Anda di halaman 1dari 52

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TETANUS


MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Dosen Pengajar : Kusniawati, S. Kep, Ners, M. Kep

Disusun Oleh :

TINGKAT III B DIII KEPERAWATAN/ SEMESTER V

Kelompok 6

1. Friska Namira NIM P27901117055


2. M. Rifky Kusuma Hadi NIM P27901117064
3. Ria Yuniati NIM P27901117075

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN

JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG

PRODI DIII KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah Manajemen Keperawatan dengan judul “Asuhan
Keperawatan Klien dengan Tetanus” dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menuntut ilmu. Kami
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Kusniawati, S. Kep, Ners, M. Kep., selaku Dosen Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah II.
2. Teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga ke depannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 15 Juli 2019

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORI .......................................................................... 3
A. Konsep Penyakit Tetanus ......................................................................... 3
1. Pengertian Tetanus ............................................................................. 3
2. Etiologi Tetanus ................................................................................. 4
3. Patofisiologi Tetanus .......................................................................... 5
4. Manifestasi Klinis Tetanus. .................................................................. 5
5. Klasifikasi Tetanus .............................................................................. 6
6. Pemeriksaan penunjang pada Klien dengan penyakit Tetanus ............ 10
7. Penatalaksanaan pada Klien dengan penyakit Tetanus ...................... 11
8. Komplikasi pada Tetanus ................................................................... 12
B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Tetanus ............................................ 13
1. Pengkajian .......................................................................................... 13
2. Analisa Data ....................................................................................... 19
3. Rencana Keperawatan ....................................................................... 19
BAB III GAMBARAN KASUS .................................................................... 25
A. Pengkajian ............................................................................................... 25
B. Analisa Data ............................................................................................. 29
C. Diagnosa Keperawatan ............................................................................ 29
D. Intervensi ................................................................................................. 31
E. Implementasi ............................................................................................ 35
F. Evaluasi .................................................................................................... 45
BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 47
A. Kesimpulan ............................................................................................. 47
B. Saran ........................................................................................................ 47

ii
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... iv

iii
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, J.B. Suharyo, dkk. 2010. Vaksinasi : Cara Ampuh Cegah Penyakit
Infeksi. Yogyakarta : Kanisius

Hendarwanto. 2001. llmu Penyakit Dalam, jilid 1. Balai Penerbit FK UI: Jakarta

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 3. Jogjakarta:
MediAction.

Rampengan, Novie H dkk. 2012.”Profil Kasus Tetanus Anak di RS Prof. Dr. R.D
Kandou Manado”.diakses tanggal 13 Juli 2019 pukul 16.30.

Ritarwan, Kiking. 2004.”TETANUS”. (library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-


kiking2.pdf.diakses tanggal 13 Juli 2019 pukul 15.40).

Sumarmo, SPS dkk. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis: Tetanus Edisi
2. Jakarta: IDAI.

Baticaca, Fransisca B. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium
tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman.Tetanus adalah
penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai
gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani.

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan
cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah
yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah
peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat
bertebaran di mana-mana.

Kuman C. tetani tersebar luas ditanah, terutama tanah garapan, dan dijumpai pula
pada tinja manusia dan hewan. Perawatan luka yang kurang baik di samping
penggunaan jarum suntik yang tidak steril (misalnya pada pecandu
narkotik).merupakan beberapa faktor yang sering dijumpai sebagai pencetus
tirribulnya tetanus. Tetanus dapat menyerang semua golongan umur, mulai dari
bayi (tetanus neonatorum), dewasa muda (biasanya pecandu narkotik) sampai
orang-orang tua. Dari Program Nasional Surveillance Tetanus di Amerika serikat
diketahui rata-rata usia pasien tetanus dewasa berkisar antara 50-57 tahun.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada maka dapat dirumuskan masalah
dari makalah ini adalah :

1. Apakah definisi dari tetanus?


2. Apakah etiologi tetanus?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari tetanus ?

1
4. Bagaimanakah Manifestasi klinis dari tetanus?
5. Bagaimanakah klasifikasi dari klien dengan tetanus?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk klien dengan tetanus?
7. Bagaimana penatalaksanaan untuk klien dengan tetanus ?
8. Apa saja komplikasi dari tetanus ?
9. Bagaimana proses keperawatan untuk klien dengan tetanus ?

C. Tujuan Penulisan
Memahami asuhan keperawatan yang harus diberikan kepada klien dengan
tetanus.
1. Memahami definisi dari tetanus.
2. Mengetahui etiologi dari tetanus.
3. Mengetahui patofisiologi dari tetanus.
4. Memahami Manifestasi klinis dari tetanus.
5. Mengetahui klasifikasi dari klien dengan tetanus.
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus.
7. Mengetahui penatalaksanaan yang harus diberikan pada klien dengan
tetanus.
8. Mengetahui komplikasi dari tetanus.
9. Memahami proses keperawatan pada klien dengan tetanus.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. KONSEP PENYAKIT TETANUS


1. Pengertian

Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium
tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti
kekaukan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini tampak pada otor masester
dan otot-otot rangka (Hendarwanto cit Soeparman,1987).

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,
tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman
pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro
muscular (neuro muscular jungtion) dan saraf autonom. (Sumarmo,2002)

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi
yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani, yang ditandai dengan
gejala kekakuan dan kejang otot (Ritharwan,2004).

2. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Cloastridium Tetani. Bakteri ini
berspora dan dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada
manusia dan tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora
ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka
seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia
akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin (Novie, 2012).
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat anaerob,
membentuk spora (tahan panas), garam-positif, mengeluarkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksin (yang efeknya mengurangi aktivitas kendali SPP),
patogenesis bersimbiosis dengan mikroorganisme piogenik (pyogenic).

3
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang
dipupuk kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka
tusuk, luka dengan jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi
yang baik untuk poliferasi kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik di mana
bakteri piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi
anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus.

Sejarah tetanus diawali karena penyebab tetanus oleh neurotoksin yang kuat, yaitu
tetanospasmin yang dihasilkan sebagai protein protoplasmik oleh bentuk vegetatif
C. Pembentukan toksin ini dikendalikan oleh plasmid. Tetanospasmin dapat
terikat secara kuat pada gangliosida neural, dan tempat masuk yang terpenting
adalah ke susunan saraf yaitu myoneural junction pada neuron motorik alfa.
Toksin ini akan masuk dan menjalar ke dalam neuron dan tidak dapat lagi
dinetralkan. Tetanospasmin dibawa melalui transpor aksonal retograd ke
neuroaksis dan mulailah toksin tersebut akan bermigrasi secara transinaptik ke
neuron lainnya, akibat dari hal tersebut sel penghambat presinaptik pada
neuroaksis mencegah pelepasan transmiter. Karena tidak ada hambatan tersebut,
maka neuron motorik yang lebih bawah akan meningkatkan tonus otot sehingga
timbul kekakuan otot. Hal ini dapat memungkinkan timbulnya spasme otot agonis
secara simultan yang merupakan ciri khas terjadinya tetanus. Tetospasmin dapat
pula memudahkan kontraksi otot spontan pada tetanus yang berat tanpa potensial
aksi pada saraf eferen (Ritarwan K, 2004).

