Anda di halaman 1dari 18

PRINSIP-PRINSIP LEGAL ETIK PADA PENGAMBILAN

KEPUTUSAN DALAM KONTEK KEPERAWATAN :


PENGAMBILAN KEPUTUSAN LEGAL ETIS

DISUSUN OLEH :

1. Dewa Ayu Made Nova Dwigita Andini (1914201068)


2. I Gusti Ayu Rekha Yohana Dewi (1914201075)
3. I Putu Eka Ferdy Saputra (1914201078)
4. Ni Wayan Sri Witarini (1914201120)

Progam Studi Sarjana Keperawatan

Tahun Ajran 2019/2020

Denpasar Bali
Kata Pengantar

Om Swastyastu

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang
Widhi Wasa karena berkat Beliau kami dapat menyelesaikan tugas Makalah kami yang
berjudul “ Prinsip-prinsip legal etik pada pengambilan keputusan dalam kontek keperawatan :
pengambilan keputusan legal etis.” dengan tepat waktu.

Makalah ini kami buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah kami yaitu KDK
(Konsep Dasar Keperawatan).

Kami juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam
menyusun Makalah ini, sehingga Makalah ini dapat kami buat dengan baik, diantaranya kami
berterimakasih kepada:

1. Rektor Itekes Bali Bapak I Gede Putu Darma Suyasa, S.Kp.,M.Ng.,Ph.D


2. Kaprodi Sarjan Keperawatan Ibu A.A.A Yuliati Darmini, S.Kep.,Ns.,MNS
3. Koordinator Mata Ajar KDK Ibu Ns. Putu Inge Ruth Suantika, S.Kep.,M.Kep
4. Beserta seluruh Dosen pengampu mata ajar KDK diantaranya
- Ibu A.A.A Yuliati Darmini, S.Kep.,Ns.,MNS
- Ns.Ni Putu Ayu J.S.,S.Kep.,M.Kep
- I Komang Satria Wibawa, SH.,MH

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
mungkin masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya, tetapi kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi.

Om Santih Santih Santih Om

Denpasar, 6 september 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................I
DAFTAR ISI............................................................................................................................II
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.....................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
2.1 PENGERTIAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN LEGAL ETIS....................................................3
2.2 TEORI DASAR PEMBUATAN KEPUTUSAN..........................................................................3
1. Teleologi.....................................................................................................................4
2. Deontologi (Formalisme)...........................................................................................4
2.3 TAHAP – TAHAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN..................................................................9
2.4 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS DALAM PRAKTIK
KEPERAWATAN.......................................................................................................................9
1. Faktor agama dan adat istiadat.................................................................................9
2. Faktor sosial.............................................................................................................10
4. Faktor Legislasi dan keputusan yuridis...................................................................10
5. Factor dana atau keuangan.....................................................................................11
6. Factor pekerjaan atau posisi klien atau perawat....................................................12
7. Faktor kode etik keperawatan..................................................................................13
BAB III....................................................................................................................................14
PENUTUP...............................................................................................................................14
3.1 KESIMPULAN.............................................................................................................14
3.2 SARAN............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sistem perawatan kesehatan berubah dengan cepat. Perawat jaman sekarang


