Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH AGAMA


BERSUCI DAN SHALAT BAGI MUSAFIR DAN MARIDH

DISUSUN OLEH:
Kelompok 13 / Kelas 2A
1. Elly Arnovi Ibrahim M. (1130022075)
2. Allysa Naura Setyaputri (1130022135)
3. Irsadila Dwi Puspitasari (1130022167)

DOSEN FASILITATOR:
Ikwan

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Agama yang berjudul
“Bersuci dan Shalat Bagi Musafir dan Maridh” dapat selesai seperti waktu yang
telah direncanakan.

Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak
yang memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung atau
tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen fasilitator mata kuliah Agama, Ibu Siti Maimunah, S.Ag., M.Pd.I.
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada kami sehingga
laporan ini dapat terselesaikan.
3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar
makalah ini dapat kami selesaikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik yang tulus dan ikhlas
kepada semua pihak yang kami sebutkan di atas. Tak ada gading yang tak patah,
untuk itu kami pun menyadari bahwa makalah yang telah kami susun masih
memiliki banyak kelemahan serta kekeliruan baik dari segi teknis maupun non
teknis.

Untuk itu penulis membuka pintu yang selebar-lebarnya kepada seluruh


pihak, agar dapat memberikan saran dan kritik yang membangun demi
penyempurnaan penulisan-penulisan mendatang. Apabila dalam makalah ini
terdapat hal-hal yang kurang berkenan di hati pembaca, mohon dimaafkan.
Penyusun sangat berharap agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
mahasiswa.

Surabaya, 21 Februari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5
2.1 Konsep Bersuci (Wudhu, Tayammum), dan Sholat ................................. 5
2.2 Dasar dan Hukum Bersuci (Wudhu, Tayammum), dan Sholat ................ 7
2.3 Cara Bersuci dan Beribadah (Shalat, Puasa) bagi Musafir dan Maridh . 13
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 20
3.2 Saran ....................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badan selain rohani.
Kebersihan badan tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci
sebelum mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada hakikatnya tujuan
bersuci adalah agar umat muslim terhindar dari kotoran atau debu yang menempel
di badan sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah
kepada Allah SWT. Salah satu unsur utama yang harus di penuhi untuk memenuhi
syarat-syarat ibadah seperti shalat dan lain sebagainya hendak lah di awali dengan
bersuci. Bersuci menjadi pintu gerbang utama dalam melakukan ibadah kepada
Allah SWT. Berwudhu, mandi junub atau tayammum adalah cara bersuci yang
Allah terangkan dalam Al qur’an dengan jelas (Syahida, 2016).
Menurut Kadun & Zaly (2020), umat muslim sejak mulai baligh hingga
akhir hayat memiliki kewajiban untuk sholat. Seorang musafir, yaitu muslim yang
melakukan perjalanan jauh diberikan kelonggaran dalam melakukan ibadah
thaharah dan shalat. Ia diperbolehkan bertayamum bila tidak menemukan air.
Dalam melaksanakan shalat, seorang musafir diperbolehkan mengqashar
(memendekkan) shalat dan menjama’ (menggabungkan) shalat. Pada pasien yang
dirawat di Rumah Sakit ada Rukhshah (kemudahan melakukan ibadah karena
keuzuran). Jika pasien tidak mampu berdiri, maka shalat dapat dilakukan dengan
duduk, berbaring ataupun dengan isyarat.
Al-qathani (2011) menyatakan bahwa bagaimanapun kondisinya, bersuci
(thaharah) dan shalat adalah kewajiban yang harus ditunaikan bagi seorang muslim.
Demikian halnya, saat bepergian jauh maupun sakit menerpa, shalat merupakan
salah satu ibadah yang tetap harus dikerjakan. Tata cara shalat orang musafir dan
muridh berbeda dengan tata cara shalat orang yang sehat. Sebab, dalam salah satu
pondasi syariat Islam adalah memberikan kemudahan bagi pemeluknya, Allah
Ta’ala berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
mengehendaki kesukaran bagimu…” (Al-Baqarah [2] : 185).

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, diangkat beberapa
masalah :
1. Bagaimana konsep bersuci (wudhu, tayammum) dan konsep shalat?
2. Apa dasar dan hukum bersuci (wudhu, tayammum) dan shalat?
3. Bagaimana cara bersuci dan beribadah (shalat dan puasa) bagi musafir dan
maridh?

1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Untuk memahami cara bersuci dan beribadah bagi musafir dan maridh atau
orang sakit. Serta untuk melaksanakan tugas mata kuliah Agama.

B. Tujuan Khusus
1. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai konsep bersuci
(wudhu, tayammum) dan shalat.
2. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai dasar dan hukum
bersuci (wudhu, tayammum) dan shalat.
3. Dapat memahami dan menjelaskan kembali mengenai cara bersuci dan
beribadah (shalat dan puasa) bagi musafir dan maridh.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Bersuci (Wudhu, Tayammum), dan Sholat


2.1.1 Konsep Bersuci Wudhu dan Tayammum
Menurut Abdullah (2014), bersuci atau yang disebut juga dengan thaharah
memiliki arti bersih dan suci dari segala yang kotor, baik yang bersifat hissiy (dapat
diindera) atau yang bersifat ma’nawiyy (abstrak). Sedangkan pengertian thaharah
menurut istilah syara’ dalam Habibillah (2018) adalah membersihkan diri, pakaian,
tempat, dan benda-benda lain dari najis dan hadats sesuai dengan syariat Islam.
Bersuci ada dua macam, yaitu bersuci dari hadas kecil maupun hadas besar dan
bersuci dari najis. Bersuci dari hadas adalah membersihkan badan dari hal-hal yang
menyebabkan tidak dapat melakukan shalat, contohnya buang air besar dan buang
air kecil. Sedangkan bersuci dari najis adalah membersihkan badan, pakaian, atau
tempat dari kotoran yang menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk beribadah
kepada Allah SWT. Contohnya darah, nanah, muntah, tahi, air kencing, dan segala
perkara yang ada hubungannya dengan babi dan anjing. Berwudhu dan tayammum
adalah cara bersuci yang Allah terangkan dalam Al qur’an (Burhanudin, 2019).

