REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Oleh :
I Gusti Ayu Putri Purwanthi (1002005126)
Pembimbing :
dr. Pande Ketut Kurniari, Sp.PD
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya
sehingga laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Laporan PBL ini disusun untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam rangka menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Laporan PBL
ini berjudul: ”Reaksi Hipersensitivitas”.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,
petunjuk, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak baik dari institusi maupun
dari luar institusi Fakultas Kedokteran. Melalui kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suega Sp.PD-KHOM selaku Kepala Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
3. dr. Pande Ketut Kurniari, Sp.PD selaku dosen pembimbing atas segala
bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam penyusunan laporan ini.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
b. Riwayat atopi. Atopi merupakan kecenderungan genetik untuk memproduksi
IgE antibodi terpapar alergen. Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko
terjadinya reaksi hipersensitivitas. Sebagian besar penderita anafilaksis
idiopatik memiliki riwayat atopi.
c. Sifat alergen. Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan reaksi
hipersensitivitas (obat golongan Penisilin, pelemas otot, media kontras
radiografis, aspirin, lateks, kacang-kacangan, kerang).
d. Alur pemberian obat. Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung
menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan pemberian peroral,
namun reaksi hipersensitivitas dapat terjadi melalui berbagai jalur pemberian.
e. Kesinambungan (constancy) paparan allergen. Pemakaian obat yang sering
terputus dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas.
f. Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang
penyakit alerginya sedang tidak terkendali (misalnya injeksi ekstrak alergen
pada penderita asma yang belum terkendali akan meningkatkan risiko
terjadinya anafilaksis).3
3
Manifestasinya berupa reaksi transfusi darah, eritroblastosis
fetalis dan anemia hemolitik autoimun dan reaksi arthus lokal dan
reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.
c. Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen.
Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada delayed type of hypersensitivity
yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan
makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinisnya
yaitu dermatitis kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi
penolakan tandur.1
4
lokal. Pada kasus asma, menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar
mukus bronkus dan spasme bronkus.
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel
mast atau basofil.
2. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.
Manifestasi hipersensitivitas tipe I dapat bervariasi dari lokal,
ringan sampai berat dan keadaan yang mengancam nyawa seperti
anafilaksis dan asma berat. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya
dibuat dengan memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan
antigen dalam lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu
anamnesis.
b. Hipersensitivitas Tipe II
Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian
sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki
reseptor Fcγ-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel efektor dan
menimbulkan kerusakan melalui Antibody Dependent Cell (mediated)
Cytotoxicity. Karakteristik hipersensitivitas tipe II ialah pengerusakan
sel dengan mengikat antibodi yang spesifik pada permukaan sel.
Kerusakan sel yang terjadi utamanya bukan merupakan hassil
pengikatan antibodi, ini tergantung pada bantuan limfosit lainnya atau
makrofag atau pada sistem komplemen.
Manifestasi yang sering dari reaksi hipersensitivitas reaksi ini
melibatkan sel-sel darah, sel jaringan lainnya dapat juga
5
diikutsertakan. Misalnya saja pada anemia hemolitik autoimun dan
trombositopenia.
c. Hipersensitivitas Tipe III
Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigen-
antibodi ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau
jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang berperan
biasanya jenis IgM atau IgG. Kompleks imun akan mengaktifkan
sejumlah komponen sistem imun. Komplemen yang diaktifkan
melepas anafilaktosis yang memacu sel mast dan basofil melepas
histamin. Mediator lainnya dan Macropaghe Chemotactic Factor
mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein
polikationik. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang
membentuk mikrotombi dan melepas amin vasoaktif, selain itu
komplemen mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk
lainnya.
Bahan vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit
menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan
inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi kompleks. Bila
neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks
dan akan melepas granulnya. Kejadian ini menimbulkan banyak
kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut
melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim yang dapat
merusak jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus
eritamatosis sistemik, penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi
malaria, virus, dan lepra.
d. Hipersensitivitas Tipe IV
Hypersensitivitas yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell
Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8.
1. Delayed Type Hipersensitivity (DTH)
Pada tipe ini, sel CD4 Th1 mengaktifkan makrofag yang
berperan sebagai sel efektor. CD4 Th1 melepas sitokin yang
6
mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH,
kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang
diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediat,
oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. DTH dapat juga terjadi
sebagai respon terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam
lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak.
Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan
hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk
makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. DTH
dapat merupakan reaksi fisiologik terhadap patogen yang sulit
disingkirkan misalnya M. Tuberkulosis.
