Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tablet
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, tablet adalah sediaan padat yang
mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode
pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak
dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam
cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau
granul menggunakan cetakan baja (tahan karat) (Agoes, 2008; Ditjen POM, 1995).
Tablet adalah sediaan padat kompak yang dibuat secara kompa cetak
dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, mengandung satu jenis obat atau lebih
dengan atau tanpa zat tambahan yang berfungsi sebagai zat pengisi, zat
pengembang, zat pengikat, zat pelicin, dan zat pembasah (Ditjen POM, 1979).
Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya
dibuat dengan penambahan bahan farmasetika yang sesuai (Ansel, 1989).
Kriteria sediaan tablet adalah stabil secara fisika dan kimia, secara ekonomi
dapat menghasilkan sediaan yang dapat menjamin agar setiap sediaan mengandung
obat dalam jumlah yang benar dalam penerimaan kepada pasien (ukuran, bentuk,
rasa, warna), dan untuk mendorong pasien menggunakan obat sesuai dengan aturan
pemakaian obat (Agoes, 2008).

Universitas Sumatera Utara
2.1.1 Jenis-Jenis Tablet
Menurut Ansel (1989), ada 13 jenis tablet, yaitu:
1. Tablet Kompresi
Yaitu tablet kompresi dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai
bentuk tablet dan ukuran, biasanya kedalam bahan obatnya diberi tambahan
sejumlah bahan pembantu.
Bahan tambahan pembantu pada tablet kompresi antara lain:
(a) Pengencer atau pengisi, yang ditambahkan jika perlu kedalam formulasi
supaya membentuk ukuran tablet yang diinginkan.
(b) Pengikat atau perekat, yang membantu pelekatan partikel dalam formulasi.
(c) Penghancur, membantu menghancurkan tablet setelah pemberian sampai
menjadi partikel-partikel yang lebih kecil.
(d) Antirekat pelincir atau zat pelincir, yaitu zat yang meningkatkan aliran bahan
memasuki cetakan tablet.
(e) Bahan tambahan lain, seperti zat warna dan zat pemberi rasa.
2. Tablet Kompresi Ganda
Yaitu tablet kompresi berlapis, dalam pembuatannya memerlukan lebih
dari satu kali tekanan. Hasilnya menjadi tablet dengan beberapa lapisan atau tablet
didalam tablet.
3. Tablet Salut Gula
Tablet kompresi ini mungkin diberi lapisan gula berwarna dan mungkin
juga tidak, lapisan ini larut dalam air dan cepat terurai begitu ditelan. Gunanya
Universitas Sumatera Utara
melindungi obat dari udara dan kelembaban atau untuk menghindari gangguan
dalam pemakaiannya akibat rasa dan bau dari bahan obat. Kerugian dari lapisan
gula ini adalah pengolahannya membutuhkan waktu dan keahlian serta menambah
berat serta ukuran tablet.
4. Tablet Diwarnai Coklat
Yaitu lapisan coklat merupakan hal yang penting dalam sejarah karena
diwaktu itu hanya coklat yang dipakai untuk menyalut dan mewarnai tablet.
5. Tablet Salut Selaput
Tablet kompresi ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut
atau tidak larut dalam air maupun membentuk lapisan yang meliputi tablet.
Kelebihannya ialah lebih tahan lama, bahan yang digunakan lebih sedikit, dan
waktu yang lebih sedikit untuk penggunaannya.
6. Tablet Salut Enterik
Tablet salut enterik adalah tablet yang disalut dengan lapisan yang tidak
melarut dan tidak hancur di lambung tetapi di usus. Gunanya menghindari
terjadinya iritasi pada lambung.
7. Tablet Sublingual Atau Bukal
Yaitu tablet yang disisipkan di pipi dan di bawah lidah biasanya berbentuk
datar, agar di absorbsi melalui mukosa secara oral. Cara ini berguna untuk
penyerapan obat yang dirusak oleh cairan lambung atau sedikit sekali diabsorbsi
oleh saluran pencernaan.
Universitas Sumatera Utara
8. Tablet Kunyah