2.1.1.1 Wudhu
Wudhu dalam istilah fiqhiyah merupakan kegiatan membasuh bagian badan
tertentu dengan cara yang telah disyariatkan dengan tujuan untuk membersihkan
hadats kecil. Menurut para sufi berwudhu tidak hanya membersihkan anggota
badan dengan air tetapi lebih dari itu. Hakikat wudhu yaitu membersihkan hati dari
semua penyakit hati (Hikmah, 2022).
Allah Ta’ala berfirman dalam surat AL – Maidah ayat 6 “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan solat, maka basuhlah mukamu,
kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai
mata kaki.” (QS Al Maidah : 6).
Wudhu seseorang dianggap sah apabila beragama Islam, sudah mumayiz
(bisa membedakan antara hal baik dan hal buruk serta dapat membedakan antara
yang bermanfaat atau yang membahayakan dirinya), tidak berhadas besar dan kecil,

5
memakai air suci lagi mensucikan, serta tidak ada sesuatu yang menghalangi air ke
anggota tubuh seperti cat, getah dsb (Syahida, 2016).
Wudhu seseorang dikatakan batal apabila keluar sesuatu dari kubul
(kemaluan tempat keluarnya air seni) atau dubur (anus), baik berupa angin maupun
cairan (kentut, kencing, tinja, darah, nanah, mazi, mani dan sebagainya). Kemudian
bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan tanpa pembatas, menyentuh kubul atau
dubur dengan tapak tangan tanpa pembatas, tidur dengan nyenyak, dan hilang akal.

2.1.1.2 Tayammum
Pengertian tayammum dalam Ningsih (2021) adalah bersuci dari hadats
kecil dan besar menggunakan debu. Tayamum secara bahasa adalah berwudu
dengan debu yang suci karena tidak ada air atau adanya halangan memakai air.
Tayamum menurut istilah adalah menyapakan tanah atau debu yang suci ke muka
dan kedua tangan sampai siku dengan memenuhi syarat da rukunnya sebagai
pengganti dari wudhu atau mandi wajib karena tidak adanya air atau dilarang
menggunakan air disebabkan sakit (Syahida, 2016).
Allah Ta’ala berfirman “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS An Nisa : 43).
Tayammum merupakan pengganti dari berwudu. Apabila seseorang telah
melaksanakan salat dengan tayamum kemudian dia menemukan air, maka tidak
wajib mengulang sekalipun waktu salat masih ada. Syarat tayamum adalah adanya
sebab yang membolehkan mengganti wudhu atau mandi wajib dengan tayamum,
sudah masuk waktu salat, sudah berusaha mencari air tetapi tidak menemukan,
menghilangkan najis yang melekat di tubuh, dan menggunakan tanah atau debu
yang suci. Tayamum seseorang menjadi batal karena semua yang membatalkan
wudhu juga membatalkan tayamum, keadaan seseorang melihat air yang suci yang
mensucikan (sebelum salat), dan murtad (keluar dari agama Islam) (Syahida, 2016).

6
2.1.2 Konsep Shalat
Menurut Bahasa shalat berarti doa sedangkan menurut syara’ berarti
menghadap jiwa dan raga kepada Allah karena taqwa hamba kepada Tuhannya.
Shalat wajib hukumnya atas setiap muslim yang berakal dan sudah mencapai akhir
baligh, baik itu laki-laki maupun perempuan, kaya ata miskin, orang yang
berdomisili atau dalam keadaan musafir, dalam keadaan sehat atau sakit, dan
kewajiban shalat yang lima waktu sehari semalam (Kadun & Zaly, 2020).
Kewajiban shalat tidak akan pernah lepas dari seorang Muslim. Shalat tidak
dapat gugur hanya karena alasan bepergian atau sakit, Kewajiban shalat yang lima
waktu sehari semalam tidak boleh ditinggalkan walaupun dia dalam keadaan sakit,
selama akalnya masih sehat sampai kematian dating menjemputnya, sebagaimana
Allah firman dalam Surat An_Nisaa: 103 "Sesungguhnya Shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukanwaktunya atas orang-orang yang beriman”.
Syarat wajib mengerjakan shalat adalah beragama Islam, suci dari hadast
kecil dan besar, sampai dakwah islam kepadanya, dan berakal. Sedangkan syarat
sahnya shalat adalah badannya suci dari hadast kecil dan besar, sudah masuk waktu
shalat, menutup aurat, menghadap kiblat, serta badan, pakaian, dan tempat bersih
dari najis (Ningsih, 2021).

2.2 Dasar dan Hukum Bersuci (Wudhu, Tayammum), dan Sholat


2.2.1 Dasar Hukum Bersuci
Allah SWT berfirman :
‫َنُّ يَّ    ه َ  ِ ََُّّلا   ُّبي ي يُُّ َّ َا َ    َ ِ ََُّّلا ا‬
َ َ‫  ُّب ُحي‬
َ ‫  َّّٰللاه َّ نِا‬
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang benar-benar bertaubat, dan
menyukai orang-orang yang bersuci,” (QS Al-Baqarah/2:222).

