Anda di halaman 1dari 21

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal, sudah tentu mutlak
diperlukan suatu pelayanan yang bersifat terpadu komperensiv dan profesional dari para
profesi kesehatan. Rumah sakit merupakan salah satu unit /instansi kesehatan yang sangat
vital dan strategis dalam melayani kesehatan masyarakat, dimana aspek pelayanan sangatlah
dominan dan menentukan.
Pelayanan kefarmasian merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang
tidak terpisahkan, salah satu aspek pelayanan kefarmasian yaitu pelayanan informasi obat
yang diberikan oleh apoteker kepada pasien dan pihak-pihak terkait lainya. Informasi obat
adalah suatu bantuan bagi dokter dalam pengambilan keputusan tentang pilihan terpai obat
yang paling tepat bagi seorang pasien. Pelayanan informasi obat yang diberikan tersebut
harus lengkap, objektif, berkelanjutan dan selalu baru up to date.
Definisi Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan
oleh apoteker untuk memberi informasi secara akurat, tidak biasa dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien (Anonim, 2004).
Definisi Konseling Salah satu interaksi antara apoteker dengan pasien adalah melalui
konseling obat. Konseling obat sebagai salah satu cara atau metode pengetahuan pengobatan
secara tatap muka atau wawancara merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman pasien dalam penggunaan obat.
Mengingat demikian pentingnya fungsi dari pelayanan informasi obat dan konseling obat
dirumah sakit, maka diperlukan suatu acuan atau pedoman. Maka dari itu makalah ini dibuat
oleh penyusun dan dijelaskan berdasarkan sumber yang didapatkan.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa Definisi Pelayanan Informasi Obat?
 Apa Ruang Lingkup Pelayanan Informasi Obat?
 Apa Tujuan dan Prioritas Pelayanan Informasi Obat?
 Apa Fungsi Pelayanan Informasi Obat?
 Apa Langkah-Langkah Pelayanan Informasi Obat?
 Apa Sumber Informasi Obat?
2

 Apa Sasaran Pelayanan Informasi Obat?


 Apa Metode Pelayanan Informasi Obat?
 Apa Strategi Pencarian Informasi Secara Sistemik?
 Apa Metode Menjawab Pertanyaan Informasi?
 Apa Kategori Pelayanan Informasi Obat?
 Apa Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat?
 Apa Evaluasi Kegiatan?
 Apa definisi Konseling?
 Apa Tujuan Konseling?
 Apa Manfaat konseling?
 Apa Prinsip dasar konseling?
 Apa Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konseling?
 Apa Kendala Konseling?

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui Definisi Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Ruang Lingkup Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Tujuan dan Prioritas Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Fungsi Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Langkah-Langkah Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Sumber Informasi Obat
 Untuk mengetahui Sasaran Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Metode Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Strategi Pencarian Informasi Secara Sistemik
 Untuk mengetahui Metode Menjawab Pertanyaan Informasi
 Untuk mengetahui Kategori Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat
 Untuk mengetahui Evaluasi Kegiatan
 Untuk mengetahui definisi Konseling
 Untuk mengetahui Tujuan Konseling
 Untuk mengetahui Manfaat konseling
 Untuk mengetahui Prinsip dasar konseling
 Untuk mengetahui Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konseling
 Untuk mengetahui Kendala Konseling
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pelayanan Informasi Obat


Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh
apoteker untuk memberi informasi secara akurat, tidak biasa dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien (Anonim, 2004).
Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian, pengevaluasian,
pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan, pendistribusian, penyebaran
serta penyampaian informasi tentang obat dalam berbagai bentuk dan metode kepada
pengguna nyata yang mungkin (Siregar, 2004).
Ada berbagai macam definisi dari informasi obat, tetapi pada umumnya maksud dan
intinya sama. Salah satu definisinya, informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan
objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi dan
farmakoterapi obat. Informasi obat mencakup, tetapi tidak terbatas pada pengetahuan seperti
nama kimia, struktur dan sifat sifat, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi,
mekanisme kerja, waktu mulai kerja dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang
direkomendasikan, absorpsi, metabolisme detoksifikasi, ekskresi, efek samping dan reaksi
merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan, tanda dan gejala dan pengobatan
toksisitas, efikasi klinik, data komparatif, data klinik, data penggunaan obat dan setiap
informasi lainnya yang berguna dalam diagnosis dan pengobatan pasien (Siregar, 2004).
Kemenkes no 1197 tahun 2004 BAB VI mendefinisikan PIO sebagai kegiatan pelayanan
yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, terkini baik kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Kegiatan yang dilakukan
dalam PIO dapat berupa:
a. Pemberian informasi kepada konsumemn secara aktif maupun pasif melalui surat,
telfon, atau tatap muka.
b. Pembuatan leaflet, brosur, maupun poster terkait informasi kesehatan
c. Memberikan informasi pada panitia farmasi terapi dalam penyusunan formularium
rumah sakit
d. Penyuluhan
e. Penelitian.
4

