FARMAKOEKONOMI
Disusun oleh:
Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya atas rahmat dan petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis berupa
makalah yang berjudul “ Farmakoekonomi“.
Sumber dari makalah ini diambil dari buku-buku yang berhubungan
dengan farmasi ekonomi dan lainnya yang ditambah dengan informasi yang
didapat dari sumber-sumber. Diantara sumber-sumber tersebut kami susun semua
informasi dalam satu makalah sehingga menurut kami makalah ini sudah cukup
informatif.
Dalam penulisan makalah ini pastilah ada banyak kendala yang kami
temui namun kami berhasil menghadapinya dan menyelesaikan makalah ini tepat
waktu. Akhir kata jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hati pembaca mohon
dimaklumi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik
perhatian. Sementara itu sesuai dengan kebijakan pemerintah, tenaga kesehatan
diharapkan dapat lebih mendekatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat.
Dalam menjawab berbagai tantangan tersebut diperlukan pemikiran-pemikiran
khusus dalam meningkatkan efisiensi atau penggunaan dana secara lebih rasional
(Trisna, 2010).
Biaya pelayanan kesehatan khususnya biaya obat telah meningkat tajam
beberapa dekade terakhir, dan kecenderungan ini tampaknya akan terus berlanjut.
Hal ini antara lain disebabkan populasi pasien usia lanjut yang semakin banyak
dengan konsekuensi meningkatnya penggunaan obat, adanya obat-obat baru yang
lebih mahal dan perubahan pola pengobatan. Di sisi lain, sumber daya yang dapat
digunakan terbatas sehingga harus dicari cara agar pelayanan kesehatan menjadi
efisien dan ekonomis. Tidak hanya meneliti penggunaan dan efek obat dalam hal
khasiat dan keamanan saja, tetapi juga menganalisis dari segi ekonominya. Studi
khusus yang mempelajari hal tersebut dikenal dengan nama farmakoekonomi
(Trisna, 2010).
Dengan demikian, tujuan farmakoekonomi adalah untuk memperbaiki
kesehatan individu dan publik, serta memperbaiki proses pengambilan keputusan
dalam memilih nilai relatif diantara terapi-terapi alternative. Jika digunakan secara
tepat, data farmakoekonomi memungkinkan penggunanya mengambil keputusan
yang lebih rasional dalam proses pemilihan terapi, pemilihan pengobatan, dan
alokasi sumberdaya sistem. Dalam kaitannya dengan hal ini, penggunanya bisa
dari berbagai kalangan, diantaranya pengambil keputusan klinis dan administratif,
termasuk dokter, apoteker, anggota komite formularium dan administrator
perusahaan asuransi.
1
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan farmakoekonomi ?
2) Apa saja ruang lingkup farmakoekonomi ?
3) Bagaimana hubungan farmakoekonomi dengan mata kuliah lain ?
4) Apa saja metode evaluasi farmakoekonomi ?
5) Bagaimana hubungan farmakoekonomi dengan pengembangan obat?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 1. Persamaan Farmakoekonomi Dasar (Rascati, 2009)
4
Bagi pemerintah, farmakoekonomi sangat berguna dalam memutuskan
apakah suatu obat layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, serta
membuat kebijakan-kebijakan strategis lain yang terkait dengan pelayanan
kesehatan. Contoh kebijakan terkait farmakoekonomi yang relatif baru diterapkan
di Indonesia adalah penerapan kebijakan INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related
Group) yang menyetarakan standar pelayanan kesehatan di rumah sakit
pemerintah.
Hasil studi farmakoekonomi dapat berguna untuk industri farmasi dalam
hal, antara lain penelitian dan pengembangan obat, strategi penetapan harga obat,
serta strategi promosi dan pemasaran obat.
Selain itu, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk memutuskan
obat mana saja yang dapat dimasukkan atau dihapuskan dalam formularium
rumah sakit, yang biasanya disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi Rumah
Sakit. Farmakoekonomi juga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan pedoman
terapi obat.
Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan mewujudkan
penggunaan obat yang rasional dengan membantu pengambilan keputusan klinik,
mengingat penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan aspek
keamanan, khasiat, dan mutu saja, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek
ekonomi. Pada akhirnya, pasien diharapkan akan memperoleh alokasi sumber
daya pelayanan kesehatan yang optimal dengan cara mengukur serta
membandingkan aspek khasiat serta aspek ekonomi dari berbagai alternatif terapi
pengobatan.
Dengan memahami peranan farmakoekonomi dalam mengendalikan biaya
pengobatan, sudah selayaknya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam proses
pengambilan kebijakan pelayanan kesehatan sehingga dapat tercapai hasil yang
efisien dan ekonomis. Kesadaran akan terbatasnya sumber daya dalam upaya
pelayanan kesehatan membuat kebutuhan akan farmakoekonomi menjadi semakin
mendesak.
5
2.3 Metode Farmakoekonomi
Adapun prinsip farmakoekonomi sebagai berikut yaitu menetapkan
masalah, identifikasi alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income
dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan
mengukur outcome dari alternatif intervensi, menilai biaya dan efektivitas, dan
langkah terakhir adalah interpretasi dan pengambilan kesimpulan. Data
farmakoekonomi dapat merupakan alat yang sangat berguna dalam membantu
membuat beberapa keputusan klinik, seperti pengelolaan formularium yang
efektif, pengobatan pasien secara individual, kebijakan pengobatan dan alokasi
dana (Vogenberg, 2001).
Metode evaluasi farmakoekonomi terdiri dari lima macam yaitu Cost-
Analysis (CA), Cost Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis
(CEA), Cost-Utility Analysis (CUA), Cost-Benefits Analysis (CUA) (Dipiro et
al.,2005).
a. Cost Analysis (CA)
Cost-Analysis, yaitu tipe analisis yang sederhana yang mengevaluasi
intervensi-intervensi biaya. Cost-Analysis dilakukan untuk melihat semua biaya
dalam pelaksanaan atau pengobatan, dan tidak membandingkan pelaksanaan,
pengobatan atau evaluasi efikasi (Tjandrawinata, 2000). Menurut Trisnantoro
(2005) adanya tiga syarat mutlak yang harus dilakukan, sebelum analisis biaya
dilakukan, yaitu : struktur organisasi rumah sakit yang baik, sistem akuntansi
yang tepat, adanya informasi statistik yang cukup baik. Menurut Trisnantoro
(2005) penerapan analisi biaya (cost analysis) di rumah sakit selalu mengacu pada
penggolongan biaya juga menggolongkan biaya menjadi 8 macam, yaitu:
1) Biaya Langsung (direct cost) merupakan biaya yang melibatkan proses
petukaran uang untuk penggunaan sumber. Kaitannya dengan pertukaran
uang, misalnya pasien diberi obat, maka pasien tersebut harus
membayarnya dengan sejumlah uang tertentu. Contoh biaya langsung
adalah biaya obat, biaya operasional (upah untuk dokter dan perawat, sewa
ruangan, pemakaian alat, dan lainnya), dan biaya lain-lain (seperti : bonus,
subsidi, sumbangan).
6
2) Biaya tidak langsung (indirect cost) merupakan biaya yang tidak
melibatkan proses pertukaran uang untuk penggunaan sumber karena
berdasarkan komitmen. Contohnya adalah biaya untuk hilangnya
produktivitas (tidak masuk kerja, upah), waktu (biaya perjalanan,
menunggu), dan lain-lain (seperti biaya untuk penyimpanan, pemasaran,
dan distribusi).
3) Biaya tak teraba (intangible cost) merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk hal-hal yang tak teraba, sehingga sukar diukur. Biaya ini bersifat
psikologis, sukar dijadikan nilai mata uang. Contohnya adalah biaya untuk
rasa nyeri atau penderitaan, cacat, kehilangan kebebasan, dan efek
samping.
4) Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh
perubahan volume keluarnya (output). Jadi biaya ini tidak berubah
meskipun ada peningkatan atau penurunan output, kecuali untuk gaji
berkala. Contohnya adalah gaji PNS (pegawai Negeri Sipil), sewa
ruangan, dan ongkos peralatan.
