DISUSUN OLEH:
Kelompok 13 / Kelas 2A
1. Elly Arnovi Ibrahim M. (1130022075)
2. Allysa Naura Setyaputri (1130022135)
3. Irsadila Dwi Puspitasari (1130022167)
DOSEN FASILITATOR:
Ikwan
PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Agama yang berjudul
“Bersuci dan Shalat Bagi Musafir dan Maridh” dapat selesai seperti waktu yang
telah direncanakan.
Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak
yang memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung atau
tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen fasilitator mata kuliah Agama, Ibu Siti Maimunah, S.Ag., M.Pd.I.
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada kami sehingga
laporan ini dapat terselesaikan.
3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar
makalah ini dapat kami selesaikan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik yang tulus dan ikhlas
kepada semua pihak yang kami sebutkan di atas. Tak ada gading yang tak patah,
untuk itu kami pun menyadari bahwa makalah yang telah kami susun masih
memiliki banyak kelemahan serta kekeliruan baik dari segi teknis maupun non
teknis.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, diangkat beberapa
masalah :
1. Bagaimana konsep bersuci (wudhu, tayammum) dan konsep shalat?
2. Apa dasar dan hukum bersuci (wudhu, tayammum) dan shalat?
3. Bagaimana cara bersuci dan beribadah (shalat dan puasa) bagi musafir dan
maridh?
1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Untuk memahami cara bersuci dan beribadah bagi musafir dan maridh atau
orang sakit. Serta untuk melaksanakan tugas mata kuliah Agama.
B. Tujuan Khusus
1. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai konsep bersuci
(wudhu, tayammum) dan shalat.
2. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai dasar dan hukum
bersuci (wudhu, tayammum) dan shalat.
3. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai cara bersuci dan
beribadah (shalat dan puasa) bagi musafir dan maridh.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1.1 Wudhu
Wudhu dalam istilah fiqhiyah merupakan kegiatan membasuh bagian badan
tertentu dengan cara yang telah disyariatkan dengan tujuan untuk membersihkan
hadats kecil. Menurut para sufi berwudhu tidak hanya membersihkan anggota
badan dengan air tetapi lebih dari itu. Hakikat wudhu yaitu membersihkan hati dari
semua penyakit hati (Hikmah, 2022).
Allah Ta’ala berfirman dalam surat AL – Maidah ayat 6 “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan solat, maka basuhlah mukamu,
kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai
mata kaki.” (QS Al Maidah : 6).
Wudhu seseorang dianggap sah apabila beragama Islam, sudah mumayiz
(bisa membedakan antara hal baik dan hal buruk serta dapat membedakan antara
yang bermanfaat atau yang membahayakan dirinya), tidak berhadas besar dan kecil,
5
memakai air suci lagi mensucikan, serta tidak ada sesuatu yang menghalangi air ke
anggota tubuh seperti cat, getah dsb (Syahida, 2016).
Wudhu seseorang dikatakan batal apabila keluar sesuatu dari kubul
(kemaluan tempat keluarnya air seni) atau dubur (anus), baik berupa angin maupun
cairan (kentut, kencing, tinja, darah, nanah, mazi, mani dan sebagainya). Kemudian
bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan tanpa pembatas, menyentuh kubul atau
dubur dengan tapak tangan tanpa pembatas, tidur dengan nyenyak, dan hilang akal.
2.1.1.2 Tayammum
Pengertian tayammum dalam Ningsih (2021) adalah bersuci dari hadats
kecil dan besar menggunakan debu. Tayamum secara bahasa adalah berwudu
dengan debu yang suci karena tidak ada air atau adanya halangan memakai air.
Tayamum menurut istilah adalah menyapakan tanah atau debu yang suci ke muka
dan kedua tangan sampai siku dengan memenuhi syarat da rukunnya sebagai
pengganti dari wudhu atau mandi wajib karena tidak adanya air atau dilarang
menggunakan air disebabkan sakit (Syahida, 2016).