Tetanus merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh tetanospasmin, yaitu


sejenis neurotoksin atau racun yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Mycrobacterium ini berbentuk spora dan biasanya masuk ke dalam luka yang
terbuka, berkembangbiak secara anaerobik, dan akan membentuk toksin. Kuman
tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat,
khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan dalam air
mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan
selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat
hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakan
flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan

4
manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan
kemudian berkembang biak. Kuman tetanus tidak invasif, tetapi kuman ini
memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut
dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi
stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin
karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah (SPS Sumarmo dkk,
2008).

3. Patofisiologi

Clostridium tetani harus bersimbiosis dengan organisme piogenik. Basil tetanus


tetap berada di daerah luka dan berkembang biak sedangkan eksotoksinnya
beredar mengikuti sirkulasi darah sehingga terjadi toksemia (toksemia murni
tanpa disertai bakteremia maupun spesis).

Hipotesis cara bekerjanya toksin, yaitu pertama toksin diserap oleh ujung-ujung
saraf motorik dan mencapai sel-sel kornu anterior medula spinalis, melalui axis
silinder (kemudian menyebabkan kegiatan motorik seperti kejang). Kedua toksin
diangkut oleh aliran darah ke SPP, hal ini dapat dibuktikan dengan pemberian,
antitoksin tetanus (Antitetanic Serum-ATS) yang bereaksi dengan baik, ATS
bereaksi pada toksin yang hanya ada di darah.

4. Manifestasi Klinis
1. Masa inkubasi Clostridium tetani adalah 4-21 hari. Semakin lama masa
inkubasi, maka prognosisnya semakin baik. Masa inkubasi tergantung dari
jumlah bakteri, virulensi, dan jarak tempat masuknya kuman (port d’entre)
dengan SPP. Semakin dekat luka dengan SPP maka prognosisnya akan
semakin serius dan semakin jelek. Misalnya, luka ditelapak kaki dan leher
bila sama-sama terserang basil tetanus, yang lebih baik prognosisnya
adalah luka yang di kaki.

5
2. Timbulnya gejala biasanya mendadak, didahului dengan ketegangan otot
terutama pada rahang dang leher.
3. Sulit membuka mulut (trismus).
4. Kaku kuduk.
5. Badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam mengalami ekstensi,
lengan kaku dan mengepal.
6. Kejang tonik.
7. Kesadaran biasanya tetap baik.
8. Asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot, retensi urine bahkan dapat
terjadi fraktur kolumna vertebralis (pada anak) akibat kontraksi otot yang
sangat kuat.
9. Demam ringan (biasanya pada stadium akhir).
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian
tekanan cairan otak.

5. Klasifikasi
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Tetanus local : biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul
rebiditas dan spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat
menetap dalam beberapa minggu dan menghilang.
2. Tetanus general : yang merupakan bentuk paling sering, biasanya timbul
mendadak dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung daan
sakit kepala merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontraksi
otot somatic meluas. Timbul kejang tetanik bermacam grup otot,
menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada
mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan
terpisah oleh periode relaksasi.
3. Tetanus segal : varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2
hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling
menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf
otak VII diikuti tetanus umum.

6
Ada empat bentuk tetanus secara klinis, yaitu:

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus ini paling umum ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka
yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi
sekitar 7-21 hari tergantung jarak luka dengan susunan saraf pusat. Penyakit ini
memilki pola desendens, dengan tanda pertama berupa trismus yang diikuti
dengan kekauan leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen.
Gejala utama berupa trismus yang terjadi sekitar 75% kasus, dan seringkali
ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya
meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan
hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Spasme dapat terjadi
berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat terjadi
hingga 3-4 minggu.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal pada ektrmitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki
derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan
memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu
sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului
derajat tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan yaitu sekita 1%
dalam menyebabkan kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejalanya terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala lain dapat berupa gejala pada tetanus
lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memliki masa inkubasi 1 – 2
hari dan prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus, dan pada negara yang belum
berkembang telah menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab

7
yang sering adalah akibat dari penggunaan alat – alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekita 3
– 10 hari. Gejala pada neonatus ini biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI,
mulut mecucu, dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70% (SPS
Sumarmo dkk, 2008).

a. Klasifikasi beratnya tetanus oleh Albert : (Sudoyo Aru,dkk


2009)
1. Derajat I (ringan) : trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan
sampai sedang spastisitas general, tanpa gangguan pernapasan,
tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagsia.
2. Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang nampak
jelas, spasme ringan sampai sedang, gangguan pernapasan
sedang RR > 30x/menit, disfagsia ringan.
3. Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generaisata, spasme
reflek berkepanjangan, RR > 40x/menit, serangan apnea,
disfagsia berat, takikardia nadi > 120x/menit.
4. Derajat IV (sangat berat) : derajat tiga dengan gangguan otomik
berat melibatkan system kardiovaskuler. Hipotensi berat dan
takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,
salah satunya dapat menetap.
b. Penularan Tetanus di dalam Tubuh
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif yaitu Clostridium tetani
dan bakteri ini berspora. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan
dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh
pendertita tersebut lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin (Adams, et al. 1997). Clostridium tetani masuk ke dalam
tubuh manusia melalui luka, misalnya luka tusuk, luka robek, luka
tembak, luka bakar, luka gigit, luka suntikan, infeksi telinga, rahim
sesudah persalinan atau keguguran, pemotongan tali pusat yang tidak
steril (penyebab utama Tetanus neonatarum). (Cahyono, dkk, 2010).

8
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena
toksin mengganggu fungsi dari reflex synaptic di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin
oleh cerebral genglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomic Nervous
System (NS) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,
periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine
dalam urin Kerja dari tetanospasmin analog strychnine, di mana ia
mengintervensi fungsi dari arcus reflex yaitu dengan cara menekan
neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak. (Adams, et al.
1997). Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensyarafi otot
masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot
yang paling sensitive terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferent tidak hanyamenimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga
dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme
otot yang khas.
Terdapat dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu :
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu
silindrik dibawa ke kormu anterior susunan syaraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan syaraf pusat. (Gilroy, et
al. 1994) Toksin tetanospasmin menyebar dari saraf perifer secara
ascending bermigrasi secara sentripetal atau secara retrogard mencapai
CNS. Penjalaran terjadi di dalam axis silinder dari sarung parineural.
Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas
melalui darah (hematogen) dan jaringan / system limfatik (Adam, et al.
1997).