2. T Cell Mediated Cytolysis
Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi
melalui sel CD8 yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit
yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas
kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik.
Manifestasi klinisnya antara lain dermatitis kontak, diabetes insulin
dependen, artritis reumatoid, sklerosis multipel.1,3,4
7
Gambar 1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III dan IV
menurut Gell dan Coombs
8
Beberapa gejala yang sering timbul pada masing – masing tipe
hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs adalah:1
1. Hipersensitivitas tipe I: anafilaksis, urtikaria, angioedem, mengi,
hipotensim nausea, muntah, sakit abdomen dan diare.
2. Hipersensitivitas tipe II: agranulositosis, anemia hemolitik dan
trombositopenia.
3. Hipersensitivitas tipe III: panas, urtikaria, atralgia, limfadenopato dan
serum sickness.
4. Hipersensitivitas tipe IV: eksema, eritema, lepuh, pruritus, fotoalergi, fixed
drug eruption, lesi makulopapular.
2.5 Penatalaksanaan
Menghentikan semua obat dan menghindari faktor pencetus yang
diperoleh oleh penderita merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan.
Manifestasi klinis umumnya berangsur hilang dalam beberapa hari. Bila suatu
obat merupakan obat esensial yang tidak dapat dicarikan alternatifnya, maka harus
dipertimbangkan secara cermat risiko untuk terus memberikan obat tersebut
dibandingkan risiko untuk tidak mengobati penyakit dasarnya. Cara lain yang
dapat ditempuh adalah pemberian obat melalui desentisasi.6
2.5.1 Pengobatan Simptomatik
Pengobatan simptomatik dimaksudkan untuk menghilangkan
manifestasi klinis alergi obat yang hingga mereda. Untuk reaksi
anafilaksis:
1. Segera berikan suntikan epinephrine 1:1000, 0,3 ml intramuscular di
daerah deltoid atau paha lateral (vastus lateralis).
2. Hentikan infus media kontras radiografis, antibiotika, produk yang
berasal dari darah dan lepaskan sengatan binatang.
3. Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan apakah diperlukan
tindakan resusitasi kardiopulmoner.
4. Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respon terhadap
pengobatan, dan kondisi masing-masing penderita berikan:
a. Dipenhidramin 50 mg IV (scr pelan)
9
b. Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 mg IV
c. Oksigen melalui masker/kanula hidung
d. Infus cairan garam fisiologis
e. Metilprednisolon 125 mg IV
5. Ulangi pemberian epinephrine tiap 15-20 menit bila diperlukan
6. Siapkan untuk intubasi dan antipasi terjadinya hipotensi
7. Bila tekanan darah sistolik <90 mmHg, baringkan penderita dalam
posisi trendelenburg dengan tungkai dielevasi, lakukan:
a. Pasang 2 jalur infus dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan
cepat (guyur).
b. Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan
cepat hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg lalu dititrasi secara
perlahan, bila tidak efektif pertimbangkan
c. Norepinephrin (Levophed) 2 mg 1 ampul dalam 250 ml Dextrose
5% hingga tekanan darah sistolik mencapai 90 mmHg, selanjutnya
titrasi secara perlahan.
8. Bila terjadi bronkospasm atau sesak napas, berikan:
a. Epinephrin seperti petunjuk di atas
b. Bila tidak efektif, pertimbangkan: salbutamol/Terbutalin secara
nebulisasi atau inhalasi
c. Oksigen hingga konsentrasi 100% menggunakan masker
9. Bila dijumpai stridor
a. Epinephrin seperti petunjuk di atas
b. Oksigen menggunakan masker
c. Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran napas.
10
2.5.2 Desentisasi
Desentisasi merupakan upaya untuk mengubah kondisi penderita
yang sebelumnya sangat peka terhadap suatu obat menjadi toleran
terhadap obat tersebut. Pada umumnya desentisasi dimulai dengan
pemberian obat dengan dosis rendah (1/10.000 hingga 1/1000 dosis
terapi). Dosis obat selanjutnya dilipatgandakan setiap 15 menit sambil
dilakukan pemantauan secara ketat terhadap kondisi penderita.5
2.6 Pencegahan
Sebelum memberikan obat kepada pasien, dokter harus mencatat secara
teliti adanya riwayat atopi, riwayat alergi sebelumnya, jenis obat yang
menimbulkan reaksi alergi, manifestasi alergi yang terjadi, jenis obat yang sedang
digunakan saat ini. Pada pasien denga riwayat alergi, pemberian obat harus
dberikan secara hati-hati, jika memungkinkan lebih baik diberikan obat secara
oral.7
Hindari uji paparan alergen yang mengandung makanan dan obat-obatan
atau pemberian vaksin imunoterapi. Tes diagnostic atau pengobatan semacam itu
sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli bidang alergi-imunologi. Pada penderita
yang sensitif terhadap media kontras radiografis diperlukan langkah-langkah
profilaksis dan pemilihan media kontras radiografis dengan osmolalitas rendah.5
11
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri Kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sadar diantar temannya. Pasien mengeluh nyeri kepala sejak 4
bulan SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba, tertusuk-tusuk di seluruh kepala,
memberat dengan aktivitas dan membaik dengan obat penghilang rasa sakit
(paracetamol). Sejak 4 hari SMRS sakit kepala yang dirasakan semakin
memberat, bahkan tidak membaik dengan istirahat dan minum obat (paracetamol
dan neuralgin). Selain itu pasien juga mengeluh pandangangannya menjadi kabur.
Pandangan kabur dikeluhkan sejak 4 hari SMRS. Pandangan kabur tersebut
dirasakan tiba-tiba sehingga pasien pergi ke RS Silloam untuk memeriksakannya.
Setelah diperiksa di RS Silloam, pandangan kabur yang dirasakan pasien
membaik. Pasien diberikan obat namun lupa nama obatnya. Riwayat mual,
muntah, kejang, trauma dan demam disangkal oleh pasien. Namun pasien
12
mengatakan mengalami penurunan berat badan sekitar 20 kg selama 2 bulan,
padahal nafsu makannya normal.
Kemudian Bagian Neurologi menemukan adanya paresisi nervus VII sinistra
supranuklear dan paresis nervus XII sinistra supranuklear sehingga didiagnosis
dengan suspect infeksi HIV dengan suspect toxoplasmosis cerebri diagnosis
banding tuberkuloma, diagnosis banding PCNSL (Primary Central Nervous
System Lymphoma). Pasien dirawat oleh bidang Neurologi di ruangan Nusa Indah.
Pada tanggal 29 Januari 2015 pasien dikonsulkan ke Interna.
Saat konsul pasien masih mengeluh sedikit nyeri kepala namun sudah lebih
baik dari sebelumnya. Pasien mengeluh batuk sejak 4 bulan yang lalu, namun
memberat setelah dirawat di RS. Batuk dirasakan hilang timbul, tidak membaik
dengan obat batuk. Kadang-kadang keluar dahak yang berwarna putih. Pasien
juga mengeluh gelisah dan tidak bisa tidur. Pasien mengatkan tidak bisa tidur
karena sempat melihat seorang laki-laki menyuntikan obat kepadanya yang
membuat infusnya lepas kemudian darahnya berceceran. Pada tanggal 30 Januari
pasien dikonsilkan ke bagian PITC dengan hasil VCT reaktif. Pasien juga
dikonsulkan ke Bagian Psikiatri terkait keluhan tidak bisa tidur dan gelisahnya.
Bagian Psikiatri mendiagnosis pasien dengan halusinasi organik. Pasien akhirnya
dirawat bersama oleh Bagian Neurologi, Psikiatri dan Interna.
Pada tanggal 7 Februari 2015 pasien mengeluh gatal pada badan dan muncul
bercak-bercak kemerahan. Bercak-bercak merah muncul tiba-tiba setelah minum
obat OAT yang berwarna merah. Bercak merah awalnya muncul dari leher,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Rasa gatal dan bercak merah dirasakan
terus-menerus dan tidak hilang. Rasa gatal yang diarasakan pasien dikatakan
sangat mengganggu sehingga membuat pasien tidak bisa tidur. Setelah obat OAT
dihentikan rasa gatal mulai berkurang namun bercak-bercak merah masih
dikeluhkan.
Pasien dikatakan tidak memiliki keluhan baik pada BAK ataupun pada BAB
terhadap frekuensi hariannya. Pasien BAK dengan volume yang cukup, 4-5 kali
sehari dengan warna kencing kuning. Warna kencing seperti the disangkal oleh
pasien. Pasien BAB 1 kali sehari dengan volume cukup, konsistensi padat, warna
kuning kecoklatan. Pasien tidak mengeluhkan adanya mata yang berwarna kuning
13
dan badan berwarna kuning. Pasien juga menyangkal adanya keluhan ada plak
berwarna putih di lidah atau sekitar rongga mulut pasien.pasien tidak mengeluh
adanya rambut rontok, gusi berdarah dan mimisan.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak sempat berobat ke RS sebelumnya terkait keluhan batuk dan
nyeri kepalanya. Pasien hanya membeli obat batuk dan penghilang rasa sakit di
warung dekat kostnya. Pasien juga tidak pernah dirawat di RS untuk keluhan atau
penyakit lainnya.
