MAKALAH
Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Infeksi Traktus Urinarius
Pada Kehaimlan dan Persalinan”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah
Asuhan Kebidanan Persalinan di Universitas Muhammadiyah Semarang.
Kami menyadari bahwa penyelesaian makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
dalam segi pembahasan, penulisan dan penyusunan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritk dan saran dari dosen pembimbing mata kuliah Asuhan Kebidanan Persalinan untuk
menyempurnakan makalah ini.
Penyusun
Ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................ ii
BAB 1 Pendahuluan................................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Tujuan ....................................................................... ................ 2
C. Manfaat......................................................................................... 2
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang masih memiliki angka kejadian luar biasa (KLB)
penyakit menular dan keracunan yang cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan perlunya
peningkatan sistem kewaspadaan dini dan respon terhadap KLB tersebut dengan langkah-
langkah yang terprogram dan akurat, sehingga proses penanggulangannya menjadi lebih
cepat dan akurat pula. Untuk dapat mewujudkan respon KLB yang cepat, diperlukan bekal
pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari para petugas yang diterjunkan ke lapangan.
Kenyataan tersebut mendorong kebutuhan para petugas di lapangan untuk memiliki pedoman
penyelidikan dan penanggulangan KLB yang terstruktur, sehingga memudahkan kinerja para
petugas mengambil langkah-langkah dalam rangka melakukan respon KLB.
Dewasa ini kejadian wabah penyakit sudah merupakan masalah global, sehingga
mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan
penyakit akibat pangan (foodborne disease) dan kejadian wabah penyakit lainnya terjadi
tidak hanya di berbagai negara berkembang dimana kondisi sanitasi dan higiene umumnya
buruk, tetapi juga di negara-negara maju. Oleh karena itu disiplin ilmu epidemiologi
berupaya menganalisis sifat dan penyebaran berbagai masalah kesehatan dalam suatu
penduduk tertentu serta mempelajari sebab timbulnya masalah dan gangguan kesehatan
tersebut untuk tujuan pencegahan maupun penanggulangannya.
Peristiwa bertambahnya penderita atau kematian yang disebabkan oleh suatu penyakit
di wilayah tertentu, kadang-kadang dapat merupakan kejadian yang mengejutkan dan
membuat panik masyarakat di wilayah itu. Secara umum kejadian ini kita sebut sebagai
Kejadian Luar Biasa (KLB), sedangkan yang dimaksud dengan penyakit adalah semua
penyakit menular yang dapat menimbulkan KLB, penyakit yang disebabkan oleh keracunan
makanan dan keracunan lainnya. Penderita atau yang beresiko penyakit dapat menimbulkan
KLB dapat diketahui jika dilakukan pengamatan yang merupakan semua kegiatan yang
dilakukan secara teratur, teliti dan terus-menerus, meliputi pengumpulan, pengolahan,
analisa/interpretasi, penyajian data dan pelaporan. Apabila hasil pengamatan menunjukkan
adanya tersangka KLB, maka perlu dilakukan penyelidikan epidemiologis yaitu semua
kegiatan yang dilakukan untuk mengenal sifat-sifat penyebab dan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya dan penyebarluasan KLB tersebut di samping tindakan
penanggulangan seperlunya. Hasil penyelidikan epidemiologis mengarahkan langkah-
langkah yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan KLB. Upaya penanggulangan ini
meliputi pencegahan penyebaran KLB, termasuk pengawasan usaha pencegahan tersebut dan
pemberantasan penyakitnya. Upaya penanggulangan KLB yang direncanakan dengan cermat
dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait secara terkoordinasi dapat menghentikan
atau membatasi penyebarluasan KLB sehingga tidak berkembang menjadi suatu wabah
(Efendy Ferry, 2009).
B. TUJUAN
Selain itu, Mentri Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai berikut:
“Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”.
Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan, yaitu peningkatan kasus yang melebihi
situasi yang lazim atau normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis,
gawat atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada wilayah yang lebih luas.
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya
dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun
sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan
angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
1. Kholera
2. Pes
3. Demam berdarah
4. Campak
5. Polio
6. Difteri
7. Pertusis
8. Rabies
9. Malaria
11. Antraks
12. Leptospirosis
13. Hepatitis
14. Influenza H1N1
15. Meningitis
16. Yellow Fever
17. Chikungunya
2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/ mempunyai memerlukan
tindakan segera: DHF, campak, rabies, tetanus neonatorum, diare, pertusis, poliomyelitis.
3. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting: malaria, frambosia,
influenza, anthrax, hepatitis, typhus abdominalis, meningitis, keracunan, encephalitis, tetanus.
4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi masuk
program: kecacingan, kusta, tuberkulosa, syphilis, gonorrhoe, filariasis, dan lain-lain.
Menurut Bustan (2002), Klasifikasi Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab
dan sumbernya, yakni sebagai berikut:
3) Endotoxin
b. Infeksi
1) Virus
2) Bakteri
3) Protozoa
4) Cacing
2) Alfatoxin
3) Plankton
1) Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain cyanida, nitrit,
pestisida.