Tablet dikunyah lembut segera hancur ketika dikunyah atau dibiarkan
melarut dalam mulut, menghasilkan dasar seperti krim dari mannitol yang berasa
dan berwarna khusus.
9. Tablet Effervescent
Yaitu tablet berbuih dibuat dengan cara kompresi granul yang
mengandung garam effervescent atau bahan lain yang mampu melepaskan gas
ketika bercampur dengan air.
10. Tablet Triturat
Tablet ini bentuknya kecil dan biasanya silinder, dibuat dengan cetakan
atau dibuat dengan kompresi dan biasanya mengandung sejumlah kecil obat keras.
Tablet triturat harus mudah larut seluruhnya dalam air.
11. Tablet Hipodermik
Yaitu tablet yang dimasukkan di bawah kulit untuk digunakan oleh dokter
dalam membuat larutan parenteral secara mendadak.
12. Tablet Pembagi
Yaitu tablet untuk membuat resep lebih tepat, guna untuk pencampuran,
dan tidak pernah diberikan kepada pasien sebagai tablet itu sendiri. Tablet ini
relatif mengandung sejumlah besar bahan obat keras.
13. Tablet Dengan Penglepasan Terkendali
Yaitu tablet dan kapsul yang penglepasan obatnya secara terkendali.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Komponen Tablet
Komponen-komponen dalam formulasi tablet kempa terdiri atas zat aktif,
bahan pengisi, bahan pengikat, bahan penghancur, dan bahan pelicin. Selain itu,
tablet dapat juga mengandung bahan pewarna yang diizinkan, bahan pengaroma,
dan bahan pemanis.
1. Bahan pengisi ditambahkan jika zat aktifnya sedikit atau sulit dikempa.
Berfungsi untuk memperbesar volume massa agar mudah dicetak. Contohnya:
laktosa, selulosa mikrokristal, dan pati.
2. Bahan pengikat memberikan daya adhesi pada massa serbuk sewaktu
digranulasikan serta menambah daya kohesi pada bahan pengisi. Misalnya:
gelatin, sukrosa, metil selulosa, dan gelatin.
3. Bahan penghancur membantu tablet agar hancur setelah ditelan. Contohnya:
pati, pati dan selulosa yang dimodifikasi secara kimia, asam alginat, dan
selulosa mikrokristal.
4. Bahan pelicin berfungsi mengurangi gesekan selama proses pengempaan tablet
dan juga berguna untuk mencegah massa tablet melekat pada cetakan.
Misalnya: asam stearat, dan minyak nabati terhidrogenasi.
5. Bahan pewarna ditambahkan untuk meningkatkan nilai estetika atau untuk
memberikan identitas produk.
6. Bahan pengaroma berfungsi untuk menutupi rasa dan bau zat khasiat yang
tidak enak, biasanya digunakan untuk tablet yang penggunaannya lama di
mulut. Misalnya: macam-macam minyak atsiri (Syamsuni, 2006; Syamsuni,
2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Antihistamin
Histamin (suatu autacoid atau hormon lokal) adalah suatu amin nabati
yang ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich (1878) dan merupakan produk normal dari
pertukaran zat histisin melalui dekarboksilasi enzimatis. Asam amino ini masuk
kedalam tubuh terutama dalam daging (protein) yang kemudian diubah secara
enzimatis menjadi histamin (Tan, 2007).
Antihistamin digunakan dalam pengobatan penyakit alergi tertentu.
Kerjanya, menekan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh histamin, suatu zat kimia
yang dilepas selama proses reaksi antibodi dari respon alergi (Ansel, 1989).
Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang
terdapat pada permukaan membran. Saat ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin
H
1,
H
2,
H
3
, reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan
protein (Setiabudy, 2008).
Obat antihistamin yang hingga kini dikenal dapat dibedakan menjadi dua.
Yang satu dirancang untuk antagonistik terhadap histamin yang berinteraksi
dengan reseptor H
1
, yang biasanya digunakan untuk mengurangi reaksi alergi
karena disebabkan oleh terlepasnya histamin dalam tubuh. Sedangkan yang lain
adalah antagonis terhadap histamina yang berinteraksi dengan reseptor H
2
(Sardjoko, 1993).