berhadapan dengan perawatan klien yang mengharapkan asuhan keperawatan yang
berkualitas dan mengharapkan perawatan profesional sebagai penyedia perawatan
kesehatan terdidik dengan baik.
Pelayanan keperawatan mempunyai peranan penting dalam menentukan
keberhasilan pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Salah satu faktor yang mendukung
keyakinan diatas adalah kenyataan yang dapat dilihat di unit pelayanan kesehatan seperti
di rumah sakit, di mana tenaga yang selama 24 jam harus berada di sisi pasien adalah
tenaga perawatan. Namun sangat disayangkan bahwa pelayanan keperawatan pada saat
ini masih jauh dari apa yang diharapkan. Keadaan ini bukan saja disebabkan oleh
terbatasnya jumlah tenaga keperawatan yang kita miliki, tetapi terutama dikarenakan oleh
terbatasnya kemampuan profesional yang dimiliki oleh sebagian besar jenis tenaga ini.
Proses keperawatan merupakan suatu jawaban untuk pemecahan masalah dalam
keperawatan, karena proses keperawatan merupakan metode ilmiah yang digunakan
secara sistematis dan menggunakan konsep dan prinsip ilmiah yang digunakan secara
sistematis dalam mencapai diagnosa masalah kesehatan pasien, merumuskan tujuan yang
ingin dicapai, menentukan tindakan dan mengevaluasi mutu serta hasil asuhan
keperawata.
Pendekatan sistem dapat didefinisikan untuk memandang sesuatu sebagai suatu
sistem yang terdiri dari unsur-unsur, komponen-komponen, elemen-elemen atau unit-unit
yang saling berhubungan, saling berinteraksi, saling tergantung dalam mencapai tujuan.
Pendekatan sistem meliputi cara berpikir tentang fenomena secara keseluruhan, metode
atau teknik dalam memecahkan masalah atau pengambilan keputusan (kesadaran adanya
masalah karena berbagai faktor.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Pengambilan Keputusan Legal Etis?
2. Apa yang dimaksud dengan Teori Dasar Pembuatan Keputusan?

1
3. Apa saja Tahap – Tahap Pengambilan Keputusan?
4. Apa saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Etis Dalam
Praktik Keperawatan?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Pengambilan Keputusan Legal Etis
2. Mengetahui pengertian dari Teori Dasar Pembuatan Keputusan
3. Mengetahui apa saja Tahap – Tahap Pengambilan Keputusan
4. Mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Etis Dalam
Praktik Keperawatan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pengambilan Keputusan Legal Etis


Pengambilan keputusan legal etik adalah cara mengambil keputusan dari suatu
permasalahan yang disesuaikan dengan keabsahan suatu tata cara pengambilan
keputusan baik secara umum ataupun secara khusus. Membuat keputusan bukanlah hal
yang mudah, tetapi merupakan suatu tantangan bagi seorang manajer. Dalam era global
dan serba cepat ini, langkah untuk mengambil keputusan harus cepat dan tepat pula.
Pengambilan keputusan adalah tugas terpenting dari semua tugas yang
membentuk fungsi kepemimpinan manajerial. Sebelum mengambil suatu keputusan,
diperlukan informasi-informasi pendukung, misalnya informasi mengenai:
 Laporan anggaran
 Laporan sensus pasien

 Catatan medis

 Catatan personil pegawai

 Laporan jumlah waktu sakit pegawai, dan

 Waktu libur

Pengambilan keputusan adalah proses kognitif yang tidak tergesa-gesa. Suatu


rangkaian tahapan yang dianalisis, diperlukan, dan dipadukan, hingga dihasilkanlah
ketepatan serta ketelitian dalam menyelesaikan masalah.

2.2 Teori Dasar Pembuatan Keputusan


Teori dasar atau prinsip etika merupakan penuntun untuk membuat keputusan etik
praktik profesiona (Fry,1991). Teori etik digunakan dalam pembuatan keputusan bila
terjadi konfik antara prinsip dan aturan. Ahl filsafat moral telah mengembangkan
beberapa teori etik, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi teori teleologi
dan deontologi.