5) Biaya tidak tetap (variable cost) merupakan biaya yang dipengaruhi oleh
perubahan volume keluaran (output). Jadi, biaya ini akan berubah apabila
terjadi peningkatan atau penurunan output. Contohnya adalah komisi
penjualan dan harga obat.
6) Biaya rata-rata (average cost) merupakan biaya konsumsi sumber per unit
output. Jadi hasil pembagian dari biaya total dengan volume atau kuantitas
output. Biaya rata-rata adalah total biaya dibagi jumlah kuantitas output.
7) Marginal cost merupakan perubahan total biaya hasil dari bertambah atau
berkurangnya unit dari output.
8) Opportunity cost merupakan besarnya biaya sumber pada saat nilai
tertinggi dari penggunaan alternatif. (Trisnantoro, 2005)
b. Cost-Minimization Analysis (CMA)
Cost-Minimization Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya
program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis
ini digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi
7
yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Suatu kekurangan yang nyata dari
analisis costminimization yang mendasari sebuah analisis adalah pada asumsi
pengobatan dengan hasil yang ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat menjadi
tidak akurat, pada akhirnya studi menjadi tidak bernilai. Pendapat kritis analisis
cost-minimization hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama
(Orion, 1997). Contoh dari analisis cost-minimization adalah terapi dengan
antibiotika generik dengan paten, outcome klinik (efek samping dan efikasi sama),
yang berbeda adalah onset dan durasinya. Maka pemilihan obat difokuskan pada
obat yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).
c. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)
Analisis cost-effectiveness adalah tipe analisis yang membandingkan
biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran nonmoneter, dimana pengaruhnya
terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis cost-effectiveness merupakan salah
satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa
program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria
penilaian program mana yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit
cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai
discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau
pengambil keputusan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).
Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-effectiveness
berdasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan
tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian
dan kasus yang bisa dicegah. Analisis cost effectiveness mengkonversi cost dan
benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang dibandingkan (Tjiptoherijanto dan
Soesetyo, 1994).
Dalam studi farmakoekonomi untuk menginterpretasikan dan melaporkan
hasil dapat diwujudkan kedalam bentuk rasio efektivitas, yaitu average cost-
effectiveness ratio (ACER) dan incremental costeffectiveness ratio (ICER).
Apabila suatu intervensi memiliki average cost-effectiveness ratio (ACER) paling
rendah per unit efektivitas, maka intervensi tersebut paling cost-effective,
8
sedangkan incremental costeffectiveness ratio (ICER) merupakan tambahan biaya
untuk menghasilkan satu unit peningkatan outcome relatif terhadap alternatif
intervensinya (Spilker, 1996).
d. Cost-Utility Analysis (CUA)
Analisis Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam
utility beban lama hidup, menghitung biaya per utility, mengukur ratio untuk
membandingkan diantara beberapa program. Analisis costutility mengukur nilai
spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat. Seperti
analisis cost-effectiveness, cost-utility analysis membandingkan biaya terhadap
program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan
yang diakibatkan perawatan kesehatan (Orion, 1997).
Dalam cost-utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk
penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya
ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan
kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai QALYs, sebagai contoh jika
pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1
(satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas
hidup. Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status
tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).
e. Cost-Benefits Analysis (CBA)
Analisis Cost-Benefit adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan
manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya
terhadap hasil perawatan kesehatan. Tipe analisis ini sangat cocok untuk alokasi
bahan-bahan jika keuntungan ditinjau dari perspektif masyarakat. Analisis ini
sangat bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan biaya mudah dikonversi ke
dalam bentuk rupiah (Orion, 1997).
Merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu
intervensi dengan beberapa ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil
perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang
berbeda untuk kondisi yang berbeda. Merupakan tipe penelitian farmakoekonomi
9
yang kompreherensif dan sulit dilakukan karena mengkonversi benefit kedalam
nilai uang (Vogenberg, 2001).
Pertanyaan yang harus dijawab dalam cost-benefit analysis adalah
alternatif mana yang harus dipilih diantara alternatif-alternatif yang dapat
memberikan manfaat atau benefit yang paling besar (Tjiptoherijanto dan
Soesetyo, 1994).
2.4 Diabetes
Diabetes melitus adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sebagai akibat insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin
(Anonim,1999).