9
6. Pemeriksaan Penunjang
 Anamnesis
a. Lokasi luka.
b. Penyebab luka (pernah kena karat, jatuh, kecelakaan kendaraan
bermotor, dan jatuh di jalan dekat kotoran kuda, berkelahi dekat
kandang kuda, hobi yang berhubungan dengan kuda atau kotoran
kuda).
c. Luka sebelumnya (ada otitis media, karies gigi).
d. Pernah diberi ATS/Toxoid dan semacamnya.
 Amati gejala-gejala yang tampak (misalnya sakit saat menelan, sulit
bernapas, sulit atau tidak dapat berkemih, dan lainnya).
 Pemeriksaan laboratorium :
a. Biasanya terdapat leukositosis ringan.
b. Kadang-kadang terjadi peningkatan TIK.
c. Pada pemeriksaan bakteriologis (kultur jaringan) di daerah luka
ditemukan Clostridium tetani.
 EKG : interval Ctmemanjang karena segment ST. Bentuk takikardi
ventrikuler (Torsaderde pointters).
 Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1, 2-1,5 mmol/L atau lebih
rendah kadar fosfat dalam serum meningkat.
 Sinar X tulang tampak peningkatan dentitas foto rontgen pada jaringan
subkutan atau basas ganglia otak menunjukan klasifikasi.

Bentuk diagnosis klinis :

1. Tetanus lokal, baru dijumpai ketegangan di sekitar luka, menunjukkan


virulensi rendah, infeksi ringan, mikroorganisme piogenik sedikit, jumlah
bakteri sedikit.
2. Tetanus umum, didapatkan gejala-gejala umum tetanus.
3. Tetanus kepala, luka yang terdapat di kepala dan leher sangat berbahaya
seperti otitis media.

10
7. Penatalaksanaan Medis

1. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita). Jika
terjadi luka lagi, booster ulang.
b. Imunisasi pasif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat bertahan
7-10 hari). Pemberian imunisasi ini sering menyebabkan syok anafilaksis
sehingga harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Jika pada lokasi skin
test tidak terjadi kemerahan, gatal, dan pembengkakan maka imunisasi
dapat diinjeksikan, anak-anak diberikan setengah dosis (750-1250 UI).
HyperTet 250 UI dan dosis untuk anak-anak diberikan setengahnya (125
UI) bila tidak tahan ATS.
c. Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersihan luka) memakai Perhidrol®
(hidrogen peroksida-H2O2), debridemen, bilas dengan NaCl, dan jahit.
d. Injeksi penisilin (terhadap basil anaerob dan basil simbiosis).

2. Pengobatan Tetanus

Berdasarkan patogenesis, prinsip terapi ditujukan pada adanya toksin yang


beredar di sirkulasi darah dan adanya basil di tempat luka. Adanya stimulus yang
diterima saraf aferen dan adanya serabut motorik yang menimbulkan spasme dan
kejang (Kendarto, 2001).

3. Rincian Terapi

a. Untuk menetralisir toksin, berikan ATS secara IV 100.000-200.000 UI


atau HyperTet 3000-6000 UI.
b. Di sekitar luka berikan ATS 10.000 UI secara IM.
c. Setiap hari berikan ATS 10.000 UI secara IM di daerah gluteal sampai
gejala hilang.
d. Untuk membunuh basil di tempat luka, injeksikan penisilin 10-20 juta UI
secara IV.
e. Untuk mengurangi stimulus, isolasi klien di tempat tenang dan tertutup;
berikan obat-obat sedatif: Luminat®, Largaktil®, Lytiskoksiil®(campuran

11
Phenergan®, Phetidin/Luminal®, Largaktil® IV; untuk anak-anak obat-
obatan tersebut tidak boleh dicampur, karena terjadi koagulasi. Jadi
pemberian injeksi dilakukan secara terpisah.
f. Untuk menghilangkan gejala kejang, berikan muscle relaxan, injeksi
Valium® 10mg IV setiap hari sampai kejang hilang. Jika terjadi kejang
hebat, diberikan Kurare® untuk melumpuhkan otot-otot yang kejang.
g. Luka-luka terbuka pada tetanus boleh dilakukan debridemen satu jam
setelah seroterapi (suntikan ATS) dengan anastesi pentotal, dibersihkan
dengan Perhidrol®, luka tetap dibiarkan terbuka dan jangan dibalut agar
keadaan luka tetap aerob.
h. Oksigen, pernapasan buatan dan trachostomi bila perlu.
i. Isolasi untuk menghindaro rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita.
j. Pemberian makanan dengan NGT dengan diet cukup kalori dan protein.
k. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
l. Pasang kateter Dower.
Prognosis
1. Semakin lama masa inkubasi maka prognosisnya akan semakin baik.
2. Semakin dekat jarak luka dengan SPP maka masa inkubasinya akan
semakin cepat dan prognosisnya akan semakin buru.
3. Klien yang pernah mendapat ATS sebelumnya maka masa inkubasi
dapat lebih lama.
8. Komplikasi pada klien Tetanus

Berikut ini komplokasi-komplikasi tetanus menurut (Sudoyo Aru, dkk 2009)

Sistem Komplikasi
Jalan nafas  Aspirasi
 Laringospasme/obstruksi
 Obstruksi berkaitan dengan sedatif

Respirasi  Apnea
 Hipoksia

12
 Gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi,
pneumonia)
 Gagal nafas tipe 2 (spasme laryngeal, spasme
trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)
 ARDS
 Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan
(seperti pneumonia)
 Komplikasi bantuan trakeostomi (seperti stenosis
trakea)

Kardiovaskular  Takikardia, hipertensi, iskemia


 Hipotensi, bradikardia
 Takiaritmia, bradiaritmia
 Asistol
 Gagal jantung

Gastrointestinal  Statis gaster


 Ileus
 Diare
 Perdarahan

Lain-lain  Penurunan berat badan


 Tromboembolus
 Sepsis dengan gagal organ multipel
 Fraktur vertebra selama spasme
 Rupture tendon akibat spasme

13
B. KONSEP ASUHAN KEPERWATAN PADA TETANUS

A. Pengkajian
1. Identitas
Berisi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, alamat, pekerjaan,
nama penanggung jawab, umur penanggung jawab, hubungan dengan
penanggung jawab, dll.
2. Status Kesehatan saat ini
 Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien atau keluarga klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tentang penyakit yang diderita atau yang
dirasakan.
 Alasan masuk rumah sakit
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan
otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
koma (Muttaqin, 2008, p.221).
 Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Biasanya pasien
tetanus sering menimbulkan kejang, dan harus diberikan tindakan
untuk menurunkan keluhan kejang tersebut (Muttaqin, 2008, p.
221).
 Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam
misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka
menjadi kotor; karena terjatuh ditempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka
bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainnya

14
seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan
gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor (Muttaqin, 2008,
p. 222).
 Riwayat pengobatan
Biasanya pasien tetanus menggunakan obat-obatan diazepam
sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi
semua tingkatan system saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan
reticular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu
neurotransmitter inhibitori utama (Sudoyo, 2009, p. 2920).
 Riwayat Psikosoial
Psikososial pasien tetanus biasanya timbul ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Karena klien harus menjalani rawat
inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status
ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit (Muttaqin, 2008, p. 222).
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
 Kesadaran
Kesadaran klien biasanya composmentis, pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
monitoring pemberian asuhan (Muttaqin, 2008, p. 223).
 Tanda-tanda vital
-Tekanan darah : biasanya tekanan darah pada pasien tetanus
biasanya normal (Muttaqin, 2008, p. 222).
-Nadi : penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan perfusi
jaringan diotak (Muttaqin, 2008, p. 222).