‫َ َ۟ اك ُتََ ُا اء َ ٱ اَ َ َُُُّّ َّ  ُ  ُم ََّ ُا اء ة يَِفَِا َهْ ٱبيََِّ َ َمُّ ََُِ يُُّ َّنَُّْ َُ احي ُ اء َّنبََّ ٱب ي‬
َّ ‫ٱََ ةَُّٰ أَص ال َّ َُُُّ ُ ُتُ َُ ُا اء َ ۟ َ اِ ََُِّ ُا اء َّنبََّ اٱب َح َ ُّ َّأ‬
َ۟ َّ‫ْ ة ي‬
َ  ‫ُ يه ُ  ُّ َ َّن  ُِيُء يَ ا‬ َ َّ‫ا ةبَ َح ا ي ُ ُء ا َ ََ ة‬
‫ََْ  ۟ َ ا َتْ ي َم ۟ َ َدُ َ َّّٰللاَِ ُاء َّ ّٰللاَ َ اٱبََْيىَّ َّل ۟ َ َّنبََّ اٱب َا اَّ َفَ َّا  َ َّن  ُِي ُ اء ُتُِفْ أَص ي‬
ُِ ََْ ُ ِ‫ُ ََّّٰللافْ أَص اَ َ َُُُّّ َّ  ُُ ُتُ َُّ ُا اء َ ۟ َ اَُِِّ ُاء َّ ّٰللاَ ا‬
َ َََُُّّّ َ
َ ُُّ‫ٱَُ َّب ََيا ََّ َيٱب َِّّٰللا َ ْ ي َم أَََ اء ُ ََّيُ ُ ُّ ََْيم أَي َ ََ يح ُح‬ ‫َ ََ اَ ُاء َّّٰللاَ ا  َد َ ل َّ ُُِ ي‬
َ‫  َّ ّٰللاه َ  ُ اء َ َّبَُيَّ يء َّت اَّ َحي َ ُِ َ ََ اَ ُا اء بََََّي ُا اء ُ َ اد ُا ُ   َ َ ةب‬
َ َُ‫َّا  ِ َُّ ُِ ُ َّب‬
“Hai orang yang beriman, bila engkau berdiri untuk mengerjakan shalat, maka
basuhlah wajahmu (dengan air), lalu kedua tanganmu hingga siku, dan usaplah

7
(dengan air) sebagian kepalamu, dan kakimu hingga kedua mata kaki; dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.” (QS. Al- Maidah/5:6).

Dari Abu Malik Al Haritsy bin ‘Ashim Al ‘Asy’ary radhiallahuanhu dia berkata :
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫  ُه اُ ُك ا ا‬
َّ ‫َ  ُ  ُّا َُّ اِ َح‬
 ْ ‫ُّب ا‬
“Bersuci adalah bagian dari iman,” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain, Baginda Nabi SAW bersabda :


‫ُك‬ ‫ٱ ََلَّٰ ُّب ا‬
ُ ‫  ُه‬ ‫ََّ اْي َْ ُط ُّب ي‬
“Kunci shalat adalah bersuci,” (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah).

Ayat dan hadits di atas merupakan argumentasi yang kuat mengenai


kewajiban bersuci dan juga keutamaannya. Allah telah memuliakan umat manusia
dengan ajaran Islam dan memberikan mereka banyak kebaikan dan kesempurnaan.
Ajaran Islam, di samping berkenaan dengan dimensi batin, namun juga sangat
memperhatikan dimensi badan, memelihara badannya dari sakit, membersihkan
dari kotoran. Hal ini disebabkan badan memiliki relasi dengan batin. Karena itu,
tidak heran, bila kebersihan dan kesucian mendapatkan tempat yang sangat penting
dari sistem ajaran fiqih Islam (Anshori, 2021).

2.2.1.1 Wudhu
Syarat sah dalam berwudhu antara lain Islam, tamyiz, menggunakan air
yang suci, dan tidak ada yang menghalangi air sampai kepada anggota tubuh, seperti
cat kuku, tidak ada penghalang syar'iy, seperti haid dan nifas, dan telah masuk
waktu shalat khusus bagi seseorang dalam kondisi terus-menerus berhadas, seperti
keluar darah istihadhoh, keputihan, atau kencing terus-menerus.

8
Fardu-fardu Wudhu terdiri dari niat, hendaklah berniat wudhu pada saat
pertama kali membasuh wajah. Adapun niatnya sebagai berikut “Nawaytul
wudhuu`a listibaahatish sholaat fardhon lillaahi ta'aalaa”. Artinya : "Aku niat
wudhu agar diperbolehkan shalat fardhu karena Allah Ta'ala..". Kemudian setelah
niat dilanjutka dengan membasuh wajah. Adapun batasan wajah adalah dahi paling
atas sebelum tempat tumbuhnya rambut hingga janggut paling bawah (dari atas ke
bawah) dan dari telinga satu ke telinga yang lain (dari samping kanan ke kiri). Yang
ke-3 adalah membasuh kedua tangan hingga kedua siku. Termasuk kulit yang ada
di sela kuku, mebasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki, dan tertib yang Artinya
urut sesuai tatacara yang sudah dijelaskan (Tullah et al., 2018).

Sunah-sunah Wudhu
1. Membaca basmalah ketika memulai wudhu
2. Membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke wadah air atau
kran.
3. Membasuh dari bagian atas wajah dan bagian depan kepala.
4. Berkumur dan menghirup air melalui hidung. Ada perbedaan pendapat tentang
beberapa hal yang disunahkan, yakni apakah air yang dikumur dan dihirup ke
hidung diludahkan atau tidak. Adapun memasukkan air dalam-dalam ke lubang
hidung maupun tenggorokan, hal itu disunahkan. Sedangkan bagi seorang yang
sedang berpuasa hal itu dimakruhkan. Mengusap kepala dengan air, caranya
dengan meletakkan kedua ibu jari di kedua pelipis dan menempelkan kedua jari
telunjuk, lalu dijalankan mulai dari depan ke belakang dan kembali ke depan.
Bila memakai 'imamah (serban yang dililitkan di kepala), maka cukup
mengusap jambul kepala. Disunahkan mengusap 'imamah-nya seperti
mengusap seluruh kepala.
5. Mengusap kedua telinga (bagian dalam dan luarnya) dengan air yang baru.
Caranya, masukkan jari telunjuk ke dalam lubang telinga lalu putar-putar di
lekukan telinga, lalu putar ibu jari pada daun telinga bagian luar, kemudian
tempelkan kedua telapak tangan yang basah ke kedua telinga.
6. Menyela-nyela jenggot yang tebal dari arah bawah ke atas.

