Anda di halaman 1dari 26

KEPERAWATAN JIWA 2

Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Isolasi Sosial

Dosen pengampu: Ns. Evin Novianti, M. Kep, Sp. Kep. J

Disusun oleh:

Mutia Ifanka 1710711010

Siva Herawati 1710711016

Ririn Alifah 1710711018

Hopipah Indah Nursobah 1710711053

Clara Widya Marpaung 1710711070

Refiana Gunawan 1710711083

Siti Luthfia Awanda 1710711084

Jesica Rachel Meilala 1710711098

Tutor B

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAKARTA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dewasa ini kesehatan jiwa menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan
memprihatinkan. Menurut World Health Organization (WHO) dikutip dalam Iyus dan
Sutini, 2014 Kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan
mengandung berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan
dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan pribadinnya.
WHO (2013) menyatakan lebih dari 450 juta orang dewasa secara global
diperkirakan mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah itu hanya kurang dari separuh
yang bisa mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Menurut datakementerian
Kesehatan tahun 2013 jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia lebih dari 28 juta
orang dengan kategori gangguan jiwa ringan 14,3% dan 17% atau 1000
orangmenderita gangguan jiwa berat. Di banding rasio dunia yang hanya satu permil,
masyarakat Indonesia yang telah mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat telah
mencapai 18,5% (Depkes RI, 2009).
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal,
suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Gangguan jiwa
dapat mempengaruhi fungsi kehidupan seseorang. Aktivitas, kehidupan sosial, ritme
pekerjaan, serta hubungan dengan keluarga jadi terganggu karena gejala ansietas,
depresi, dan psikosis. Seseorang dengan gangguan jiwa apapun harus segera
mendapatkan pengobatan. Keterlambatan pengobatan akan merugikan penderita,
keluarga dan masyarakat.
Kemunduran fungsi sosial dialami seseorang di dalam diagnosa keperawatan
jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang
individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya (Yosep,Sutini, 2014). Pasien dengan isolasi sosial
mengalami gangguan dalam berinteraksi dan mengalami perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri, dan menghindar dari
orang lain.
TAK adalah terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok
klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas yang digunakan
sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di dalam kelompok
terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi
laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki
perilaku lama yang maladaptif. Stuart and Sundeen (2006) menambahkan bahwa TAK
dilakukan untuk meningkatkan kematangan emosional dan psikologis pada klien yang
mengidap gangguan jiwa pada waktu yang lama. TAK dapat menstimulus interaksi
diantara anggota yang berfokus pada tujuan kelompok. TAK Sosialisasi juga
membantu klien berinteraksi/berorientasi dengan orang lain. Terapi Aktivitas
Kelompok : Sosialisasi (TAKS) merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sangat
penting dilakukan untuk membantu dan memfasilitasi klien isolasi sosial untuk
mampu bersosialisasi secara bertahap melalui tujuh sesi untuk melatih kemampuan
sosialisasi klien. Ketujuh sesi tersebut diarahkan pada tujuan khusus TAKS, yaitu :
kemampuan memperkenalkan diri, kemampuan berkenalan, kemampuan bercakap-
cakap, kemampuan menyampaikan dan membicarakan topik tertentu, kemampuan
menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi, kemampuan bekerja sama,
kemampuan menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah
dilakukan. Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan dalam TAKS yaitu tahap
persiapan, orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi dengan menggunakan metode
dinamika kelompok, diskusi atau tanya jawab serta bermain peran atau stimulasi.
Salah satu penyebab gangguan jiwa yang ada diantaranya adalah Isolasi
Sosial. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi
pada pasien yang mengalami isolasi sosial adalah dukungan keluarga. Dukungan
keluarga merupakan bentuk pemberian dukungan terhadap anggota keluarga lain yang
mengalami permasalahan, yaitu memberikan dukungan pemeliharaan, emosional
untuk mencapai kesejahteraan anggota keluarga dan memenuhi kebutuhan
psikososial. Dukungan emosional merupakan bentuk atau jenis dukungan yang
diberikan keluarga berupa memberikan perhatian, kasih sayang serta empati.
Dukungan instrumental keluarga merupakan suatu dukungan atau bantuan penuh dari
keluarga dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, dana, maupun meluangkan waktu
untuk membantu melayani dan mendengarkan anggota keluarga dalam
menyampaikan pesannya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Apa itu Pengertian Isolasi Sosial?
b. Apa saja Etiologi Isolasi Sosial?
c. Bagaimana Rentan Respon Isolasi Sosial?
d. Apa saja Pengkajian Isolasi Sosial?
e. Bagaimana Pohon Masalah Isolasi Sosial?
f. Apa saja Diagnosa Keperawatan Isolasi Sosial?
g. Apa saja Intervensi Keperawatan Isolasi Sosial?
h. Apa saja Implementasi Keperawatan Isolasi Sosial?
i. Bagaimana Evaluasi Keperawatan Isolasi Sosial?

1.3 TUJUAN PENULISAN


a. Mengetahui apa itu Pengertian Isolasi Sosial?
b. Mengetahui apa saja Etiologi Isolasi Sosial?
c. Mengetahui bagaimana Rentan Respon Isolasi Sosial?
d. Mengetahui apa saja Pengkajian Isolasi Sosial?
e. Mengetahui bagaimana Pohon Masalah Isolasi Sosial?
f. Mengetahui apa saja Diagnosa Keperawatan Isolasi Sosial
g. Mengetahui apa saja Intervensi Keperawatan Isolasi Sosial?
h. Mengetahui apa saja Implementasi Keperawatan Isolasi Sosial?
i. Mengetahui bagaimana Evaluasi Keperawatan Isolasi Sosial?
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang di alami oleh individu dan
dipersepsikan disebabkan orang lain dan sebagai kondisi yang negatif dan mengacam
(Townsend, 2010).
Kondisi isolasi sosial seseorang merupakan ketidakmampuan klien dalam
mengungkapkan perasaannya dapat yang menimbulkan kekerasan. Klien dengan
isolasi sosial tidak mempunyai kemampuan untuk bersosialisasi dan sulit untuk
mengungkapkan keinginan dan tidak mampu berkomunikasi dengan baik sehingga
klien tidak mampu mengungkapkan marah dengan cara baik.

B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
faktor presipitasi. Faktor predisposisi yang memengaruhi masalah isolasi
sosial yaitu :
a. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas
perkembangan yang harus terpenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam
hubungan sosial. Apabila tugas tersebut tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya dapat
menimbulkan suatu masalah.
Tabel 1. Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal
menurut Stuart dan Sundeen.

b. Faktor komunikasi dalam keluarga


Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori
ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan dimana
seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan
dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk hubungan dengan lingkungan diluar
keluarga.

c. Faktor sosial budaya


Norma-norma yang salah didalam keluarga atau lingkungan
dapat menyebabkan rusaknya hubungan sosial, dimana setiap anggota
keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, berpenyakit kronis
dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya
d. Faktor biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang
dapat mempengaruhi gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya
pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan
memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta
perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal.

2. Faktor presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:
a. Faktor eksternal Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress
yang ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor internal Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang
terjadi akibat kecemasan atau ansietas yang berkepanjangan dan terjadi
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk
mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah
dengan orang terdekat atau tidak terpenuhi kebutuhan individu.

C. RENTANG RESPON
Menurut Stuart (2007). Gangguan kepribadian biasanya dapat dikenali pada
masa remaja atau lebih awal dan berlanjut sepanjang masa dewasa. Gangguan tersebut
merupakan pola respon maladaptive, tidak fleksibel, dan menetap yang cukup berat
menyababkan disfungsi prilaku atau distress yang nyata.
1. Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Riyardi S dan
Purwanto T. (2013) respon ini meliputi:
a. Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk
merenungkan apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara
mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
b. Otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial, individu
mamapu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan diri.
c. Kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian,
saling memberi, dan menerima dalam hubungan interpersonal.
d. Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling
tergantung antar individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal.

2. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah


dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan
masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013) respon maladaptive
tersebut adalah:
a. Manipulasi
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan
orang lain sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi pada
diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai pertahanan
terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa
pada orang lain.
b. Impulsif
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu
merencanakan tidak mampu untuk belajar dari pengalaman dan miskin
penilaian.
c. Narsisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
ogosentris,harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari
orang lain.
d. Isolasi sosial
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain.

D. PENGKAJIAN
1. Faktor Predisposisi, meliputi :
a. Faktor perkembangan
Tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu
dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah keluarga. Dalam
tahapannya, tugas perkembangan terbagi ke dalam :
 Masa bayi, apabila kurang distimulasi dari orangtua maka akan
memberikan rasa tidak aman yang akan menghambat
terbentuknya rasapercaya diri. Jika terdapat hambatan dalam
mengembangkan rasa percaya, maka anak akan mengalami
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan timbul
tingkah laku curiga pada orang lain.
 Masa kanak-kanak, jika terjadi pembatasan aktivitas atau
kontrol yang berlebihan dapat membuat anak frustasi.
 Masa pra-remaja & Remaja, hubungan antara individu dengan
kelompok atau teman lebih berarti daripada hubungannya
dengan orangtua. Remaja akan merasa tertekan atau
menimbulkan sikap bergantung ketika remaja tidak dapat
mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut.
 Masa dewasa muda, individu meningkatkan kemandiriannya
serta mempertahankan hubungan interdependen antara teman
sebaya maupun orangtua. Individusiap untuk membentuk suatu
kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan.
 Masa dewasa tengah, Individu mulai terpisah dengan anak-
anaknya, ketergantungan anak-anak terhadap dirinya mulai
menurun. Ketika individu bisa mempertahankan hubungan
yang interdependen antara orangtua dengan anak, maka
kebahagiaan akan diperoleh dengantetap.
 Masa dewasa akhir, individu akan mengalami berbagai
kehilangan, baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan
orangtua, pasangan hidup, teman, pekerjaan atau peran.

b. Faktor biologis
Faktor biologis berhubungan dengan faktor genetik yang dapat
menunjang terhadap respons sosial malafaptif. Genetik merupakan
salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.

c. Faktor sosial budaya


Isolasi sosialatau mengasingkan diri dari lingkungan
merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan sosial.
Juga bisa disebabkan oleh adanya norma-norma yang salah dan dianut
oleh dari keluarga, misalnya anggota yang tidak produktif dan
diasingkan dari lingkungan sosial. Selain itu, norma yang tidak
mendukung pendekatan terhadap orang lain atau tidak menghargai
anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat,
dan berpenyakit kronis.

2. Faktor Presipitasi, meliputi :


a. Stressor sosio-kultural (sosial budaya ), misalnya menurunnya
stabilitas unit keluarga, berpisah dari orang yang berarti dalam
kehidupannya.
b. Stressor psikologik, intensitas ansietas yang ekstrim akibat berpisah
dengan orang lain, dan memanjang disertai dengan terbatasnya
kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan
berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
c. Stressor intelektual (kognitif)
 Kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk
berbagi pikiran dan perasaan yang menggangu pengembangan
hubungan dengan orang lain.
 Klien dengan 'kegagalan' adalah orang yang kesepian dan
kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka akan cenderung
sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain.
 Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan
denganorang lain akan memicu persepsi yang menyimpang dan
berakibat pada gangguan yang berhubungan dengan orang lain
(isolasi sosial).
d. Stressor fisik, misalnya menarik diri dapat meliputi penyakit kronik
dan keguguran.