Misalnya: Staphylococcus, Streptococcus virus
Misalnya: Salmonella
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/ wabah adalah herd
immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang dimiliki
oleh sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan
dengan tingkat kekebalan individu. Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit
terkena penyakit tersebut.
2. Patogenesitas
10. Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi
(CDC, 1979; Barker, 1979; Greg, 1985; Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986;
Goodman et al., 1990 dalam Maulani, 2010)
Pada pelaksanaan penyelidikan KLB, langkah-langkah tersebut tidak harus dikerjakan secara
berurutan, kadang-kadang beberapa langkah dapat dikerjakan secara serentak. Pemastian
diagnosa dan penetapan KLB merupakan langkah awal yang harus dikerjakan (Mausner and
Kramer, 1985; Vaughan and Marrow, 1989 dalam Maulani, 2010).
Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda
penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya.
3. Penetapan KLB
5. Deskripsi KLB
1) Kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan berasal dari satu sumber).
Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan kasus-kasus yang terpapar dalam waktu yang sama
dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air dan
makanan (misalnya: kolera, typoid).
2) Kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan cara
penularan kontak dari orang ke orang. Terlihat adanya beberapa puncak. Jarak antara puncak
sistematis, kurang lebih sebesar masa inkubasi rata rata penyakit tersebut.
Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis sumber penularan atau
etiologi penyakit.
Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras, status kekebalan, status
perkawinan, tingkah laku, atau kebudayaan setempat. Pada tahap dini kadang hubungan kasus
dengan variabel orang ini tampak jelas. Keadaan ini memungkinkan memusatkan perhatian
pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis kasus berdasarkan umur harus selalu
dikerjakan, karena dari age spscific rate dengan frekuensi dan beratnya penyakit. Analisis ini
akan berguna untuk membantu pengujian hipotesis mengenai penyebab penyakit atau sebagai
kunci yang digunakan untuk menentukan sumber penyakit (MacMahon and Pugh, 1970;
Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986 dalam Maulani, 2010).
6. Penanggulangan sementara
Sebagai contoh adanya kasus Hepatitis A di rumah sakit, segera dapat dilakukan
penanggulangannya yaitu memberikan imunisasi pada penderita yang diduga kontak,
sehingga penyelidikan hanya dilakukan untuk mencari orang yang kontak dengan penderita
(MMWR, 1985 dalam Maulani, 2010).
b. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat dipastikan, maka belum
dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan penyelidikan yang lebih luas untuk
mencari sumber dan cara penularannya.
c. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah diketahui maka
penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih memerlukan penyelidikan yang
luas tentang etiologinya.
Sebagai contoh: suatu KLB Organophosphate pada tahun 1986. Diketahui bahwa sumber
penularan adalah roti, sehingga cara penanggulangan segera dapat dilakukan dengan
mengamankan roti tersebut. Penyelidikan KLB masih diperlukan untuk mengetahui
etiologinya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditemukan parathion sebagai
penyebabnya (Etzel et al., 1987 dalam Maulani, 2010).
d. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka penanggulangan tidak
dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan baru dapat dilakukan sesudah
penyelidikan.
Sebagai contoh: Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara penanggulangan baru dapat
dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas mengenai etiologi dan cara penularan
penyakit tersebut (Frase et al., 1977 dalam Maulani, 2010).
7. Identifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB
Untuk mengetahui sumber dan cara penularan dilakukan dengan membuktikan adanya agent
pada sumber penularan.
Secara umum keadaan penyebab KLB adalah adanya perubahan keseimbangan dari agent,
penjamu, dan lingkungan.
Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan:
a. Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui kemampuannya yang
ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan kewajiban
pelaksanaan sistem surveilans.
9. Penyusunan Rekomendasi
a. Program Pengendalian
2) Pelaksanaan
3) Pengendalian (Monitoring/Supervisi)
b. Penanggulangan KLB
Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat, meliputi:
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk mengetahui keadaan
penyebab KLB dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian
tersebut, termasuk aspek sosial dan perilaku sehingga dapat diketahui cara penanggulangan
dan pengendaian yang efektif dan efisien (Anonim, 2004 dalam Wuryanto, 2009).
2) Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina.
Tujuannya adalah:
a) Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar
mereka tidak menjadi sumber penularan.
b) Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi mengandung penyebab
penyakit sehingga secara potensial dapat menularkan penyakit (carrier).
Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara khusus menurut
jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada orang lain.
Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan yaitu peningkatan kasus yang melebihi
situasi yang lazim atau normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis,
gawat atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada wilayah yang lebih luas.