9
7. Menyela-nyela jemari tangan dan jemari kaki. Adapun cara menyela-nyela
jemari kaki adalah menggunakan tangan kiri dari arah bawah jari kelingking
kaki kanan, dan berakhir di jari kelingking kaki kiri dengan jemari tangan
kanan.
8. Mendahulukan anggota badan yang kanan daripada yang kiri.
9. Setiap basuhan diulangi sebanyak 3 kali.
10. Terus-menerus (muwaalah).
11. Mengusap leher.
12. Berdoa setiap membasuh atau mengusap anggota wudhu.
13. Tidak mengeringkan bekas air wudhu dengan handuk.
14. Tidak mengibaskan tangan dengan tujuan mengeringkan sisa air wudhu.
15. Terus-menerus (muwaalah), tidak diberi jeda lama setelah
mengusap/membasuh bagian-bagian tubuh.
16. Menyela-nyela cincin agar air masuk ke kulit jari.
17. Memperhatikan sesuatu yang membutuhkan kecermatan atau kehati-hatian
(ikhtiyaath).
18. Membasuh tangan dan kaki dari ujung jemari.
19. Air wudhu tidak kurang dari 1 mud (menurut mazhab Hanafi: 815,39 gram atau
menurut mazhab selainnya: 543 gram).
20. Tidak berlebihan dalam menggunakan air dan tidak lebih dari 3kali basuhan
atau usapan.
21. Tidak berbicara pada saat wudhu.
22. Tidak melempar air ke wajah.
23. Berdoa setelah wudhu.

Hal-hal yang Membatalkan Wudhu


1. Keluar sesuatu dari kemaluan atau anus.
2. Tidur dengan tidak menetapkan pantat di atas tempat duduk, baik dengan
telungkup, telentang, selonjor, maupun mengangkat salah satu atau kedua
kakinya. Bila cara tidur demikian terjadi sebelum terbangun, maka batal
wudhunya. Namun bila terjadi keraguan atas tidur dengan posisi demikian,
maka wudhunya tidak batal. Imam Syafi'i dan ulama bermazhab Syafi'i

10
berpendapat, disunahkan berwudhu saat terbangun dari tidur, sekalipun dengan
menetapkan pantatnya, sebagai khuruuj minal khilaaf (upaya keluar dari
perbedaan pendapat).
3. Hilang akal (kesadaran) yang disebabkan mabuk atau sakit, seperti koma dan
epilepsi.
4. Menyentuh lawan jenis yang bukan mahram (boleh dinikah)tanpa penghalang.
5. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan bagian dalam.

2.2.1.2 Tayammum
Tayamum secara istilah syariat, bermakna tata cara bersuci dari hadas
dengan cara mengusap wajah dan tangan dengan menggunakan sha'id yang bersih
Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi sebagai keringanan bagi orang yang
tidak dapat menggunakan air karena halangan, seperti sakit atau dalam perjalanan
yang sulit menemukan air atau karena memang tidak ada air. Allah Swt berfirman
di dalam Al-Qur'an yang artinya "Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh (berhubungan badan
dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air (untuk bersuci), maka
bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih), sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu." (QS. Al-maa'idah (5):6)
Dasar hukum tayammum terdapat di dalam firman Allah Swt "Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid)
sedang kami dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, sehingga kamu
mandi. Dan jika kami sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun." (QS. An-Nisa:43).
Syarat-syarat Tayamum adalah telah masuk waktu shalat, tidak ada air
untuk bersuci, atau ada air tapi hanya cukup untuk diminum, tayamum hanya
berlaku untuk satu kali shalat fardu. Sedangkan rukun-rukun tayamum terdiri dari
niat, yaitu ketika mulai memindahkan debu dari tempatnya menuju wajah. Adapun

11
niat tayamum sebagai berikut “Nawaytut tayammuma listibaahatish sholaati
fardhon lillaahi ta'aalaa” Artinya : "Aku niat tayamum agar diperkenankan shalat,
karena melaksanakan kewajiban karena Allah Yang Mahaluhur." Kemudian
dilanjutkan dengan mengusap wajah dengan debu yang melekat di tangan,
mengusap kedua tangan hingga siku dengan debu suci yang baru, dan tertib atau
urut sesuai aturan di atas.
Sunah-sunah Tayamum yaitu membaca basmalah, mendahulukan anggota
yang kanan dari yang kini, dilakukan terus-menerus (muwaalah). Untuk hal-hal
yang Membatalkan Tayamum terdiri dari segala hal yang membatalkan wudhu,
menemukan air sebelum melakukan shalat, murtad, dan tayamum hanya berlaku
untuk sekali shalat fardu dan beberapa shalat sunah. Ketika masuk shalat fardu yang
lain, maka berlaku syarat-syarat tayammum sebelumnya (Tullah et al., 2018).