Universitas Sumatera Utara
Obat ini menghambat secara selektif sekresi asam lambung yang
meningkat akibat histamin, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H
2
di
lambung. Efeknya adalah menurunkan tekanan darah. Senyawa ini banyak
digunakan pada terapi tukak lambung atau usus, gunanya sebagai zat pelindung
tambahan pada terapi. Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan
adalah: simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin, dan roksatidi yang merupakan
senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin (Tan, 2007).
2.3 Ranitidin HCl

Gambar 1. Struktur Ranitidin Hidroklorida
Menurut Ditjen POM (1995), ranitidin hidroklorida memiliki informasi yaitu:
Rumus Molekul : C
13
H
22
N
4
O
3
S.HCl
Nama Umum : Ranitidin
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat, praktis tidak
berbau, peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur
pada suhu lebih kurang 140C, dan disertai peruraian.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, cukup larut dalam etanol,
dan sukar larut dalam kloroform.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, dan tidak tembus cahaya.
Indikasi : Sebagai antagonis reseptor-H
2
Universitas Sumatera Utara
Ranitidin HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) merupakan
antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H
2
sehingga secara efektif
dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume
sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk tukak lambung atau usus dan
keadaan hipersekresi yang bersifat patologis. Efek samping dari ranitidin antara
lain adalah nyeri kepala, pusing, mual, dan diare. Setelah pemberian oral, ranitidin
diserap 39-87%. Ranitidin mempunyai masa kerja cukup panjang, pemberian
dosis 150 mg, efektif menekan sekresi asam lambung selama 8-12 jam.
Dosis: 150 mg 2 dd atau 300 mg sebelum tidur (Siswandono, 1995).
Ranitidin menghambat reseptor H
2
secara selektif. Perangsangan reseptor
H
2
akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pada pemberian ranitidin
sekresi asam lambung akan dihambat (Setiabudy, 2008; Tan, 2007).
Daya menghambat senyawa ini terhadap sekresi asam lebih kuat. Tidak
merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain sehingga tidak
mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan. Resorpsinya pesat dan baik (Tan,
2007).
Semua antagonis reseptor H
2
mengatasi tukak lambung dengan cara
mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat penghambat reseptor
histamin H
2.
Terapi antagonis reseptor H
2
dapat membantu proses penyembuhan
tukak lambung. Efek samping antagonis reseptor H
2
adalah diare, gangguan
saluran pencernaan, sakit kepala, pusing, dan rasa letih (Depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin diekskresi terutama melalui ginjal.
Karena ekskresi antagonis reseptor H
2
terutama melalui ginjal maka pada pasien
gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi (Setiabudy, 2008).
2.4 Disolusi
Disolusi adalah persyaratan utama untuk dapat melewati dinding usus
pada tahap pertama. Pengujian disolusi digunakan untuk membuktikan kesesuaian
spesifikasi, dan dapat merupakan persyaratan dalam registrasi obat (Agoes, 2008).
Laju disolusi merupakan tahap yang menentukan laju, akibatnya laju
disolusi dapat mempengaruhi onset, intensitas, dan lama respons. Cara pengujian
disolusi tablet dinyatakan dalam masing-masing monografi obat. Pengujian
merupakan alat yang objektif dalam menetapkan sifat disolusi suatu obat yang
berada dalam sediaan padat. Tablet harus memenuhi persyaratan seperti yang
terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 1989).
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan
disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah (Ditjen POM,
1995).
Pengujian kehancuran yang dicantumkan dalam seluruh farmakope
menggambarkan kriteria kualitas yang penting untuk peroralia (tablet, tablet salut,
granulat, dan kapsul), meskipun demikian pernyataannya dalam pandangan
terhadap ketersediaan terbatas. Suatu kehancuran total menawarkan persyaratan
Universitas Sumatera Utara
yang lebih baik untuk pelepasan, meskipun bahan pembantu dapat membungkus
bahan obat sedemikian rupa, sehingga melarutnya keluar dari produk hancur
sangat terhambat. Oleh karena itu, kecepatan pelarutan dari bahan aktif sering kali
menggambarkan langkah penentu kecepatan (Voigt, 1994).
2.4.1 Alat Uji Disolusi
Menurut Ditjen POM (1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan
yang tertera dalam masing-masing monografi, yaitu:
a. Alat 1 (metode basket)
Alat terdiri atas wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan
lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak dan
keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam tangas air
sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah 37C 0,5 selama
pengujian berlangsung. Bagian dari alat, termasuk lingkungan tempat alat
diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran
signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah
disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola,
tinggi 160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 nm hingga 106 mm, dan
kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan
yang berarti. Suatu alat pengatur kecepatan digunakan sehingga
memungkinkan untuk memilih kecepatan putaran yang dikehendaki dan
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing
monografi dalam batas lebih kurang 4%.
b. Alat 2 (metode dayung)
Sama seperti alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas
daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya
tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar
dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Dayung memenuhi spesifikasi pada
jarak 25 mm 2 mm antara daun dengan bagian dalam dasar wadah, dan
mempertahankan suhu dalam wadah 37C 0,5 selama pengujian
berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat
disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam
ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar.
2.4.2 Faktor Pengujian Disolusi
Menurut Agoes (2008), faktor yang mempengaruhi pengujian disolusi
suatu obat dari sediaan dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok:
1. Faktor terkait pada sifat fisiko kimia obat.
2. Faktor terkait pada formulasi obat.
3. Faktor terkait dengan bentuk sediaan.
4. Faktor terkait pada alat uji disolusi.
5. Faktor terkait pada parameter pengujian disolusi.

Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Kegunaan Uji Disolusi
1. Uji disolusi digunakan untuk memenuhi persyaratan resmi sediaan yang tertera
dalam Farmakope Indonesia.
2. Uji disolusi merupakan suatu prosedur pengendalian mutu tetap dalam praktik
manufaktur obat yang baik.
3. Data disolusi berguna dalam tahap awal pengembangan zat formulasi.
4. Memberikan sarana untuk mengevaluasi parameter penting seperti ketersediaan
hayati yang memadai, dan memberikan informasi yang penting untuk
formulator dalam pengembangan bentuk sediaan yang mempunyai daya terapi
yang lebih optimal.
5. Berhubungan dengan ketersediaan hayati suatu produk sehingga uji disolusi
dapat memastikan ketersediaan hayati produk antar bets yang memenuhi
kriteria disolusi (Siregar, 2010).
2.4.4 Media Disolusi
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, media disolusi yang digunakan
adalah media yang tertera pada masing-masing monografi. Bila media disolusi
berupa larutan dapar. pH larutan harus diatur sehingga berada dalam batas 0,05
satuan pH yang tertera pada masing-masing monografi. Pada umumnya, media
disolusi adalah air atau dapar yang sesuai, dan jumlah media disolusi sebanyak
900 ml dalam tiap wadah disolusi (Ditjen POM, 1995; Siregar, 2010).

Universitas Sumatera Utara
2.4.5 Kecepatan Pengadukan
Untuk tiap uji disolusi dalam Farmakope Indonesia edisi IV, kecepatan
pengadukan ditetapkan dengan satuan rpm. J ika ditetapkan, kecepatan 100 rpm
untuk Alat 1 (metode basket), dan 50 rpm untuk Alat 2 (metode dayung).
Kecepatan pengadukan harus seragam selama pengujian. Kadangkadang motor
pemutar pengaduk dapat secara berkala lambat atau cepat. Oleh karena itu, harus
dicek pada awal dan akhir tiap pengujian (Siregar, 2010).
Menentukan kecepatan disolusi obat pada rentang pH larutan sangat
penting karena dapat digunakan untuk mengetahui berapa persentase zat aktif
dalam obat yang dapat terlarut dan terabsorbsi masuk ke dalam peredaran darah
untuk memberikan efek terapi pada tubuh (Kurniawan, 2009).
2.4.6 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang
diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Lanjutkan pengujian sampai tiga tahap,
kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S
1
atau S
2.
Harga Q adalah jumlah
zat aktif yang terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi,
dinyatakan dalam persentase kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam tabel
adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama
dengan Q (Ditjen POM, 1995).
Pada tahap 1 (S
1
), 6 tablet diuji dengan kriteria tiap unit sediaan tidak
kurang dari Q +5%. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan
dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S
2
). Pada tahap ini 6 tablet
Universitas Sumatera Utara
tambahan diuji lagi, dengan kriteria rata-rata dari 12 unit tablet (S
1
+S
2
) adalah
sama dengan atau lebih besar dari Q

dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil
dari Q 15%. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi
ke tahap 3 (S
3
). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi, dengan kriteria rata-
rata dari 24 unit tablet (S
1
+S
2
+S
3
) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q,
tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q 15% dan tidak satu
unitpun yang lebih kecil dari Q 25% (Ditjen POM, 1995).
Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah
ini.
Tabel 1. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Tahap J umlah yang diuji Kriteria Penerimaan

S
1

6
Tiap unit sediaan tidak kurang dari
Q +5%

S
2

6
Rata-rata dari 12 unit (S
1
+S
2
) adalah
sama dengan atau lebih besar dari Q

dan
tidak satu unit sediaan yang lebih kecil
dari Q 15%

S
3

12
Rata-rata dari 24 unit (S
1
+S
2
+S
3
)
adalah sama dengan atau lebih besar dari
Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang
lebih kecil dari Q 15% dan tidak satu
unitpun yang lebih kecil dari Q 25%

Keterangan:
S1 : Tahap pertama
S2 : Tahap kedua
S3 : Tahap ketiga
Q : J umlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi.


Universitas Sumatera Utara
2.4.7 Alat Penetapan Laju Disolusi
1. Alat pendisolusi zat aktif, adalah alat untuk melepaskan dan melarutkan zat
aktif dalam media. Alat ini disebut alat uji disolusi.
2. Alat untuk menganalisis konsentrasi zat aktif dalam sampel media disolusi
yang diambil sampelnya pada beberapa titik waktu yang telah ditetapkan atau
pada satu titik waktu seperti uji disolusi pada umumnya di Farmakope
Indonesia edisi IV. Metode ini disebut metode disolusi satu titik, dimana alat
analisis yang digunakan adalah spektrofotometer, spektrofluorometer atau
kromatografi cair kinerja tinggi (Siregar, 2010).
2.5 Spektrofotometri UV
Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer dan
fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
diabsorbsi. Spektrofotometer yaitu suatu alat yang digunakan untuk menentukan
suatu senyawa baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan cara mengukur
absorbansi dari suatu cuplikan sebagai fungsi dari konsentrasi (Khopkar, 2008).

Spektrofotometri UV adalah pengukuran panjang gelombang, intensitas
sinar ultraviolet, dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet
berada pada panjang gelombang 200-400 nm (Dachriyanus, 2004).



Universitas Sumatera Utara
Prosedur dasar dalam analisa kuantitatif secara spektroskopi adalah
membandingkan absorbsi energi radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu
oleh suatu larutan contoh terhadap suatu larutan standar. Pada daerah spektrum
ultraviolet banyak senyawa yang mampu menyerap radiasi, sehingga perlakuan
pendahuluan yang diperlukan melibatkan pemisahan dari zat pengganggu
(Sudarmadji, 1989).

Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat, dan sangat cocok untuk
digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai
gugus kromofor. Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan
spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993).

Spektrum UV merupakan korelasi antara absorbansi dengan panjang
gelombang. Penyerapan sinar UV pada umumnya dihasilkan oleh eksitasi
elektron-elekron ikatan, akibatnya panjang gelombang yang mengabsorbsi dapat
dihubungkan dengan ikatan yang mungkin ada dalam suatu molekul (Rohman,
2007).
Spektrofotometri UV dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan
sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Pada aspek kualitatif, data
spektrofotometri UV secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi
kualitatif obat. Sedangkan pada aspek kuantitatif, radiasi yang diserap oleh
cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan
dengan intensitas sinar yang diserap (Rohman, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai