Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

CASE STUDY 1

DOSEN : Jenny Pontoan M.farm, Apt

Disusun Oleh :
( KELOMPOK 11 )
1. Idisma Novita (19340255)
2. Nita Puspita Dewi (19340268)
3. Wahyudi Anggrian (19340281)
4. Putri Kasmiran (19340294)

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Case Study Tentang
Swamedikasi Pada Demam di Apotek”

Semoga makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Case Study Tentang Swamedikasi Pada Demam di Apotek.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Jakarta, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3 Tujuan.................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
2.1 Pengertian Apotek................................................................................. 3
2.2 Swamedikasi ......................................................................................... 3
2.2.1 Patient Assessment....................................................................... 5
2.2.2 Rekomendasi ............................................................................... 6
2.2.3 Informasi Non Farmakologi......................................................... 7
2.2.4 Kriteria obat yang digunakan dalam Swamedikasi........... ...... 8
2.3 Demam ............................................................................................. 9
2.3.1 Definisi Demam............................................................................ 10
2.3.2 Etiologi Demam.......... ................................................ 10
2.3.3 Patofisiologi Demam.................................................................. 11
2.3.4 Penatalaksanaan Demam............................................................... 14
BAB III PEMBAHASAN................................................................................... 58
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 58
BAB IV PENUTUP.............................................................................. 58
4..1 Kesimpulan dan Saran.......................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 59
LAMPIRAN......................................................................................................... 60
BAB I

PENDAHULUAN

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian

oleh apoteker (Menkes RI, 2016). Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian, apoteker dapat

dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian. Salah satu pelayanan

kefarmasian yang dilakukan di apotek adalah swamedikasi (PP No 51, 2009).

Pengobatan sendiri (self medication) merupakan upaya yang dilakukan masyarakat

untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit sebelum mereka memutuskan mencari

pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan (Depkes RI, 2008). Mengobati

diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan swamedikasi berarti mengobati segala keluhan

dengan obat-obatan yang dapat dibeli bebas di apotek atau toko obat dengan inisiatif atau

kesadaran diri sendiri tanpa nasehat dokter (Muharni, 2015). Berdasarkan hasil Riset

Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian

Kesehatan RI pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 103.860 atau 35,2% dari 294.959 rumah

tangga menyimpan obat untuk swamedikasi (Riskesdas, 2013).

Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit

ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit

maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes RI, 2007). Salah satu penyebab

tingginya tingkat swamedikasi adalah perkembangan teknologi informasi via internet. Alasan

lain adalah karena semakin mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu

yang dimiliki untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan (Gupta, et

al., 2011 didalam Hermawati, 2012). Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi

hanyalah merupakan gejala dari suatu penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370C. Apabila

suhu tubuh lebih dari 37,20C pada pagi hari dan lebih dari 37,70C pada sore hari berarti

demam (Depkes RI, 2007). Berdasarkan pereira 2007 menyatakan bahwa beberapa kondisi
kesehatan yang sering dilakukan swamedikasi salah satunya yaitu demam dengan presentasi

sebesar 15% (Pereira, 2007). Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus

demam di seluruh Dunia mencapai 16–33 juta dengan 500–600 ribu kematian tiap tahunnya

(Setyowati, 2013). Demam merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai Negara

sedang berkembang. Data kunjungan ke fasilitas kesehatan 3 pediatrik di Brazil terdapat

sekitar 19% sampai 30% anak diperiksa karena menderita demam. Di Indonesia penderita

demam sebanyak 465 (91.0%) dari 511 ibu yang memakai perabaan untuk menilai demam

pada anak mereka sedangkan sisanya 23,1 menggunakan thermometer (Setyowati, 2013

didalam Setiawati, 2016). Berdasarkan permasalahan diatas sehingga kami tertarik untuk

membuat makalah mengenai studi kasus swamedikasi pada demam di apotek.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek

Berdasarkan Permenkes RI No.73 Tahun 2016, apotek adalah sarana pelayanan

kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Pelayanan Kefarmasian

adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan

dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu

kehidupan pasien. Dalam menjalani pekerjaan kefarmasian di apotek, apoteker dibantu oleh

tenaga teknis kefarmasian yang terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis

Farmasi (Menkes RI, 2016). Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula

hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan

komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat

namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk

mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk

mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (Menkes RI,

2016).

2.2 Swamedikasi

Pengobatan sendiri (self-medication) merupakan upaya yang dilakukan masyarakat

untuk mengatasi keluhan atau gejala sebelum mereka memutuskan mencari pertolongan ke

pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan (Depkes RI, 7 2008). Gejala penyakit yang

dapat dikenali sendiri oleh orang awam adalah penyakit ringan atau minor illnesses

sedangkan obat yang dapat digunakan untuk swamedikasi adalah obat-obatan yang dapat

dibeli tanpa menggunakan resep dari dokter (Rikomah, 2016). Beberapa penyakit ringan yang

banyak dialami masyarakat seperti: demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag,

kecacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain (Depkes RI, 2007). Swamedikasi harus
dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami, pelaksanaannya sedapat mungkin harus

memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional antara lain ketepatan pemilihan obat,

ketepatan dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya

interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Muharni, 2015). Pada pelayanan swamedikasi

terdapat beberapa bentuk pelayanan yang diberikan oleh petugas apotek kepada pasien

swamedikasi yang terdiri dari patient assesment, rekomendasi, informasi obat dan informasi

non farmakologi.

2.2.1 Patient Assessment

Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien yang

dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan identifikasi pasien sebelum

membuat sebuah rekomendasi. Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,

keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan

pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi obat dan

konseling kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2016)

Metode yang dapat digunakan dalam rangka menggali informasi pasien antara

lain metode WWHAM (Who is patient?, What are the symptoms?, How 8 long have

the symptoms been present?, Action taken?, Medication being taken?) ASMETHOD

(Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medicines, Time symptoms,

History, Other symptoms, Danger symptoms) (Blenkinsopp dan Paxton, 2005).

2.2.2 Rekomendasi

Rekomendasi merupakan saran atau anjuran yang diberikan oleh apoteker

maupun tenaga teknis kefarmasian di apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat

berupa rekomendasi obat ataupun rujukan ke dokter. Dalam melakukan swamedikasi,

tenaga teknis kefarmasian memiliki peran dan tanggung jawab untuk

merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang


diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi (Depkes RI,

2007). Pada kasus demam, rujukan kedokter diperlukan apabila: a. Bila demam lebih

dari 39oC (pada anak-anak 38.50C) dan tidak bisa turun dengan parasetamol atau

kompres. b. Bila demam tidak berkurang setelah 2 hari. c. Bila demam disertai dengan

kaku leher. d. Bila disertai gejala-gejala lain yang berkaitan dengan demam seperti :

ruam kulit, sakit tenggorokan berat, batuk dengan dahak berwarna hijau, sakit telinga,

sakit perut, diare, sakit bila buang air kecil atau terlalu sering buang air kecil, bintik-

bintik merah pada kulit, kejang, pingsan (Depkes RI, 2007).

2.2.3 Informasi Non Farmakologi

Informasi non farmakologi merupakan informasi yang diberikan sebagai terapi

tambahan tanpa menggunakan obat guna meningkatkan keberhasilan suatu efek

pengobatan farmakologis yang lebih baik. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam

menangani demam menurut Departemen Kesehatan RI (2007) antara lain adalah: a.

Istirahat yang cukup. b. Minum air yang banyak. 11 c. Usahakan makan seperti biasa,

meskipun nafsu makan berkurang. d. Periksa suhu tubuh setiap 4 jam. e. Kompres

dengan air hangat. f. Hubungi dokter bila suhu sangat tinggi (diatas 380C), terutama

pada anakanak (Depkes RI, 2007).