3. Penilaian stressor/tanda dan gejala


a. Penilaian Stressor
 Kognitif yaitu Kemampuan analisis atau pemikira pasien
(misalnya klien sering lupa)
 Afektif yaitu Respon psikologis / perasaan pasien (misalnya
cemas)
 Fisiologi yaitu Terkait dengan keadaan fisik pasien (misalnya
TD tinggi, tidak bisa tidur)
 Perilaku yaitu Sikap atau prilaku yang ditunjukkkan pasien
(misalnya diam dan menutup diri)
 Sosial yaitu Terkait dengan interaksi atau hubungan klien
dengan orang lain (misalnya tidak mau bicara dengan orang
lain)

b. Tanda dan gejala yang ditemukan pada saat wawancara (subjektif) :


 Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang
lain.
 Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
 Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang
lain.
 Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
 Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
 Klien merasa tidak berguna
 Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.

c. Tanda dan gejala yang ditemukan saat observasi (objektif) :


 Tidak memiliki teman dekat
 Menarik diri
 Tidak komunikatif
 Tindakan berulang dan tidak bermakna
 Asyik dengan pikirannya sendiri
 Tidak ada kontak mata
 Tampak sedih, apatis, afek tumpul

d. Karakteristik isolasi sosial, meliputi :


 Karakter utama (mayor), karakter yang harus hadir (satu/lebih
karakter) meliputi mengekspresikan perasaan kesendirian atau
penolakan, hasrat untuk melakukan kontak dengan orang lain,
memberitahukan adanya rasa ketidaknyamanan dalam situasi
sosial, dan mendeskripsikan kurangnya hubungan yang
bermakna.
 Karakter tambahan, seperti :
 waktu berjalan lambat
 ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat
keputusan
 merasa tidak berguna
 menarik diri
 sedih, afek tumpul
 rendahnya kontak mata
 diasyikkan oleh pikiran dan kenangan
 tampak depresi, cemas, atau marah
 gagal untuk berinteraksi dengan orang-orang dekat.

4. Sumber koping
Merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping pada strategi
seseorang. Strategi seseorang yang digunakan seperti keterlibatan dalam
hubungan yang lebih luas seperti dalam keluarga dan teman, hubungan
dengan hewan peliharaan, menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan
stres interpersonal seperti kesenian, musik/tulisan. (Stuart, 2006)
a. Personal ability: Kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah
b. Sosial support : Dukungan dari lingkungan sekitar (misalnya keluarga,
teman)
c. Material aset : Dukungan material yang dimiliki pasien (misalnya
ekonomi, pendidikan, asuransi,dan transportasi, jarak mencapai
pelayanan kesehatan)
d. Positif belief : Keyakinan pasien akan kesembuhannya

5. Mekanisme Koping
Merupakan upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart, 2006)
Mekanisme Koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi ansietas
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Mekanisme Koping yang sering digunakan menurut Rasmun (2004) adalah
:
a. Proyeksi, yaitu keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan
klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan
sendiri.
b. Splitting, yaitu kegagalan individu dalam menginterpretasikan
dirinya dalam menilai baik-buruk.
c. Isolasi, yaitu perilaku mengasingkan diri dari orang lain
maupun lingkungan.
Mekanisme koping
a. Ego : Berpusat pada ego yang dimiliki pasien (menyalahkan
orang lain)
b. Masalah : Masalah yang dihadapi pasien saat ini

E. PENGKAJIAN Kasus Isolasi Sosial


Seorang laki-laki berusia 30 tahun dibawa keluarga kepoli psikiatri dengan
keluhan pasien tidak mau keluar kamar. Pasien terlihat jarang berbicara dengan orang
lain, lebih senang sendiri dan suka melamun. Hasil pengkajian klien pernah
mengalami gangguan jiwa 1 tahun yang lalu dan di rawat di RSJ, terdapat riwayat
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yaitu ayahnya dan pasien juga tidak
teratur minum obat sejak 2 bulan lalu karena pasien menganggap bahwa dirinya sudah
sembuh. Klien malas mandi, gigi kotor dan nafasnya bau.
Berdasarkan kasus diatas, didapatkan pengkajian sebagai berikut :
1. Faktor Predisposisi
a. Biologis : Klien pernah mengalami gangguan jiwa 1 tahun yang lalu
dan dirawat di RSJ, pasien terdapat riwayat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa yaitu ayahnya.
b. Sosial Budaya : Seorang laki-laki dan berusia 30 tahun.
2. Faktor Presipitasi
a. Origin : Pasien tidak teratur minum obat
b. Time : Tidak teratur sejak 2 bulan lalu
3. Penilaian Stressor
a. Prilaku : Pasien jarang berbicara dengan orang lain, suka melamun,
pasien sering diam, pasien tidak mau keluar kamar, malas mandi.
b. Sosial : Menutup diri, lebih senang sendir.
c. Fisiologi : gigi kotor dan nafasnya bau
4. Sumber Koping
a. Sosial Support : keluarga pasien tetap memberikan dukungan untuk
kesembuhan pasien dengan membawa pasien berobat ke poli psikiatri
5. Mekanisme Koping
a. Ego : klien mengisolasi diri / isolasi sosial