Pelayanan Informasi Obat (PIO) didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan


pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, serta terkini
oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan (Anonim, 2006).
Unit ini dituntut untuk dapat menjadi sumber terpercaya bagi para pengelola dan pengguna
obat, sehingga mereka dapat mengambil keputusan dengan lebih mantap (Juliantini dan
Widayanti, 1996).
Adapun ciri-ciri pelayanan informasi obat meliputi :
a. Mandiri (bebas dari segala bentuik keterikatan)
b. Objektif (sesuai dengan kebutuhan)
c. Seimbang
d. Ilmiah
e. Berorientasi kepada pasien dan pro aktif.

2.2 Ruang Lingkup Pelayanan Informasi Obat


Ruang lingkup jenis pelayanan informasi rumah sakit di suatu rumah sakit, antara lain:
a. Pelayanan Informasi Obat untuk Menjawab Pertanyaan
Penyedia informasi obat berdasarkan permintaan, biasanya merupakan salah satu
pelayanan yang pertama dipertimbangkan. Pelayanan seperti ini memungkinkan penanya
dapat memperoleh informasi khusus yang dibutuhkan tepat pada waktunya. Sumber
informasi dapat dipusatkan dalam suatu sentra informasi obat di instalasi farmasi rumah
sakit.
b. Pelayana Informasi Obat untuk Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaaan obat adalah suatu program jaminan mutu pengguna obat di
suatu rumah sakit. Suatu program evaluasi penggunaan obat memerlukan standar atau
kriteria penggunaan obat yang digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi ketepatan
atau ketidak tepatan penggunaan obat. Oleh karena itu, biasanya apoteker informasi obat
memainkan peranan penting dalam pengenbangan standar atau criteria penggunaan obat.
c. Pelayanan Informasi Obat dalam Studi Obat Investigasi
Obat investigasi adalah obat yang dipertimbangkan untuk dipasarkan secara komersial,
tetapi belum disetujui oleh BPOM untuk digunakan pada manusia. Berbagai pendekatan
untuk mengadakan pelayanan ini bergatung pada berbagai sumber rumah sakit. Tanggung
jawab untuk mengkoordinasikan penambahan, pengembangan, dan penyebaran informasi
yang tepat untuk obat investigasi terletak pada suatu pelayanan informasi obat.
5

d. Pelayanan Informasi Obat untuk Mendukung Kegiatan Panitia Farmasi dan Terapi
Partisipasi aktif dalam panitia ini merupakan peranan instalasi farmasi rumah sakit
yang vital dan berpengaruh dalam proses penggunaan obat dalam rumah sakit. Hal ini
dapat disiapkan dengan memadai oleh suatu pelayanan informasi obat.
e. Pelayanan Informasi Obat dalam bentuk publikasi
Upaya mengkomunikasikan informasi tentang kebijakan penggunaan obat dan
perkembangan mutakhir dalam pengobatan yang mempengaruhi seleksi obat adalah
suatu komponen penting dari pelayanan informasi obat. Untuk mencapai sasaran itu,
bulletin farmasi atau kartu informasi yang berfokus kepada suatu golongan obat, dapat
dipublikasikan dan disebarkan kepada professional kesehatan (Siregar, 2004).

2.3 Tujuan dan Prioritas Pelayanan Informasi Obat


A. Tujuan Pelayanan Informasi Obat
1. Mendorong penggunaan obat secara:
a. Efektif
Efektif yaitu tercapainya tujuan terapi secara optimal, termasuk juga efektivitas
biaya, yang ditandai dengan keluaran positif lebih besar daripada keluaran negatif.
b. Aman
Aman berarti bahwa efek obat yang merugikan dapat diminimalkan dan tidak
membahayakan pasien.
c. Rasional
Rasional yaitu bahwa pengobatan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
sehingga dengan adanya pelaksanaan pelayanan informasi obat diharapkan obat yang
diberikan kepada pasien dapat memenuhi kriteria, yaitu tepat pasien, tepat dosis,
tepat rute pemberian dan tepat cara penggunaan.
2. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan
pihak lain.
3. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan obat terutama bagi PFT/KFT (Panitia/Komite Farmasi dan Terapi).