Allah Ta’ala berfirman “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS An Nisa : 43).
Tayammum merupakan pengganti dari berwudu. Apabila seseorang telah
melaksanakan salat dengan tayamum kemudian dia menemukan air, maka tidak
wajib mengulang sekalipun waktu salat masih ada. Syarat tayamum adalah adanya
sebab yang membolehkan mengganti wudhu atau mandi wajib dengan tayamum,
sudah masuk waktu salat, sudah berusaha mencari air tetapi tidak menemukan,
menghilangkan najis yang melekat di tubuh, dan menggunakan tanah atau debu
yang suci. Tayamum seseorang menjadi batal karena semua yang membatalkan
wudhu juga membatalkan tayamum, keadaan seseorang melihat air yang suci yang
mensucikan (sebelum salat), dan murtad (keluar dari agama Islam) (Syahida, 2016).
6
2.1.2 Konsep Shalat
Menurut Bahasa shalat berarti doa sedangkan menurut syara’ berarti
menghadap jiwa dan raga kepada Allah karena taqwa hamba kepada Tuhannya.
Shalat wajib hukumnya atas setiap muslim yang berakal dan sudah mencapai akhir
baligh, baik itu laki-laki maupun perempuan, kaya ata miskin, orang yang
berdomisili atau dalam keadaan musafir, dalam keadaan sehat atau sakit, dan
kewajiban shalat yang lima waktu sehari semalam (Kadun & Zaly, 2020).
Kewajiban shalat tidak akan pernah lepas dari seorang Muslim. Shalat tidak
dapat gugur hanya karena alasan bepergian atau sakit, Kewajiban shalat yang lima
waktu sehari semalam tidak boleh ditinggalkan walaupun dia dalam keadaan sakit,
selama akalnya masih sehat sampai kematian dating menjemputnya, sebagaimana
Allah firman dalam Surat An_Nisaa: 103 "Sesungguhnya Shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukanwaktunya atas orang-orang yang beriman”.
Syarat wajib mengerjakan shalat adalah beragama Islam, suci dari hadast
kecil dan besar, sampai dakwah islam kepadanya, dan berakal. Sedangkan syarat
sahnya shalat adalah badannya suci dari hadast kecil dan besar, sudah masuk waktu
shalat, menutup aurat, menghadap kiblat, serta badan, pakaian, dan tempat bersih
dari najis (Ningsih, 2021).
َ َ۟ اك ُتََ ُا اء َ ٱ اَ َ َُُُّّ َّ ُ ُم ََّ ُا اء ة يَِفَِا َهْ ٱبيََِّ َ َمُّ ََُِ يُُّ َّنَُّْ َُ احي ُ اء َّنبََّ ٱب ي
َّ ٱََ ةَُّٰ أَص ال َّ َُُُّ ُ ُتُ َُ ُا اء َ ۟ َ اِ ََُِّ ُا اء َّنبََّ اٱب َح َ ُّ َّأ
َ۟ َّْ ة ي
َ ُ يه ُ ُّ َ َّن ُِيُء يَ ا َ َّا ةبَ َح ا ي ُ ُء ا َ ََ ة
ََْ ۟ َ ا َتْ ي َم ۟ َ َدُ َ َّّٰللاَِ ُاء َّ ّٰللاَ َ اٱبََْيىَّ َّل ۟ َ َّنبََّ اٱب َا اَّ َفَ َّا َ َّن ُِي ُ اء ُتُِفْ أَص ي
ُِ ََْ ُ ُِ ََّّٰللافْ أَص اَ َ َُُُّّ َّ ُُ ُتُ َُّ ُا اء َ ۟ َ اَُِِّ ُاء َّ ّٰللاَ ا
َ َََُُّّّ َ
َ ُُّٱَُ َّب ََيا ََّ َيٱب َِّّٰللا َ ْ ي َم أَََ اء ُ ََّيُ ُ ُّ ََْيم أَي َ ََ يح ُح َ ََ اَ ُاء َّّٰللاَ ا َد َ ل َّ ُُِ ي
َ َّ ّٰللاه َ ُ اء َ َّبَُيَّ يء َّت اَّ َحي َ ُِ َ ََ اَ ُا اء بََََّي ُا اء ُ َ اد ُا ُ َ َ ةب
َ ََُّا ِ َُّ ُِ ُ َّب
“Hai orang yang beriman, bila engkau berdiri untuk mengerjakan shalat, maka
basuhlah wajahmu (dengan air), lalu kedua tanganmu hingga siku, dan usaplah
7
(dengan air) sebagian kepalamu, dan kakimu hingga kedua mata kaki; dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.” (QS. Al- Maidah/5:6).
