adalah reserfin, guanetidin dan guanadrel.
Mekanisme kerja reserpin yaitu mengosongkan nerofineprin kedalam granul
penyimpanan. Reserpin juga mengurangi resistensi perifer, denyut jantung dan
curah jantung. Retensi cairan dengan akibat hilangnya efek antihipertensi dapat
terjadi bila tidak diberikan bersama diuretik.
Efek samping paling serius yaitu berhubungan dengan dosis yaitu depresi.
Depresi disebabkan oleh kosongnya ketokolamin dan serotonin di sistem saraf
pusat. Hal ini diminimalkan dengan pemberian tidak lebih dari 0,25 mg/hari
(Setiawati Arini, 2011).
e. Penghambat Ganglion
Contoh obat ini adalah trimetafan, obat ini merupakan satu-satunya penghambat
ganglion yang digunakan di klinik, walaupun sudah semakin jarang. Kerjanya
cepat dan singkat dan digunakan untuk menurunkan tekanan darah dengan
segera seperti pada hipertensi darurat, terutama aneurisma aorta disekan yang
akut dan untuk menghasilkan hipotensi yang terkendali selama operasi besar.
Obat ini diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-5 mg/menit. Efek hipotensi
terjadi dalam 3-5 menit dan menghilang 15 menit setelah penghentian tetesan
infus.
Efek samping yang terjadi berkaitan dengan hambatan ganglion seperti ileus
paralitik dan paralisis kanung kemih, mulut kering, penglihatan kabur dan
hipotensi ortostatik. Selain itu trimetafan dapat menyebabkan pembebasan
histamin dari sel mast sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi (Gunawan, et
al,. 2012).

16
6. Vasodilator
Obat golongan vasodilator menyebabkan relaksasi langsung otot polos arteriol.
Contoh obat yang termasuk vasodilator adalah hidralazin, minoksidil dan diazoksid.
Hidralazin dan monoksidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos arteriol,
aktivitas reflex baroreseptor dapat meningkatkan aliran dari pusat vasomotor,
meningkatkan denyut jantung, curah jantung dan pelepasan rennin. Oleh karena itu,
efek hipotensif dari vasodilator langsung berkurang pada penderita yang juga
mendapatkan inhibitor sompatetik dan diuretik.
Diazoksid merupakan derivate benzotiadiazid dengan struktur mirip tiazid, tetapi tidak
memiliki efek diuresis, diazoksid dapat diabsorpsi dengan baik melalui oral tetapi
penggunaannya hanya diberikan secara intravena untuk mengatasi hipertensi darurat,
hipertensi maligna, hipertensi enselopati dan hipertensi berat pada glomerulonefritis
akut dan kronik (Gunawan, et al,. 2012)

17
BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Demografi Pasien

Pada penelitian penggunaan obat Antihipertensi pada pasien Hipertensi di RSUD


Tasikmalaya , dari 100 pasien hanya 32 pasien yang memenuhi kriteria Inklusi diantaranya
14 pasien laki-laki dan 18 pasien perempuan.

Tabel 1. Deskripsi Demografi

Setelah dilakukan penentuan kriteria inklusi , didapatkan hasil bahwa pasien Wanita lebih
banyak mengalami hipertensi dibandingkan dengan pasien laki-laki, sebenarnya untuk Wanita
dan laki-laki dewasa potensi mengalami penyakit hipertensi yaitu sama, hanya saja pada
Wanita lebih banyak mengalami resiko hipertensi karena berhubungan dengan perubahan
hormonal yang terjadi pada saat menopause (kondisi dimana terjadi penurunan alami pada hormon
reproduksi ketika seorang wanita mencapai usia 40-an atau 50-an.)