B. Proritas Pelayanan Informasi Obat


Sasaran utama pelayanan informasi obat adalah penyempurnaan perawatan pasien
melalui terapi obat yang rasional.Oleh karena itu, prioritas harus diberikan kepada
6

permintaan informasi obat yang paling mempengaruhi secara langsung pada perawatan
pasien. Proritas untuk permintaan informasi obat diurutkan sebagai berikut :
1. Penanganan/pengobatan darurat pasien dalam situasi hidup atau mati.
2. Pengobatan pasien rawat tinggal dengan masalah terapi obat khusus.
3. Pengobatan pasien ambulatory dengan masalah terapi obat khusus.
4. Bantuan kepada staf professional kesehatan untuk penyelesaian tanggung jawab
mereka.
5. Keperluan dari berbagai fungsi PFT.
6. Berbagai proyek penelitian yang melibatkan penggunaan obat.

2.4 Fungsi Pelayanan Informasi Obat


Fungsi pelayanan informasi obat antara lain:
a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
dilingkungan rumah sakit
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan kebijakan yang berhubungan dengan
obat, terutama bagi Komite Farmasi dan Terapi.
c. Meningkatkan profesionalisme apoteker.
d. Menunjang terapi obat yang rasional.
e. Meningkatkan keberhasilan pengobatan.

2.5 Langkah-Langkah Pelayanan Informasi Obat


Langkah-langkah sistematis pemberian informasi obat oleh petugas PIO :
a. Penerimaan permintaan Informasi Obat: mencatat data permintaan informasi dan
mengkategorikan permasalahan: aspek farmasetik (identifikasi obat, perhitungan
farmasi, stabilitas dan toksisitas obat), ketersediaan obat, harga obat, efek samping obat,
dosis obat, interaksi obat, farmakokinetik, farmakodinamik, aspek farmakoterapi,
keracunan, perundang-undangan.
b. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan: menanyakan lebih dalam
tentang karakteristik pasien dan menanyakan apakah sudah diusahakan mencari
informasi sebelumnya
c. Penelusuran sumber data : rujukan umum, rujukan sekunder dan bila perlu rujukan
primer.
7

d. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan : jawaban jelas, lengkap dan benar,
jawaban dapat dicari kembali pada rujukan asal dan tidak boleh memasukkan pendapat
pribadi.
e. Pemantauan dan Tindak Lanjut : menanyakan kembali kepada penanya manfaat
informasi yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis (Juliantini dan Widayati,
1996). Langkah-langkah sistematis tersebut dapat di gambarkan pada gambar 1.

Gambar 1. Alur menjawab pertanyaan dalam pelayanan informasi obat (Anonim, 2006).
Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa penanya berada di ruang PIO, petugas mengisi formulir
mengenai klasifikasi, nama penanya dan pertanyaan yang ditanyakan, setelah itu petugas
menanyakan tentang informasi latar belakang penyakit mulai muncul, petugas melakukan
penelusuran sumber data dengan mengumpulkan data yang ada kemudian data dievaluasi.
Formulir jawaban didokumentasikan oleh petugas baru kemudian dikomunikasikan kepada
penanya.
8

2.6 Sumber Informasi Obat


a. Sumber daya, meliputi :
1. Tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, dokter gigi, tenaga kesehatan lain
merupakan sumber informasi obat.
2. Pustaka
Terdiri dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan Farmakope.
3. Sarana
Fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet, dan perpustakaan.
4. Prasarana
Industri farmasi, Badan POM, Pusat informasi obat, Pendidikan tinggi farmasi,
Organisasi profesi (dokter, apoteker, dan lain-lain).
5. Sumber informasi lainnya
Selain sumber informasi yang sudah disebutkan diatas, masih terdapat beberapa
sumber informasi obat lainnya. Diantaranya informasi obat dari media massa, leaflet,
brosur, etiket dan informasi yang berasal dari seorangMedical Representative.
b. Pustaka sebagai sumber informasi obat
Sumber informasi obat adalah Buku Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat
Indonesia (ISO), Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI), Farmakologi dan Terapi,
serta buku-buku lainnya. Informasi obat juga dapat diperoleh dari setiap kemasan atau
brosur obat yang berisi :
1. Nama dagang obat jadi
2. Komposisi
3. Bobot, isi atau jumlah tiap wadah
4. Dosis pemakaian
5. Cara pemakaian
6. Khasiat atau kegunaan
7. Kontra indikasi (bila ada)
8. Tanggal kadaluarsa
9. Nomor ijin edar/nomor regristasi
10. Nomor kode produksi
11. Nama dan alamat industry
9

Sumber informasi obat mencakup dokumen, fasilitas, lembaga dan manusia.


Dokumen mencakup pustaka farmasi dan kedokteran, terdiri atas majalah ilmiah, buku
teks, laporan penelitian dan farmakope. Fasilitas mencakup fasilitas ruangan, peralatan
computer, internet, perpustakaan dan lain-lain. Lembaga mencakup industry farmasi,
Badan POM, pusat informasi obat, pendidikan tinggi farmasi, organisasi profesi dokter
dan apoteker. Manusia mencakup dokter, dokter gigi, perawat, apoteker dan professional
kesehatan lainnya di rumah sakit. Apoteker yang ,emgadakan pelayanan informasi obat
harus mempelajari juga cara terbaik menggunakan berbagai sumber tersebut. Pustaka obat
digolongkan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
1. Pustaka primer
Artikel asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti, informasi yang terdapat
didalamnya berupa hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
Contoh pustaka primer :
a. Laporan hasil penelitian
b. Laporan kasus
c. Studi evaluative
d. Laporan deskriptif
2. Pustaka sekunder
Berupa sistem indeks yang umumnya berisi kumpulan abstrak dari berbagai
kumpulan artikel jurnal. Sumber informasi sekunder sangat membantu dalam proses
pencarian informasi yang terdapat dalam sumber informasi primer. Sumber informasi
ini dibuat dalam berbagai data base, contoh : medline yang berisi abstrak-abstrak
tentang terapi obat, International Pharmaceutikal Abstract yang berisi abstrak
penelitian kefarmasian, Pharmline(Kurniawan dan Chabib, 2010).
3. Pustaka tersier
Berupa buku teks atau data base, kajian artikel, kompendia dan pedoman praktis.
Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi yang berisi materi yang umum,
lengkap dan mudah dipahami (Anonim, 2006). Menurut undang-undang No.23 tahun
1992 tentang kesehatan, pasal 53 ayat 2 menyatakan bahwa Standar profesi adalah
pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi
secara baik. Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan
perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang
dimaksud dengan hak pasien antara lain ialah hak informasi, hak untuk
memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran, dan hak atas pendapat kedua.
10

2.7 Sasaran Pelayanan Informasi Obat


Yang dimaksud dengan sasaran informasi obat adalah orang, lembaga, kelompok orang,
kepanitiaan, penerima informasi obat, seperti dibawah ini :
1. Dokter
Dalam proses penggunaan obat, pada tahap pemilihan obat serta regimennya untuk
seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari apoteker agar ia dapat
membuat keputusan yang rasional. Informasi obat diberikan langsung oleh apoteker,
menjawab pertanyaan dokter melalui telepon atau sewaktu apoteker menyertai tim medis
dalam kunjungan ke ruang perawatan pasien atau dalam konferensi staf medis (Siregar,
2004).
2. Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi obat dan rangkaian proses penggunaan
obat, apoteker memberikan informasi obat tentang berbagai aspek obat pasien, terutama
tentang pemberian obat. Perawat adalah professional kesehatan yang paling banyak
berhubungan dengan pasien, karena itu perawatlah yang umumnya mengamati reaksi
obat merugikan atau mendengan keluhan mereka.Apoteker adalah yang paling siap,
berfungsi sebagai sumber informasi bagi perawat.Informasi yang dibutuhkan perawat
pada umumnya harus praktis dan ringkas misalnya frekuensi pemberian dosis, metode
pemberian obat, efek samping yang mungkin, penyimpanan obat, inkompatibilitas
campuran sediaan intravena dan sebagainya (Siregar, 2004).
3. Pasien dan keluarga pasien
Informasi yang dibutuhkan pasien dan keluarga pasien pada umumnya adalah
informasi praktis dan kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan
professional kesehatan. Informasi obat untuk PRT diberikan apoteker sewaktu menyertai
kunjungan tim medis ke ruang perawatan, sedangkan untuk pasien rawat jalan, informasi
diberikan sewaktu penyerahan obat. Informasi obat untuk pasien/keluarga pasien pada
umumnya mencakup cara penggunaan obat, jangka waktu penggunaan, pengaruh
makanan pada obat, penggunaan obat bebas dikaitkan dengan resep obat dan sebagainya
(Siregar, 2004).
4. Apoteker
Setiap apoteker rumah sakit masing masing mempunyai tugas atau fungsi tertentu,
sesuai dengan pendalaman pengetahuan pada bidang tertentu.Apoteker yang langsung
berinteraksi dengan professional kesehatan dan pasien, sering menerima pertanyaan
mengenai informasi obat dan pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dengan segera,
11

diajukan kepada sejawat apoteker yang lebih mendalami pengetahuan informasi


obat.Apoteker di apotek dapat meminta bantuan informasi obat kepada sejawat di rumah
sakit (Siregar, 2004).
5. Kelompok, Tim, Kepanitiaan dan Peneliti
Selain kepada perorangan, apoteker juga memberikan informasi obat kepada
kelompok professional kesehatan, misalnya mahasiswa, masyarakat, peneliti dan
kepanitiaan yang berhubungan dengan obat. Kepanitiaan dirumah sakit yang
memerlukan informasi obat antara lain : panitia farmasi dan terapi, panitia evaluasi
penggunaan obat, panitia sistem pemantauan kesalahan obat, panitia sistem pemantauan
dan pelaporan reaksi obat merugikan, tim pengkaji penggunaan obat retrospektif, tim
program pendidikan “in service” dan sebagainya (Siregar, 2004).