Dari Abu Malik Al Haritsy bin ‘Ashim Al ‘Asy’ary radhiallahuanhu dia berkata :
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ُه اُ ُك ا ا
َّ َ ُ ُّا َُّ اِ َح
ْ ُّب ا
“Bersuci adalah bagian dari iman,” (HR. Muslim).
2.2.1.1 Wudhu
Syarat sah dalam berwudhu antara lain Islam, tamyiz, menggunakan air
yang suci, dan tidak ada yang menghalangi air sampai kepada anggota tubuh, seperti
cat kuku, tidak ada penghalang syar'iy, seperti haid dan nifas, dan telah masuk
waktu shalat khusus bagi seseorang dalam kondisi terus-menerus berhadas, seperti
keluar darah istihadhoh, keputihan, atau kencing terus-menerus.
8
Fardu-fardu Wudhu terdiri dari niat, hendaklah berniat wudhu pada saat
pertama kali membasuh wajah. Adapun niatnya sebagai berikut “Nawaytul
wudhuu`a listibaahatish sholaat fardhon lillaahi ta'aalaa”. Artinya : "Aku niat
wudhu agar diperbolehkan shalat fardhu karena Allah Ta'ala..". Kemudian setelah
niat dilanjutka dengan membasuh wajah. Adapun batasan wajah adalah dahi paling
atas sebelum tempat tumbuhnya rambut hingga janggut paling bawah (dari atas ke
bawah) dan dari telinga satu ke telinga yang lain (dari samping kanan ke kiri). Yang
ke-3 adalah membasuh kedua tangan hingga kedua siku. Termasuk kulit yang ada
di sela kuku, mebasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki, dan tertib yang Artinya
urut sesuai tatacara yang sudah dijelaskan (Tullah et al., 2018).
Sunah-sunah Wudhu
1. Membaca basmalah ketika memulai wudhu
2. Membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke wadah air atau
kran.
3. Membasuh dari bagian atas wajah dan bagian depan kepala.
4. Berkumur dan menghirup air melalui hidung. Ada perbedaan pendapat tentang
beberapa hal yang disunahkan, yakni apakah air yang dikumur dan dihirup ke
hidung diludahkan atau tidak. Adapun memasukkan air dalam-dalam ke lubang
hidung maupun tenggorokan, hal itu disunahkan. Sedangkan bagi seorang yang
sedang berpuasa hal itu dimakruhkan. Mengusap kepala dengan air, caranya
dengan meletakkan kedua ibu jari di kedua pelipis dan menempelkan kedua jari
telunjuk, lalu dijalankan mulai dari depan ke belakang dan kembali ke depan.
Bila memakai 'imamah (serban yang dililitkan di kepala), maka cukup
mengusap jambul kepala. Disunahkan mengusap 'imamah-nya seperti
mengusap seluruh kepala.
5. Mengusap kedua telinga (bagian dalam dan luarnya) dengan air yang baru.
Caranya, masukkan jari telunjuk ke dalam lubang telinga lalu putar-putar di
lekukan telinga, lalu putar ibu jari pada daun telinga bagian luar, kemudian
tempelkan kedua telapak tangan yang basah ke kedua telinga.