Pada penelitian penggunaan obat yang digunakan oleh pasien hipertensi di Rumah Sakit
di Nigeria

18
Rumah Sakit Medical Center memilih 110 dari 315 kasus hipertensi diantaranya 82
pasien perempuan dan 28 pasien laki-laki. Sedangkan Rumah Sakit Negara memilih 145 dari
350 kasus hipertensi yang diantaranya 91 pasien Wanita dan 54 pasien laki-laki.
Hasil yang didapat pada dua fasilitas Kesehatan yaitu di Rumah Sakit Negara dan Rumah Sakit
Medical Center menunjukkan bahwa pasien yang mengalami Hipertensi terbanyak adalah
pasien Wanita (68.7%) sedangkan pada pasien laki-laki hanya (31,3%) dengan rentan usia 51-
60 tahun di Rumah Sakit Negara dan 30-50 tahun di Rumah Sakit Medica Center.

3.2. biaya penggunaan

Pada tabel diatas menunjukkan bahwa biaya penggunaan obat yang paling banyak
digunakan untuk mengobati Hipertensi di RSUD Tasikmalaya adalah golongan
Calsium Chanel Blocker (CCB) kemudian diikuti oleh golongan β-Blocker, Golongan
ARB dan yang terakhir Golongan ACEI.
Penggunaan golongan CCB yaitu Amlodipin sering digunakan dibandingkan dengan

19
golongan obat lain dikarenakan lebih murah, dapat menurunkan resiko efek samping
jika diminum pada malam hari dan amlodipine meningkatkan kepatuhan pasien dalam
minum obat karena penggunaannya hanya 1x sehari saja yang artinya obat tersebut
efektiv mengontrol tekanan darah selama 24 jam.

Pada tabel diatas menunjukkan bahwa profil pengunaan obat hipertensi di Rumah Sakit
Negara Nigeria yang memiliki kontribusi biaya yang paling banyak adalah golongan
ACEI yaitu obat ramipril. Ramipril termasuk kedalam obat monotherapy tunggal yang
terbukti lebih menguntungkan bila diberikan kepada pasie Diabetes Melitus karena
Ramipril membantu mengontrol gula dara acak pasien, Rampril juga menyumbang
24% dari biaya obat hipertensi lain.

3.3. Analisa farmakoekonomi


Cost Minimization Analysis (CMA) Membandingkan dua atau lebih pilihan
dengan tingkat efektivitas yang sama, untuk mencari mana yang membutuhkan sumber
daya paling sedikit . Merupakan teknik yang didesain untuk melakukan pilihan diantara
beberapa alternatif yang mungkin dilakukan dengan mendapatkan outcome yang setara
dengan melakukan identifikasi biaya yang dibutuhkan atau dikeluarkan dari alternatif-
alternatif tersebut. Salah satu evaluasi farmakoekonomi adalah analisis minimalisasi
biaya yang merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, analisis
minimalisasi-biaya hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih
intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau

20
setara atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi
(diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya. Jika dua
terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya
biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek
obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per
periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan.
Analisis minimalisasi biaya adalah tipe analisis untuk menentukan biaya program
terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan
untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam
bentuk hasil yang diperoleh. Kekurangan yang nyata dari analisis minimalisasi biaya
adalah asumsi pengobatan dengan hasil harus ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat
menjadi tidak akurat. Pada akhirnya studi dapat menjadi tidak bernilai. Pendapat kritis
analisis minimalisasi biaya hanya ditujukan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama
(Vogenberg, 2001; Walley, 2004).

Pada data penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi yang di rawat di RSUD Tasikmalaya
data diatas menunjukkan bahwa biaya terbesar di dapatkan Ketika menggunakan obat golongan ACEI
seperti ramipril sebesar Rp1,320.397.5 dan biaya yang paling kecil Ketika menggunakan obat golongan
CCB yaitu amlodipine sebesar Rp 435.230,5. Obat golongan CCB paling cost minimal dibandingkan
dengan obat anti hipertensi lain karena amlodipine paling banyak di gunakan di RSUD Tasikmalaya,
harganya murah, penggunaannya 1x sehari saja sehingga meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum
obat, lama perawatan dan lama tinggal tidak selama pasien yang menggunakan obat golongan ACEI
yaitu ramipril sehingga biaya perawatannya, biaya kunjungan dokter dan biaya penunjang lainnya
rendah.

