Anda di halaman 1dari 42

TUGAS MAKALAH

KEPERAWATAN DEWASA SISTEM


KARDIOVASKULER, RESPIRATORI, DAN HEMATOLOGI
ASKEP GANGGUAN DAN PELAKSANAAN PADA KASUS TBC

DISUSUN OLEH:
Kelompok 10 / Kelas 3A
1. Siti Rahmawati (1130022038)
2. Elly Arnovi Ibrahim M. (1130022075)
3. Putri Kartika Octaviani (1130022129)
4. Aysah Perdana Sari (1130022155)

DOSEN FASILITATOR:
Lono Wijayanti, S.Kep.Ns., M.Kep.

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Dewasa
Sistem Kardiovaskuler, Respiratori, dan Hematologi yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Gangguan dan Penatalaksanaan pada Kasus TBC” dapat selesai
seperti waktu yang telah direncanakan.

Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak
yang memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung atau
tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen fasilitator mata kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Kardiovaskuler,
Respiratori, dan Hematologi, Ibu Lono Wijayanti, S.Kep.Ns., M.Kep.
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada kami sehingga
laporan ini dapat terselesaikan.
3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar
makalah ini dapat kami selesaikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik yang tulus dan ikhlas
kepada semua pihak yang kami sebutkan di atas. Tak ada gading yang tak patah,
untuk itu kami pun menyadari bahwa makalah yang telah kami susun masih
memiliki banyak kelemahan serta kekeliruan baik dari segi teknis maupun non
teknis.

Untuk itu penulis membuka pintu yang selebar-lebarnya kepada seluruh


pihak, agar dapat memberikan saran dan kritik yang membangun demi
penyempurnaan penulisan-penulisan mendatang. Apabila dalam makalah ini
terdapat hal-hal yang kurang berkenan di hati pembaca, mohon dimaafkan.
Penyusun sangat berharap agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
mahasiswa.

Surabaya, 18 September 2023

Penyusun
Kelompok 10 / Kelas 3A

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 6
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 7
1.4 Manfaat ......................................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN TEORI ................................................................................. 8
2.1 Konsep Dasar TBC (Tuberkulosis) .............................................................. 8
2.1.1 Definisi .................................................................................................. 8
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Tuberkulosis ..................................................... 8
2.1.3 Etiologi dan Transmisi Tuberkulosis................................................... 10
2.1.4 Faktor Risiko ....................................................................................... 11
2.1.5 Patofisiologi......................................................................................... 12
2.1.6 Pathway ............................................................................................... 13
2.1.7 Manifestasi Klinis................................................................................ 14
2.1.8 Klasifikasi ............................................................................................ 15
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 17
2.1.10 Penatalaksanaan ................................................................................. 19
2.1.11 Komplikasi ........................................................................................ 20
2.1.12 Pencegahan ........................................................................................ 20
2.1.13 Prognosis ........................................................................................... 21
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan TBC ................................................. 22
2.2.1 Pengkajian ........................................................................................... 22
2.2.2 Diagnosa Keperawatan ........................................................................ 29
2.2.3 Intervensi ............................................................................................. 30
2.2.4 Implementasi ....................................................................................... 36
2.2.5 Evaluasi ............................................................................................... 36
BAB III APLIKASI TEORI ............................................................................... 37
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 40
4.1 Kesimpulan ................................................................................................. 40
4.2 Saran ........................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 41

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Paru-paru ................................................................................. 8


Gambar 2 Pathway Tuberkulosis .......................................................................... 13

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Intervensi Keperawatan............................................................................ 30


Tabel 2 Aplikasi Teori .......................................................................................... 37

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat menyerang organ tubuh mana pun,
tetapi paling sering menyerang paru-paru. TBC masih menjadi permasalahan
kesehatan global hingga saat ini, dengan sekitar dua miliar orang terinfeksi secara
laten. Meskipun telah ada vaksin BCG dan obat-obatan antituberkulosis yang
efektif, TBC tetap menjadi penyebab tingginya angka kematian, terutama di negara-
negara dengan tingkat kehidupan yang rendah.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa TBC berada di
urutan kedua untuk penyakit infeksius yang paling banyak menyebabkan kematian
setelah COVID-19. Di Indonesia sendiri, TBC juga termasuk kedalam masalah
kesehatan dengan angka kasus dan kematian yang tinggi. Pada 2021, Indonesia
menempati posisi ke-2 di dunia setelah India dengan estimasi sebanyak 969.000
kasus. Estimasi kasus pada 2022 juga sebanyak 969.000 kasus, terdiri dari TBC
Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO) (Mulya, 2023).
Dalam penatalaksanaan TBC, asuhan keperawatan memiliki peran penting
dalam manajemen penyakit ini. Peran perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien dengan tuberculosis yakni bertanggung jawab
memenuhi kebutuhan dasar klien secara holistic termasuk pemenuhan kebutuhan
oksigen klien bila tidak adekuat. Peran perawat dalam menangani pasien TB yang
lainnya yakni dengan melakukan pengobatan dan membuat pasien aman nyaman
selama melakukan perawatan. Sebagai advokat, perawat bertanggung jawab
menciptakan lingkungan yang aman untuk pasien, melindungi mereka dari efek
samping yang mungkin terjadi akibat pengobatan atau tindakan diagnostik, dan
berusaha mencegah terjadinya kecelakaan. Sebagai edukator, perawat membantu
pasien dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang
kesehatan, gejala penyakit, serta tindakan yang akan diberikan. Hal ini dapat
mengubah perilaku pasien setelah mereka menerima pendidikan atau edukasi
kesehatan (Umasugi, 2018).

6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, diangkat beberapa
masalah :
1. Bagaimana konsep dasar penyakit TBC?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan dari TBC?
3. Bagaimana aplikasi teori dari asuhan keperawatan TBC?

1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Untuk memperoleh pengetahuan dan memahami asuhan keperawatan
gangguan dan penatalaksanaan pada kasus TBC. Serta untuk melaksanakan
tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Kardiovaskuler,
Respiratori, dan Hematologi.

B. Tujuan Khusus
1. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai konsep dasar dari
TBC (pengertian, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, dan
penatalaksanaan).
2. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai konsep dasar
asuhan keperawatan pada kasus TBC.
3. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai aplikasi teori dari
asuhan keperawatan TBC.

1.4 Manfaat
1. Bermanfaat bagi mahasiswa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
yang dimiliki khususnya mengenai askep gangguan dan peatalaksanaan
pada kasus TBC.
2. Dapat dijadikan sarana untuk menambah pengetahuan bagi pembaca.

7
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar TBC (Tuberkulosis)


2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dan sebagainya, yang
dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Selain Mycobacterium tuberculosis
yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, ada pun MOTT (Mycobacterium
Other Than Tuberculosis) yang bisa mengganggu diagnosis dan pengobatan TBC
(Pralambang & Setiawan, 2021).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Tuberkulosis (TB)
adalah suatu penyakit menular yang menjadi penyebab utama penyakit dan
termasuk dalam 10 penyebab utama kematian di seluruh dunia. Penyakit ini juga
merupakan penyebab utama kematian akibat satu agen infeksius, bahkan melebihi
HIV/AIDS. TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang
menyebar ketika orang yang terinfeksi TB mengeluarkan bakteri ke udara, seperti
melalui batuk. Meskipun penyakit ini umumnya menyerang paru-paru (TB paru),
namun dapat juga menyerang bagian tubuh lain (TB luar paru). Sekitar seperempat
dari populasi dunia telah terinfeksi oleh M. tuberculosis (WHO, 2020).