3
1. Teleologi

Teleologi (berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Telos”, berarti akhir). Istilah
teleologi merupakan suatu doktrin yang menjelaskan fenomena berdasarkan akibat
yang dihasilkan atau konsekuensi yang dapat berdasarkan akibat yang dihasilkan atau
konsekuensi yang dapat terjadi. Pendekatan ini sering disebut dengan ungkapan the
end justifes the means atau makna dari suatu tindakan ditentukan oleh akhir yang
terjadi. Teori ini menekankan pada pencapaian hasil akhir yang terjadi. Pencapaian
hasil dengan kebaikan maksimal dan ketidakbaikan sekecil mungkin bagi manusia
(Kelly,1987). Teori teleologi atau utilitarianisme dapat dibedakan menjadi rue
utilitarianisme atau act utilitarianisme.

a. Rule utilitarianisme berprinsip bahwa manfaat atau nilai suatu tindakan


bergantung pada sejauh mana tindakan tersebut memberikan kebaikan atau
kebahagiaan kepada manusia.
b. Act utilitarianisme bersifat lebih terbatas; tidak melibatkan aturan umu, tetapi
berupaya menjelaskan apda suatu situasi tertentu pertimbangan terhadap
tindakan apa yang dapat memberikan kebaikan sebanyak-banyaknya atau
ketidakbaikan sekecilnya pada individu.

Contoh penerapan teori ini: banyak yang lahir cacat lebih baik diizinkan
meninggal daripada nantinya menjadi beban masyarakat.

2. Deontologi (Formalisme)

Deontologi (berasal dari bahasa Yunani, deon, berarti tugas) berprinsip pada
aksi atau tindakan dan menekankan pada nilai moralnya serta tindakan secara moral
benar atau salah prinsip moral atau yang terkait dengan tugasnya harus bersifat
universal dan tidak kondisional. Contoh penerapan deontologi adalah seorang perawat
yang yakin bahwa klien harus diberi tahu tentang yang sebenarnya terjadi walaupun
kenyataaan tersbut sangat menyakitkan. Contoh lain: seorang perawat menolak
membantu pelaksanaan abortus karena keyakinan agamanya yang melarang tindakan
4
membunuh. Dalam menggunakan pendekatan teori ini, perawat tidak menggunakan
pertimbangan, misalnya tindakan abortus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa
ibunya karena setiap tindakan yang mengakhiri hidup ( dalam hal ini calon bayi)
merupakan tindakan buruk secara moral. Secara lebih luas, teori deontologi
dikembangkan menjadi lima prinsip yaitu kemurahan hati, keadilan, otonomi,
kejujuran dan ketaatan (Fry, 1991).

1. Kemurahan hati

Inti dari prinsip kemurahan hati (benefience) adalah tanggung jawab untuk
melakukan kebaikan yang menguntungkan klien dan menghindari perbuatan yang
merugikan atau membahayakan klien. Prinsip ini sering kali sulit diterapkan dalam
praktik keperawatan.

Contoh 1: perawat menasihati klien tentang program latihan untuk


memperbaiki kesehatan secara umum, tetapi tidak seharusnya melakukan apabila
klien dalam keadaan risiko serangan jantung.

Contoh 2: seorang klien mempunyai kepercayaan bahwa pemberian transfusi


darah bertentangan dengan keyakinannya, mengalami perdarahan hebat akibat
penyakit hati yang kronis. Sebelum kondisi klien bertambah berat, klien sudah
memberikan pernyataan tertulis kepada dokter bahwa ia tidak mau dilakukan tranfusi
darah. Pada suatu saat, kondisi klien bertambah buruk maka terjadi perdarahan hebat
dan dokter menginstruksikan untuk memberikan tranfusi darah. Dalam hal ini,
akhirnya tranfusi darah tidak diberikan karena prinsip beneficience. Walaupun
sebenarnya pada saat yang bersamaan terjadi penyalahgunaan prinsip maleficience.