14
Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat transfusi sebelumnya. Istri dan anak
pasien dikatakan tidak memiliki keluhan yang sama.
Status General
Mata : Anemis -/-, Ikterus -/ , Reflek pupil +/+, Edema palpebra -/-
THT
Telinga : Bentuk normal, Sekret tidak ada
Hidung : Bentuk normal, Sekret tidak ada
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, Hiperemis (-), Faring hiperemis (-),
Fetor hepatikum (-), plak putih pada lidah (-)
Leher
JVP : PR + 0 cmH2O
Kelenjar getah bening : Tidak ditemukan pembesaran
Kelenjar parotis & tiroid : Tidak ditemukan pembesaran
Thorax:
Simetris, retraksi (-), spider naevi (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
15
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas Kanan : Parasternal line dekstra
Batas Kiri : Midclavicular line sinistra ICS V
Batas Atas : Intercostal space II
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Paru-paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis,
Palpasi : Vokal fremitus N/N
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi : Ves Ves Ronkhi - - Wheezing - -
Ves Ves - - - -
Ves Ves - - - -
Abdomen
Inspeksi : Distensi (+), Meteorismus (-), Vena kolateral (-),
Caput medusae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, Ginjal tidak teraba,
Nyeri tekan (-)
Perkusi : Shifting dullness (-), undulasi (-)
16
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
17
Toxo IgG >300 IU/mL Non reaktif < 2 Reaktif
equivocal 4-8
reaktif > = 8
18
No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks
1 ALP 229 U/L 53-128 Tinggi
2 SGPT 272,2 U/L 11-50 Tinggi
3 SGOT 50,4 U/L 11-33 Tinggi
4 Total Protein 6,89 g/dL 6.4-8.3 Normal
5 Albumin 3,51 g/dL 3.4-4.8 Normal
6 Globulin 3,38 ug/dL 3.2-3.7 Tinggi
7 Gamma GT 674 U/L 11-49 Tinggi
8 Bilirubin Total 1,67 mg/dL 0-1.3 Tinggi
9 Bilirubin Direk 1,28 mg/dL 0.00-0.30 Tinggi
10 Bilirubin Indirek 0,39 mg/dL 0.00-0.8 Normal
19
Paracardial kiri
Sinus pleura kanan dan kiri tajam
Diafragma kanan dan kiri normal
Tulang tak tampak ada kelainan
Kesan :
- Suspect TB Paru
- Bekas keradangan di paracardial paru kiri
20
3.5 DIAGNOSIS
- Wasting syndrome
- Toxoplasmosis cerebri
3.6 PENATALAKSANAAN
Terapi
- Masuk Rumah Sakit
- Diet ekstra putih telur
- IVFD NaCl 20 tpm
- Paracetamol 3 x 750 mg (k/p)
- Dyphenhidramine 3 x 10 mg IV ganti dengan cetirizine 1 x 10 mg p.o
- Clindamycin 4 x 600 mg I.O. (apabila ada reaksi alergi stop)
- Pirimethamine 1 x 75 mg I.O. (apabila ada reaksi alergi stop)
- OAT kategori I fase intensif stop
- Haloperidol 0,75 mg setiap 12 jam I.O.
- Diazepam 2 mg setiap 12 jam I.O (malam)
Diagnosis
- LFT lengkap
- IgE total
Monitoring
- Tanda-tanda vital
- Keluhan
- Keseimbangan cairan
- Berat badan
- Tanda syok anafilaktik
21
3.7 PROGNOSIS
Ad vitam : Dubius ad malam
Ad functionam : Dubius ad malam
Ad sanationam : Dubius ad malam
22
BAB IV
HASIL KUNJUNGAN LAPANGAN
23
multipartner dengan istri sahnya, satu istri kawin adat dan dua orang
selingkuhannya.