2.2.2 Dasar dan Hukum Shalat


Manusia menjalani hidup di planet bumi ini sudah merupakan suatu
keharusan yang mesti diterima bagi setiap orang. Karena Allah SWT telah
menciptakan manusia untuk menghuni serta menjalani hidup dan kehidupan
didunia fana ini, maka sudah selayaknyalah manusia itu bersyukur kepada Tuhanya.
Dengan salah satu jalan ialah beribadah kepada-Nya. Beribadah kepada Allah
bukan untuk kepentingan Allah, akan tetapi justru untuk kebaikan kita sendiri agar
mendapat derajat ketaqwaan disisi-Nya, mendapat keridhoan dalam setiap gerak
dan langkah serta dijauhkan dari siksa api neraka. Itulah orientasi yang
sesungguhnya sehingga Allah berkehendak menciptakan manusia. Sebagaimana
firman Allah Swt, dalam QS. Ad-Zariyat ayat 56, yang berbunyi “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka. menyembah-Ku.”
Shalat menurut bahasa berarti do'a. Sedangkan menurut istilah makna shalat
adalah ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan memenuhi beberapa rukun dan syarat
yang ditentukan. Shalat menurut terminology syar'i adalah rukun-rukun yang
khusus dan bacaan-bacaan tertentu dengan ikatan waktu yang sudah ditentukan.
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba
dengan Tuhanya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang

12
tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul
ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara (Syafril, 2019).
Hukum shalat adalah wajib 'aini dalam arti kewajiban yang ditujukan
kepada setiap orang yang telah dikenai beban hukum (mukallaf) dan tidak lepas
kewajiban seseorang dalam shalat kecuali bila telah dilakukanya sendiri sesuai
dengan ketentuanya dan tidak dapat diwakilkan pelaksanaanya. Shalat merupakan
salah satu rukun Islam yang wajib dan harus dilaksanakan berdasarkan ketetapan
Al-Qur'an, sunnah, dan ijma. Kewajiban itu diterima Nabi Muhammad SAW secara
langsung yang diperintahkan oleh Allah di "sidratulmuntaha" sewaktu isra' dan
mi'raj. Setahun sebelum hijrah ke madinah pada waktu yang telah di kenal, yaitu
Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Subuh. Shalat fardhu pertama yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW adalah shalat Zuhur." firman-firman Allah yang
memerintahkan untuk melaksanakan shalat seperti didalam Al-Qur'an surat Toha
ayat 14 yang berbunyi “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.”

2.3 Cara Bersuci dan Beribadah (Shalat, Puasa) bagi Musafir dan Maridh
2.3.1 Cara Bersuci dan Beribadah bagi Orang Musafir
Seorang musafir, yaitu muslim yang melakukan perjalanan jauh diberikan
kelonggaran dalam melakukan ibadah thaharah dan shalat. Ia diperbolehkan
bertayamum bila tidak menemukan air. Dalam bahasa tayammum yaitu bersengaja.
Sedangkan istilah tayammum adalah bersengaja dengan secara menggunakan debu
yang suci untuk membasuh muka dan kedua tangan sebagai pengganti wudhu
dengan maksud agar dapat melakukan shalat (Khoirunnisa, 2015).

Hal-hal yang membolehkan tayammum:


a. Ketika sedang tidak ada air, baik dalam keadaan safar maupun tidak.
b. Ketika menderita luka atau penyakit. Sakit atau luka yang dimaksud yaitu
penyakit atau luka yang dikhawatirkan akan dapat bertambah parah atau
tertunda dalam penyambuhannya jika terkena air. Baik berdasarkan pengalaman
ataupun pemberitahuan dari dokter yang terpercaya.

13
c. Jika air sangat dingin sekali dan dapat dikhawatirkan akan membahayakan
dirinya serta tidak mampu untuk memanaskannya.
d. Jika sanggup menggunakan air, tetapi waktunya yang sudah sangat mendesak
sehingga diperkirakan apabila mencoba untuk mendapatkannya maka shalatnya
sendiri akan tertinggal.

Tata cara tayammum :


a. Membaca basmalah
b. Letakkanlah kedua telapak tangan yang ada debunya. Orang yang sakit dapat
meletakkan kedua telapak tangannya pada dinding. Orang yang berpergian
dengan naik bus atau pesawat terbang yang bisa meletakkan kedua telapak
tangannya pada tempat duduk atau kursi di depannya atau jendela dan
sebagainya yang kita yakini bahwa ada debu bersihnya.
c. Meniup debu pada kedua telapak tangan.
d. Mengusapkan wajah.
e. Mengusap punggung telapak tangan kanan dengan telapak tangan kiri, dengan
mengusap punggung telapak tangan kiri dengan telapak tangan kanan. Setelah
itu, kita mengusap dengan kedua telapak tangan. Mengusap tangan hanya
sampai dengan pergelangan tangan.

Shalat sunnah perjalanan jauh (Musafir) merupakan shalat yang


dilaksanakan saat melakukan perjalanan jauh. Jika seseorang dalam berpergian jauh
atau perjalanan jauh (Musafir) diperbolehkan mengqashar (memendekkan) shalat
dan menjama’ (menggabungkan) shalat. Ketika hendak melakukan shalat qashar
dan shalat jama’, seorang musafir harus memperhatikan syarat-syaratnya, seperti
jarak perjalanan, hujan, kepentingan yang mendadak, dsb (Fadhli, 2013).
1. Sholat jamak
Jamak adalah mengumpulkan dua macam shalat fardhu dalam satu waktu, yaitu
shalat Zuhur dengan Asar, dan shalat Maghrib dengan Isya. Adapun shalat
Subuh itu tidak boleh dijamak dan harus dikerjakan pada waktunya. Shalat
jamak ada dua macam, yaitu jamak taqdim dan jamak takhir.
a. Jamak taqdim