Dengan majunya ilmu teknologi, konflik yang terjadi semakin tinggi. Untuk
itu, perlu diterapkan sistem klarifikasi nilai-nilai, yaitu suatu proses ketika individu
memperoleh jawaban terhadap beberapa situasi melalui proses pengembangan nilai
individu. Menurut Megan (1989), proses penilaian mencakup tujuh proses yang
ditempatkan ke dalam tiga kelompok, yaitu:

1) Menghargai
a) Menjunjung dan menghargai keyakinan dan perilaku seseorang

5
b) Menegaskan di depan umum bila diperlukan.
2) Memilih
a) Memilih dari berbagai alternatif
b) Memilih setelah mempertimbangkan konsekuensinya
c) Memilih secara bebas
3) Bertindak
a) Bertindak
b) Bertindak sesuai dengan pola, konsistesi dan repetisi (mengulang yang
telah disepakati)

Dengan menggunakan ketujuh langkah tersebut ke dalam klasifikasi nilai,


perawat dapat menjelaskan nilai mereka sendiri dan dapat mempertinggi pertumbuhan
pribadinya. Langkah di atas dapat diterapkan pada situasi klien, misalnya perawat
dapat membantu klien mengidentifikasi bidang konflik, memilih dan menentukan
berbagai alternatif, menetapkan tujuan dan melakukan tindakan.

2. Keadilan

Prinsip dari keadilan (justice) menurut Beuachamp dan Childress adalah


mereka yang sederajat harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat
diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini berarti
bahwa kebutuhan kesehatan mereka yang sederajat harus menerima sumber pelayanan
kesehatan dalam jumah sebanding. Ketika seorang mempunyai kebutuhan kesehatan
yang besar maka menurut prinsip ini, ia harus mendapatkan sumber kesehatan yang
besar pula. Kegiatan alokasi dan distribusi sumber ini memungkinkan dicapainya
keadilan dalam pembagian sumber asuhan keperawatan kepada klien secara adil
sesuai kebutuhan.

Contoh: seorang perawat sedang bertugas sendiri di suatu unit rumah sakit,
kemudian ada seorang klien baru masuk bersamaan dengan klien yang memerlukan
bantuan perawat tersebut. agar perawat tidak menghindar dari satu klien ke klien yang
lainnya maka perawat seharusnya dapat mempertimbangkan faktor dalam situasi
tersebut, kemudian bertindakan berdasarkan pada prinsip keadilan.

3. Otonomi

6
Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan
untuk menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka pilih
(Veatch dan Fry, 1987). Masalah yang muncul dari penerapan prinsip adalah adanya
variasi mempunyai otonomi klien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat
kesadaran, usia, penyakit, lingkungan rumah sakit, ekonomi, tersedianya informasi,
dan lainnya. 

4. Kejujuran

Prinsip kejujuran (veracity) menurut  Veatch dan Fry (1987) didefinisikan


sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Kejujuran  harus dimiliki
perawat saat berhubungan dengan klien. Kejujuran merupakan dasar terbinanya
hubungan saling percaya antara perawat-klien. Perawat sering tidak memberitahukan
kejadian sebenarnya pada klien yang sakit parah. Namun, penelitian pada klien dalam
keadaan terminal menjelaskan bahwa klien ingin diberi tahu tentang kondisinya
secara jujur (Veatch,1978).

Contoh: Ny. M, seorang wanita lansia usia 68 tahun, dirawat di rumah sakit
dengan berbagai macam fraktur karena kecelakaan mobil, suaminya yang juga ada
dalam kecelakaan tersebut masuk ke rumah sakit yang sama dan meninggal. Ny. M
bertanya berkali-kali kepada perawat tentang keadaan suaminya. Dokter ahli bedah
berpesan kepada perawatnya untuk tidak mengatakan kematian suami Ny. M kepada
Ny. M. Perawat tidak diberi alasan apapun untuk petunjuk tersebut dan menyatakan
keprihatiannya kepada perawat kepala ruangan, yang mengatakan bahwa instruksi
dokter harus diikuti. Dalam contoh tersebut, data dasar meliputi:

1)      Orang-orang yang terlibat: klien (memperhatikan kesejahteraan suami), suami


(almarhum), dokter ahli bedah, perawat kepala ruangan, dan perawat yang
bersangkutan.