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Tuberkulosis

Gambar 1 Anatomi Paru-paru

8
Paru-paru terletak dalam rongga dada dilindungi oleh struktur tulang
selangka. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu skat yang disebut diafragma.
Berat paru-paru kanan sekitar 620 gram, sedangkan paru-paru kiri sekitar 560 gram.
Masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh
besar serta struktur-struktur lain di dalam rongga dada. Selaput yang membungkus
disebut pleura. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleura itu sendiri. Pada
keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru kembang
kempis, dan juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki
permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada
sewaktu ada gerakan napas.
Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan terdiri Atas tiga
lobus yaitu gelambir atas (lobus superior), gelambir tengah (lobus medius), dan
gelambir bawah (lobus inverior). Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua gelambir
yaitu gelambir atas (lobus Superior) dan gelambir bawah (lobus inverior). Paru-
paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5
buah segmen pada lobus inverior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5
buah segmen pada superior, 2 buah segmen pada lobus medial, dan 3 buah segmen
pada lobus inverior. Tiap-tiap segmen terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang
bernama lobulus. Diantara lobulus satu dan lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh darah getah bening dan syaraf dalam pada tiap-tiap lobulus
terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang
yang disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus
yang diameternya antara 0.2 sampai 0.3 mm.
Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbondioksida. Udara masuk ke paru-paru melalui
bronchi dan bronkiolus yang bercabang di trachea. Pipa tersebut berakhir di alveoli
yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida
dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Untuk melaksanakan fungsi
tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi 4 mekanisme dasar, yaitu:
1. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan
atmosfer.

9
2. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.
3. Transport dari oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke sel.
4. Pengaturan ventilasi.
Pada waktu menarik nafas dalam otot akan berkontraksi, tetapi pengeluaran
pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup dalam, penarikan
nafas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru dan dinding badan
bergerak sehingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi semula. Aktivitas
bernafas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk sewaktu bernafas
dalam dan volume udara bertambah.
Selama bernafas tenang tekanan intrapleura kira-kira 2,5mmHg relatif lebih
tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai 6mmHg dan
paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam dalam jalan udara
sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam paru-paru. Pada akhir
inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi dimana tekanan recoil
paru-paru dan dinding dada seimbang.Tekanan dalam jalan pernafasan seimbang
menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru.

2.1.3 Etiologi dan Transmisi Tuberkulosis


Dikutip dari Dwipayana (2022), penyakit tuberkulosis disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri berbentuk batang
dengan panjang 1-4 mm dan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian dinding Mycobacterium
tuberculosis terdiri atas asam lemak atau lipid, sehingga mampu tahan terhadap
asam dan berbagai zat kimia. Karena sifatnya yang tahan terhadap asam tersebut
Mycobacterium tuberculosis disebut bakteri tahan asam (BTA). Bakteri ini dapat
bertahan pada keadaan dingin dan kering karena sifatnya yang mampu berada
dalam fase dormant. Mycobacterium tuberculosis juga memiliki sifat aerob. Sifat
ini menunjukkan bahwa bakteri ini senang berada di jaringan dengan kandungan
oksigen yang tinggi. Maka dari itu Mycobacterium tuberculosis lebih sering
menginfeksi bagian apeks paru-paru karena kadar oksigennya yang tinggi
dibandingkan bagian paru lainnnya .
M. tuberculosis dapat menular ketika penderita tuberkulosis paru BTA
positif berbicara, bersin dan batuk yang secara tidak langsung mengeluarkan doplet

10
nuklei yang mengandung mikroorganisme M. tuberculosis dan terjatuh ke lantai,
tanah, atau tempat lainnya. Paparan sinar matahari atau suhu udara yang panas
mengenai doplet nuklei tersebut dapat menguap. Menguapnya droplet bakteri ke
udara dibantu dengan pergerakan aliran angin yang memicu bakteri M. tuberculosis
yang terkandung di dalam doplet nuklei terbang melayang mengikuti aliran udara.
Apabila bakteri tersebut terhirup oleh orang sehat maka orang itu berpotensi
terinfeksi bakteri penyebab tuberkulosis (Kenedyanti & Sulistyorini, 2017).

2.1.4 Faktor Risiko


Risiko penyakit tuberkulosis dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
sebagai berikut (Mar’iyah & Zulkarnain, 2021) :
1. Umur menjadi faktor utama risiko penyakit tuberkulosis karena kasus tertinggi
penyakit ini terjadi pada usia muda hingga dewasa. Indonesia sendiri di
perkirakan 75% penderita berasal dari kelompok usia produktif (15-49 tahun).
2. Jenis kelamin, penyakit ini lebih banyak menyerang laki-laki daripada wanita,
karena sebagian besar laki laki mempunyai kebiasaan merokok. Kebiasaan
merokok dan meminum alkohol dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga
mudah untuk terserang penyakit.
3. Pekerjaan, hal ini karena pekerjaan dapat menjadi faktor risiko kontak langsung
dengan penderita. Orang yang bekerja dalam bidang kesehatan, yang sering
berkontak langsung dengan pasien, memiliki risiko lebih tinggi. Meskipun ada
beberapa pekerjaan lain yang juga berisiko, seperti pekerja pabrik.
4. Status ekonomi juga menjadi faktor risiko mengalami penyakit tuberkulosis,
masyarakat dengan pendapatan rendah mungkin sulit memenuhi kebutuhan
kesehatan dengan baik.
5. Lingkungan tempat tinggal juga memainkan peran penting. Faktor-faktor
seperti pencahayaan, kelembapan, suhu, kondisi atap, dinding, lantai, dan
kepadatan hunian dapat memengaruhi risiko terpapar tuberkulosis. Rumah yang
gelap dan jarang terkena sinar matahari dapat memudahkan bakteri M.
tuberculosis masuk.
6. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain, karena sistem
kekebalan tubuh mereka melemah. Infeksi HIV menyebabkan penurunan

11
jumlah sel T CD4+, yang merupakan komponen penting dalam respons
kekebalan tubuh terhadap infeksi. Penurunan jumlah sel T CD4+ ini membuat
individu lebih rentan terhadap infeksi TBC dan memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengembangkan TBC aktif.
7. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang,
karena obat ini dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Obat imunosupresan
digunakan untuk menghambat respons kekebalan tubuh, biasanya pada pasien
dengan penyakit autoimun, penerima transplantasi organ, atau pasien kanker
yang menjalani kemoterapi. Namun, efek samping dari obat ini adalah
penekanan sistem kekebalan tubuh, termasuk penurunan jumlah sel T CD4+
yang penting dalam melawan infeksi TBC (Kementerian Kesehatan RI, 2020).