3. Pasien sudah bercerai dengan istri sah nya pada tahun 2010 dimana mereka
memiliki 1 orang anak yang berusia 8 tahun. Istri dan anak pasien tinggal di
Jawa dan tidak pernah kontak dengan pasien. Istri dan anak pasien tidak tahu
tentang penyakit pasien dan dirawatnya pasien di Rumah Sakit. Pasien juga
mengatakan ayah dan ibunya sudah meninggal namun ia memiliki enam orang
saudara dimana anak kelima tinggal di Bali dan masih berhubungan dengan
pasien. Adik pasien tersebut tahu akan penyakit pasien dan sesekali
mengunjungi pasien di Rumah Sakit dan mengurus kebutuhan pasien.
4. Pasien mengurus dirinya sendiri di Rumah Sakit dimana ia tidak memiliki
saudara maupun kerabat untuk menemaninya. Pasien mengatakan sejak hari
pertama masuk rumah sakit belum ada yang pernah mengunjunginya kecuali
adik pasien yang ikut membantu administrasi Rumah Sakit pasien.
5. Kondisi fisik pasien yang cenderung semakin lemah membatasi gerak dan
aktivitas pasien. Pasien bekerja sebagai supir dimana ia tidak dapat melakukan
pekerjaannya semenjak masuk rumah sakit sehingga ia tidak mendapat
penghasilan semenjak di rawat di Rumah Sakit. Pasien mengatakan ia
membayar biaya Rumah Sakit dengan jaminan kesehatan BPJS.
6. Pasien mengatakan semenjak sakit nafsu makannya jauh berkurang dimana
sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengeluh mengalami penurunan berat
badan.
7. Pasien mengalami infeksi oportunistik HIV/AIDS berupa Tuberkulosis Paru
yang mengakibatkan pasien harus mengkonsumsi OAT akibat penyakitnya ini.
Pasien mengatakan ia mengeluh kemerahan di seluruh badan disertai rasa
gatal setelah meminum obat OAT (6/02/2015) sehingga ia dicurigai
mengalami hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Pasien mengatakan ia
sering mengalami gatal – gatal sehari – harinya karena sebab yang tidak jelas.
Pasien juga mengatakan ia alergi terhadap jenis – jenis coklat tertentu dimana
seluruh tubuhnya akan gatal dan kemerahan jika mengkonsumsi coklat
tersebut.
24
8. Pasien sempat berkata ia khawatir tentang apa yang akan dipikirkan oleh
teman – teman serta keluarganya mengenai penyakit yang ia alami sehingga
pada awalnya ia menolak untuk dikunjungi di rumah. Pasien mengatakan yang
ia ketahui tentang penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat menular
dan tidak bisa disembuhkan.
9. Pasien mengatakan dirinya aktif merokok sejak berusia 17 tahun dimana ia
biasa menghabiskan minimal 2 bungkus rokok perharinya. Pasien mengaku ia
memiliki keinginan untuk berhenti merokok karena penyakitnya ini namun hal
tersebut masih sulit untuk dilakukan.
10. Lingkungan dalam rumah pasien kurang bersih dimana kamar tidur pasien
banyak debu karena jarang dibersihkan. Ventilasi dan pencahayaan di kamar
pasien juga tergolong kurang.
25
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1986 + 397,2 +
198,6 = 2581,8 kalori dibulatkan menjadi 2500 kalori.
Distribusi makanan :
1. Karbohidrat 60% = 60% x 2500 kalori = 1500 kalori dari karbohidrat
setara dengan 375 gram karbohidrat (1500 kalori : 4 kalori/gram
karbohidrat).
2. Protein 20% = 20% x 2500 kalori = 500 kalori dari protein setara
dengan 125 gram protein (500 kalori : 4 kalori/gram protein).
3. Lemak 20% = 20% x 2500 kalori = 500 kalori dari lemak setara
dengan 55 gram lemak (500 kalori : 9 kalori/gram lemak).
26
Nutrisi harian pasien (± 1600 kalori) masih belum mencukupi
kebutuhan nutrisi yang seharusnya, jadi, pasien memerlukan lebih
banyak variasi dalam makanan.
2. Kegiatan fisik
Kegiatan fisik pasien di luar pekerjaan adalah diam di rumah dan
menonton TV. Pasien biasa bekerja sebagai supir setiap hari dari pukul
09.00 pagi hingga pukul 17.00 di sore hari. Pasien mengatakan ia tidak
pernah berolahraga karena sibuk bekerja.
4. Lingkungan
Pasien tinggal di sebuah rumah kos di Jalan Raya Kerobokan No.