21
Pada data penggunaan obat yang digunakan oleh pasien Hipertensi di Rumah Sakit di Nigeria
data diatas menunjukkan bahwa biaya yang paling Cost minimal yang paling banyak digunakan
atau diresepkan di Rumah Sakit Nigeria adalah golongan Obat ACEI yaitu Ramipril mengingat
di Nigeria termasuk kedalam ekonomi rendah dan kebanyakan penduduk disana prevalensi
Hipertensinya tinggi dan Sebagian besar obat-obatan di Nigeria diimport ,dan ketika terkena
hipertensi , biaya kesehatannya di tanggung sendiri atau dibayarkan sendiri sehingga obat
generic banyak dipilih untuk mengelola hipertensi karena harganya yang murah dan banyak
tersedia di fasilitas Kesehatan di Nigeria,

22
BAB IV

PENUTUP
3.4 KESIMPULAN
1. Cost minimization analysis (CMA) membandingkan dua atau lebih pilihan dengan
tingkat efektivitas yang sama, untuk mencari mana yang membutuhkan sumber daya
paling sedikit. Untuk melakukan pilihan diantara beberapa alternatif yang mungkin
dilakukan dengan mendapatkan outcome yang setara dengan melakukan identifikasi
biaya yang dibutuhkan atau dikeluarkan dari alternatif-alternatif tersebut.
2. Obat yang paling banyak digunakan untuk mengobati Hipertensi di RSUD Tasikmalaya
adalah golongan Calsium Chanel Blocker (CCB). Karena golongan CCB yaitu
Amlodipin sering digunakan dibandingkan dengan golongan obat lain dikarenakan
lebih murah.
3. Penggunaan obat yang banyak digunakan oleh pasien Hipertensi di Rumah Sakit di
Nigeria adalah golongan Obat ACEI yaitu Ramipril. Karena di negara tersebut obat
generik yang paling banyak dipilih untuk mengobati Hipertensi dan paling banyak
tersedia di fasilitas Kesehatan serta harganya terjangkau.

23
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Tri Murti, 2013. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi, Yogyakarta: Bursa
Ilmu.

Bootman, J.L., Townsend R.J., McGhan W.F. 2005. Principlesofpharmacoeconomics, 3rd


edition. Harvey Whitney Books company. US.

American Heart Association. (2014). Heart Disease and Stroke Statistics. AHA Statistical
Update, hal 205.
Gunawan, S. G., Nafraldi, R. S., & Elysabeth. (2012). Farmakologi dan Terapi Edisi 5,
Dapartemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Jakarta 2007, hal 342-359.

Alifiar,Iham dan Keni Idacahyati . 2018. Kajian Farmakoekonomi Penggunaan Obat


Antihipertensi pada Pasien Hipertensi yang Dirawat di RSUD Kota Tasikmalaya.
Program Studi S1 Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada. Vol 05,
No. 02 hal: 126-133

JNC 7, 2003, The Seventh Joint National Committee on Prevention Detection Evaluation and
Treatment of Hight Blood Pressure .

JNC 8, 2014, The Eighth Joint National Committee on Prevention Detection Evaluation and
Treatment of Hight Blood Pressure .

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.(2016). Modul Anatomi Fisiologi Manusia.


Cetakan Pertama Desember. Jakarta Selatan : Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Murti, Tri Andayani. 2013.Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi. Yokyakarta: Bursa

Ilmu.

Orion, (1997). Pharmacoecomics Primer and Guide Introduction to Economic Evaluation.


Hoesch Marion Rousell Incorporation. Virginia

Oamen, Theophilus Ehidiamen & Kanayo Patrick Osemene. 2021. Drug Utilization
Evaluation of Medications Used by Hypertensive Patients in Hospitals in Nigeria,
Hospital Topics: Nigeria.

Vogenberg. FR (2001). Introduction To Applied Pharmacoeconomics. Editor: Zollo


S.McGraw-Hill Companies, USA

24
25

Anda mungkin juga menyukai