6. Menyela-nyela jenggot yang tebal dari arah bawah ke atas.
9
7. Menyela-nyela jemari tangan dan jemari kaki. Adapun cara menyela-nyela
jemari kaki adalah menggunakan tangan kiri dari arah bawah jari kelingking
kaki kanan, dan berakhir di jari kelingking kaki kiri dengan jemari tangan
kanan.
8. Mendahulukan anggota badan yang kanan daripada yang kiri.
9. Setiap basuhan diulangi sebanyak 3 kali.
10. Terus-menerus (muwaalah).
11. Mengusap leher.
12. Berdoa setiap membasuh atau mengusap anggota wudhu.
13. Tidak mengeringkan bekas air wudhu dengan handuk.
14. Tidak mengibaskan tangan dengan tujuan mengeringkan sisa air wudhu.
15. Terus-menerus (muwaalah), tidak diberi jeda lama setelah
mengusap/membasuh bagian-bagian tubuh.
16. Menyela-nyela cincin agar air masuk ke kulit jari.
17. Memperhatikan sesuatu yang membutuhkan kecermatan atau kehati-hatian
(ikhtiyaath).
18. Membasuh tangan dan kaki dari ujung jemari.
19. Air wudhu tidak kurang dari 1 mud (menurut mazhab Hanafi: 815,39 gram atau
menurut mazhab selainnya: 543 gram).
20. Tidak berlebihan dalam menggunakan air dan tidak lebih dari 3kali basuhan
atau usapan.
21. Tidak berbicara pada saat wudhu.
22. Tidak melempar air ke wajah.
23. Berdoa setelah wudhu.
10
berpendapat, disunahkan berwudhu saat terbangun dari tidur, sekalipun dengan
menetapkan pantatnya, sebagai khuruuj minal khilaaf (upaya keluar dari
perbedaan pendapat).
3. Hilang akal (kesadaran) yang disebabkan mabuk atau sakit, seperti koma dan
epilepsi.
4. Menyentuh lawan jenis yang bukan mahram (boleh dinikah)tanpa penghalang.
5. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan bagian dalam.
2.2.1.2 Tayammum
Tayamum secara istilah syariat, bermakna tata cara bersuci dari hadas
dengan cara mengusap wajah dan tangan dengan menggunakan sha'id yang bersih
Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi sebagai keringanan bagi orang yang
tidak dapat menggunakan air karena halangan, seperti sakit atau dalam perjalanan
yang sulit menemukan air atau karena memang tidak ada air. Allah Swt berfirman
di dalam Al-Qur'an yang artinya "Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh (berhubungan badan
dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air (untuk bersuci), maka
bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih), sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu." (QS. Al-maa'idah (5):6)
Dasar hukum tayammum terdapat di dalam firman Allah Swt "Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid)
sedang kami dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, sehingga kamu
mandi. Dan jika kami sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun." (QS. An-Nisa:43).
Syarat-syarat Tayamum adalah telah masuk waktu shalat, tidak ada air
untuk bersuci, atau ada air tapi hanya cukup untuk diminum, tayamum hanya
berlaku untuk satu kali shalat fardu. Sedangkan rukun-rukun tayamum terdiri dari
niat, yaitu ketika mulai memindahkan debu dari tempatnya menuju wajah. Adapun
11
niat tayamum sebagai berikut “Nawaytut tayammuma listibaahatish sholaati
fardhon lillaahi ta'aalaa” Artinya : "Aku niat tayamum agar diperkenankan shalat,
karena melaksanakan kewajiban karena Allah Yang Mahaluhur." Kemudian
dilanjutkan dengan mengusap wajah dengan debu yang melekat di tangan,
mengusap kedua tangan hingga siku dengan debu suci yang baru, dan tertib atau
urut sesuai aturan di atas.