Langkah-langkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB, adalah: (1) mempersiapkan
penelitian lapangan, (2) menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB, (3) memastikan
diagnosa etiologis, (4) mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan, (5)
mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat; (6) membuat cara
penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan), (7) mengidentifikasi sumber
penularan dan keadaan penyebab KLB, (8) merencanakan penelitian lain yang sistematis, (9)
menetapkan saran cara pengendalian dan penanggulangan, (10) melaporkan hasil
penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada sistim pelayanan kesehatan
yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Maulani, Novie Sri. 2010. “Kejadian Luar Biasa”, Catatan Kuliah. Program Studi S1 Kesehatan
Masyarakat STIKES HAKLI Semarang.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Jakarta: (tidak diterbitkan).
Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip Prinsip Dasar. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Pickett, George., dan John J Hanlon. 2009. Kesehatan Masyarakat : Administrasi dan Praktik,
Edisi 9. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Wuryanto, M.Arie. “Aspek Sosial Dan Lingkungan Pada Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya
(Studi Kasus KLB Chikungunya di Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang Kota
Semarang)”. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 4 No. 1: 68-54.
Dari tahun ke tahun, Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi endemik di
Yogyakarta. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta merilis data bahwa pada tahun 2016 lalu
terdapat 1.706 kasus DBD dengan 13 kematian, sementara hingga minggu ketiga di awal
tahun 2017 jumlah kasus telah mencapai angka 53. Kondisi ini mendorong tim Eliminate
Dengue Project (EDP) Yogya untuk terus mengembangkan inovasi metode pengendalian
Demam Berdarah melalui penyebaran nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia.
"Tahun lalu kami telah melakukan penelitian 6 kelurahan di Kota Yogyakarta, dan pada
tahun 2017 ini kita akan memperluas kegiatan penerapan Aedes aegypti ber-Wolbachia di 24
klaster yang tersebar di wilayah Yogyakarta," ujar Peneliti Utama EDP Yogya, Prof. Adi
Utarini, Selasa (24/1).
EDP Yogya sendiri merupakan kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Kedokteran
Tropis Fakultas Kedokteran UGM dan didanai oleh Yayasan Tahija yang mengembangkan
metode alami untuk mengurangi kasus DBD dengan menggunakan bakteri Wolbachia.
Menurut penelitian yang telah dilakukan, bakteri ini terbukti mampu menghambat
perkembangan virus DBD di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti.
Dalam tahap penelitian kali ini, tim EDP Yogya akan menyebarkan 8.000 ember yang
masing-masing berisi 100-120 telur nyamuk ber-Wolbachia. Untuk memperoleh bukti ilmiah
yang kuat, EDP Yogya memerlukan dua wilayah, yaitu wilayah yang akan mendapatkan
penitipan telur ber-Wolbachia atau wilayah intervensi serta wilayah pembanding.
"Kami akan membagi keseluruhan wilayah tersebut menjadi 24 klaster berdasarkan batas-
batas fisik seperti jalan raya, sungai, atau lahan kosong, bukan berdasarkan batasan
administratif. Selanjutnya, hanya separuh kluster yang akan terpilih secara acak menjadi
wilayah penitipan telur anti DBD ini," jelasnya.
Pemilihan kluster yang akan menjadi wilayah intervensi serta wilayah pembanding akan
dilakukan secara acak melalui proses pengacakan yang dilakukan secara terbuka di hadapan
perwakilan dari berbagai kelurahan yang dilibatkan di Balai Kota Yogyakarta pada Rabu
(25/1). Adi berharap keterlibatan warga dalam penentuan wilayah ini dapat mendorong warga
untuk turut berpartisipasi dalam upaya pengendalian DBD.
“Pemilihan sampel dalam proses penelitian pada umumnya dilakukan secara acak oleh tim
peneliti. Tapi untuk tim EDP kami ingin melibatkan warga karena partisipasi masyarakat
sangatlah penting,” ujarnya.
Program penelitian yang telah berlangsung di Provinsi DIY sejak tahun 2014 ini mendapat
respons baik dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang juga gencar melakukan kampanye
dan upaya pengendalian demam berdarah.
“Kami mendukung sekali penelitian ini, mengingat saat ini beban DBD Kota Yogya
tergolong masih mengkhawatirkan,” papar Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, drg.
Fita Yulia Kiswororini.
Dalam kesempatan ini ia memaparkan bagaimana persebaran DBD sudah begitu luas. Data
tahun 2016 menunjukkan bahwa kasus DBD telah menjangkit setiap kelurahan di Kota
Yogyakarta hingga tidak ada satu pun wilayah yang aman dari ancaman DBD. Karena itu, ia
berharap masyarakat yang sudah dipercaya untuk memelihara telur nyamuk ber-Wolbachia
ini dapat benar-benar berkomitmen hingga akhir masa penelitian sehingga nantinya dapat
tampak hasil yang baik dari penelitian ini.
“Harapannya penelitian ini dapat berkembang dengan baik dan hasilnya nanti akan sama-
sama terlihat juga. Melalui hal ini kita akan mulai upaya dari Jogja untuk Indonesia, kita
membebaskan masyarakat dari ancaman demam berdarah,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)
https://ugm.ac.id/id/berita/13206-2017.kasus.dbd.di.yogyakarta.mencapai.53.kasus