2.8 Metode Pelayanan Informasi Obat


Metode pelayanan informasi obat menurut Direktorat jendral pelayanan kefarmasian dan
alat kesehatan DepartemenKesehatan RI 2006 yaitu:
a. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit.
b. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar iam kerja
dilayani oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga.
c. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada pelayanan
informasi obat diluar jam kerja.
d. Tidak ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun diluar jam kerja.
e. Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam kerja.

2.9 Strategi Pencarian Informasi Secara Sistemik


Proses menjawab pertanyaan yang diuraikan dibawah ini adalah suatu pendekatan yang
sebaiknya digunakan oleh apoteker di rumah sakit.
a. Mengetahui pertanyaan sebenarnya
Menetapkan informasi obat sebenarnya yang dibuthkan penanya adalah langkah
pertama dalam menjawab suatu pertanyaan. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggolongkan jenis penaya, seperti dokter, apoteker, perawat, dan sebagainya, serta
informasi latar belakang yang perlu (Siregar, 2004).
12

Penggolongan penanya dapat dilakukan secara otomatis jika penanya


memperkenalkan dirinya, tetapi kadang-kadang apoteker harus menanyakan, terutama
jika berkomunikasi melalui telepon. Dengan mengetahui jenis penanya, akan membantu
apoteker dalam memberikan jawaban yang benar-benar ia perlukan (Siregar, 2004).
b. Mengumpulkan data khusus pasien
Apabila pertanyaan melibatkan seorang pasien, adalah penting untuk memperoleh
informasi latar belakang tentang pasien sebelum menjawab suatu pertanyaan yang
berbeda-beda sesuai dengan jenis pertanyaan. Umur, bobot, jenis kelamin biasanya
diperlukan. Kekhususan tentang kondisi medis pasien seperti diagnosis sekarang, fungsi
ginjal dan hati, sering diperlukan. Dalam beberapa kasus diperlukan juga sejarah obat
yang lengkap (Siregar, 2004).
Pentingnya pengambilan sejarah obat pasien telah benar-benar dimengerti oleh
dokter dan perawat. Apoteker harus memiliki keterampilan dalam pengambilan sejarah
obat berdasarkan dua alasan dari sudut pandang penyediaan informasi obat, yaitu:
1. Untuk memberi apoteker pengertian yang lebih baik tentang permintaan informasi
sebenarnya dengan keadaan permintaan, agar apoteker dapat mencari dan
menyediakan jawaban.
2. Untuk memungkinkan apoteker menyajikan jawaban yang lebih berguna dan sesuai
untuk keadaan klinik tertentu (Siregar, 2004)
c. Pencarian secara sistemik
Pada dasarnya, dalam suatu pencarian sistemik, apoteker harus berusaha
memperoleh jawaban dalam referensi acuan tersier terlebih dahulu. Jawaban biasanya
dapat diperoleh, tetapi jika jawaban tidak dapat, apoteker bergerak ke langkah berikutnya
(Siregar, 2004).
Pencarian informasi secara sistematik dapat meminimalkan kesempatan melalaikan
sumber penting dan kehilangan perspektif. Masalah ini dapat terjadi terutama pada
apoteker tanpa pengalaman praktid atau tanpa ketrampilan klinik lanjutan. Tanpa
menghiraukan pengalaman, biasanya apoteker dapat memperoleh manfaat dari membaca
pendahuluan atau latar belakang persiapan, terutama jika apoteker tidak memahami
pertanyaan (Siregar, 2004).

2.10 Metode Menjawab Pertanyaan Informasi


Pada umumnya, ada dua jenis metode utama untuk menjawab pertanyaan informasi,
yaitu komunikasi lisan dan tertulis. Apoteker, perlu memutuskan kapan suatu jenis dari
13