2.1.5 Patofisiologi
Seseorang yang menghirup bakteri M. tuberculosis akan menyebabkan
bakteri tersebut masuk ke alveoli melalui saluran pernapasan. Alveoli adalah tempat
di mana bakteri berkumpul dan berkembang biak. M. tuberculosis juga bisa
menyebar ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, korteks serebri, dan wilayah
lain dari paru-paru (lobus atas) melalui sistem limfa dan cairan tubuh. Sistem
kekebalan tubuh akan merespons dengan cara menghasilkan reaksi inflamasi.
Fagosit akan menekan bakteri, dan limfosit yang khusus untuk tuberkulosis akan
menghancurkan bakteri serta jaringan normal. Reaksi ini mengakibatkan
penumpukan cairan dan eksudat di dalam alveoli yang dapat menyebabkan
bronkopneumonia. Biasanya, infeksi awal muncul dalam kurun waktu 2-10 minggu
setelah terpapar bakteri (Kenedyanti & Sulistyorini, 2017).
Mar’iyah & Zulkarnain (2021) menyatakan bahwa pada awal infeksi,
interaksi antara M. tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh membentuk
granuloma. Granuloma terdiri dari kumpulan bakteri hidup dan mati yang
dikelilingi oleh makrofag. Granuloma ini kemudian berubah menjadi massa
jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa ini disebut ghon tuberculosis dan
menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Proses ini mengklasifikasikan
bakteri dan akhirnya membuatnya masuk ke dalam keadaan dorman. Setelah infeksi
awal, seseorang dapat mengalami penyakit aktif akibat gangguan atau respons yang

12
tidak memadai dari sistem kekebalan tubuh. Penyakit ini juga bisa menjadi aktif
karena infeksi ulang dan aktivasi bakteri yang sebelumnya dormant. Pada kasus ini,
ghon tubercle pecah, menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus. Bakteri
kemudian tersebar di udara, menyebabkan penyakit menyebar lebih jauh. Tuberkel
yang sembuh membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi menjadi lebih
membengkak, menyebabkan bronkopneumonia yang lebih serius.

2.1.6 Pathway

Gambar 2 Pathway Tuberkulosis

13
2.1.7 Manifestasi Klinis
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala
umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak
jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik. Gambaran klinis
TBC dapat dibagi menjadi 3 golongan (Gannika, 2016):
1. Gejala respiratorik meliputi:
a. Batuk. Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah. Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin
tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah
segar dalam jumlah yang sangat banyak. Batuk darah terjadi karena
pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari
besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak Napas. Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah
luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothorax. anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada. Nyeri dada pada TBC Paru termasuk nyeri pleuritik yang
ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik meliputi:
a. Demam. Demam merupakan salah satu gejala yang sering dijumpai yang
biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip dengan penyakit influenza.
Gejala ini hilang timbul, dengan durasi serangan yang makin lama dan
masa bebas serangan yang makin singkat.
b. Selain demam, terdapat gejala sistemik lain yang dapat muncul, seperti
keringat berlebihan terutama di malam hari, anoreksia (hilang nafsu
makan), penurunan berat badan yang signifikan, serta malaise (perasaan
tidak enak badan). Gejala-gejala ini biasanya muncul dalam rentang waktu
beberapa minggu hingga bulan. Meskipun jarang terjadi, ada kasus di mana
gejala akut seperti batuk, demam, dan kesulitan bernapas dapat muncul,
yang mirip dengan gejala penyakit pneumonia.

14
3. Gejala klinis Haemoptoe
Memastikan bahwa perdarahan berasal dari nasofaring dengan cara
membedakan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Batuk darah. Darah dibatukkan dengan adanya rasa panas di tenggorokan.
Darah yang dikeluarkan bercampur dengan buih dan berwarna merah
cerah. Kadang-kadang, darah memiliki sifat alkalis dan dapat
menyebabkan anemia.
b. Muntah darah terjadi ketika darah keluar bersamaan dengan sensasi mual
dan tercampur dengan sisa makanan. Darah ini berwarna hitam karena
bercampur dengan asam lambung dan memiliki sifat asam. Kondisi ini
sering kali menyebabkan anemia.
c. Epistaksis adalah ketika darah menetes dari hidung dan terkadang dapat
keluar saat batuk dengan intensitas rendah. Darah yang keluar berwarna
merah cerah dan memiliki sifat alkalis. Epistaksis jarang menyebabkan
anemia (Rustam, 2008 dalam Gannika, 2016).

2.1.8 Klasifikasi
Diagnosis tuberkulosis dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat
diklasifikasikan berdasarkan (Kementerian Kesehatan RI, 2020):
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :
a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat
lesi di paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, serta selaput otak. Kasus TB ekstra
paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis bila
memakai obat program).

15
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah mendapatkan
OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat program). Kasus ini
diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai
berikut :
1) Kasus kambuh mengacu pada situasi di mana seorang pasien
sebelumnya telah berhasil menjalani pengobatan tuberkulosis (TB) dan
dianggap sembuh. Namun, saat ini pasien tersebut menerima diagnosis
TB kembali, entah karena penyakit TB yang kembali aktif setelah masa
penyembuhan atau karena terjadi episode TB baru akibat infeksi ulang.
2) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
3) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan
OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2
bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil
pengobatan.
4) Kasus lain-lain adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
5) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang
tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat
dimasukkan ke dalam salah satu kategori di atas.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pengujian sensitivitas obat
Hasil pengujian sensitivitas obat digunakan untuk mengelompokkan TB
berdasarkan resistensinya terhadap obat. Berdasarkan hasil uji sensitivitas, TB
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR): minimal resistan terhadap isoniazid (H)
dan rifampisin (R) secara bersamaan.

16
d. Extensive drug resistant (TB XDR): TB-MDR yang juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR): terbukti resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk TB
MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap
rifampisin.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


Dikutip dari Rai & Artana (2018) menjelaskan bahwa diagnosis
tuberkulosis ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga
untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan
pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa
dahak Sewaktu-Pagi (SP):
S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.
Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bila pasien
menjalani rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan menggunakan metode Xpert MTB/RIF adalah bentuk
pemeriksaan tes cepat molekuler. Pemeriksaan ini berperan penting
dalam memastikan diagnosis yang lebih akurat dalam waktu yang lebih
singkat. Meskipun Pemeriksaan Cepat Molekuler (TCM) ini menjadi
alat yang sangat efektif untuk menegakkan diagnosis TB, perlu dicatat