Sunah-sunah Tayamum yaitu membaca basmalah, mendahulukan anggota
yang kanan dari yang kini, dilakukan terus-menerus (muwaalah). Untuk hal-hal
yang Membatalkan Tayamum terdiri dari segala hal yang membatalkan wudhu,
menemukan air sebelum melakukan shalat, murtad, dan tayamum hanya berlaku
untuk sekali shalat fardu dan beberapa shalat sunah. Ketika masuk shalat fardu yang
lain, maka berlaku syarat-syarat tayammum sebelumnya (Tullah et al., 2018).
12
tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul
ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara (Syafril, 2019).
Hukum shalat adalah wajib 'aini dalam arti kewajiban yang ditujukan
kepada setiap orang yang telah dikenai beban hukum (mukallaf) dan tidak lepas
kewajiban seseorang dalam shalat kecuali bila telah dilakukanya sendiri sesuai
dengan ketentuanya dan tidak dapat diwakilkan pelaksanaanya. Shalat merupakan
salah satu rukun Islam yang wajib dan harus dilaksanakan berdasarkan ketetapan
Al-Qur'an, sunnah, dan ijma. Kewajiban itu diterima Nabi Muhammad SAW secara
langsung yang diperintahkan oleh Allah di "sidratulmuntaha" sewaktu isra' dan
mi'raj. Setahun sebelum hijrah ke madinah pada waktu yang telah di kenal, yaitu
Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Subuh. Shalat fardhu pertama yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW adalah shalat Zuhur." firman-firman Allah yang
memerintahkan untuk melaksanakan shalat seperti didalam Al-Qur'an surat Toha
ayat 14 yang berbunyi “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.”
2.3 Cara Bersuci dan Beribadah (Shalat, Puasa) bagi Musafir dan Maridh
2.3.1 Cara Bersuci dan Beribadah bagi Orang Musafir
Seorang musafir, yaitu muslim yang melakukan perjalanan jauh diberikan
kelonggaran dalam melakukan ibadah thaharah dan shalat. Ia diperbolehkan
bertayamum bila tidak menemukan air. Dalam bahasa tayammum yaitu bersengaja.
Sedangkan istilah tayammum adalah bersengaja dengan secara menggunakan debu
yang suci untuk membasuh muka dan kedua tangan sebagai pengganti wudhu
dengan maksud agar dapat melakukan shalat (Khoirunnisa, 2015).
13
c. Jika air sangat dingin sekali dan dapat dikhawatirkan akan membahayakan
dirinya serta tidak mampu untuk memanaskannya.
d. Jika sanggup menggunakan air, tetapi waktunya yang sudah sangat mendesak
sehingga diperkirakan apabila mencoba untuk mendapatkannya maka shalatnya
sendiri akan tertinggal.
14
Jamak taqdim yaitu mengumpulkan dua macam shalat fardhu dan
dikerjakan pada waktu shalat yang awal. Misalnya mengumpulkan shalat
Zuhur dengan Asar dan dikerjakan pada waktu Zuhur. Atau mengumpulkan
shalat Maghrib dengan Isya dan dikerjakan pada waktu Maghrib.
Niat jamak taqdim
ٍ أُص َِّلي فَ ْرضَ ال َّظه ِّْر أ َ ْر َب َع َر َك َعا
ِّ ت تَجْ ُم ْوعًا َم َع ا ْل َعص ِّْر َج ْم َع ت َ ْقد
ِّيم ِّ َّّلِلِّ ت َ َعا َلى
Ushollii fardlozh zhuhri arba’a raka’aatin majmuu’an taqdiiman ma’al
ashri jam’a taqdiimin lillaahi ta’aalaa. Artinya “Aku sengaja shalat fardu
dhuhur empat rakaat yang dijama’ dengan Ashar, jama’ taqdim karena
Allah Ta’aala”
Untuk shalat ashar nya, anda tidak perlu menggunakan niat shalat jamak
lagi, melainkan membaca niat shalat ashar seperti biasa.