2.2.4 Kriteria obat yang digunakan dalam Swamedikasi

Jenis obat yang digunakan dalam swamedikasi meliputi: Obat Bebas, Obat

Bebas Terbatas, dan OWA (Obat Wajib Apotek). Penggunaan obat bebas dan obat

bebas terbatas, yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderita akan mendukung

penggunaan obat yang rasional. Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle,1998

terdiri dari beberapa aspek, diantaranya: ketepatan indikasi, kesesusaian dosis, ada

tidaknya kontraindikasi, efek samping serta interaksi dengan obat dan makanan. Obat
yang diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria berikut (Permenkes No.

919/Menkes/Per/X/1993).

1. Tidak dikontraindikasikan untuk pengguna pada wanita hamil, anak di bawah usia 2

tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.

2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan

penyakit.

3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan

oleh tenaga kesehatan.

4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang pravalensinya tinggi di indonesia.

5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung

jawabkan untuk pengobatan sendiri.

2.3 Demam

2.3.1 Defenisi Demam

Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah merupakan gejala

dari suatu penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370C. Apabila suhu tubuh lebih dari

37,20C pada pagi hari dan lebih dari 37,70C pada sore hari berarti demam.Demam

adalah fenomena paling umum dari penyakit, terutama inflamasi. Demam dianggap

disebabkan oleh pelepasan pirogen endogen dari makrofag dan kemungkinan dari

eosinofil, yang diaktivasi oleh pagosit, endotoksin, kompleks imun, dan produk lain.

Pirogen ini (substansi penghasil demam) bekerja pada pusat pengatur suhu di

hipotalamus untuk meningkatkan titik pengatur termostat(Tambayong, 2000).

2.3.2 Etiologi Demam

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), Demam

umumnya disebabkan oleh infeksi dan non infeksi.


a. Demam Infeksi

Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masuknya

patogen,misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke

dalam tubuh. Demam infeksi paling sering terjadi dan diderita oleh manusia dalam

kehidupan sehari-hari. Bakteri, kuman atau virus dapat masuk kedalam tubuh manusia

melalui berbagai cara, misalnya melalui makanan, udara, atau persentuhan tubuh.

b. Demam Non-Infeksi

Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya

bibit penyakit kedalam tubuh. Demam non-infeksi jarang terjadi dan diderita oleh

manusia dalam kehidupan sehari-hari. Demam ini timbul karena adanya kelainan pada

tubuh yang dibawa sejak lahir, dan tidak ditangani dengan baik (Widjaja, 2008).

Penyebab non infeksi antara lain dehidrasi pada anak dan lansia, alergi,stres, trauma,

dan lain-lain (Depkes RI, 2007).

2.3.3 Patofisiologi Demam

Suhu tubuh secara normal dipertahankan pada rentang yang sempit,walaupun

terpapar suhu lingkungan yang bervariasi. Suhu tubuh secara normal berfluktuasi

sepanjang hari, 0,50C dibawah normal pada pagi hari dan 0,50C diatas normal pada

malam hari. Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus yang mengatur keseimbangan antara

produksi panas dan kehilangan panas. Produksi panas tergantung pada aktivitas

metabolik dan aktivitas fisik. Kehilangan panas terjadi melalui radiasi, evaporasi,

konduksi dan konveksi. Dalam keadaan normal termostat di hipotalamus selalu diatur

pada set point sekitar 370C, setelah informasi tentang suhu diolah di hipotalamus

selanjutnya ditentukan pembentukan dan pengeluaran panas sesuai dengan perubahan

set point. Hipotalamus posterior bertugas meningkatkan produk panas dan

mengurangi pengeluaran panas. Bila hipotalamus posterior menerima informasi suhu


luar lebih rendah dari suhu tubuh maka pembentukan panas ditambah dengan

meningkatkan metabolisme dan aktivitas otot rangka dalam bentuk menggigil dan

pengeluaran panas dikurangi dengan vasokontriksi kulit dan pengurangan produksi

keringat sehingga suhu tubuh tetap dipertahankan tetap.

Hipotalamus anterior mengatur suhu tubuh dengan cara mengeluarkan panas.