2)      Tindakan yang diusulkan: masalah tidak diketahui klien, memungkinkan untuk
melindungi Ny. M dari trauma psikologis, perasaan bersalah yang berlebih, dan
sebagai akibatnya akan terjadi kemunduran kondisi fisiknya.

7
3)      Konsekuensi dari tindakan yang diusulkan: apabila informasi ditahan atau tidak
disampaikan, klien mungkin menjadi semakin cemas dan marah, serta mungkin
menolak untuk bekerja sama dalam asuhan sehingga akan menunda pemulihan
kesehatan.

Untuk mengidentifikasi konflik tersebut:

1)      Perlu jujur kepada Ny. M, berarti tidak loyal terhadap dokter ahli bedah dan
perawat kepala ruangan.

2)      Perlu loyal terhadap dokter ahli bedah dan perawat kepala ruangan tanpa tidak
jujur terhadap Ny. M

3)      Konflik tentang pengaruh pada kesehatan Ny. M apabila diinformasikan atau
apabila tidak diinformasikan

5. Ketaatan

Prinsip ketaatan (fidelity) didefinisikan oleh Veatch dan Fry sebagai tanggung
jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks
hubungan perawat-klien meliputi tanggung menjaga janji, mempertahankan
konfidensi, dan memberikan perhatian/ kepedulian. Dalam hubungan antara manusia,
individu cenderung tetap menempati janji dan tidak melanggar,  kecuali ada alasan
demi kebaikan.

Pelanggaran terhadap konfidensi merupakan hal yang serupa, terutama bila


pelanggaran tersebut merupakan pilihan tindakan yang lebih baik daripada jika tidak
dilanggar. Kesetiaan perawat terhadap janji tersebut mungkin tidak mengurangi
penyakit atau mencegah kematian, tetapi akan memengaruhi kehidupan klien serta
kualitas kehidupannya. Salah satu cara untuk menerapkan prinsip dalam menepati
janji adalah dengan memasukan ketaatan dalam tanggung jawab. Untuk mewujudkan
hal ini, perawat harus selektif dalam mempertimbangkan informasi apa yang perlu
dijaga konfidensinya dan mengetahui waktu yang tepat untuk menepati janji sesuai
hubungan dengan perawat-klien.

8
Peduli kepada klien merupakan salah satu aspek dari prinsip ketaatan. Peduli
kepada klien merupakan komponen paling penting dari praktik keperawatan, terutama
pada klien dalam keadaan terminal (Fry [1991]), dikutip dari Fleming, Scantion dan
D’Agostino 1987; Larson 1986; Mayer, 1987). Rasa kepedulian perawat diwujudkan
dalam memberi perawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik kepada klien,
memberikan kenyamanan, dan menunjukkan kemampuan profesional.

2.3 Tahap – Tahap Pengambilan Keputusan

1. Mengidentifikasi masalah.
2.      Mengumpulkan data masalah.
3.      Mengidentifikasi semua pilihan/ alternative
4.      Memikirkan masalah etis secara berkesinambungan.
5.      Membuat keputusan
6.      Melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil evaluasi tindakan. 

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Etis Dalam Praktik


Keperawatan
1. Faktor agama dan adat istiadat
Agama serta latar belakang adat istidatat merupakan faktor utama dalam
keputusan etis. Setiap perawat disarankan memahami nilai nilai yang diyakini
maupun kaidah agama yang dianutnya. Faktor adat istiadat yang dimiliki perawat atau
pasien sangat berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis.

Contoh masalah praktik adat istiadat bisa diperhatikan berikut ini. Dalam budaya
Jawa dan daerah lain dikenal falsafah tradisional “Mangan ora mangan anggere
kumpul” (Makan tidak makan asalkan tetap bersama). Falsafah ini sampai sekarang
masih banyak memengaruhi sistem kekerabatan orang Jawa. Bila ada anggota
keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit, biasanya ada salah satu keluarga yang
ingin selalu menungguinya. Ini berbeda dengan sistem kekerabatan orang Barat yang
bila ada anggota keluarga yang sakit maka sepenuhnya diserahkan kepada perawat
dalam keperawatan sehari-hari. Setiap rumah sakit di Indonesia mempunyai aturan
menunggu dan persyaratan klien yang boleh ditunggu. Namun, hal ini sering tidak
dihiraukan oleh keluarga pasien, misalkan dengan alasan rumaj jauh, klien tidak

9
tenang bila tidak ditunggu keluarga, dan lain-lain. Ini sering menimbulkan masalah
etis bagi perawat antara membolehkan dan tidak membolehkan.

2. Faktor sosial
Berbagai faktor sosial berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis. Faktor
ini antara lain meliputi perilaku sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi,
hukum dan peraturah perundang-undangan (Ellis, Hartley,1980). Perkembangan
sosial budaya berpengaruh terhadap sistem kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan
yang tadinya berorientasi pada program medis lambat laun menjadi pelayanan
komprehensif dengan pedekatan tim kesehatan. Sebagai contoh dapat dilihat pada
kasus dibawah ini:

Seorang klien yang menderita penyakit kronis dan dirawat dirumah sakit, sudah
beberapa bulan dalam keadaan lemah. Oleh karena itu, pasien atau kelaurganya
mungkin memilih untuk membawa klien pulang agar dapat dipersiapkan agar
meninggal dunia dengan tenang. Selain dengan pertimbangan faktor biaya, adat, hal
ini juga karena adanya anggapan atau nilai di masyarakat bahwa “orang yang etikanya
tidak baik selama hidup maka sulit meninggal dunia,” klien kemudian dibawa
pulang ,atas permintaan sendiri (APS). Beberapa hari kemudian klien tersebut
meninggal dunia.Contoh tersebut dapat terjadi karena mahalnya biaya pengobatan di
rumah sakit sedangkan sebagian besar penduduk tidak mempunyai asuransi
kesehatan.

3. Fator IPTEK
Pada era abad 20, manusia telah berhasil mencapai tingkat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang meliputi berbagai bidang. Salah satunya kemajuan di
bidang kesehatan telah mampu meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang
usia manusia dengan ditemukannya berbagai mesin mekanik kesehatan, cara prosedur
baru, dan bahan atau obatan baru. Misalnya, klien dengan gangguan ginjal yang dapat
diperpanjang usianya berkat adanya mesin hemodialisa.

4. Faktor Legislasi dan keputusan yuridis


Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling berkaitan. Setiap
perubahan sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya suatu tindakan yang
merupakan reaksi perubahan tersebut. legislasi merupakan jaminan tindakan menurut
10
hukum sehingga orang yang bertindak sesuai hukum dapat menimbukan suatu konfilk
(Ellis, Hartley, 1990).

Saat ini aspek legislasi dan bentuk keputusan yuridis tentang masalah etika
kesehatan sedang menjadi topik yang banyak diicarakan. Hukum kesehatan telah
menjadi suatu bidang ilmu dan perundang-undangan baru yang banyak disusun untuk
menyempurnakan perundang-undangan lama atau untuk mengantisipasi
perkembangan masalah hukum kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang
praktik keperawatan dan keputusan menteri kesehatan yang mengatur registrasi dan
praktik perawat.

5. Factor dana atau keuangan


Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, pemerintah telah banyak
berupaya dengan mengadakan berbagai program yang dibiayai pemerintah. Walaupun
pemerintah telah mengalokasiikan dana yang besar untuk pembangunan kesehatan,
dana ini belum seluruhnya dapat mengatasi berbagai masalah kesehatan sehingga
partisipasi swasta dan masyarakat banyak digalakkan.