b. Jamak takhir
Sedangkan jamak takhir adalah mengumpulkan dua macam shalat fardhu
dan dikerjakan pada waktu shalat yang akhir, Misalnya mengumpulkan
shalat Zuhur dengan shalat Asar dan dikerjakan pada waktu Asar. Atau
mengumpulkan shalat Maghrib dengan Isya dan dikerjakan pada waktu
Isya. Niat jamak takhir
َاء َج ْم َع تَأ ْ ِّخي ِّْر ِّ َّّلِلِّ تَعَا َلى
ِّ ت َمجْ ُم ْوعًا َم َع ا ْل ِّعش ِّ أُصَل فَ ْرضَ ا ْل َم ْغ ِّر
َ ب ث َ ََل
ٍ ث َر َك َعا
Ushollii fardlol maghribi tsalaatsa raka’aatin majmuu’an ma’al isyaa-i
jam’a ta-khiirin lillaahi ta’aalaa. Artinya “Aku sengaja shalat fardu
maghrib tiga rakaat yang dijama’ dengan ‘isya, jama’ takhir karena Allah
Ta’aala”
Untuk shalat isya nya, anda tidak perlu menggunakan niat shalat jamak lagi,
melainkan membaca niat shalat isya seperti biasa.
2. Sholat qashar
Shalat qashar merupakan salat yang dipendekkan (diringkas), dengan
mengerjakan shalat fardu yang diringkas dari empat rakaat menjadi dua rakaat,
jadi tanpa tasyahud awal langsung tasyahud akhir karena shalatnya hanya
dilakukan dua raka'at. Ada 4 syarat shalat qashar yaitu:
a. Jika berpergian yang jauhnya tidak kurang dari 82 Km.
b. Jika berpergian tidak untuk berbuat maksiat.
15
c. Harus berniat qashar.
d. Untuk shalat yang hanya 4 raka’at saja.
Seperti halnya orang sakit, bagi musafir pun diberi juga batasan dalam
kebolehan untuk berbuka puasa. Jumhur ulama berpendapat bahwa bagi musafir
yang dibolehkan berbuka puasa itu ada dua syarat : Pertama, safar (perjalanan)
tersebut menempuh jarak yang diperbolehkan untuk meng-qasar salat dan kedua,
safar yang dimulai sebelum terbit fajar. ulama Hanabilah khususnya Ibnu
Quddamah berpendapat bahwa safar yang dimulai pada siang hari (setelah terbit
fajar), walaupun setelah tergelincir matahari, dibolehkan untuk berbuka puasa. Dan
ulama Syafi’iyah khususnya An-Nawawi menambahkan syarat ketiga, yaitu : tidak
bagi orang musafir yang melakukan safar secara terus-menerus.
16
batu jika buang air kecil atau buang air besar, agar kesucian dan kebersihan menjadi
sempurna (Azis, 2009 dalam).
Pasien yang sakit, apabila tidak bisa bersuci dengan menggunakan air,
seperti berwudhu dari hadits kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau
khawatir akan bertambah parah atau kesembuhannya akan tertunda, maka orang
tersebut boleh bertayammum, yaitu menepukkan kedua telapak tangan ke tanah
yang suci satu kali, lalu menyapu mukanya dengan telapak jari-jari dan kedua
tangan dengan telapak tangannya; karena Allah Berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan
basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu.” (Al-Ma`idah: 6).
Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat
dengan berdiri hendaknya shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan
duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring an menghadapkan
muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh
bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring,
maka orang tersebut boleh shalat dengan berbaring telentang sebagaimana sabda
Nabi SAW kepada Imran bin Hushain :
“Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk,
dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring” (HR. Bukhari).
Berikut ini beberapa tata cara ibadah sholat pada orang yang sakit :
1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air terlebih dahulu untuk menghilangkan
hadas besar dan kecil. Apabila ada halangan dalam menggunakan air, boleh
bertayammum.