17
bahwa hasil dari TCM tidak bisa sepenuhnya diandalkan untuk
mengevaluasi efektivitas pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).
2. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax dengan atau tanpa literal merupakan pemeriksaan radiologi
standar. Karakteristik radiologi yang menunjang diagnostik antara lain :
1) Bayangan lesi radiology yang terletak di lapangan atas paru.
2) Bayangan yang berawan (patchy) atau berbercak (noduler).
3) Adanya kapias, tunggal atau ganda.
4) Adanya klasifikasi.
5) Kelainan yang bilateral, terutama bila terdapat dilapangan atas paru.
6) Bayangan yang menetap atau relatif menetap setelah beberapa minggu.
7) Bayangan bilier.
b. Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu
Pemeriksaan histopatologi adalah proses di mana sampel jaringan yang
diambil dari area yang diduga terinfeksi tuberkulosis (TB) akan diproses,
dipotong tipis, dan diwarnai untuk kemudian diperiksa di bawah
mikroskop. Tujuannya adalah untuk melihat perubahan-perubahan khas
yang terkait dengan TB, seperti granuloma yang terdiri dari sel-sel radang,
sel epiteloid, sel Langhans multinukleus, dan nekrosis kaseosa.
Pemeriksaan ini sangat penting dalam kasus yang dicurigai TB di luar paru-
paru, seperti pada kelenjar getah bening atau organ lain, karena membantu
mengkonfirmasi diagnosis TB ekstraparu dan memberikan informasi yang
penting untuk merencanakan pengobatan yang sesuai.
c. Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan sensitivitas bakteri
Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti-TB. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari sampel dahak pasien dan

18
menumbuhkannya dalam media kultur yang mengandung obat anti-TB.
Kemudian, diamati apakah bakteri tersebut tumbuh atau tidak tumbuh
dalam kehadiran obat tersebut. Pemeriksaan uji kepekaan obat ini
membantu dokter dalam memilih pengobatan yang efektif dan tepat untuk
mengobati infeksi TBC serta mencegah perkembangan resistensi obat. Uji
kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji
pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat
nasional maupun internasional.

2.1.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Tuberkulosis (TBC) melibatkan penggunaan terapi obat
anti-TB yang efektif dan sesuai. Terapi anti-TB umumnya menggunakan kombinasi
obat seperti isoniazid, rifampisin, pyrazinamide, dan ethambutol selama jangka
waktu yang cukup lama, sekitar 6 hingga 9 bulan. Menurut Gannika (2016),
pemberian Obat Anti TBC (OAT) harus menggabungkan minimal dua obat yang
memiliki efek bakterisida. Tujuannya adalah untuk mengubah hasil sputum yang
positif menjadi negatif, mencegah kekambuhan melalui kegiatan sterilisasi, dan
mengurangi gejala serta lesi dengan meningkatkan daya tahan tubuh .
Tujuan utama dalam pengobatan Tuberkulosis adalah untuk membasmi
bakteri tuberkulosis secara cepat dan mencegah kekambuhan. Terdapat dua
kelompok obat yang digunakan untuk Tuberkulosis (Erlina, 2020):
1. Obat primer seperti INH (isoniazid), rifampisin, etambutol, streptomisin, dan
pirazinamid, yang menunjukkan efektivitas tinggi dengan toksisitas yang dapat
ditolerir, sehingga sebagian besar penderita dapat sembuh dengan obat-obat ini.
2. Obat sekunder seperti exionamid, paraminosalisilat, sikloserin, amikasin,
kapreomisin, dan kanamisin juga digunakan dalam pengobatan Tuberkulosis.
Selain pemberian terapi obat, penanganan Tuberkulosis (TBC) juga
mencakup aspek edukasi kepada pasien mengenai signifikansi dari ketaatan
terhadap rencana pengobatan, upaya pencegahan penularan kepada orang lain, serta
menjaga dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Selain itu, melakukan
pemeriksaan secara rutin dan memantau respons tubuh terhadap terapi sangatlah
penting guna memastikan efektivitas dan keberhasilan pengobatan yang sedang

19
dijalani oleh pasien. Proses ini menjadi inti dari pengelolaan TBC yang holistik dan
efektif (Basalingappa et al., 2021).

2.1.11 Komplikasi
Dikutip dari Wahdi & Puspitosari (2021), tanpa adanya pengobatan
tuberkulosis bisa berakibat fatal. Penyakit aktif yang tidak diobati biasanya
menyerang paru-paru, namun bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui aliran
darah. Komplikasi tuberkulosis meliputi:
1. Nyeri tulang belakang. Nyeri punggung dan kekakuan adalah komplikasi
tuberkulosis yang umum.
2. Kerusakan sendi. Atritis tuberkulosis biasanya menyerang pinggul dan lutut.
3. Infeksi pada meningen (meningitis). Hal ini dapat menyebabkan sakit kepala
yang berlangsung lama atau intermiten yang terjadi selama berminggu-minggu.
4. Masalah hati atau ginjal. Hati dan ginjal membantu menyaring limbah dan
kotoran dari aliran darah. Fungsi ini menjadi terganggu jika hati atau ginjal
terkena tuberkulosis.
5. Gangguan jantung. Meskipun jarang terjadi, tuberkulosis dapat
mengidentifikasi jaringan yang mengelilingi jantung, menyebabkan
pembengkakan kemampuan jantung untuk memompa secara efektif.

2.1.12 Pencegahan
Dikutip dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (2022) menerangkan
bahwa salah satu langkah untuk mencegah TBC adalah dengan menerima vaksin
BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk dalam daftar
imunisasi wajib dan diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan. Bagi yang belum
pernah menerima vaksin BCG, dianjurkan untuk melakukan vaksin bila terdapat
salah satu anggota keluarga yang menderita TBC. Beberapa upaya yang dilakukan
untuk mencegah penularan TB yaitu dengan :
1. Menggunakan masker saat berada ditempat ramai dan berinteraksi dengan
penderita TBC, serta mencuci tangan.

20
2. Tutup mulut saat bersin, batuk, dan tertawa atau gunakan tisu untuk menutup
mulut, tisu yang sudah digunakan dimasukan kedalam plastik dan di buang ke
kotak sampah.
3. Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
4. Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan sering
membuka pintu dan jendela agar udara segar serta sinar matahari dapat masuk.
5. Jangan tidur sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan TBC yang
diderita tidak lagi menular.
6. Khusus bagi penderita TB menggunakan masker ketika berada disekitar orang
terutama selama tiga minggu pertama pengobatan, upaya ini dapat membantu
mengurangi resiko penularan.

2.1.13 Prognosis
Sebagian besar penderita Tuberkulosis (TBC) yang mendapatkan diagnosis
memiliki prognosis yang baik, terutama karena efektivitas pengobatan yang
tersedia. Tanpa pengobatan, angka kematian akibat TBC dapat melebihi 50%.
Namun, beberapa kelompok pasien memiliki risiko lebih tinggi terhadap hasil yang
kurang baik atau kematian setelah terinfeksi TBC. Kelompok-kelompok ini
meliputi mereka dengan usia yang sangat muda atau lanjut, termasuk bayi dan anak
kecil. Keterlambatan dalam memulai pengobatan juga dapat mempengaruhi hasil
prognosis. Penderita TBC dengan bukti radiologi yang menunjukkan penyebaran
yang luas, gangguan pernapasan parah yang memerlukan bantuan pernapasan
mekanis, kondisi imun yang lemah, atau TBC yang tahan terhadap banyak obat
(MDR), juga termasuk dalam kelompok yang lebih rentan terhadap risiko
komplikasi atau kematian akibat infeksi TBC (Adigun & Singh., 2023).