F. POHON MASALAH

Risiko Perubahan sensori persepsi : Halusinasi

Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial
2. Defisit Perawatan Diri

H. INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx Perencanaan
Kep Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Isolasi TUM: 1. Setelah … X … jam 1. Bina hubungan saling percaya dengan:
sosial Klien interaksi klien menunjukkan  Beri salam setiap berinteraksi
dapat tanda-tanda percaya kepada  Perkenalkan nama, nama panggilan
berinterak
/ terhadap perawat: perawat dan tujuan perawat
si dengan  Wajah cerah, berkenalan
orang lain tersenyum  Tanyakan dan panggil nama kesukaan
 Mau berkenalan klien
TUK:  Ada kontak mata  Tunjukkan sikap jujur dan menepati
1. Klien  Bersedia janji setiap kali berinteraksi
dapat menceritakan  Tanyakan perasaan klien dan masalah
membina perasaan yang dihadapi klien
hubungan  Bersedia  Buat kontrak interaksi yang jelas
saling mengungkapkan  Dengarkan dengan penuh perhatian
percaya masalahnya ekspresi perasaan klien
 Bersedia
mengungkapkan
masalahnya

2.Klien 2. Setelah …x… jam 2.1 Tanyakan pada klien tentang:


mampu interaksi klien dapat  Orang yang tinggal serumah / teman
menyebut menyebutkan minimal satu sekamar klien
kan penyebab menarik diri dari:  Orang yang paling dekat dengan klien
penyebab  diri sendiri di rumah/ di ruang perawatan
menarik  orang lain  Apa yang membuat klien dekat
diri  lingkungan dengan orang tersebut
 Orang yang tidak dekat dengan klien
di rumah/di ruang perawatan
 Apa yang membuat klien tidak dekat
dengan orang tersebut
 Upaya yang sudah dilakukan agar
dekat dengan orang lain

2.2 Diskusikan dengan klien penyebab


menarik diri atau tidak mau bergaul dengan
orang lain.

2.3 Beri pujian terhadap kemampuan klien


mengungkapkan perasaannya
3. Klien 3. Setelah …x… jam 3.1.Tanyakan pada klien tentang :
mampu interaksi dengan klien dapat  Manfaat hubungan sosial
menyebut menyebutkan keuntungan  Kerugian menarik diri.
kan berhubungan sosial,
keuntunga misalnya 3.2.Diskusikan bersama klien tentang
n  banyak teman manfaat berhubungan sosial dan kerugian
berhubung  tidak kesepian menarik diri.
an sosial  bisa diskusi 3.3.Beri pujian terhadap kemampuan klien
dan  saling menolong, mengungkapkan perasaannya.
kerugian Dan dapat menyebutkan
menarik kerugian menarik diri,
diri. misalnya:
 sendiri
 kesepian
 tidak bisa diskusi