2. Membersihkan pakaian dan badan dari najis. Apabila tidak mampu, orang sakit
boleh shalat dengan keadaan yang ada. Shalatnya tetap sah dan tidak wajib
mengulang.
17
3. Shalat di atas tempat yang suci. Apabila tidak memungkinkan, boleh shalat
dimana saja. Shalatnya tetap sah dan tidak wajib mengulang.
4. Orang sakit yang mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud,
maka harus shalat sambal berdiri lalu ruku’ dengan isyarat (menundukkan
kepala), kemudian duduk dan sujud dengan berisyarat; karena firman Allah
“…Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’” (Al-
Baqarah: 238).
5. Orang sakit yang tidak mampu duduk, maka boleh sholat dalam keadaan
berbaring menghadap kiblat. Ruku’ dan sujudnya dengan gerakan isyarat.
Isyarat sujud diupayakan lebih rendah daripada ruku’.
6. Orang sakit yang tidak mampu shalat berbaring, sebagian ulama berpendapat
boleh shalat bersandar pada kepala dan kaki ke arah kiblat, disebut posisi
telentang. Ruku’ dan sujudnya dengan gerakan isyarat kedipan mata. Sedikit
memejamkan mata untuk isyarat ruku’, dan memejamkan lebih lama untuk
isyarat sujud.
7. Orang sakit yang tidak mampu melakukan isyarat dengan kepala ataupun mata,
maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur
darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (berakal).
8. Dan apabila ditengah-tengah shalat, orang yang sakit mampu melakukan apa
yang tidak mampu dilakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau
berisyarat dengan kepala, maka pasien harus melakukan apa yang mampu, dan
melanjutkan shalat tersebut.
9. Apabila pasien tertidur atau lupa melakukan shalat atau karena lainnya, pasien
wajib menunaikannya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh
menundanya kepada waktu berikutnya. Sebagaimana sabda Rasulullullah SAW
“Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia
menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya
itu”. Lalu beliau membaca firman Allah: “dan dirikanlah shalat untuk
mengingatKu”. (Thaha: 14).
10. Orang yang sakit tidak diperbolehkan untuk menunda shalat dari waktu yang
telah ditetapkan selama hal itu tidak memberatkan dirinya. Namun, apabila
memberatkannya untuk mendirikan shalat pada waktu yang telah ditetapkan,
18
orang yang sakit boleh menjamak shalat baik jamak taqdim maupun takhir.
Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama’ dengan
shalat sebelum atau sesudahnya. Ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu”.
Lalu beliau membaca firman Allah: “dan dirikanlah shalat untuk
mengingatKu”. (Thaha: 14).
Orang yang ditimpa sakit dibolehkan untuk tidak berpuasa. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al Baqarah ayat 184 sebagai berikut:
ْ َْ سا ف َارشِاش َْ َْش ْض ْمرش افُِِ زُ ض ْش ي ز ْ ُْش ا َذَ س ْ ُي ْْش ِ ُْ ْشذ َْ ْش َارش ضْ َفِ ش
ْ سيْ ْشذ ْ ُْ َِْ شَُضَش َِ َهٰتِۖ ْ ُنش ْٓرََرْش ضى
ط ضْ ْمرش َاس َشٰ ض ْش
ر ُْ ْف ِش ْۖ ِاۖ ضى ُْ َْششْٓ ُشن ُْٰ ُشذ ضْ ِه ْشۖ ُْٰ سذ ل ْ ْهۖ ْش ِ ْلْف ْ ِمَْۖش َِرْ ِاش ََش شِاشْٓش ُْٰ ُشذ ل
“…maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka),
maka (wajiblah baginya puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang
lain.”