2.5 Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-
macam. Meskipun berbagai lesi dan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah
pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan
penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.
Manifestasi klinis dari diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta
rusak. Pada diabetes melitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah
dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik
yang berkaitan dengan defisiensi insulin (Anonim, 1999).
2.6 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi diabetes melitus yang diperkenalkan oleh National Diabetes
Data Group of The National Institutes of Health, berdasarkan pengetahuan
mutakhir mengenai sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Menurut
Price dan Wilson (1995) empat klasifikasi klinis diabetes melitus, yaitu:
1) Tipe 1 (tergantung insulin)
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan karena kerusakan autoimun produksi
insulin pada sel beta pankreas, sehingga kekurangan insulin menurun sangat cepat
10
sampai akhirnya tidak ada insulin lagi yang disekresi. Karena itu substitusi insulin
tidak dapat dielakkan (disebut diabetes yang tergantung insulin).
2) Tipe 2 (tak tergantung insulin)
Diabetes melitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan diabetes melitus tipe 1. Penderita diabetes
melitus tipe 2 mencapai 90-95 % dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Diabetes melitus tipe 2 sering terjadi pada usia di atas 45 tahun, tetapi
akhir-akhir ini penderita diabetes melitus tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak
populasinya meningkat. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1, pada diabetes
melitus tipe 2 terutama berada pada tahap awal umumnya dapat dideteksi jumlah
insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi.
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut resistensi insulin. Obesitas atau kegemukan
sering dikaitkan pada penderita diabetes melitus tipe 2.
3) Diabetes kehamilan
Diabetes kehamilan adalah intoleransi glukosa yang mulai timbul atau
mulai diketahui selama pasien hamil. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai
hormon disertai pengaruh metaboliknya terhadap toleransi glukosa, maka
kehamilan merupakan keadaan diabetogenik.
4) Diabetes spesifik
Contoh dari diabetes spesifik adalah DM karena defekasi genetik fungsi
sel beta, defekasi genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati,
diabetes melitus karena obat, diabetes melitus karena infeksi, diabetes melitus
imunologi dan sindrom genetik (Price dan Wilson, 1995)
11
BAB III
PEMBAHASAN
12
umumnya digunakan untuk mengevaluasi manfaat kesehatan perawatan obat
untuk mendapatkan nilai terbaik untuk uang. Evaluasi ekonomi dari produk medis
partic- ularly penting di negara seperti China, di mana untuk penyertaan obat
dalam daftar obat esensial nasional, panggilan masuk dan keluar dari obat di
National Penggantian Obat Daftar, dan harga dari obat baru, obat paten, dan obat-
obatan lainnya,
Table 1 – Clinical scenario’s for patients with T2DM with different body weight.
13
mg / d diberikan dalam dosis terbagi pada minggu
ketiga, dan 2000 mg / d diberikan dalam dosis terbagi
dari minggu keempat dan seterusnya. Acarbose
dimulai dari 50 mg / d selama minggu pertama dan
dititrasi hingga 100 mg / d diberikan dalam terbagi
dosis pada minggu kedua dan 150 mg / d diberikan
dalam dosis terbagi dari minggu ketiga dan
seterusnya.
14
dalam dosis terbagi pada minggu kedua, sampai 1500
mg / d diberikan dalam dosis terbagi pada minggu
ketiga, dan 2000 mg / d diberikan dalam dosis terbagi
dari minggu keempat dan seterusnya. Acarbose
dimulai dari 50 mg / d selama minggu pertama dan
dititrasi hingga 100 mg / d diberikan dalam dosis
terbagi pada minggu kedua, 150 mg / d diberikan
dalam dosis terbagi pada minggu ketiga, dan 300 mg /
d dari minggu keempat dan seterusnya.
15
Patients with T2DM with weight > 60 kg
˙Lowest, the lowest set by market; highest, the highest price set by govemment.
‡Saving in annual cost = (annual cost of acarbose – annual cost of metformin) x 100/annual
cost of acarbose.