metode itu digunakan untuk menjawab lebih tepat daripada yang lain. Dalam banyak situasi
klinik, jawaban oral biasanya diikuti dengan jawaban tertulis.
a. Jawaban tertulis
Jawaban tertulis merupakan dokumentasi informasi tertentu yang diberikan kepada
penanya dan menjadi suatu rekaman formal untuk penanya dan responden. Keuntungan
dari format tertulis adalah memungkinkan penanya untuk membaca ulang informasi
jawaban tersebut dan secara pelan-pelan mengintepretasikan jawaban tersebut.
Komunikasi tertulis juga memungkinkan apoteker untuk menerangkan sebanyak
mungkin informasi dalam keadaan yang diinginkan tanpa didesak penanya. Jawaban
tertulis dapat mengakomodasi tabel, grafik, dan peta untuk memperlihatkan data secara
visual (Siregar, 2004).
b. Jawaban lisan (oral)
Setelah ditetapkan bahwa jawaban lisan adalah tepat, apoteker perlu memutuskan
jenis metode jawaban lisan yang digunakan. Ada dua jenis metode menjawab secara
lisan, yaitu komunikasi tatap muka dan komunikasi telepon. Komunikasi tatap muka
lebih disukai, jika apoteker mempunyai waktu dan kesempatan untuk mendiskusikan
temuan informasiobat dengan penanya (Siregar, 2004).

2.11 Kategori Pelayanan Informasi Obat


a. Menjawab pertanyaan spesifik yang diajukan melalaui telpon, surat atau tatap muka
b. Menyiapkan materi brosur atau leflet informasi obat (pelayanan cetak ulang atau re print),
c. Konsultasi tentang cara penjagaan terhadap reaksi ketidakcocokan obat, konsep-konsep
obat yang sedang dalam penelitian atau peninjauan penggunaan obat-obatan,
d. Mendukung kegiatan panitia farmasi terapi dalam menyusun formularium rumah sakit dan
meninjau terhadap obat-obat baru yang diajukan untuk masuk dalam formularium rumah
sakit.

2.12 Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat


Setelah terjadi interaksi antara penanya dan pemberi jawaban, maka kegiatan tersebut
harus didokumentasikan.Manfaat dokumentasi adalah:
a. Mengingatkan apoteker tentang informasi pendukung yang diperlukan dalam menjawab
pertanyaan dengan lengkap.
b. Sumber informasi apabila ada pertanyaan serupa
c. Catatan yang mungkin akan diperlukan kembali oleh penanya
14

d. Media pelatihan tenaga farmasi


e. Basis data penelitian, analisis, evaluasi, dan perencanaan layanan.
f. Bahan audit dalam melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan informasi obat
(Anonim, 2006).

2.13 Evaluasi Kegiatan


Evaluasi ini digunakan untuk menilai atau mengukur keberhasilan pelayanan informasi
obat itu sendiri dengan cara membandingkan tingkat keberhasilan sebelum dan sesudah
dilaksanakan pelayanan informasi obat (Anonim, 2006).
Untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan informasi obat, indikator
yang dapat digunakan antara lain:
a. Meningkatkan jumlah pertanyaan yang diajukan.
b. Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab
c. Meningkatnya kualitas kinerja pelayanan
d. Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leflet, buletin, ceramah)
e. Meningkatnya pertanyaan berdasarkan jenis pertanyaan dan tingkat kesulitan
f. Menurunnya keluhan atas pelayanan (Anonim, 2006).

2.14 Definisi Konseling


Salah satu interaksi antara apoteker dengan pasien adalah melalui konseling obat.
Konseling obat sebagai salah satu cara atau metode pengetahuan pengobatan secara tatap
muka atau wawancara merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
pasien dalam penggunaan obat.
Konseling berasal dari kata counsel yang artinya saran, melakukan diskusi dan
pertukaran pendapat. keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Konseling
adalah suatu kegiatan bertemu dan berdiskusi antara orang yang membutuhkan (klien) dan
orang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian rupa sehingga klien
memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah (Depkes RI, 2006).
Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dalam elemen kunci dari
pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak hanya melakukan kegiatan
compounding dan dispensing saja, tetapi juga harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga
kesehatan lainnya dimana dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care (Depkes RI, 2006).
15

Konseling obat adalah penyampaian dan memberitahukan nasehat-nasehat yang


berkaitan dengan obat, yang didalamnya terdapat diskusi timbal balik suatu pendapat atau
opini (Siregar, 2004).
Dapat disimpulkan bahwa pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi
yang mempunyai tanggung jawab etikal serta medikasi legal untuk memberikan informasi
dan edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat (Depkes RI, 2006).
Kegiatan konseling dapat diberikan atas inisiatif langsung dari apoteker mengingat
perlunya pemberian konseling karena pemakaian obat-obat dengan cara penggunaan khusus,
obat-obat yang membutuhkan terapi jangka panjang sehingga perlu memastikan untuk
kepatuhan pasien meminum obat. Konseling yang diberikan atas inisiatif langsung dari
apoteker disebut konseling aktif. Selain konseling aktif dapat juga konseling terjadi jika
pasien datang untuk berkonsultasi kepada apoteker untuk mendapatkan penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan obat dan pengobatan, bentuk konseling seperti ini
disebut konseling pasif (Depkes RI, 2006).
Menurut KEPMENKES RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di apotek, konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik
antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan
dengan obat dan pengobatan. Melalui konseling, apoteker dapat mengetahui kebutuhan
pasien saat ini dan yang akan datang. Apoteker dapat memberikan informasi kepada pasien
apa yang perlu diketahui oleh pasien, keterampilan apa yang harus dikembangkan dalam diri
pasien, dan masalah yang perlu di atasi. Selain itu, apoteker diharapkan dapat menentukan
perilaku dan sikap pasien yang perlu diperbaiki.