4. Klien 4. Setelah … x … jam 4.1 Observasi perilaku klien saat


dapat interaksi klien dapat berhubungan sosial .
melaksana melaksanakan hubungan 4.2 Beri motivasi dan bantu klien untuk
kan sosial secara bertahap berkenalan / berkomunikasi dengan :
hubungan dengan:  Perawat lain
sosial  Perawat  Klien lain
secara  Perawat lain  Kelompok
bertahap  Klien lain 4.3 Libatkan klien dalam Terapi Aktivitas
 Kelompok Kelompok Sosialisasi
4.4 Diskusikan jadwal harian yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
klien bersosialisasi
4.5 Beri motivasi klien untuk melakukan
kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah
dibuat.
4.6 Beri pujian terhadap kemampuan klien
memperluas pergaulannya melalui aktivitas
yang dilaksanakan.
5. Klien 5. Setelah … x … jam 5.3 Diskusikan dengan klien tentang
mampu interaksi klien dapat perasaannya setelah berhubungan sosial
menjelask menjelaskan perasaannya dengan :
an setelah berhubungan sosial  Orang lain
perasaann dengan :  Kelompok
ya setelah  Orang lain 5.4 Beri pujian terhadap kemampuan klien
berhubung  Kelompok mengungkapkan perasaannya.
an sosial.
6. Klien 6.1.Setelah … x … jam 6.1. Diskusikan pentingnya peran serta
mendapat pertemuan keluarga dapat keluarga sebagai pendukung untuk
dukungan menjelaskan tentang: mengatasi prilaku menarik diri.
keluarga  Pengertian menarik 6.2. Diskusikan potensi keluarga untuk
dalam diri membantu klien mengatasi perilaku menarik
memperlu  Tanda dan gejala diri
as menarik diri 6.3. Jelaskan pada keluarga tentang :
hubungan  Penyebab dan akibat  Pengertian menarik diri
sosial menarik diri  Tanda dan gejala menarik diri
 Cara merawat klien  Penyebab dan akibat menarik diri
menarik diri  Cara merawat klien menarik diri
6.2. Setelah 1 X pertemuan 6.4. Latih keluarga cara merawat klien
keluarga dapat menarik diri.
mempraktekkan cara 6.5. Tanyakan perasaan keluarga setelah
merawat klien menarik diri. mencoba cara yang dilatihkan
6.6. Beri motivasi keluarga agar membantu
klien untuk bersosialisasi.
6.7. Beri pujian kepada keluarga atas
keterlibatannya merawat klien di rumah
sakit.
7. Klien 7.1.Setelah …x… jam 7.1.Diskusikan dengan klien tentang
dapat interaksi klien manfaat dan kerugian tidak minum obat,
memanfaa menyebutkan; nama , warna, dosis, cara , efek terapi dan
tkan obat  Manfaat minum obat efek samping penggunan obat
dengan  Kerugian tidak minum 7.2. Pantau klien saat penggunaan obat
baik. obat 7.3. Beri pujian jika klien menggunakan
 Nama,warna,dosis, obat dengan benar
efek terapi dan efek 7.4.Diskusikan akibat berhenti minum obat
samping obat tanpa konsultasi dengan dokter
7.2.Setelah …x… jam 7.5.Anjurkan klien untuk konsultasi kepada
interaksi klien dokter/perawat jika terjadi hal – hal yang
mendemontrasikan tidak di inginkan .
penggunaan obat dgn benar
7.3.Setelah ….x… jam
interaksi klien menyebutkan
akibat berhenti minum obat
tanpa konsultasi dokter
I. HASIL-HASIL PENELITIAN

GAMBARAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PASIEN ISOLASI SOSIAL


SETELAH PEMBERIAN SOCIAL SKILLS THERAPY DI RUMAH SAKIT JIWA

Sukma Ayu Candra Kirana


Prodi S1 Keperawatan
STIKES Hang Tuah Surabaya
email : sukmaayucandrakirana@stikeshangtuah-sby.ac.id

Abstrak: Isolasi sosial adalah salah satu diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan
pada pasien yang menunjukkan gejala menyediri, menarik diri dari kegiatan sosial serta
tidak mau berinteraksi dengan orang lain bahkan dengan perawat. Gejala negatif seperti
isolasi sosial yang tidak dapat diatasi dapat mengakibatkan klien mengalami gejala
positif dan semakin memperburuk kondisinya. Salah satu cara untuk meningkatkan
kemampuan interaksi pasien dengan isolasi sosial adalah dengan menggunakan terapi
Social Skills Therapy. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran perubahan
kemampuan interaksi pasien isolasi sosial setelah diberikan terapi Social Skills Therapy.
Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan 40 responden isolasi sosial yang
dirawat disalah satu ruang rawat inap RSJ di Jawa Barat, Indonesia. Hasil dari penelitian
ini adalah terjadi peningkatan kemampuan interaksi sosial setelah diberikan Social Skills
Therapy. Oleh sebab itu Social Skills Therapy dapat direkomendasikan sebagai salah satu
terapi spesialis dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial.