16
di analisis sensitivitas, untuk cermin profil biaya kehidupan nyata. Hasil ini
konsisten dengan analisis kasus dasar, menguatkan metformin yang lebih hemat
biaya daripada bose acar-. Hasil kami, bagaimanapun, mungkin merupakan
keuntungan biaya-efektif untuk metformin hanya jika perbedaan dosis ment
menyesuaikan nilai dan monitoring yang diamati dalam praktek klinis nyata dan
hipotesis yang mendasarinya tersebut di atas adalah benar.
Hasil dari studi ini mengkonfirmasi temuan dari beberapa studi evaluasi
nomic eko dilakukan di Cina, membandingkan terpenuhi-Formin monoterapi
dengan monoterapi acarbose dalam pengobatan T2DM. Studi melaporkan bahwa
metformin adalah biaya-efektif daripada acarbose untuk mengobati DMT2, dan
khususnya, itu unggul acarbose dalam mengendalikan glukosa darah puasa .
Sebagai jalannya DMT2 memperpanjang, terapi tunggal mungkin merasa sulit
untuk secara efektif mengontrol kadar glukosa darah pasien dengan DMT2, dan
kemudian ada kebutuhan untuk menggunakan terapi kombinasi untuk
memperkuat kontrol glikemik dalam praktek klinis. Dalam konteks ini, beberapa
studi menilai kemanjuran komparatif dan biaya metformin dan acarbose dari
perspektif kombinasi obat juga menunjukkan bahwa terapi kombinasi metformin
masih rejimen terapi lebih dibandingkan dengan acarbose terapi kombinasi.
Theless pernah-, keandalan hasil evaluasi ini mungkin con tegang disebabkan
ukuran sampel yang kecil (kisaran 87-705) dalam uji klinis basal mereka; dengan
demikian, temuan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Selain itu, review
evaluasi ekonomi metformin hidroklorida dan acarbose menunjukkan bahwa
mereka memiliki peran yang sama dalam memperpanjang hidup pasien,
meningkatkan penyakit kardiovaskular, dan mencegah atau menunda timbulnya
T2DM. Metformin hidroklorida adalah pengobatan pilihan untuk pasien dengan
DMT2, dengan efisiensi yang lebih tinggi dalam mengurangi glukosa darah puasa
dan biaya minimum dibandingkan dengan obat hipoglikemik lainnya. Meskipun
acarbose baik untuk mengurangi glukosa darah postprandial, ia memiliki biaya
yang lebih tinggi. Selain itu, pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa,
metformin demon- strates nilai yang lebih baik untuk uang. Metformin lebih
17
hemat biaya tidak hanya dalam mengobati diabetes mellitus tipe 2, tetapi juga
dalam mencegah timbulnya diabetes dibandingkan dengan acarbose.
18
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya terbatas misalnya
pada Rumah Sakit pemerintah dengan dana terbatas dimana hal yang terpenting
adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia,
pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien, profesi
pada pelayanan kesehatan (Dokter, Farmasis, Perawat) dan administrator tidak
sama dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin.
Manfaat utama yang dapat diperoleh dengan menerapkan farmakoekonomi
dalam setiap pengobatan yang dilakukan adalah meminimalkan biaya pengobatan
serendah mungkin dari mulai terapi sampai sembuh dan terhindar dari tuntutan
pihak asuransi karena pengobatan yang mahal.
Analisis biaya-minimisasi dilakukan pada asumsi bahwa metformin dan
acarbose memiliki efektivitas klinis setara. Biaya pengobatan terdeteksi dan
dievaluasi dari sudut pandang pembayar. Dalam analisis sensitivitas, beberapa
skenario klinis dikembangkan sesuai dengan praktek klinis dan perilaku resep
dokter di Cina.
Metformin muncul untuk memberikan nilai yang lebih baik untuk uang
daripada acarbose. Temuan dari penelitian ini konsisten dengan penelitian
sebelumnya bahwa metformin tidak diragukan lagi pilihan pertama dalam
pengelolaan DMT2, dengan efek signifikan glukosa penurun dan biaya
pengobatan yang rendah.
Metformin dapat menghemat biaya perawatan tahunan 39,87% menjadi
40,97% dibandingkan dengan acarbose.
19
DAFTAR PUSTAKA
20