Ayat diatas memberikan pemahaman bahwa bagi orang yang sakit
dibolehkan untuk berbuka atau meninggalkan puasa Ramadhan, sekalipun
penyakitnya tidak parah, sebab pada keumuman ayat tersebut yang tertulis al Marid
atau sakit. Namun para ulama memberikan batasan sakit yang diperbolehkan untuk
meninggalkan puasa.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq sebagai berikut :
ُ يهذ ْٓ م َّ ٰح ْٓ مذض ْٓ ُۖذ ل أ َ خ كْ ُ ُ ْٓ ْۖ َ َٰ ِ ْٓ رف ْٓ كَِ ِ ْٓ مذض و
ئ هُ ذ
“Dan orang sakit yang boleh berbuka puasa adalah orang yang sakitnya
bersangatan, yang apabila berpuasa akan bertambah penyakitnya atau ada
kekhawatiran akan lambat sembuhnya.”
Pada bagian lain Sayyid Sabiq menambahkan bahwa orang sakit yang tidak
diharapkan lagi sembuhnya diperbolehkan berbuka puasa. Dari penjelasan diatas
dapat difahami bahwa ada tiga kategori orang sakit yang diperbolehkan untuk
berbuka atau meninggalkan puasa, yaitu : orang sakit yang apabila berpuasa akan
bertambah penyakitnya, atau dikhawatirkan akan lambat sembuhnya, dan orang
sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut Abdullah , bersuci atau yang disebut juga dengan thaharah
memiliki arti bersih dan suci dari segala yang kotor, baik yang bersifat hissiy atau
yang bersifat ma’nawiyy . Bersuci ada dua macam, yaitu bersuci dari hadas kecil
maupun hadas besar dan bersuci dari najis. Sedangkan bersuci dari najis adalah
membersihkan badan, pakaian, atau tempat dari kotoran yang menjadi sebab
terhalangnya seseorang untuk beribadah kepada Allah SWT.
Kewajiban shalat tidak akan pernah lepas dari seorang Muslim. Sebagaiamana
sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam “Bersuci adalah bagian dari iman”.
Allah telah memuliakan umat manusia dengan ajaran Islam dan memberikan
mereka banyak kebaikan dan kesempurnaan. Ajaran Islam, di samping berkenaan
dengan dimensi batin, namun juga sangat memperhatikan dimensi badan,
memelihara badannya dari sakit, membersihkan dari kotoran.
Seorang musafir, yaitu muslim yang melakukan perjalanan jauh diberikan
kelonggaran dalam melakukan ibadah thaharah dan shalat. Pasien yang sakit,
apabila tidak bisa bersuci dengan menggunakan air, seperti berwudhu dari hadits
kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau khawatir akan bertambah
parah atau kesembuhannya akan tertunda, maka orang tersebut boleh
bertayammum. dalam berpergian jauh atau perjalanan jauh diperbolehkan
mengqashar shalat dan menjama’ shalat. Para ulama sepakat bahwa barangsiapa
yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya shalat sambil
duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan
posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Orang yang melakukan
perjalanan oleh syara’ diberikan rukhsah untuk berbuka puasa. Kebolehan berbuka
puasa bagi musafir tersebut ditegaskan oleh Allah “… maka jika diantara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan , maka sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari yang lain…”. Ayat diatas memberikan pemahaman bahwa bagi orang yang
sakit dibolehkan untuk berbuka atau meninggalkan puasa Ramadhan.
20
3.2 Saran
Demikian atas ulasan dari makalah ini dari penulis untuk memperjelas
dalam pembahasan “Bersuci dan Shalat Bagi Musafir dan Maridh”. Penulis
berharap agar makalah ini bisa bermanfaat dan bisa menjadikan motivasi terhadap
keteguhan dan keyakinan iman kita. Apabila ada kekeliruan atau tidak jelasnya
dalam makalah ini dapat menghubungi penulis, dan apabila ada kekurangan dari
materi ini diharapkan pembaca dapat membantu dalam memperbaiki makalah ini
terimakasih.
21
DAFTAR PUSTAKA
22