Perawatan sebagai tenaga kesehatan yang setiap hari menghadapi klien, sering
menerima keluhan klien mengenai pendanaan. Dalam daftar kategori diagnosis
keperawatan tidak ada pernyataan yang menyatkan ketidakcukupan dana, tetapi hal ini
dapat menjadi etiologi bagi berbagai diagnosis keperawatan, antara lain ansietas dan
ketidakpatuhan. Masalah ketidakcukupan dana dapat menimbulkan konflik terutama
bila tidak dapat dipecahkan. Contoh dapat dilihat pada masalah berikut:

Ny, Karlina dirawat di unit rawat inap penyakit dalam dengan masalah diabetes
melitus. Setelah selama tiga minggu, Ny Karlina diperbolehkan pulang. Ny Karlina
menjadi gelisah dan tidak dapat tidur setelah mengetahui perincian biaya rawat yang
cukup tinggi. Ia tidak mempunyai uang yang cukup dan menyuruh anaknya yang
sering nengok untuk pulang mencari dana.

Diana, seorang mahasiswa akademi keperawatan yang diberi tugas praktis merawat
Ny Karlina. Ia mendapat banyak keluhan dari Ny Karlina dan pada pendataan terakhir
Ny Karlina menyatkan “Anak saya sedang saya suruh pulang cari uang pinjaman.
Sebenarnya saya sudah boleh pulang tiga hari yang lalu, tetapi bingung karena sampai

11
saat ini dia belum datang padahal saya tidak boleh meninggalkan rumah sakit sebelum
melunasi biaya mondok.” Diana mengetahui ansietas Ny Karlina, namun ia tidak
mengetahui tindakan apa yang paling tepat untuk klien ini dan sejauh mana
kewenangan perawat dalam pembuatan keputusan terhadap masalah ini. Akhirnya, ia
hanya menganggukkan kepala dan menyarankan Ny Karlina untuk bersabar.

6. Factor pekerjaan atau posisi klien atau perawat


Dalam pembuatan suatu keputusan, perawat perlu mempertimbangkan posisi
pekerjaannya. Sebagian besar perawat bukan merupakan tenaga yang praktik sendiri,
tetapi bekerja di rumah sakit, dokter praktik swasta atau institusi kesehatan lainnya.
Tidak semua keputusan pribadi perawat dapat dilaksanakan; namun harus disesuaikan
dengan keputusan atau aturan tempat ia bekerja. Perawat yang mengutamakan
kepentingan pribadi sering mendapat sorotan sebagai perawat pembangkang. Sebagai
konsekuensinya, ia dapat mendapat sanksi administrasi atau mungkin kehilangan
pekerjaan. Contoh dapat dilihat pada masalah berikut.

DH, seorang perawat baru yang ditempatkan di suatu rumah sakit di unit perawatan
bedah. Setelah bekerja selama tiga bulan, ia berpendapat bahwa kesejahteraan perawat
yang menyangkut keselamatan kerja kurang dijamin oleh rumah sakit. Persediaan
peralatan habis pakai, misalnya kapas, kasa steril, dan sarung tangan pada unit bedah
tersebut sangat terbatas sehingga para perawat dalam bekerja mengalami kesulitan
dalam menjaga teknik septik. Mereka terpaksa harus sering bersinggungan langsung
dengan lokasi operasi ataupun darah klien sehingga kemungkinan terjadi infeksi lewat
kontak luka atau darah bagi perawat cukup besar. Tahun sebelumnya terdapat sekitar
25% klien pascaoperasi mengalami infeksi pada luka operasi dan dalam hal ini,
perawat dituduh kurang dapat menjaga teknik aseptik. DH mendiskusikan hal ini
dengan perawat yang akhirnya mengajukan usulan agar persediaan peralatan sekali
pakai ditingkat menjadi sekitar 400%. Pihak rumah sakit menolak dengan alasan tidak
ada dana. DH kemudian mempelajari alokasi dana rumah sakit. Ia mendapatkan data
bahwa sebagian besar pemasukan biaya operator, sedangkan jawa perawat yang
merawat sama sekali tidak ada. DH mengusulkan agar jasa operator
dikurangisehingga dapat digunakan untuk meningkatkan persediaan peralatan habis
pakai. Pihak rumah sakit dan para operator tersinggung dan mengecam DH sebagai

12
perawat yang tidak sopan. Akhirnya muncul keputusan baru bahwa DH dipindahkan
dari unit rawat bedah ke unit lain.