106 di belakang Bank BPD Bali dimana rumah pasien memasuki gang
yang cukup sempit. Pasien tinggal sendiri dimana penghuni kamar
lainnya merupakan teman pasien. Kamar kos pasien berukuran ± 4 x 5
m. Kos pasien terdiri atas 1 kamar tidur, 1 kamar mandi dan dapur kecil
di dalamnya. Kamar tidur pasien tampak kurang rapi dimana cukup
banyak debu serta barang – barang pasien yang berantakan. Ventilasi
dan sirkulasi udara di dalam rumah dan kamar kurang memadai dan
sumber masuknya cahaya matahari pagi dan sore ke dalam rumah
tampak masih kurang.
Keadaan dapur pasien terlihat tidak tertata rapi dan tidak bersih,
ventilasi udara pun kurang dimana jika dilakukan aktivitas memasak
asap akan cenderung terkumpul di dapur dan membuat pengap.
Keadaan kamar mandi pasien juga terlihat kotor dan berbau. Masih
terdapat beberapa cucian dan sampah botol plastik di dalam kamar
27
mandi. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk mandi, mencuci
baju, air minum, dan keperluan memasak. Tempat pembuangan sampah
menggunakan tempat sampah yang dikumpulkan di depan kos.
Lingkungan halaman kos tampak cukup terawat.
b. Kebutuhan bio-psikosoial
1. Lingkungan biologis
Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien tidak ada yang
pernah mengeluh keluhan dan penyakit yang sama dengan pasien.
Tidak terdapat riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma,
kejang dan penyakit sistemik lainnya di dalam keluarga pasien. Pasien
sering mengalami gatal – gatal sedari dulu karena hal yang tidak jelas
dan pasien mengatakan ia alergi terhadap coklat.
2. Faktor psikososial
Pasien sangat membutuhkan peranan dan dukungan dari keluarga
dalam menghadapi penyakitnya ini. Pasien sudah bercerai dengan
istrinya dimana mereka tinggal terpisah dan mantan istri serta anak –
anaknya pasien tidak mengetahui penyakit yang sedang diderita pasien.
Pasien memiliki dua orang anak dimana satu anak berasal dari istri sah
dan satu lagi dari istri yang ia nikahi secara adat. Ayah dan ibu pasien
juga sudah meninggal. Kakak pasien dan teman – teman pasien
dikatakan mengetahui pasien dirawat di RSUP Sanglah namun tidak
pernah datang menjenguk. Pasien juga saat ini tinggal sendiri dimana
tidak ada yang membantunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah
sehari – harinya dan mendukungnya dalam menjalani terapi terhadap
penyakitnya.
28
4.4 Saran dan Pemecahan Masalah
Beberapa masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan
penyelesaian masalah yang yakni:
1. Edukasi pasien tentang penyakitnya. Pasien dijelaskan kembali lebih lengkap
mengenai penyakitnya dan bagaimana faktor risiko, perkiraan perjalanan
penyakitnya, pencegahan penularan penyakitnya kepada orang lain dan
pengobatannya lebih lanjut. Pasien juga disarankan untuk rutin kontrol dan
meminum obat yang sudah diresepkan oleh dokter.
2. Memberikan KIE kepada pasien untuk menghindari faktor risiko dari
penyakitnya dan mencatat obat yang membuatnya mengalami hipersensitivitas
serta menginformasikannya kepada dokter yang akan menangani penyakitnya
nanti.
3. Memberikan edukasi mengenai menjaga lingkungan rumah, terutama
mengenai debu, polutan dan lingkungan pasien yang kurang bersih. Pasien
agar rutin menjaga kebersihan rumahnya dan mengatur sirkulasi udara serta
cahaya yang cukup di dalam rumah.
4. Pasien juga diberikan edukasi mengenai pemilihan makanan, sebaiknya
memasak makanannya sendiri dan menghindari makanan dengan bahan
pengawet.
5. Lingkungan rumah pasien perlu ditata dan diperhatikan kebersihannya karena
dapat turut serta berperan dalam kesehatan pasien baik terhadap kondisi
primer maupun kondisi penyerta pasien lainnya.
29
4. Lingkungan rumah pasien agar dijaga kebersihannya karena lingkungan yang
kotor dapat menjadi sumber penyakit lainnya bagi pasien dan memperburuk
keadaan penyakit hati pasien.
5. Pasien sebaiknya menjaga pola makan dan menghindari kebiasaan merokok
dan minum alkohol yang tidak baik untuk kesehatan pasien.
30
BAB V
SIMPULAN
31
LAMPIRAN
32
LAMPIRAN
DAPUR TOILET
KAMAR TIDUR
TERAS
33
DAFTAR PUSTAKA
34