Bila hipotalamus anterior menerima informasi suhu luar lebih tinggi dari suhu tubuh

maka pengeluaran panas ditingkatkan dengan vasodilatasi kulit dan menambah

produksi keringat.Umumnya peninggian suhu tubuh terjadi akibat peningkatan set

point. Infeksi bakteri menimbulkan demam karena endotoksin bakteri merangsang sel

PMN untuk membuat pirogen endogen yaitu interleukin-1, interleukin 6 atau tumor

nekrosis faktor. Pirogen endogen bekerja di hipotalamus dengan bantuan enzim

siklooksigenase membentuk protaglandin selanjutnya prostaglandin meningkatkan set

point hipotalamus. Selain itu pelepasan pirogen endogen diikuti oleh pelepasan

cryogens (antipiretik endogen) yang ikut memodulasi peningkatan suhu tubuh dan

mencegah peningkatan suhu tubuh pada tingkat yang mengancam jiwa.

2.3.4 Penatalaksanaan Demam

Pada prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan.

Pada tingkat tertentu demam merupakan bagian dari pertahanan tubuh antara lain

daya fagositosis meningkat dan viabilitas kuman menurun, tetapi dapat juga

merugikan karena anak menjadi gelisah, nafsu makan dan minum berkurang, tidak

dapat tidur dan menimbulkan kejang demam. Hasil penelitian ternyata 80% orangtua

mempunyai fobia demam. Orang tua mengira bahwa bila tidak diobati, demam

anaknya akan semakin tinggi.Kepercayaan tersebut tidak terbukti berdasarkan fakta.

Karena konsep yang salah ini banyak orang tua mengobati demam ringan yang

sebetulnya tidak perlu diobati. Pada dasarnya menurunkan demam pada anak dapat
dilakukan secara fisik, obat-obatan maupun kombinasi keduanya. Demam < 390C

pada anak yang sebelumnya sehat pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bila

suhu naik >390C, anak cenderung tidak nyaman dan pemberian obat-obatan penurun

panas sering membuat anak merasa lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Blenkinsopp, A., dan Paxton, P. (2005). Symptoms in The Pharmacy: A Guide to The

Management of Common Illness. Malden: Blackwell Publishing

Depkes RI. (2007). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI. Hal. 32-35, 73.

Depkes RI. (2008). Materi pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan memilih

obat bagi tenaga kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Gupta, P., Bobhate, P., dan Shrivastava, S. (2011). Determinants of self medication practices

in an urban slum community. Asian Journal Pharmaceutical and Clinical Research.

4(3). Hal. 54-55.

Menkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan

RI.

Muharni, S., Fina, A., dan Maysharah, M. (2015). Gambaran Tenaga Kefarmasian dalam

Memberikan Informasi Kepada Pelaku Swamedikasi di Apotekapotek Kecamatan

Tampan, Pekanbaru. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 2(1). Hal. 47.

Pereira, F. S. V. T., Bucaretchi, F., Stephan, C., Coredeiro, R. (2007). Selfmedication in

Children and Adolescent. Jornal de Pediatria. 83 (5). Hal. 453.

Presiden RI. (2009). Peraturan Pemerintah RI No.51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan

Kefarmasian. Jakarta. Pemerintah Negara RI. Hal. 1-4.

Riskesdas, (2013). Hasil Riskesdas 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia.
Setyowati, L. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Orang Tua Dengan Penanganan

Demam Pada Anak Balita Di Kampung Bakalan Kadipiro Banjarsari Surakarta.

Skripsi. STIKES PKU Muhamadiah Surakarta

Rikomah, E. S. (2016). Farmasi Klinik. Yogyakarta: Deepublish. Hal. 160, 173.

Tambayong, J. (2000). Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Hal. 52.

Widjaja, M. C. (2008). Kesehatan Anak: Mencegah dan Mengatasi Demam pada Balita.

Jakarta Selatan: Kawan Pustaka. Hal. 3-4.

Anda mungkin juga menyukai