14
Jamak taqdim yaitu mengumpulkan dua macam shalat fardhu dan
dikerjakan pada waktu shalat yang awal. Misalnya mengumpulkan shalat
Zuhur dengan Asar dan dikerjakan pada waktu Zuhur. Atau mengumpulkan
shalat Maghrib dengan Isya dan dikerjakan pada waktu Maghrib.
Niat jamak taqdim
ٍ ‫أُص َِّلي فَ ْرضَ ال َّظه ِّْر أ َ ْر َب َع َر َك َعا‬
ِّ ‫ت تَجْ ُم ْوعًا َم َع ا ْل َعص ِّْر َج ْم َع ت َ ْقد‬
‫ِّيم ِّ َّّلِلِّ ت َ َعا َلى‬
Ushollii fardlozh zhuhri arba’a raka’aatin majmuu’an taqdiiman ma’al
ashri jam’a taqdiimin lillaahi ta’aalaa. Artinya “Aku sengaja shalat fardu
dhuhur empat rakaat yang dijama’ dengan Ashar, jama’ taqdim karena
Allah Ta’aala”
Untuk shalat ashar nya, anda tidak perlu menggunakan niat shalat jamak
lagi, melainkan membaca niat shalat ashar seperti biasa.
b. Jamak takhir
Sedangkan jamak takhir adalah mengumpulkan dua macam shalat fardhu
dan dikerjakan pada waktu shalat yang akhir, Misalnya mengumpulkan
shalat Zuhur dengan shalat Asar dan dikerjakan pada waktu Asar. Atau
mengumpulkan shalat Maghrib dengan Isya dan dikerjakan pada waktu
Isya. Niat jamak takhir
‫َاء َج ْم َع تَأ ْ ِّخي ِّْر ِّ َّّلِلِّ تَعَا َلى‬
ِّ ‫ت َمجْ ُم ْوعًا َم َع ا ْل ِّعش‬ ِّ ‫أُصَل فَ ْرضَ ا ْل َم ْغ ِّر‬
َ ‫ب ث َ ََل‬
ٍ ‫ث َر َك َعا‬
Ushollii fardlol maghribi tsalaatsa raka’aatin majmuu’an ma’al isyaa-i
jam’a ta-khiirin lillaahi ta’aalaa. Artinya “Aku sengaja shalat fardu
maghrib tiga rakaat yang dijama’ dengan ‘isya, jama’ takhir karena Allah
Ta’aala”
Untuk shalat isya nya, anda tidak perlu menggunakan niat shalat jamak lagi,
melainkan membaca niat shalat isya seperti biasa.
2. Sholat qashar
Shalat qashar merupakan salat yang dipendekkan (diringkas), dengan
mengerjakan shalat fardu yang diringkas dari empat rakaat menjadi dua rakaat,
jadi tanpa tasyahud awal langsung tasyahud akhir karena shalatnya hanya
dilakukan dua raka'at. Ada 4 syarat shalat qashar yaitu:
a. Jika berpergian yang jauhnya tidak kurang dari 82 Km.
b. Jika berpergian tidak untuk berbuat maksiat.

15
c. Harus berniat qashar.
d. Untuk shalat yang hanya 4 raka’at saja.

Orang yang melakukan perjalanan (musafir), oleh syara’ diberikan rukhsah


(keringanan) untuk berbuka puasa. Kebolehan berbuka puasa bagi musafir tersebut
ditegaskan oleh Allah dalam al Qur’an surat al Baqarah ayat 185 sebagai berikut :

‫شُ ْٓيِذ ْل ا ََ شضْ ْمر شر َْهش‬


ْ ِْ‫شارْ ش ْٓ ِه ز‬َ ‫ق‬ ْ ‫شَُُْٰ زر‬
ْ ًَ ‫َف ش ِ َٰ ُْ شضَٰ َن ش ْٓتِذ ز َِ ش ِوِسْ َشْٓ ر‬ ْ ‫ف َْ ش ْٓر‬ ْ ‫شن ْا‬
ْ ‫شار ِش ِا ش ْٓكه ْذشرْه ِذ‬ َ ِْ
‫يزش‬ ْ ‫ف ش ُْ ش‬ ِ ْٰ ْ‫شُ ْي شَِ َذَِِشَُ ِش ِا ش ْٓفِسشض‬
‫ْمنِش ْضُ ْار ش َْ َْ ش ْا َذَ س‬ َ ُ ِ‫سيْ ْذ شضْ َف‬
ْ ‫شار ش َْ ْ ش ِ ُْ ْذشضَِ َذَِِشّٰللاِشَُ ِش ِا ش ِْٰٓس ْذ‬ ْ ‫ْذش ْوُ َْْٓ ِش َم ِۖ شْش‬
ْ ‫ي ز ْش ْا ش ْو زَِشِا‬
‫شُْْٓفْ شِاشلْكش ِِذَُْش‬ ْ ْ ِ‫ْٓ َف‬
ْ ‫شُ َِْْٓش ََّْ ِذُ شّٰللاْش‬
“… maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari
yang lain…”

Seperti halnya orang sakit, bagi musafir pun diberi juga batasan dalam
kebolehan untuk berbuka puasa. Jumhur ulama berpendapat bahwa bagi musafir
yang dibolehkan berbuka puasa itu ada dua syarat : Pertama, safar (perjalanan)
tersebut menempuh jarak yang diperbolehkan untuk meng-qasar salat dan kedua,
safar yang dimulai sebelum terbit fajar. ulama Hanabilah khususnya Ibnu
Quddamah berpendapat bahwa safar yang dimulai pada siang hari (setelah terbit
fajar), walaupun setelah tergelincir matahari, dibolehkan untuk berbuka puasa. Dan
ulama Syafi’iyah khususnya An-Nawawi menambahkan syarat ketiga, yaitu : tidak
bagi orang musafir yang melakukan safar secara terus-menerus.