21
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan TBC
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan
mengadakan kegiatan mengumpulkan data-data atau mendapatkan data yang akurat
dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada. Untuk
melakukan langkah pertama ini diperlukan berbagai pengetahuan dan kemampuan
yang harus dimiliki oleh perawat diantaranya pengetahuan tentang kebutuhan atau
sistem biopsikososial dan spiritual bagi manusia yang memandang manusia dari
aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Kemudian pengetahuan akan
kebutuhan perkembangan manusia (tumbuh kembang dari kebutuhan dasarnya),
pengetahuan tentang konsep sehat dan sakit, pengetahuan tentang patofisiologi dari
penyakit yang dialami, pengetahuan tentang sistem keluarga dan kultur budaya,
serta nilai-nilai keyakinan yang dimiliki klien (Hidayat, 2021).

A. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (tuberkulosis paru dapat menyerang semua usia,
terutama pada orang yang sistem imunnya sedang mengalami penurunan), jenis
kelamin, status, suku, agama, alamat/tempat tinggal (lokasi rumah di area polusi
udara, overcrowded, atau lingkungan lembab), pendidikan, tanggal MRS, dan
tanggal pengkajian diambil serta termasuk identitas penanggung jawab.

B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan yang sering menyebabkan pasien dengan TB paru meminta
pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu (Muttaqin,
2008 dalam Bagaskara, 2019):
a. Keluhan Respiratori, meliputi :
1) Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk
bersifat nonproduktif/produktif atau sputum bercampur darah.

22
2) Batuk Darah
Keluhan batuk darah pada klien dengan TB paru selalu menjadi alasan
utama klien untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa
takut klien pada darah yang keluar dari jalan napas. Perawat harus
menanyakan seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood
streak, berupa garis, atau bercak-bercak darah.
3) Sesak Napas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia,
dan lain-lain.
4) Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri ringan. Gejala ini timbul apabila
sistem persarafan di pleura terkena TB.
b. Keluhan Sistemis, meliputi:
1) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam
hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.
2) Keluhan Sistemis lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan, dan malaise. Munculnya keluhan biasanya terjadi secara
bertahap dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Namun, ada juga
situasi di mana gejala bisa datang tiba-tiba dengan gejala-gejala seperti
batuk, demam, dan kesulitan bernapas, walaupun kasus seperti ini jarang
terjadi, dan gejalanya bisa menyerupai pneumonia.

2. Riwayat Kesehatan Sekarang


Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Penggunaan
PQRST dalam pengkajian dapat membantu perawat dalam pengumpulan data. Jika
pasien mengeluhkan sesak napas, perawat harus mengajukan pertanyaan yang tepat
untuk membedakan antara sesak napas yang disebabkan oleh masalah pada sistem
pernapasan dan jantung. Sesak napas yang disebabkan oleh TB paru biasanya akan

23
menunjukkan gejala, terutama jika kerusakan paru-paru luas atau ada faktor lain
yang mempengaruhinya, seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia, dan lainnya.
Pendekatan PQRST dalam pengkajian mencakup (Bagaskara, 2019):
a. Provoking Incident: Apakah ada pemicu atau peristiwa tertentu yang
menyebabkan sesak napas, dan apakah sesak napas berkurang saat istirahat.
b. Quality of Pain: Bagaimana pasien menggambarkan rasa sesak napas yang
dirasakannya, apakah terasa seperti tercekik atau kesulitan dalam bernapas.
c. Region: Di mana pasien merasakan kesulitan bernapas.
d. Severity of Pain: Seberapa parah sesak napas yang dirasakan pasien, dengan
penggunaan skala sesak napas untuk mengklasifikasikannya, dan bagaimana
sesak napas memengaruhi aktivitas sehari-hari pasien.
e. Time: Berapa lama rasa sesak napas berlangsung, kapan gejala tersebut muncul,
apakah gejala memburuk pada malam atau siang hari, bagaimana munculnya
gejala, apakah gejala muncul tiba-tiba, secara perlahan, atau seketika, apakah
gejala berlangsung terus-menerus atau intermiten, berapa lama gejala tersebut
berlangsung (durasi), kapan gejala tersebut pertama kali muncul, dan apakah
pasien sebelumnya pernah mengalami masalah yang serupa.

3. Riwayat Kesehatan Dahulu


Menurut (Muttaqin, 2008 dalam Bagaskara, 2019), pengkajian yang
mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita
TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain,
pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti
diabetes melitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien
pada masa lalu yang masih relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif.
Catat adanya efek samping yang terjadi dimasa lalu. Adanya alergi obat juga harus
ditanyakan serta reaksi alergi yang timbul. Sering kali klien mengacaukan suatu
alergi dengan efek samping obat. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan
berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB
paru berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya
anoreksia dan mual yang disebabkan karena meminum OAT.

24
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muttaqin pada tahun 2008 dalam
Bagaskara tahun 2019, TB paru tidak memiliki faktor keturunan yang
mempengaruhi penularannya, tetapi perawat perlu menanyakan apakah ada riwayat
penyakit ini dalam keluarga anggota pasien sebagai faktor predisposisi penyebaran
di dalam rumah.

5. Riwayat Psiko-Sosio-Spiritual
Pada situasi klinis, pasien yang mengidap Tuberkulosis seringkali
mengalami tingkat kecemasan yang sejalan dengan gejala yang mereka alami.
Perawat juga harus menanyakan tentang kondisi tempat tinggal pasien. Hal ini
krusial karena Tuberkulosis paru sering menyerang individu yang tinggal di daerah
padat dan kumuh, di mana bakteri penyebabnya lebih mudah bertahan karena
ventilasi dan pencahayaan matahari yang minim. Secara umum, Tuberkulosis paru
lebih sering ditemukan pada masyarakat yang hidup dalam kemiskinan karena
mereka cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, mengalami
kekurangan gizi, dan sulit mengakses pengobatan. Kemiskinan juga mendorong
pasien untuk melakukan pekerjaan fisik yang dapat menghambat proses
penyembuhan. Pasien Tuberkulosis umumnya memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, sehingga seringkali kurang menyadari pentingnya perawatan kesehatan dan
pemahaman mengenai penyakit mereka. Padahal, kualitas hidup yang baik sangat
penting dalam menjaga kesehatan secara umum dan menghadapi infeksi khususnya
(Muttaqin, 2008 dalam Bagaskara, 2019).

C. Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital


Pasien TB dapat dinilai secara umum dengan melihat kondisi fisik tubuh
dan kesadaran mereka dengan memeriksa komponen kesadaran, seperti tingkat
kompos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma. Biasanya, pasien
TB akan menunjukkan peningkatan suhu tubuh yang signifikan, peningkatan
frekuensi napas, terutama jika disertai sesak napas, dan denyut nadi yang meningkat
sejalan dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan. Tekanan darah
pasien biasanya sesuai dengan kondisi penyakit yang ada, seperti hipertensi.