Kata kunci : isolasi sosial, social skills therapy, kemampuan interaksi sosial.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik klien isolasi social dalam penelitian ini berdasarkan usia memiliki
rerata usia 36 tahun dengan usia terendah 19 tahun dan usia tertinggi yaitu 58 tahun. 34
klien atau sebesar 85% berpendidikan rendah. 38 klien atau 95% tidak bekerja. Klien
yang belum menikah 35 klien atau sebesar 87,5% sedangkan klien yang berstatus
perkawinan menikah adalah 5 klien atau sebesar 12,5%. Lama dirawat lebih banyak pada
1-2 bulan yaitu sebanyak 38 klien atau sebesar 95%.
Faktor predisposisi terjadinya isolasi sosial telah diidentifikasi berdasarkan tiga
aspek yaitu biologi, psikologis dan sosial budaya. Faktor biologis terbanyak didapatkan
data riwayat gangguan jiwa sebelumnya sebanyak 31 klien atau sebesar 77,5 %. Faktor
psikologis terbanyak adalah riwayat introvert sebanyak 35 klien atau sebesar 87,5%
sedangkan faktor sosial budaya terbanyak adalah masalah ekonomi keluarga dan klien
pribadi sebanyak 31 klien atau sebesar 77,5 %.
Faktor biologis klien isolasi sosial terbanyak adalah riwayat putus obat atau
pengobatan yang tidak rutin yakni sebanyak 35 klien atau sebesar 95%. Faktor psikologis
terbanyak riwayat keinginan yang tidak terpenuhi (harapan yang tidak realistis) sebanyak
32 klien atau sebesar 80%. Sedangkan faktor sosial budaya terbanyak adalah tidak adanya
penghasilan atau kondisi ekonomi yang kurang sebanyak 31 klien atau sebesar 77,5%.
Asal stresor yang dialami klien isolasi sosial dalampenelitian ini menunjukkan bahwa
seluruh klien memperoleh stresor baik dari faktor internal maupun eksternal dari luar
klien sebesar 100%. Waktu stresor yang dialami klien sebagian besar adalah 3-6 bulan
sebanyak 33 klien atau sebesar 82,5% dan jumlah stresor yang dialami sebagian besar
klien isolasi sosial lebih dari 3 stresor yakni sebanyak 30 klien atau sebesar 75%
Klien isolasi sosial mengalami respon terhadap stresor baik secara kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku maupun sosial. Respon tersebut muncul karena klien memahami dan
berpengaruh terhadap situasi yang dialaminya. Respon yang paling banyak dialami oleh
klien isolasi sosial dalam penelitian ini adalah respon perilaku yaitu kontak mata yang
kurang atau tidak adanya kontak mata.
Kemampuan personal klien dengan isolasi sosial lebih banyak mampu berkenalan
dengan orang lain yaitu sebanyak 29 klien atau sebesar 72,5% namun klien isolasi sosial
lebih banyak tidak mampu mengungkapkan siapa orang terdekatnya, siapa orang yang
tinggal serumah dan pengalaman dalam interaksi bersama orang lain. Dukungan keluarga
sebagai care giver utama hanya didapatkan pada 20 keluarga dari klien, 18 keluarga tidak
mengetahui penyakit yang dialami keluarganya atau sebesar 90%.
Ketersediaan materi lebih banyak ditunjang oleh penghasilan keluarga yaitu
sebanyak 37 klien atau sebesar 92,5%. Jarak dalam menggunakan pelayanan kesehatan
baik ke Puskesmas maupun rumah sakit mudah dijangkau sebanyak 31 klien atau sebesar
77,5%. Pelayanan kesehatan yang dipiilih oleh klien dan keluarga adalah RS. Dr. Marzoeki
Mahdi Bogor sebanyak 35 klien atau sebesar 87,5%. Pembiayaan selama perawatan di
rumah sakit ditanggung oleh pemerintah melalui program jaminan kesehatan masyarakat
dan daerah sebanyak 36 klien atau 90%. Keyakinan positif bahwa diriya akan sembuh
dimiliki sebanyak 31 klien atau 77,5%, klien juga yakin dengan perawatan dan pengobatan
yang diberikan yaitu sebanyak 36 klien atau 90%.