2.3.2 Cara Bersuci dan Beribadah bagi Orang Maridh


Sesungguhnya Allah SWT menetapkan kewajiban bersuci untuk setiap
shalat, karena sesungguhnya wudhu menghilangkan hadats dan najis, baik pada
tubuh, pakaian atau tempat shalat, keduanya merupakan bagian dari syarat sah
shalat. Apabila seorang muslim hendak melakukan shalat, maka wajib berwudhu
(bersuci) dari hadats kecil, atau mandi terlebih dahulu jika berhadats besar. Dan
sebelum berwudhu, harus beristinja (bersuci) dengan air atau beristijmar dengan

16
batu jika buang air kecil atau buang air besar, agar kesucian dan kebersihan menjadi
sempurna (Azis, 2009 dalam).
Pasien yang sakit, apabila tidak bisa bersuci dengan menggunakan air,
seperti berwudhu dari hadits kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau
khawatir akan bertambah parah atau kesembuhannya akan tertunda, maka orang
tersebut boleh bertayammum, yaitu menepukkan kedua telapak tangan ke tanah
yang suci satu kali, lalu menyapu mukanya dengan telapak jari-jari dan kedua
tangan dengan telapak tangannya; karena Allah Berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan
basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu.” (Al-Ma`idah: 6).

Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat
dengan berdiri hendaknya shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan
duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring an menghadapkan
muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh
bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring,
maka orang tersebut boleh shalat dengan berbaring telentang sebagaimana sabda
Nabi SAW kepada Imran bin Hushain :
“Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk,
dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring” (HR. Bukhari).
Berikut ini beberapa tata cara ibadah sholat pada orang yang sakit :
1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air terlebih dahulu untuk menghilangkan
hadas besar dan kecil. Apabila ada halangan dalam menggunakan air, boleh
bertayammum.
2. Membersihkan pakaian dan badan dari najis. Apabila tidak mampu, orang sakit
boleh shalat dengan keadaan yang ada. Shalatnya tetap sah dan tidak wajib
mengulang.

17
3. Shalat di atas tempat yang suci. Apabila tidak memungkinkan, boleh shalat
dimana saja. Shalatnya tetap sah dan tidak wajib mengulang.
4. Orang sakit yang mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud,
maka harus shalat sambal berdiri lalu ruku’ dengan isyarat (menundukkan
kepala), kemudian duduk dan sujud dengan berisyarat; karena firman Allah
“…Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’” (Al-
Baqarah: 238).
5. Orang sakit yang tidak mampu duduk, maka boleh sholat dalam keadaan
berbaring menghadap kiblat. Ruku’ dan sujudnya dengan gerakan isyarat.
Isyarat sujud diupayakan lebih rendah daripada ruku’.
6. Orang sakit yang tidak mampu shalat berbaring, sebagian ulama berpendapat
boleh shalat bersandar pada kepala dan kaki ke arah kiblat, disebut posisi
telentang. Ruku’ dan sujudnya dengan gerakan isyarat kedipan mata. Sedikit
memejamkan mata untuk isyarat ruku’, dan memejamkan lebih lama untuk
isyarat sujud.
7. Orang sakit yang tidak mampu melakukan isyarat dengan kepala ataupun mata,
maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur
darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (berakal).
8. Dan apabila ditengah-tengah shalat, orang yang sakit mampu melakukan apa
yang tidak mampu dilakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau
berisyarat dengan kepala, maka pasien harus melakukan apa yang mampu, dan
melanjutkan shalat tersebut.
9. Apabila pasien tertidur atau lupa melakukan shalat atau karena lainnya, pasien
wajib menunaikannya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh
menundanya kepada waktu berikutnya. Sebagaimana sabda Rasulullullah SAW
“Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia
menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya
itu”. Lalu beliau membaca firman Allah: “dan dirikanlah shalat untuk
mengingatKu”. (Thaha: 14).
10. Orang yang sakit tidak diperbolehkan untuk menunda shalat dari waktu yang
telah ditetapkan selama hal itu tidak memberatkan dirinya. Namun, apabila
memberatkannya untuk mendirikan shalat pada waktu yang telah ditetapkan,

18
orang yang sakit boleh menjamak shalat baik jamak taqdim maupun takhir.
Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama’ dengan
shalat sebelum atau sesudahnya. Ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu”.
Lalu beliau membaca firman Allah: “dan dirikanlah shalat untuk
mengingatKu”. (Thaha: 14).

Orang yang ditimpa sakit dibolehkan untuk tidak berpuasa. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al Baqarah ayat 184 sebagai berikut:

‫ْ َْ سا‬ ‫ف َارشِاش َْ َْش ْض ْمرش افُِِ زُ ض ْش‬ ‫ي ز ْ ُْش ا َذَ س‬ ْ ُ‫ي ْْش ِ ُْ ْشذ َْ ْش َارش ضْ َفِ ش‬
ْ ‫سيْ ْشذ‬ ْ ُْ ‫َِْ شَُضَش َِ َهٰتِۖ ْ ُنش ْٓرََرْش ضى‬
‫ط ضْ ْمرش َاس َشٰ ض ْش‬
‫ر ُْ ْف ِش‬ ‫ْۖ ِاۖ ضى ُْ َْششْٓ ُشن ُْٰ ُشذ ضْ ِه ْشۖ ُْٰ سذ ل ْ ْهۖ ْش‬ ِ ْ‫لْف ْ ِمَْۖش َِرْ ِاش ََش شِاشْٓش ُْٰ ُشذ ل‬
“…maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka),
maka (wajiblah baginya puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang
lain.”
Ayat diatas memberikan pemahaman bahwa bagi orang yang sakit
dibolehkan untuk berbuka atau meninggalkan puasa Ramadhan, sekalipun
penyakitnya tidak parah, sebab pada keumuman ayat tersebut yang tertulis al Marid
atau sakit. Namun para ulama memberikan batasan sakit yang diperbolehkan untuk
meninggalkan puasa.

Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq sebagai berikut :
ُ ‫يهذ ْٓ م َّ ٰح ْٓ مذض‬ ْٓ ۖ‫ُذ ل أ َ خ كْ ُ ُ ْٓ ْۖ َ َٰ ِ ْٓ رف ْٓ كَِ ِ ْٓ مذض و‬
‫ئ هُ ذ‬
“Dan orang sakit yang boleh berbuka puasa adalah orang yang sakitnya
bersangatan, yang apabila berpuasa akan bertambah penyakitnya atau ada
kekhawatiran akan lambat sembuhnya.”
Pada bagian lain Sayyid Sabiq menambahkan bahwa orang sakit yang tidak
diharapkan lagi sembuhnya diperbolehkan berbuka puasa. Dari penjelasan diatas
dapat difahami bahwa ada tiga kategori orang sakit yang diperbolehkan untuk
berbuka atau meninggalkan puasa, yaitu : orang sakit yang apabila berpuasa akan
bertambah penyakitnya, atau dikhawatirkan akan lambat sembuhnya, dan orang
sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut Abdullah , bersuci atau yang disebut juga dengan thaharah
memiliki arti bersih dan suci dari segala yang kotor, baik yang bersifat hissiy atau
yang bersifat ma’nawiyy . Bersuci ada dua macam, yaitu bersuci dari hadas kecil
maupun hadas besar dan bersuci dari najis. Sedangkan bersuci dari najis adalah
membersihkan badan, pakaian, atau tempat dari kotoran yang menjadi sebab
terhalangnya seseorang untuk beribadah kepada Allah SWT.
Kewajiban shalat tidak akan pernah lepas dari seorang Muslim. Sebagaiamana
sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam “Bersuci adalah bagian dari iman”.
Allah telah memuliakan umat manusia dengan ajaran Islam dan memberikan
mereka banyak kebaikan dan kesempurnaan. Ajaran Islam, di samping berkenaan
dengan dimensi batin, namun juga sangat memperhatikan dimensi badan,
memelihara badannya dari sakit, membersihkan dari kotoran.
Seorang musafir, yaitu muslim yang melakukan perjalanan jauh diberikan
kelonggaran dalam melakukan ibadah thaharah dan shalat. Pasien yang sakit,
apabila tidak bisa bersuci dengan menggunakan air, seperti berwudhu dari hadits
kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau khawatir akan bertambah
parah atau kesembuhannya akan tertunda, maka orang tersebut boleh
bertayammum. dalam berpergian jauh atau perjalanan jauh diperbolehkan
mengqashar shalat dan menjama’ shalat. Para ulama sepakat bahwa barangsiapa
yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya shalat sambil
duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan
posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Orang yang melakukan
perjalanan oleh syara’ diberikan rukhsah untuk berbuka puasa. Kebolehan berbuka
puasa bagi musafir tersebut ditegaskan oleh Allah “… maka jika diantara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan , maka sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari yang lain…”. Ayat diatas memberikan pemahaman bahwa bagi orang yang
sakit dibolehkan untuk berbuka atau meninggalkan puasa Ramadhan.

20
3.2 Saran
Demikian atas ulasan dari makalah ini dari penulis untuk memperjelas
dalam pembahasan “Bersuci dan Shalat Bagi Musafir dan Maridh”. Penulis
berharap agar makalah ini bisa bermanfaat dan bisa menjadikan motivasi terhadap
keteguhan dan keyakinan iman kita. Apabila ada kekeliruan atau tidak jelasnya
dalam makalah ini dapat menghubungi penulis, dan apabila ada kekurangan dari
materi ini diharapkan pembaca dapat membantu dalam memperbaiki makalah ini
terimakasih.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. (2014). Fiqih Thaharah: Panduan Praktis Bersuci (Cetakan ke).


Pustaka Media.
Al-qathani, S. bin A. (2011). Tuntunan Praktis Shalat Orang Sakit.
https://doi.org/Zamzam
Anshori, M. (2021). Fiqih Ibadah. Guepedia.
Burhanudin, Y. (2019). Fikih Madrasah Ibtidaiyah Kelas 1. PT Bumi Aksara.
Fadhli, A. (2013). Tuntunan Sholat Musafir. Mutiara Media.
Habibillah, K. M. (2018). Panduan Terlengkap Ibadah Muslim “Sehari-Hari.”
Laksana.
Hikmah, N. (2022). Kecerdasan akal dan kalbu dalam Islam. Yayasan Bait Qur’any
At-Tafkir.
Kadun, M., & Zaly, N. W. (2020). Gambaran Praktek Ibadah Sholat Pasien Yang
Dirawat Dirumah Sakit X. Journal of Islamic Nursing, 5(1), 48.
https://doi.org/10.24252/join.v5i1.10843
Khoirunnisa, R. (2015). Panduan Shalat Untuk Wanita. Lembar Pustaka Indonesia.
Ningsih, Y. F. (2021). Fiqih Ibadah. Media Sains Indonesia.
Syafril, M. (2019). Tuntunan Shalat Lengkap + Terjemah Perkata Bacan Shalat.
Qultum Media.
Syahida, D. (2016). Berbagai Langkah dan Keuntungan Sampingan dari Ibadah
Thaharah. 4, 1–12.
Tullah, R., Ramdhan, S., & Mubarok, S. (2018). Penerapan Media Pembelajaran
Interaktif Belajar Bersuci Untuk Siswa Paud Al-Mubarok. Jurnal Sisfotek
Global, 8(1), 2–6. https://doi.org/10.38101/sisfotek.v8i1.180

22

Anda mungkin juga menyukai