25
D. Pemeriksaan Fisik B1 – B6
1. B1 (Breathing)
a. Inspeksi
Pasien yang menderita tuberkulosis (TBC), perlu dilakukan inspeksi
dengan cermat terhadap pernapasan pasien. Hal ini melibatkan pengamatan
terhadap frekuensi pernapasan, pola pernapasan, dan pergerakan dada.
Pasien TBC seringkali mengalami gejala seperti sesak napas, batuk, dan
nyeri dada. Inspeksi juga dapat memperlihatkan adanya retraksi otot-otot
pernapasan, seperti di antara tulang rusuk, yang dapat menjadi tanda
adanya kerusakan paru-paru.
b. Palpasi
Palpasi trakea digunakan untuk mengidentifikasi pergeseran trakea pada
pasien. Pergeseran trakea dapat mengindikasikan penyakit lobus atas paru,
tetapi tidak spesifik. Pada pasien dengan TB paru dan efusi pleura masif
serta pneumothoraks, trakea cenderung bergeser ke arah yang berlawanan
dengan sisi yang sakit. Gerakan dinding thorak anterior saat bernapas
biasanya normal pada pasien TB paru tanpa komplikasi, tetapi dapat
menurun pada pasien dengan kerusakan parenkim paru yang luas. Gertakan
suara, atau fremitus vokal, adalah getaran yang terasa saat pasien berbicara,
dan perubahan pada taktil fremitus biasanya terjadi pada pasien TB paru
dengan efusi pleura masif sebagai komplikasi.
c. Perkusi
Pada pasien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan
didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada pasien
dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan di
dapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya
akumulasi cairan dirongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka
di dapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang
mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.

26
d. Auskultasi
Pada pasien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronchi)
pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk
mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana di dapatkan bunyi
ronchi. Bunyi yang terdengar melalaui stetoskop ketika klien berbicara
disebut sebagai resonan vokal. Pasien dengan TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura dan pneumothoraks akan didapatkan
penurunan resonan vokal pada sisi yang sakit.

2. B2 (Blood)
Pada pasien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
a. Inspeksi
Pada tahap ini, pengkajian dilakukan untuk melihat apakah terdapat tanda-
tanda parut (bekas luka) pada pasien dan apakah pasien mengeluhkan
kelemahan fisik.
b. Palpasi
Pada tahap palpasi, perawat atau dokter mungkin merasakan denyut nadi
perifer yang melemah. Ini bisa menjadi indikasi adanya masalah sirkulasi
pada pasien dengan TB paru.
c. Perkusi
Pada pasien dengan TB paru, ada pergeseran batas jantung karena adanya
efusi pleura massif (kumpulan cairan di sekitar paru-paru) yang mendorong
jantung ke sisi yang sehat. Ini adalah tanda bahwa efusi pleura (kumpulan
cairan di sekitar paru-paru) mungkin hadir.
d. Auskultasi
Pada tahap auskultasi, tekanan darah pasien diukur dan hasilnya biasanya
normal. Selain itu, bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.

3. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer
apabila gangguan perfusi jaringat berat. Pada pengkajian objektif, pasien tampak
dengan wajah meringis, menangis, merintih, meregang dan menggeliat. Saat

27
dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis
pada TB paru dengan hemoptoe masif dan kronis, dan sklera ikterik pada TB paru
dengan gangguan fungsi hati.

4. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh
karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan
tanda awal dari syok. Pasien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang
berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal
sebagai ekskresi karena meminum OAT terutaman Rifampisin.

5. B5 (Bowel)
Kaji pasien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan,
dan penurunan berat badan.

6. B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkuarang banyak pada klien TB paru. Gejala yang
muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetep dan jadwal
olahraga menjadi tak teratur.

28
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Muttaqin (2008) dalam Bagaskara (2019) menjelaskan bahwa kemungkinan
diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien TBC diantaranya sebagai berikut.
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. spasme jalan napas, hipersekresi jalan
napas, sekresi yang tertahan d.d. batuk tidak efektif, sputum berlebih, frekuensi
nafas berubah, pola nafas berubah, mengi, wheezing, dan/atau ronkhi kering.
2. Defisit nutrisi b.d. peningkatan kebutuhan metabolisme d.d. berat badan
menurun 10% dibawah rentang ideal, nafsu makan menurun.
3. Intoleransi aktivitas b.d. tirah baring, kelemahan d.d. mengeluh lelah, dispnea
saat/setelah aktivitas, merasa lemah, merasa tidak nyaman setelah beraktivitas.
4. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis d.d. mengeluh nyeri, tampak meringis,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola nafas
berubah, dan nafsu makan berubah.
5. Hipertermia b.d. proses penyakit d.d. suhu tubuh diatas nilai normal, kulit
merah, takikardi, takipnea, dan kulit terasa hangat.

(SDKI, 2017)

29
2.2.3 Intervensi
Tabel 1 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Luaran Utama: Intervensi Utama:
Efektif (D.0001) Bersihan Jalan Nafas (L.01001) Latihan Batuk Efektif (I.01006)

Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi


efektif b.d. spasme jalan napas, selama 3x24 jam diharapkan bersihan jalan 1) Identifikasi kemampuan batuk.
hipersekresi jalan napas, sekresi nafas meningkat dengan kriteria hasil: 2) Monitor adanya retensi sputum.
yang tertahan d.d. batuk tidak 1) Batuk efektif meningkat. 3) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran
efektif, sputum berlebih, 2) Produksi sputum menurun. nafas.
frekuensi nafas berubah, pola 3) Frekuensi nafas membaik. 4) Monitor input dan output cairan.
nafas berubah, mengi, 4) Pola nafas membaik.
wheezing, dan/atau ronkhi 5) Mengi, wheezing, dan/atau ronkhi kering Terapeutik
kering. menurun. 1) Atur posisi semi fowler atau fowler.
2) Pasang perlak dan bengkok di pangkuan
pasien.
3) Buang sekret pada tempat sputum.

Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif.
2) Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu selama 8 detik.
3) Anjurkan mengulangi tarik nafas dalam
hingga 3x.

30
4) Anjurkan batuk dengan kuat langsung
setelah tarik nafas dalam yang ke-3.

Kolaborasi
1) Anjurkan kolaborasi pemberian mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu.
2. Defisit Nutrisi (D.0019) Luaran Utama: Intervensi Utama:
Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi (I.03119)

Defisit nutrisi b.d. peningkatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi


kebutuhan metabolisme d.d. selama 3x24 jam diharapkan status nutrisi 1) Identifikasi status nutrisi.
berat badan menurun 10% membaik dengan kriteria hasil: 2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan.
dibawah rentang ideal, nafsu 1) Porsi makanan yang dihabiskan 3) Identifikasi makanan yang disukai.
makan menurun. meningkat. 4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
2) Berat badan membaik. nutrien.
3) Indeks masa tubuh (IMT) membaik. 5) Monitor asupan makanan.
4) Frekuensi makan membaik. 6) Monitor berat badan.
5) Nafsu makan membaik.
Terapeutik
1) Lakukan ora hygiene sebelum makan, jika
perlu.
2) Sajikan makanan secara menarik dan suhu
yang sesuai.
3) Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi.
4) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein.
5) Berikan suplemen makanan, jika perlu.