15
-RR : frekuensi pernapasan pada pasien tetanus meningkat karena
berhubungan dengan penigkatan laju metabolisme umum
(Batticaca, 2012, p. 127).
- Suhu : pada pasien tetanus biasanya peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal 38-40ºC (Batticaca, 2012, p. 127).
b. Sistem tubuh
 Sistem pernapasan
Inspeksi apakah klien terdapat batuk, produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot pernapasan dan peningkatan frekuensi
pernapasan yang sering didapatkan pada klien tetanus yang disertai
adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi thorax
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
bunyi napas tambahan seperti ronchi pada klien dengan
peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun
(Muttaqin, 2008, p. 223).
 Sistem Kardiovaskuler
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan syok
hipovolemik yang sering terjadi pada klien tetanus. Tekanan darah
biasanya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena
hancurnya eritrosit (Muttaqin, Arif, 2012, p. 138).
 Sistem Persarafan
- Saraf I : biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman tidak ada kelainan.
- Saraf II : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
- Saraf III, IV, dan dengan alasan yang tidak diketahui, klien
tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat
stimulus rangsang cahaya perlu diperhatikan perawat untuk
memberikan intervensi menurunkan stimulasi cahaya tersebut.
- Saraf V : refleks masester meningkat. Mulut mecucu seperti
mulut ikan (ini adalah gejala khas dari tetanus.

16
- Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
- Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
- Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut (trismus).
- Saraf XI : didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang
dan leher (mendadak).
- Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
 Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi
pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
 Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, kejang
berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
 Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukam pada tendon, ligamentum,
atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
 Sistem sensorik
Pemerikaan sensorik pada tetanus biasanya didapatkan perasaan
raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal, tidak
ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseptif
normal dengan perasaan diskriminatif normal. (Muttaqin, 2008, p.
223).
 Sistem perkemihan
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine karena
kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya
pengeluaran urine dengan menggunakan cateter (Muttaqin, 2008,
p. 224).

17
 Sistem pencernaan
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun
karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut
papan) merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme otot
meyebabkan kesulitan BAB (Muttaqin, 2008, p. 224).
 Sistem integumen
Klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam
misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka
menjadi kotor; karena terjatuh ditempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka
bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainnya
seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan
gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor (Muttaqin, 2008,
p. 222).
 Sistem muskuloskeletal
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien
mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan porte de
entree kuman clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan
luka yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada fraktur
vertebra pada bayi, ketegangan dan spasme otot pada abdomen
(Muttaqin, 2008, p. 224).
 Sistem endokrin
Fungsi endokrin pada klien tetanus normal (Sudoyo, 2009, p.
2213).
 Sistem pengindraan
Sitem pengindraan pengecapan pada pasien tetanus normal dan
tidak ditemukan gangguan (Muttaqin, 2008, p. 223).

18
 Sistem imunitas
Kemampuan sistem imunitas akan berkurang dalam mengenali
toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya
antibodi yang dibentuk (Batticaca, 2012, p. 128).

B. Analisa Data
Setelah dianalisa dari data yang ada maka timbul beberapa masalah
keperawatan atau masalah kolaboratif diantaranya seperti :
a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot-otot pernafasan.
c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin
(bakterimia).
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kekakuan otot pengunyah .
e. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan
bicara
f. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan
kondisi lemah dan sering kejang
g. Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan intake yang kurang dan oliguria
h. Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
i. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus
dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
j. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang

C. Rencana Keperawatan
a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi,
sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau

19
lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis
Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria Hasil :
- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
- Pernafasan 16-18 kali/menit
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada tambahan otot pernafasan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas
normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
Intervensi dan Rasional
1. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk
meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan
lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
2. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas
(adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan
atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga
perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan
melakukan suction
R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret,
sehingga mempermudah proses respirasi.
4. Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill
time yang memanjang/lama.

20
6. Observasi timbulnya gagal nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi
yang kritis
dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi (mukolitik)
R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga
mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan.

b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat


spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng,
kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn
oksigen
- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
- Tidak sianosis.
Intervensi dan raasional.
1. Monitor irama pernafasan dan respirati rate
R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat
dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan, kemampuan dan irama nafas.
2. Atur posisi luruskan jalan nafas.
R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat
berjalan dengan lancar.
3. Observasi tanda dan gejala sianosis
R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan
suply O2 pada jaringan tubuh perifer .
4. Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam

21
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill
time yang memanjang/lama.
6. Observasi timbulnya gagal nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi
yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical
ventilation).
7. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi
jaringan dapat diketahui.

c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin


(bakterimia) yang ditandai dengan suhu tubuh 38-40ºC, hiperhidrasi, sel
darah putih lebih dari 10.000 /mm3
Tujuan : Suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37ºC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-
10.000/mm3
1. Atur suhu lingkungan yang nyaman
R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh
individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan
konveksi.
2. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.
3. Berikan hidrasi atau minum yang cukup adekuat
R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi
badan dari dalam.
4. Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih
berada disekitar luka.
5. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu
tubuh dengan cara proses konduksi.

22
6. Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik.
R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk
mengobati bakteria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipiretik
bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
7. Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.
R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3
mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan
pengobatan yang diprogramkan.

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan
minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan
berat badan menurun diserta hasil pemeriksaan protein atau albumin
kurang dari 3,5 mg%.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
- BB optimal
- Intake adekuat
- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
Intervensi dan rasional
1. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan
pentingnya makanan bagi tubuh
R/ Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah
sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul reflek
balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adekuat diharapkan
klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diet.
2. Kolaboratif :
a. Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka
mulut dan proses mengunyah.
b. Pemberian carian per IV line

23
R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan
ketidakmampuan mengunyah atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Pemasangan NGT bila perlu
R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk
memberikan obat.