2.15. Tujuan Konseling


1. Tujuan Umum
a. Meningkatkan keberhasilan terapi yang dijalani
b. Memaksimalkan efek terapi
c. Mengurangi resiko efek samping
d. Meningkatkan cost effectiveness
e. Menghormati pilihan penderita dalam menjalankan terapinya (Depkes RI, 2006).
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan pasien
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya
16

d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan penyakitnya


e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
f. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem
g. Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam hal terapi
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
i. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga dapat mencapai
tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien (Depkes RI, 2006).

2.16. Manfaat Konseling


1. Bagi Pasien
a. Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan
b. Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya
c. Membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri
d. Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu
e. Menurunkan kesalahan penggunaan obat
f. Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi
g. Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan
h. Meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan.
2. Bagi Apoteker
a. Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan
b. Mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai tanggung jawab profesi
apoteker
c. Menghindarkan apoteker dari tuntutan karena kesalahan penggunaan obat ( Medication
error )
d. Suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga menjadi upaya dalam
memasarkan jasa pelayanan (Depkes RI, 2006).

2.17. Prinsip Dasar Konseling


Prinsip dasar konseling adalah terjadinya kemitraan atau korelasi antara pasien dengan
apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela. Pendekatan Apoteker
dalam pelayanan konseling mengalami perubahan model pendekatan dari pendekatan
“Medical Model” menjadi Pendekatan “Helping model”.
17

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh apoteker tertera dalam tabel berikut:

Medical Helping
Model Model

1. Pasien passive 1. Pasien terlibat secara aktif

2. Dasar kepercayaan ditunjukkan 2. Kepercayaan didasarkan dari


berdasarkan citra profesi hubungan pribadi yang berkembang
setiap saat

3. Mengidentifikasi masalah dan 3. Menggali semua masalah dan


menetapkan solusi memilih
cara pemecahan masalah

4. Pasien bergantung pada petugas 4. Pasien mengembangkan rasa percaya


kesehatan dirinya untuk memecahkan masalah

5. Hubungan seperti ayah-anak 5. Hubungan setara (seperti teman)

2.18. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konseling


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan konseling antara lain adalah:
1. Manajemen Ruang Konseling
Manajemen ruang dapat didefinisikan sebagai usaha penataan dan pengelolaan ruang
agar setiap orang yang berada dalam suasana yang nyaman, kondusif bagi perwujudan
dirinya secara sehat, sehingga bisa melakukan berbagai 8 tugas secara efektif, efisien,
dan produktif. Dalam hal konseling diperlukan ruang khusus, karena dapat meningkatkan
penerimaan pasien terhadap informasi konseling yang diberikan, sehingga pasien
kemungkinan bisa patuh terhadap regimen obat, dan memberikan kepuasan pada
pelayanan ini (Surya, 2003).
18

2. Efektivitas Konseling
Hal-hal yang mempengaruhi efektivitas konseling antara lain adalah durasi
konseling, tingkat keparahan penyakit yang diderita pasien, motivasi apoteker dan pasien
selama konseling berlangsung, pengetahuan apoteker terhadap materi yang akan
diberikan kepada pasien, kemampuan apoteker dalam menimbulkan rasa nyaman atau
suasana yang kondusif selama proses konseling berlangsung, sehingga pasien bisa
dengan mudah memahami materi yang disampaikan (Surya, 2003).
3. Kompetensi Apoteker
Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan profesi, kemampuan berkomunikasi.
Kompetensi apoteker mampu memberikan kepercayaan pasien terhadap informasi yang
diberikan, sehingga apoteker dapat memberikan pelayanan konseling secara efektif.
4. Keterbatasan yang Dimiliki Pasien
Keterbatasan pasien dapat dikelompokkan menjadi keterbatasan fungsional dan
emosi. Keterbatasan fungsional mengakibatkan pasien susah untuk menerima dan
memahami isi materi yang disampaikan oleh apoteker. Keterbatasan fungsional dibagi
menjadi 3 kategori :
a. Keterbatasan visual dan pendengaran
b. Keterbatasan bahasa
c. Kesulitan memahami pada pasien dengan gangguan kejiwaan, atau keterbelakangan
mental.