7. Faktor kode etik keperawatan


Kode etik merupakan salah satu ciri atau persyaratan profesi, memberikan arti
penting dalam penentuan, pemertahanan dan peningkatan standar profesi. Kode etik
menunjukan bahwa tanggung jawab dan kepercayaan dari masyarakat telah diterima
oleh profesi (Kelly,1987). Apabila seorang anggota melanggar kode etik profesi,
maka organisasi profesi dapat memberi sanksi atau mengeluarkan anggota tersebut.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dilema etik sering terjadi dalam praktik keperawatan, dan akan menjadi pelik
ketika dalam upaya pengambilan keputusan terdapat prinsip-prinsip etik yang
bertentangan. Sebagai tenaga profesional terkadang perawat berada pada posisi yang
sulit untuk memutuskan dikarenakan alternatif pilihan keputusan yang sama-sama
memiliki nilai  positif dan negatif. Terkadang, pada saat berhadapan dengan kondisi
dilema etis dan dituntut untuk mengambil keputusan membawa dampak emosional
bagi perawat itu sendiri. Sperti perasaan frustasi, marah, bingung. Oleh karena itu
keputusan etis tidak dapat diputuskan secara pribadi oleh perawat, namun
membutuhkan komunikasi dan  pertimbangan dari orang lain.

Dalam setiap putusan tindakan keperawatan perawat harus melibatkan pasien


atau keluarga. Putusan yang diambil harus melalui proses analisa dan berdasarkan
prinsip etik yang berlaku. Keputusan etik yang diambil adalah bersifat situasional,
dalam arti hal ini berkenaan dengan tujuan dan kondisi dari kasus itu sendiri. Dalam
suatu keputusan etis suatu keputusan diambil berdasarkan kebutuhan pasien dan tidak
merugikan pasien. Keputusan etis dibuat berdasarkan kesepakatan antara pasien dan
perawat.

3.2 Saran
Oleh karena itu sebagai perawat harus mampu meyakinkan pasien bahwa
keputusan etis yang diambil adalah berdasarkan analisa dan pertimbangan yang
matang. Kesepakatan persetujuan antara pasien dan perawat tentang keputusan
tindakan tersebut dapat berupa informed consent, baik informed consent yang tertulis
maupun yang tidak tertulis sehingga terdapat bukti yang kuat bahwa keputusan etik
tersebut diambil berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam setiap pengambilan
keputusan etis peran perawat adalah sebagai konselor dan advokator. Artinya perawat
harus memberikan informasi tentang kondisi dan situasi yang terjadi, dan melibatkan
pasien dan keluarga dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai advokat, berarti
perawat melindungi hak pasien untuk mendapatkan perawatan yang menguntungkan
dan tidak merugikan pasiennya

14
DAFTAR PUSTAKA

Pengarang : Robert Priharjo, Pengantar Etika Keperawatan, KANISIUS.

Pengarang : Rudi Haryono, S. Kep., Ns., Etika Keperawatan Dengan Pendekatan Praktis,
Gosyen Publishing.

Pengarang : HJ. Masruro Hasyim, S.Kep., NS., M.Kes. dan Joko Prasetyo, S.Kep., M.Kep.,
Etika Keperawatan, Bangkit.

https://septimarganda.wordpress.com/2013/01/09/pengambilan-keputusan-legal-etis/

https://ithinkeducation.wordpress.com/2014/04/28/teori-pembuatan-keputusan-secara-etis-
ethical-decision-making-theory/

15

Anda mungkin juga menyukai