24
BAB III
GAMBARAN KASUS

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama : Tn. M
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh (kuli Proyek)
Pendidikan : SMP
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Cipondoh, Tangerang
Masuk Rumah Sakit : 3 Juli 2001
Tanggal pengkajian : 3 Juli 2001 jam 08.00 WIB

Penanggung Jawab
Nama : Ny. A
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Hubungan dengan pasien : Istri
Alamat : Cipondoh, Tangerang

25
2. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan utama
Kejang
b. Riwayat penyakit sekarang
Tanggal 26 Juni 2019 klien terkena tusukan paku pada ibu jari
kaki kanan dan dilakukan perawatan secara mandiri dengan
memberikan obat merah dirumah. Tanggal 29 Juni 2019 klien
merasa panas dan meriang diserta kemeng-kemeng pada bekas
luka tusuk tersebut, sehingga dibawa ke Puskesmas untuk
mendapatkan perawatan luka secara kross, tetapi penyakitnya
tambah berat maka klien kemudian di rujuk ke RSUD Tangerang
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Keluarga klien mengatakan satu tahun yang lalu klien pernah
dirawat di Puskesmas cipondoh selama 6 hari karena mengalami
sakit tifus.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga klien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keluarga
seperti DM, hipertensi, jantung, asma, dan lain-lain.

3. Observasi dan pemeriksaan fisik


a. Sistem Pernafasan
Bentuk dada simetris, retraksi (+), RR 15 x/menit, pernafasan vesikuler,
suara tambahan didapatkan ronchi +/+, wheazing -/-, sianosis (-), ekspansi
dada inpirasi dan ekspirasisimetris, suara nafas ngogrok, pernafasan
cuping hidung (-), sekret/lendir (+).
b. Sistem Kardiovaskuler
- Tekanan darah : 135/95 mmHg, nadi : 120 kali/menit, ikterus (-), anemis
(-)
- CVP 15 mmH2O jam 10.00 WIB
- Suara jantung normal gallop (-), murmur (-), S1 S2 normal
- Terpasang infus RL 500 cc/24 jam pada vena subclavia yang digabung
dengan pemasangan CVP dan Diazepan Syrings Pumps

26
c. Sistem Persarafan (Neurologi)
- GCS 1 X 1 (pemberian diazepam syrings pumps )
- Kejang jam 08.00 WIB tonik dan diikuti kejang general setelah jam
08.00 WIB kejang terkendali dengan pemberian diazepam syrings pumps
- Status konvulsi (-), kejang lokal dan umum masih didapatkan walaupun
samar, trismus minimal
- Refleks fisiologis ektremitas atas o/o dan ekstremitas bawah o/o
- Refleks patologis -/-
- Refleks mara (-), miosis, tampak basah dan terpejam
- Persepsi sensori :
• Pendengaran D/S (+)
• Pengecapan trismus, lidah kaku
• Penglihatan refleks (-)
• Perabaan peka rangsangan (eksternal rangsangan)
• Opistotonus kaku kuduk (+)
d. Sistem Perkemihan
- Terpasang dower cateter dengan produksi kencing tiap jam (jam
08.00=25 cc, 09.00=10 cc, 10.00=50 cc, 11.00=30 cc, 12.00=35,
13.00=40 cc), warna kuning pekat, bau (-+)
- Infeksi saluran kencing (-), odema (-), scrotum (+), pubis (+)
e. Sistem Pencernaan
- Trismus (+/-), mulut kotor
- Kumis dan jenggot (+)
- Abdomen flat, supel, kadang-kadang didapatkan kekakuan perut
- Belum bisa BAB sejang 7 hari yang lalu (sejak sakit kejang)
- Nutrisi, klien mendapatkan isocal 6 x 250 cc selama 24 jam ditambah
ekstra juice buah 250 cc
f. Sistem muskoloskletal dan integumen
- Tonus otot elastis dan kadang-kadang kaku/kejang
- Kekuatan otot o/o karena pengaruh dari pemberian diazepam syring
pump 2,1 ml/jam
- Odema ektremitas atas +/+, ekstremitas baawah -/+

27
- Kepala tampak adanya penebalan kulit atau iskemia
- Kulit warna kulit sawomatang, sianosis (-), icterus (-), kemerahan (+),
akral hangat, turgor kulit baik (elastis).

4. Psikososial
- Klien bekerja sebagai buruh kuli proyek, hubungan klien dengan teman
kerja baik, hubungan klien dengan keluarga dan tetangga sekitar rumah
baik.

5. Spiritual
- Keyakinan keluarga bahwa semua itu ada yang mengatur kita hanya bisa
berusaha dan yang menentukan keadaan sesuatu adalah yang di atas sana
(Tuhan)
- Agama islam dan keyakinan bahwa kita perlu berdoa untuk
memohonkan dan minta pada Tuhan agar diberi ketabahan dan ketengan
baik yang sedang sakit (klien) maupun keluarga yang sedang menunggu.
- Ketabahan dan ketaan keluarga pada agama baik.

6. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 3 Juli 2019
1. Pemeriksaan darah
• Hb : 14,8 gr% (13,4-17,7 gr %)
• Leukosit : 12x109 (4,3-6,3 x109)
• Trombosit : 222x109 (150-350x109)
• PCV : 0,49
2. Analisa Gas Darah :
• pH : 7,236
• PCO2 : 66,3 mmHg
• PO2 : 33,2 mmHg
• HCO3- : 37,5 mmol/L
• BE : 0.0
• O2 St : 52,9 %

28
3. Gula darah acak : 139
4. Kalium elektrolit : 3,7
5. Natirum : 134
3. Pemeriksaan rongent paru
Ditemukan gambaran seperti kupu-kupu (butterfly) yang menampakkan
adanya penyakit penyerta pneumonia.
4. Pemeriksaan kultur
Hasil pemeriksaan kultur darah diapatkan gram coccus grma positif dan
batang gram negatif.
Tanggal 4 Juli 2019
• Leukosit : 14,1
• Eritrosit : 4,25
• Hb : 13,8 gr%
• PCV : 41,8
• MCH : 32,5
• MCHC : 33,0
• Trombosit (Plt) : 120
• Diff Count : Eos/Bas/St/Seg/Sym/Mo = 2/-/-/90/8/-
• LED : 5 (<1,5)
• BUN : 53 (9-18 mg/dl)
• Creatini : 2,8 (< 1,52)

B. Analisa data
No. Data Etiologi Masalah
1. Data Subyektif : - Peningkatan produksi Ketidakefektifan
sekret jalan nafas
Data Obyketif :
Inadequasi pemenuhan Gangguan pola
- RR 15 x/menit
O2, peningkatan sekresi nafas
dan kemungkinan
- suara tambahan didapatkan
obstruksi ETT
ronchi +/+

Proses penyaktinya,

29
- suara nafas ngogrok imobilasi

- sekret/lendir (+)
2. Data Subyektif : - Hipertermia, Ketidakseimbangan
kompensasi ginjal yang cairan dan
Data Obyektif :
menurun elektrolit

-Tekanan darah : 130/80


mmHg

- Nadi 120 kali/menit

- Suhu 40ºC

- Gula darah acak : 139

- Kalium elektrolit : 3,7

- Natirum : 134
3. Data subjektif : Dampak sering kejang Risiko terjadinya
injury
Data Objektif : Ekternal rangsangan

-Klien kejang jam 08.00 WIB Penurunan fungsi


tonik dan diikuti kejang (reflek mata (-))
general

- kejang lokal dan umum


masih didapatkan walaupun
samar, trismus minimal

- Refleks patologis -/-

- Pengecapan trismus, lidah


kaku

30
- Penglihatan refleks (-)

- Perabaan peka rangsangan


(eksternal rangsangan)

- Opistotonus kaku kuduk (+)

- Klien bedrest

C. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret
pada saluran nafas.
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
hipertermia, kompensasi ginjal yang menurun.
3. Risiko terjadinya injury berhubungan dengan dampak sering kejang.

D. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


Keperawatan
Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1.Bebaskan jalan 1. Secara anatomi posisi
jalan nafas tindakan nafas dengan kepala ekstensi merupakan
berhubungan keperawatan selama mengatur posisi cara untuk meluruskan
dengan 3x24 jam kepala ekstensi rongga pernafasan
penumpukan sekret diharapkan Jalan sehingga proses respiransi
2. Pemeriksaan fisik
pada saluran nafas nafas efektif tetap berjalan lancar
dengan cara
Kriteria Hasil : dengan menyingkirkan
auskultasi
pembuntuan jalan nafas.
-Klien tidak sesak, mendengarkan suara
lendir atau sleam nafas (adakah 2. Ronchi menunjukkan
tidak ada ronchi) tiap 3 jam adanya gangguan
sekali dengan pernafasan akibat atas
-Pernafasan 16-18

31
kali/menit menggunakan cairan atau sekret yang
stetoskop menutupi sebagian dari
- Tidak ada
saluran pernafasan
pernafasan cuping 3. Bersihkan mulut
sehingga perlu
hidung dan saluran nafas
dikeluarkan untuk
dari sekret dan
mengoptimalkan jalan
- Tidak ada
lendir dengan
nafas.
tambahan otot
melakukan suction
pernafasan
setiap 3 jam yang 3. Suction merupakan
diselingi dengan tindakan bantuan untuk
clapping dan fibrasi. mengeluarkan sekret,
sehingga mempermudah
4. Pemberian
proses respirasi.
bantuan Oksigenasi
yang dipertahankan 4. Pemberian oksigen
dengan kelembaban secara adekuat dapat
40 % mensuplai dan
memberikan cadangan
5. Observasi tanda-
oksigen, sehingga
tanda vital tiap 1
mencegah terjadinya
jam sekali dan
hipoksia.
mendokumentasikan
pada lembar 5. Dyspneu, sianosis
observasi. merupakan tanda
terjadinya gangguan nafas
6. Observasi
disertai dengan kerja
timbulnya gagal
jantung yang menurun
nafas dan mengatur
timbul takikardia dan
setting respirator
capilary refill time yang
atau melaporkan
memanjang/lama.
dokter jaga.
6. Ketidakmampuan tubuh
7. Kolaborasi dalam
dalam proses respirasi
pemberian obat

32
pengencer sekresi diperlukan intervensi yang
(mukolitik) dan AB kritis dengan

7. Obat mukolitik dapat


mengencerkan sekret yang
kental sehingga
mempermudah
pengeluaran dan
memcegah kekentalan. AB
yang tepat dan
berspektrum luas dapat
membunuh kuman.
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Atur suhu 1. Iklim lingkungan dapat
cairan dan tindakan lingkungan yang mempengaruhi kondisi
elektrolit keperawatan selama nyaman dan suhu tubuh individu
berhubungan 3x24 jam sebagai suatu proses
2. Pantau suhu
dengan diharapkan adaptasi melalui proses
tubuh tiap 1 jam dan
hipertermia, Kebutuhan cairan evaporasi dan konveksi.
tanda vital serta
kompensasi ginjal dan elektrolit dalam
tanda dan gejala 2. Identifikasi
yang menurun tubuh dapat
terjadinya shock. perkembangan gejala-
seimbang
gejala ke arah syok
3. Observasi intake
Kriteria hasil : 36- exhaution.
dan out put (IWL)
37ºC, hasil lab sel
hitung balance 3. Balance cairan penting
darah putih
cairan dan bagi tubuh dalam proses
(leukosit) antara
dokumentasikan. homeostasis dan vitalitas
5.000-10.000/mm3,
organ.
Serum elektrolit (Na
4. Berikan hidrasi
=136-144 mg/dl, K=
atau minum yang 4. Cairan-cairan
3,8-5,5 mg/dl), suhu
cukup adekuat membantu menyegarkan
akral hangat
badan dan merupakan
5. Lakukan tindakan
kompresi badan dari
tekantiseptik pada

33
perawatan luka. dalam.

6. Berikan kompres 5. Perawatan luka


dingin bila tidak mengeleminasi
terjadi ekternal kemungkinan toksin yang
rangsangan kejang. masih berada disekitar
luka.
7. Laksanakan
program pengobatan 6. Kompres dingin
antibiotik dan merupakan salah satu cara
antipieretik. untuk menurunkan suhu
tubuh dengan cara proses
8. Kolaboratif
konduksi.
dalam pemeriksaan
lab Leukosit. 7. Obat-obat antibakterial
dapat mempunyai
spektrum luas untuk
mengobati baktereria gram
positif atau bakteria gram
negatif. Antipieretik
bekerja sebagai proses
termoregulasi untuk
mengantisipasi panas.

8. Hasil pemeriksaan
leukosit yang meningkat
lebih dari 10.000 /mm3
mengindikasikan adanya
infeksi dan atau untuk
mengikuti perkembangan
pengobatan yang
diprogramkan.