31
Edukasi
1) Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
2) Ajarkan diet yang diprogramkan.

Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan, jika perlu.
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan, jika perlu.
3. Intoleransi Aktivitas (D.0056) Luaran Utama: Intervensi Utama:
Toleransi Aktivitas (L.05047) Manajemen Energi (I.05178)

Intoleransi aktivitas b.d. tirah Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi


baring, kelemahan d.d. selama 3x24 jam diharapkan toleransi aktivitas 1) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
mengeluh lelah, dispnea meningkat dengan kriteria hasil: mengakibatkan kelelahan.
saat/setelah aktivitas, merasa 1) Frekuensi nadi meningkat. 2) Monitor kelelahan fisik dan emosional.
lemah, merasa tidak nyaman 2) Kemudahan dalam melakukan aktivitas 3) Monitor pola dan jam tidur.
setelah beraktivitas. sehari-hari meningkat. 4) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
3) Keluhan lelah menurun. selama melakukan aktivitas.
4) Dispnea saat/setelah aktivitas menurun.
5) Perasaan lemah menurun. Terapeutik
1) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
stimulus.
2) Lakukah latihan rentang gerak pasif
dan/atau aktif.
3) Berikan aktivitas ditraksi yang
menenangkan.

32
4) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah atau berjalan.

Edukasi
1) Anjurkan tirah baring.
2) Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap.
3) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda
dan gejalan kelelahan tidak berkurang.
4) Ajarkan strategi koping untung mengurangi
kelelahan.

Kolaborasi
1) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan.
4. Nyeri Akut (D.0077) Luaran Utama: Intervensi Utama:
Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)

Nyeri akut b.d. agen pencedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
fisiologis d.d. mengeluh nyeri, selama 3x24 jam diharapkan tingkat nyeri 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
tampak meringis, gelisah, menurun dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
frekuensi nadi meningkat, 1) Keluhan nyeri menurun. 2) Identifikasi skala nyeri.
tekanan darah meningkat, pola 2) Meringis menurun. 3) Identifikasi respon nyeri non verbal.
nafas berubah, dan nafsu makan 3) Gelisah menurun. 4) Identifikasi faktor yang memperberat dan
berubah. 4) Frekuensi nadi membaik. memperingan nyeri.
5) Tekanan darah membaik. 5) Monitor efek samping penggunaan
6) Pola nafas membaik. analgetik.
7) Nafsu makan membaik.

33
Terapeutik
1) Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri.
3) Fasilitasi istirahat dan tidur.
4) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri.

Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri.
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
4) Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.

Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
5. Hipertermia (D.0130) Luaran Utama: Intervensi Utama:
Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipertermia (I.15506)

Hipertermia b.d. proses Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi


penyakit d.d. suhu tubuh diatas selama 3x24 jam diharapkan temoregulasi 1) Identifikasi penyebab hipertermia.
nilai normal, kulit merah, membaik dengan kriteria hasil: 2) Monitor suhu tubuh.
takikardi, takipnea, dan kulit 1) Kulit merah menurun. 3) Monitor kadar elektrolit.
terasa hangat. 2) Takikardi menurun. 4) Monitor komplikasi akibat hipertermia.
3) Takipnea menurun.

34
4) Suhu tubuh membaik. Terapeutik
5) Suhu kulit membaik. 1) Sediakan lingkungan yang dingin.
2) Longgarkan atau lepaskan pakaian.
3) Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
4) Berikan cairan oral.
5) Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika
mengalami hiperhidrosis.
6) Lakukan pendinginan eksternal.
7) Hindari pemberian antipiretik atau aspirin.

Edukasi
1) Anjurkan tirah baring.

Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu.

(SLKI, 2019)
(SIKI, 2018)

35
2.2.4 Implementasi
Implementasi merupakan tahap proses keperawatan dimana perawat
memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap klien.
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Pada saat implementasi perawat harus melaksanakan hasil dari rencana
keperawatan yang di lihat dari diagnosa keperawatan. Di mana perawat membantu
klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih
baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Tujuan dari
pelaksanaan/implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan, penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Melaksanakan hasil dari rencana
keperawatan untuk selanjutnya di evaluasi untukmengetahui kondisi kesehatan
pasien dalam periode yang singkat, untuk mempertahankan daya tahan tubuh, untuk
mencegah komplikasi, untuk menemukan perubahan system tubuh, untuk
memberikan lingkungan yang nyaman bagi klien, dan untuk mengimplementasi
pesan dokter (Safitri, 2019).

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan
pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan dan perbaikan. Dalam
evaluasi, perawat menilai reaksi klien terhadap intervensi yang telah diberikan dan
menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat diterima.
Perawat menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien
untuk mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan atau intervensi
keperawatan. Evaluasi juga membantu perawat dalam menentukan target dari suatu
hasil yang ingin dicapai berdasarkan keputusan bersama antara perawat dan klien.
Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu sendiri.
Kemampuan dalam pengetahuan standar asuhan keperawatan, respon klien yang
normal terhadap tindakan keperawatan (Hadinata, Dian & Abdillah, 2018).

36
BAB III
APLIKASI TEORI

Tabel 2 Aplikasi Teori


Keterangan Jurnal 1 Jurnal 2
Judul Faktor Risiko Kejadian Faktor - faktor terjadinya
Tuberkulosis di Indonesia Tuberkulosis
Design Studi case control dan cross Analitik observasional dengan
sectional serta mengambil pendekatan sampel case
journal yang terbit 10 tahun control yang dilakukan pada
terakhir. tahun 2014.
Sample Artikel atau jurnal yang Sampel penelitian ini adalah 60
penerbitannya kurang dari 10 responden, dengan kasus
tahun dan tersedia di database sebanyak 20 responden, dan
online seperti Proquest, kontrol sebanyak 40 responden
Sciencedirect, Scopus, Wiley (perbandingan 1:2).
Online, dan Google Cendekia.
Penelusuran dilakukan dengan
menggunakan kata kunci
seperti faktor-faktor,
determinan, tuberkulosis, risk
factors, tuberculosis,
determinant, risk factors and
tuberculosis, dan determinant
and tuberculosis. Setelah
penyaringan, ditemukan 5
jurnal berbahasa Indonesia dan
4 jurnal berbahasa Inggris yang
memenuhi kriteria.

37
Variable Variable jurnal ini memuat Variabel penelitian ini adalah
tingkat pendidikan, jenis kepadatan hunian rumah,
pekerjaan, kontak dengan kebiasaan merokok, status
penderita TB, status merokok ekonomi, dan kejadian
aktif, memiliki penyakit ganas, tubekulosis (pada dewasa).
memiliki diabetes, BMI berat
badan kurang, kondisi sosial
ekonomi, pencahayaan
ruangan, luas ventilasi,
kelembaban ruangan, suhu
ruangan, jenis lantai rumah,
riwayat kontak penderita dalam
satu rumah, pengetahuan
tentang tuberkulosis, sikap
tentang tuberkulosis, kebiasaan
merokok, jenis rumah,
keberadaan sinar matahari
langsung, ventilasi kamar tidur,
kepadatan rumah.
Instrumen Telaah artikel atau jurnal. Check List.
Analisis Analisis data dalam penelitian Analisis data dengan
menggunakan analisis menggunakan uji chi-square
multivariat dan analisis dan Fisher’s exact test.
bivariat. Analisis multivariat
digunakan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor
yang berpengaruh secara
bersama-sama terhadap
kejadian tuberkulosis.
Sedangkan analisis bivariat
digunakan untuk melihat
hubungan antara variabel-