2.19. Kendala Konseling


Berbagai kendala dalam memberikan konseling dapat terjadi pada proses pengobatan
dan pemberian konseling.
1. Kendala yang berasal dari pasien
Kendala yang berasal dari pasien antara lain adalah perasaan marah, malu, sedih,
takut, ragu-ragu. Hal ini dapat diatasi dengan bersikap empathy, mencari sumber
timbulnya masalah tersebut, tetap bersikap terbuka dan siap membantu.
2. Kendala yang berasal dari latar belakang pendidikan budaya dan bahasa
Kendala yang berasal dari latar belakang pendidikan budaya dan bahasa kendala
dapat diatasi dengan menggunakan istilah sederhana dan dapat dipahami, berhati-hati
dalam menyampaikan hal yang sensitif, atau menggunakan penerjemah.
19

3. Kendala yang berasal dari fisik dan mental


Kendala yang berasal dari fisik dan mental dapat diatasi dengan upaya menggunakan
alat bantu yang sesuai atau melibatkan orang yang merawatnya.
4. Kendala yang berasal dari tenaga farmasi
Kendala yang berasal dari tenaga farmasi dapat berupa mendominasi percakapan,
menunjukan sikap yang tidak memberikan perhatian dan tidak mendengarkan apa yang
pasien sampaikan, cara berbicara yang tidak sesuai (terlalu keras, sering mengulang
suatu kata), menggunakan istilah yang terlalu teknis yang tidak dipahami pasien, sikap
dan gerakan badan yang tidak sesuai yang dapat mengganggu konsentrasi pasien, sedikit
atau terlalu banyak melakukan kontak mata dengan pasien. Bila ini terjadi pada upaya
mengatasinya adalah dengan memberikan pasien kesempatan untuk menyampaikan
masalahnya dengan bebas menunjukan kepada pasien bahwa apa yang disampaikannya
didengarkan dan diperhatikan melalui sesekali anggukan kepala, kata ya dan sikap badan
yang cenderung ke arah pasien,. Menyesuaikan volume suara dan mengurangi kebiasaan
mengeluarkan kata-kata yang mengesankan gugup dan tidak siap, menghindari
pemakaian istilah yang tidak dipahami oleh pasien, tidak menyilangkan kedua tangan
dan menghindari gerakan berulang yang tidak pada tempatnya dan menjaga kontak mata
dengan pasien.
20

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh
apoteker untuk memberi informasi secara akurat, tidak biasa dan terkini kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
2. Adapun tujuan pelayanan informasi obat yaitu, menunjang ketersediaan dan
penggunaan obat yang rasional, berorientasi pada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak
lain. menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan,
dan pihak lain.
3. Langkah-langkah sistematis pemberian informasi obat oleh petugas PIO yaitu
penerimaan permintaan informasi obat, mengumpulkan latar belakang masalah yang
ditanyakan, penelusuran sumber data, formulasikan jawaban sesuai dengan
permintaan, pemantauan dan tindak lanjut.
4. Sasaran pelayanan informasi obat yaitu kepada dokter, perawat, pasien dan keluaga
pasien, apoteker, serta kelompok,tim, kepanitiaan dan peneliti.
5. Evaluasi kegiatan PIO digunakan untuk menilai atau mengukur
keberhasilan pelayanan informasi obat itu sendiri dengan cara membandingkan
tingkatkeberhasilan sebelum dan sesudah dilaksanakan pelayanan informasi obat.
6. Konseling adalah suatu kegiatan bertemu dan berdiskusi antara orang yang
membutuhkan (klien) dan orang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan
sedemikian rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam
pemecahan masalah.
21

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


1197/Menkes/SK/X/2004. Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.Jakarta : Kemenkes
RI.
Anonim. 2006. Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
No.Hk.00.Dj.Ii. 924 Tentang Pembentukan Tim Penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian
Di Puskesmas.
Anonim. 2006. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian Di Sarana Kesehatan. Jakarta:
Depkes RI.
Anonim. 2006, Pedoman Pelayanan Informasi Obat Di Rumah Sakit. Dirjen Pelayanan
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI: Jakarta.
Juliantini, E. dan Widayanti, S. 1996. Pelayanan Informasi Obat Rumah Sakit Umum Daerah
Dr Soetomo. Prosiding Kongres Ilmiah XI ISFI, 3-6 juli 1996: Jawa Tengah.
Kurniawan, W.K., dan Chabib.L. 2010. Pelayanan Informasi Obat Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siregar, Charles. JP,. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan.
I. Jakarta: Penerbit EGC.
Siregar, Charles. 2006. Farmasi Klinik, Teori dan Penerapan.Jakarta : EGC.
Surya, Moh. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Anda mungkin juga menyukai