34
Risiko terjadinya Setelah dilakukan 1.Sediakan 1. Agar pasien terhindar
injury berhubungan tindakan lingkungan yang dari cidera
dengan dampak keperawatan selama aman untuk pasien
2. Untuk mengetahui
sering kejang. 3x24 jam
2. Identifikasi kebutuhan pasien sesuai
diharapkan tidak
kebutuhan dengan kondisi fisik dan
terjadi injury dan
keamanan pasien, kognitif ataupun riwayat
kejang berkurang.
sesuai dengan penyakit terdahulu pasien
Kriteria hasil :
kondisi fisik dan
3. Untuk meminimalkan
- Klien terbebas dari fungsi kognitif
penyebab terjadinya cidera
cidera pasien dan riwayat
penyakit terdahulu
4. Mengindari klien
- Menggunakan
pasien.
terjatuh dari tempat tidur
fasilitas kesehatan
yang ada 3. Hindarkan
5. Memberikan klien
lingkungan yang
waktu istirahat yang cukup
-
berbahaya
dan memberi kenyamanan
(memindahkan
klien.
perabotan)

4. Pasang side rall


tempat tidur

5. Batasi
pengunjung

E. Implementasi

Diagnosa Implementasi Hasil TTD


Tanggal 3 Juli 2019 1. Membebaskan jalan nafas S:-
jam 08.30 WIB dengan mengatur posisi
O:
Ketidakefektifan kepala ekstens sehingga
jalan nafas proses respirasi lancar
Bentuk dada simetris,
berhubungan dengan

35
penumpukan sekret 2. Melakukan pemeriksaan retraksi (+), RR 17
pada saluran nafas fisik dengan cara auskultasi x/menit, pernafasan
mendengarkan suara nafas vesikuler, suara
(ronchi) tiap 3 jam sekali tambahan didapatkan
dengan menggunakan ronchi +-/+-, masih
stetoskop terdapat sekret/lendir

3. Melakukan Bersihkan A : Masalah belum


mulut, gigi dan saluran teratasi
nafas dari sekret dan lendir
P : Lanjutkan
dengan menggunakan
implentasi 1-8
betadin cair

4. Melakukan suction setiap


3 jam yang diselingi dengan
clapping dan fibrasi dengan
berbagai posisi mring
kanan, miring kiri dan
terlentang serta kepala agak
ditutunkan dan sebaliknya.

5. Memberikan bantuan
Oksigenasi yang
dipertahankan dengan
kelembaban 40 % dan
mensetting respirator sesuai
dengan anjuran dan
observasi respon klien.

6. Mengobservasi tanda-
tanda vital tiap 1 jam sekali
dan mendokumentasikan
pada lembar observasi.

36
7.Mengobservasi timbulnya
gagal nafas dan mengatur
setting respirator atau
melaporkan pada dokter
jaga.

8.Kolaborasi dalam
pemberian obat: Pengencer
sekresi(mukolitik) Bisolvon
3x1 tab (10 mg)

Ketidakseimbangan 1. Mengatur suhu S:-


cairan dan elektrolit lingkungan yang nyaman
O:
berhubungan dengan dan cukup ventilasi.
hipertermia,
- Tekanan darah 130/70
2. Memantau suhu tubuh
kompensasi ginjal
mmHg, nadi 100
tiap 1 jam dan tanda vital
yang menurun.
kali/menit, suhu 40ºC
serta tanda dan gejala
(trect)
terjadinya shock.

- Terpasang infus RL
3. Mengobservasi intake dan
500 cc/24 jam
out put (IWL) hitung
balance cairan dan
- Out put cairan (urine
dokumentasikan.
tampung tiap jam = jam
10.00 WIB 10 cc/jam)
4. Membantu memberikan
hidrasi atau minum yang
- Membran mukosa
cukup adekuat (6x250 isocal
basah
dan 250 cc ekstra juice
buah) - Akral hangat

5. Melakukan tindakan A : Masalah belum


teknik aseptik dan antiseptik

37
pada perawatan luka untuk teratasi
menetralisir toksin.
P : Lanjutkan
6. Melakukan kompres implementasi 1-7
dingin bila tidak terjadi
Pemberian eksstra
ekternal rangsangan kejang
cairan gelafudin 500
pada ketiak dengan alasnya.
CC selam 3 jam.
7. Melaksanakan program
pengobatan antibiotik dan
antipieretik. Antibniotika :

PPC 3x1,5 Juta IU per-IM

Velocef 3x1 gr per-IV

Dartabcyn 2x80 mg Per-IV

Xylomidon 2 cc

8. Kolaboratif dalam
pemeriksaan lab leukosit.
Risiko terjadinya 1. Menyediakan lingkungan S:-
injury berhubungan yang aman untuk pasien
O : - klien ditemani
dengan dampak
2. Mengidentifikasi oleh keluarga
sering kejang.
kebutuhan keamanan
- klien terkadang sedikit
pasien, sesuai dengan
kejang
kondisi fisik dan fungsi
kognitif pasien dan riwayat
- tempat tidur klien
penyakit terdahulu pasien.
terpasang pengaman

3. Menghindarkan
A : Masalah belum
lingkungan yang berbahaya
teratasi

38
(memindahkan perabotan) P : lanjutkan intervensi
1-5
4. Memasang side rall
tempat tidur

5. Membatasi pengunjung
Tanggal 4 Juli 2019 1. Membebaskan jalan nafas S:-
dengan mengatur posisi
Jam 09.00 WIB O : RR 19 x/menit,
kepala ekstens sehingga
pernafasan vesikuler,
proses respirasi lancar
Ketidakefektifan
suara ronchi masih
jalan nafas
2. Melakukan pemeriksaan terdengar , masih
berhubungan dengan
fisik dengan cara auskultasi terdapat sekret/lendir
penumpukan sekret
mendengarkan suara nafas
pada saluran nafas A : Masalah belum
(ronchi) tiap 3 jam sekali
teratasi
dengan menggunakan
stetoskop
P : Lanjutkan
implentasi 1-8
3. Melakukan Bersihkan
mulut, gigi dan saluran
nafas dari sekret dan lendir
dengan menggunakan
betadin cair

4. Melakukan suction setiap


3 jam yang diselingi dengan
clapping dan fibrasi dengan
berbagai posisi mring
kanan, miring kiri dan
terlentang serta kepala agak
ditutunkan dan sebaliknya.

5. Memberikan bantuan
Oksigenasi yang

39
dipertahankan dengan
kelembaban 40 %

6. Mengobservasi tanda-
tanda vital tiap 1 jam sekali
dan mendokumentasikan
pada lembar observasi.

7. Mengobservasi timbulnya
gagal nafas dan mengatur
setting respirator atau
melaporkan pada dokter
jaga.

8.Kolaborasi dalam
pemberian obat: Pengencer
sekresi(mukolitik) Bisolvon
3x1 tab (10 mg)
Ketidakseimbangan 1.Mengatur suhu S:-
cairan dan elektrolit lingkungan yang nyaman
O:
berhubungan dengan dan cukup ventilasi.
hipertermia,
- Tekanan darah 130/70
2. Memantau suhu tubuh
kompensasi ginjal
mmHg, nadi 90
tiap 1 jam dan tanda vital
yang menurun.
kali/menit, suhu 38,8ºC
serta tanda dan gejala
(trect)
terjadinya shock.