38
variabel tertentu dengan
kejadian tuberkulosis.
Hasil Hasil dari meta analisis Hasil menunjukkan tidak ada
didapatkan bahwa faktor hubungan kepadatan hunian
sosiodemografi (jenis kelamin rumah (p value 0,422, OR
laki-laki OR= 4,19, umur yang 2,250), kebiasaan merokok (p
lebih dari 36 tahun OR = 3,54, value 1,000, OR 1,000) dan
status pendidikan yang buta status ekonomi (p value 1,000,
huruf atau tidak sekolah OR = OR 1,123) dengan tuberkulosis
3,65, status perkawinan yang di Puskesmas Depok 3
belum menikah OR = 8,40, Kabupaten Sleman.
pendapatan keluarga yang
kurang dari 10.000 rupee OR =
1,32, jenis pekerjaan yang
menganggur atau tidak bekerja
berisiko OR= 2,69, orang yang
memiliki BMI berat badan
kurang OR = 13,57), Faktor
Lingkungan (sinar matahari
yang masuk kerumah OR 3-7,
tidak adanya ventilasi buatan
OR = 1,57, riwayat kontak
orang penderita tuberkulosis
OR = 5,42, dan jumlah keluarga
yang diatas >5 OR = 4,10),
Host-Related Factor (kebiasaan
merokok OR = 2,40) dan Faktor
Komorbid (orang yang
mengidap status HIV positif
OR = 11,70, orang yang
memiliki Diabetes OR = 1,53
dan riwayat asma OR = 2,53).

39
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menjadi masalah global yang signifikan,
dengan dampak kesehatan yang serius dan tingkat kematian yang tinggi di seluruh
dunia. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri tahan asam yang dapat
menyerang paru-paru dan organ tubuh lainnya. Penularannya terjadi melalui
percikan dahak dari penderita TB. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
terinfeksinya seseorang oleh TB termasuk usia, jenis kelamin, pekerjaan, status
ekonomi, lingkungan, HIV, obat imunosupresan, dan riwayat pengobatan TB
sebelumnya. Tuberkulosis dapat menyebabkan gejala respiratorik, gejala sistemik
seperti demam dan penurunan berat badan, serta gejala hemoptoe. Diagnosa TB
melibatkan pemeriksaan bakteriologi, foto thorax, histopatologi pada kasus TB
ekstraparu, dan uji kepekaan obat. Pengobatan TB melibatkan pemberian obat-obat
anti-TB dengan kombinasi tertentu selama beberapa bulan. Komplikasi TB meliputi
kerusakan organ seperti tulang belakang, sendi, hati, ginjal, dan bahkan meningitis.
Edukasi pasien tentang pentingnya ketaatan terhadap rencana pengobatan dan
upaya pencegahan penularan sangat penting dalam penanganan TB.

4.2 Saran
Pentingnya upaya pencegahan penularan TB melalui edukasi masyarakat
tentang gejala dan cara penularan, serta mempromosikan pemeriksaan rutin bagi
individu yang berisiko tinggi. Selain itu, ketersediaan pemeriksaan dan pengobatan
yang terjangkau serta pemantauan yang cermat terhadap pasien TB sangat penting
untuk mengurangi angka kejadian dan komplikasi TB. Seluruh pemangku
kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga kesehatan, dan masyarakat, perlu
bekerja sama dalam upaya pencegahan dan penanganan TB yang efektif.

40
DAFTAR PUSTAKA

Adigun, R., & Singh., R. (2023). Tuberculosis. StatPearls.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

Bagaskara, F. (2019). Asuhan Keperawatan Tuberkulosis Paru Pada Ny. S dan Ny.
M Dengan Masalah Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas Di Ruang Melati
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Haryoto Lumajang Tahun 2019. Bagaskara,
Fajar, 8–9.

Basalingappa, K. M., Prasad, N., Bakthavatchalam, P., & Thangara, G. (2021).


Tuberculosis: An overview. Indian Journal of Microbiology Research, 8(2),
1–6. https://doi.org/10.18231/j.ijmr.2021.019

Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. (2022). Stop Tuberkulosis. Kementerian


Kesehatan. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1767/stop-tuberkulosis

Dwipayana, I. M. G. (2022). Mengenali Gambaran Penyakit Tuberkulosis Paru Dan


Cara Penanganannya. Widya Kesehatan, 4(1), 1–14.
https://doi.org/10.32795/widyakesehatan.v4i1.2806

Erlina, E. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan TB Paru di Puskesmas


Siak Hulu I Kabupaten Kampar.

Gannika, L. (2016). Tingkat Pengetahuan Keteraturan Berobat Dan Sikap Klien


Terhadap Terjadinya Penyakit Tbc Paru Di Ruang Perawatan I Dan Ii Rs Islam
Faisal Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 4(1), 55–62.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v4i1.86

Hadinata, Dian & Abdillah, A. J. (2018). Metodologi Keperawatan. Paper


Knowledge . Toward a Media History of Documents, 3(April), 49–58.

Hidayat, A. A. (2021). Proses Keperawatan; Pendekatan NANDA, NIC, NOC dan


SDKI (A. Aziz (red)). Health Books Publishing.

Kementerian Kesehatan RI. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Tata Laksana Tuberkulosis.

Kenedyanti, E., & Sulistyorini, L. (2017). Analisis Mycobacterium Tuberculosis


Dan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal
Berkala Epidemiologi, 5(2), 152–162.
https://doi.org/10.20473/jbe.v5i2.2017.152-162

Mar’iyah, K., & Zulkarnain. (2021). Patofisiologi penyakit infeksi tuberkulosis. In


Prosiding Seminar Nasional Biologi, 7(1), 88–92.

41
Mulya, F. (2023). Analisis Program Penanggulangan TBC di Indonesia dalam
Upaya Pencapaian Target Eliminasi TBC Tahun 2030 Analisis Program
Penanggulangan TBC di Indonesia dalam Upaya Pencapaian Target
Eliminasi TBC Tahun 2030 Faradisa Mulya Fakultas Kesehatan Masyarakat
Un. January, 0–22.

World Health Organization. (2020). Global Tuberculosis Report.


https://doi.org/10.1787/f494a701-en

Pralambang, S. D., & Setiawan, S. (2021). Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis di


Indonesia. Jurnal Biostatistik, Kependudukan, dan Informatika Kesehatan,
2(1), 60. https://doi.org/10.51181/bikfokes.v2i1.4660

Rai, I. B. N., & Artana, I. G. N. B. (2018). Managing Respiratory Disease in JKN


National Coverge Era. In PKB-II Ilmu Penyakit Paru (bll 1–15).

Safitri, R. (2019). Implementasi Keperawatan Sebagai Wujud Dari Perencanaan


Keperawatan Guna Meningkatkan Status Kesehatan Klien. Journal
Keperawatan, 3(42), 23–26.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Edisi I). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Edisi 1). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (E. 1
(red); E). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Umasugi, M. T. (2018). Peran Perawat Dalam Mengangani Pasien TB Paru Di


Ruang IGD RSUD Tulehu Provinsi Maluku Tahun 2015. Global Health
Science, 3(3), 241–244.

Wahdi, A., & Puspitosari, D. R. (2021). Mengenal Tuberkulosis. Angewandte


Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 23–24.

42

Anda mungkin juga menyukai