- Terpasang infus RL
3. Mengobservasi intake dan
500 cc/24 jam
out put (IWL) hitung
balance cairan dan
- Out put cairan (urine
dokumentasikan.
tampung tiap jam = jam
10.00 WIB 10 cc/jam)
4. Membantu memberikan
hidrasi atau minum yang

40
cukup adekuat (6x250 isocal - Membran mukosa
dan 250 cc ekstra juice basah
buah)
- Akral hangat
5. Melakukan tindakan
A : Masalah belum
teknik aseptik dan antiseptik
teratasi
pada perawatan luka untuk
menetralisir toksin.
P : Lanjutkan
implementasi 1-7
6. Melakukan kompres
dingin bila tidak terjadi
ekternal rangsangan kejang
pada ketiak dengan alasnya.

7. Melaksanakan program
pengobatan antibiotik dan
antipieretik. Antibniotika :

PPC 3x1,5 Juta IU per-IM

Velocef 3x1 gr per-IV

Dartabcyn 2x80 mg Per-IV

Xylomidon 2 cc

Risiko terjadinya 1. Menyediakan lingkungan S : keluarga


injury berhubungan yang aman untuk pasien mengatakan klien
dengan dampak kadang kejang
2. Mengidentifikasi
sering kejang
kebutuhan keamanan O : - klien ditemani
pasien, sesuai dengan oleh keluarga
kondisi fisik dan fungsi
- klien terkadang sedikit
kognitif pasien dan riwayat

41
penyakit terdahulu pasien. kejang

3. Menghindarkan - tempat tidur klien


lingkungan yang berbahaya terpasang pengaman
(memindahkan perabotan)
A : Masalah belum
4. Memasang side rall teratasi
tempat tidur
P : lanjutkan intervensi
5. Membatasi pengunjung 1-5

Tanggal 5 Juli 2019 1. Membebaskan jalan nafas S:-


dengan mengatur posisi
Jam 10.00 WIB O : RR 22 x/menit,
kepala ekstens sehingga
pernafasan vesikuler,
proses respirasi lancar
Ketidakefektifan
suara ronchi sudah
jalan nafas
2. Melakukan pemeriksaan tidak ada, sudah tidak
berhubungan dengan
fisik dengan cara auskultasi ada sekret/lendir
penumpukan sekret
mendengarkan suara nafas
pada saluran nafas A : Masalah sudah
(ronchi) tiap 3 jam sekali
teratasi
dengan menggunakan
stetoskop
P : intervensi
dihentikan
3. Melakukan Bersihkan
mulut, gigi dan saluran
nafas dari sekret dan lendir
dengan menggunakan
betadin cair

4. Melakukan suction setiap


3 jam yang diselingi dengan
clapping dan fibrasi dengan
berbagai posisi mring

42
kanan, miring kiri dan
terlentang serta kepala agak
ditutunkan dan sebaliknya.

5. Memberikan bantuan
Oksigenasi yang
dipertahankan dengan
kelembaban 40 %.

6. Mengobservasi tanda-
tanda vital tiap 1 jam sekali
dan mendokumentasikan
pada lembar observasi.

7.Mengobservasi timbulnya
gagal nafas dan mengatur
setting respirator atau
melaporkan pada dokter
jaga.

8.Kolaborasi dalam
pemberian obat: Pengencer
sekresi (mukolitik) Bisolvon
3x1 tab (10 mg).
Ketidakseimbangan 1. Mengatur suhu S:-
cairan dan elektrolit lingkungan yang nyaman
O:
berhubungan dengan dan cukup ventilasi.
hipertermia,
- Tekanan darah 120/80
2. Memantau suhu tubuh
kompensasi ginjal
mmHg, nadi 85
tiap 1 jam dan tanda vital
yang menurun.
kali/menit, suhu 37,5ºC
serta tanda dan gejala
(trect)
terjadinya shock.

- Terpasang infus RL
3. Mengobservasi intake dan

43
out put (IWL) hitung 500 cc/24 jam
balance cairan dan
- Out put cairan (urine
dokumentasikan.
tampung tiap jam = jam
4. Membantu memberikan 10.00 WIB 10 cc/jam)
hidrasi atau minum yang
- Membran mukosa
cukup adekuat (6x250 isocal
basah
dan 250 cc ekstra juice
buah)
- Akral hangat

5. Melakukan tindakan
A : Masalah sudah
teknik aseptik dan antiseptik
teratasi
pada perawatan luka untuk
menetralisir toksin. P : intervensi
dihentikan
6. Melakukan kompres
dingin bila tidak terjadi
ekternal rangsangan kejang
pada ketiak dengan alasnya.

7. Melaksanakan program
pengobatan antibiotik dan
antipieretik. Antibiotika :

PPC 3x1,5 Juta IU per-IM

Velocef 3x1 gr per-IV

Dartabcyn 2x80 mg Per-IV

Xylomidon 2 cc
Risiko terjadinya 1. Menyediakan lingkungan S : keluarga
injury berhubungan yang aman untuk pasien mengatakan klien sudah
dengan dampak tidak kejang
2. Mengidentifikasi

44
sering kejang kebutuhan keamanan O : - klien ditemani
pasien, sesuai dengan oleh keluarga
kondisi fisik dan fungsi
- klien tampak nyaman
kognitif pasien dan riwayat
penyakit terdahulu pasien.
- tempat tidur klien
terpasang pengaman
3. Menghindarkan
lingkungan yang berbahaya
A : Masalah sudah
(memindahkan perabotan)
teratasi

4. Memasang side rall


P : intervensi
tempat tidur
dihentikan

5. Membatasi pengunjung

E. CATATAN PERKEMBANGAN

Hari/tanggal Diagnosa Keperawatan Evaluasi TTD


6 Juli 2019 Ketidakefektifan jalan nafas S:-
berhubungan dengan
O : RR 22 x/menit, pernafasan
penumpukan sekret pada
vesikuler, suara ronchi sudah
saluran nafas
tidak ada, sudah tidak ada
sekret/lendir

A : Masalah sudah teratasi

P : intervensi dihentikan
6 Juli 2019 Ketidakseimbangan cairan S:-
dan elektrolit berhubungan
O:
dengan hipertermia,
kompensasi ginjal yang
- Tekanan darah 120/80 mmHg,
menurun.
nadi 85 kali/menit, suhu 37,5ºC

45
(trect)

- Terpasang infus RL 500 cc/24


jam

- Membran mukosa basah

-Akral hangat

A : Masalah sudah teratasi

P : intervensi dihentikan.
6 Juli 2019 Risiko terjadinya injury S : keluarga mengatakan klien
berhubungan dengan sudah tidak kejang
dampak sering kejang
O : - klien ditemani oleh
keluarga

- klien tampak nyaman

- tempat tidur klien terpasang


pengaman

A : Masalah sudah teratasi

P : intervensi dihentikan.

46
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium
tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus
adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa
disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani.

Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium


tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot
seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-
otot rangka.

B. Saran

Dengan makalah ini, kita sebagai mahasiswa keperawatan dapat mengerti dan
memahami konsep tentang tatanus karena sangat bermanfaat bagi kita dalam
dunia kerja.

47

Anda mungkin juga menyukai