Tabel 4.13 menjelaskan bahwa pelaksanaan terapi SST


tidak dapat tuntas dalam 4 sesi.

Sesi 1: bersosialisasi dengan berkenalan dengan sikap tubuh yang baik, menjawab
pertanyaan dan bertanya untuk klarifikasi, dan sesi 2 : menjalin persahabatan tuntas
dilakukan pada 40 pasien. Sesi 3 : bekerja sama dalam kelompok hanya dapat dilakukan
pada 28 pasien. Sedangkan yang tuntas sampai sesi terakhir yakni sesi 4 : menghadapi
situasi yang sulit hanya 21 pasien.
Hal tersebut disebabkan oleh masa rawat klien yang dibatasihanya 41 hari
dimulai dari ruang perawatan pertama. Sedangkan klien masuk ke Ruang tenang tersebut
rata rata memiliki hari rawat ke 15-20 hari. Hal tersebut menjadi hambatan dalam
pelaksanaan terapi SST yang tidak bisa diselesaikan sampai selesai (67,5%). Oleh sebab
itu peneliti menyarankan untuk memulai SST pada klien yang sudah mendapatkan
tindakan generalis dan memiliki kemampuan sosialisasi sebelumnya dalam tingkat
generalis.

Pada tabel 6 distribusi evaluasi kemampuan klien dalam terapi SST tidak diukur
berdasarkan jumlah responden. Namun berdasarkan jumlah responden yang mampu
menunjukkan peningkatan kemampuan tiap sesi dari SST tersebut. Nilai selisih yang
ditampilkan adalah nilai selisih pasien yang mampu melalui tahap tiap sesi sesudah diberikan
terapi SST dikurangi jumlah pasien yang mampu melalui tahap sesi 1 sebelum pemberian terapi
SST. Oleh sebab itu jumlah tidak dapat ditotal menjadi 40, hal tersebut menandakan bahwa
tidak seluruhnya pasien isolasi sosial dapat mengalami peningkatan kemampuan interaksi
sosialnya melalui pelaksanaan tiap sesi.
Klien yang tidak mengalami peningkatan kemampuan interaksi sosial dapat dirujuk ke tim
medis dengan meninjau terapi medis yang diberikan dan juga penetapan diagnose medis
berdasarkan respons yang masih dimilki oleh klien. Sehingga dapat dirumuskan psikoterapi
yang cocok sebagai latihan ketrampilan selanjutnya yang akan dipimpin oleh perawat,
khususnya perawat spesialis jiwa di ruangan tersebut atau perawat lain yang berkompeten,
seperti supervisor yang bertanggung jawab di ruangan tersebut.
Peningkatan kemampuan interaksi sosial pada pasien isolasi sosial dapat terjadi akibat
hubungan atau interaksi yang baik antara perawat dengan klien. Sebelum terapi SST diberikan
klien mendapatkan terapi generalis terlebih dahulu baik secara individu maupun kelompok.
Melalui kerjasama dengan perawat ruangan dan mahasiswa yang praktek di ruang tenang
psikiatri di salah satu Rumah Sakit Jawa Barat. Penulis melakukan terapi SST pada 40 klien
isolasi sosial dengan syarat telah mendapatkan terapi generalis individu pada SP 2 dan terapi
kelompok TAKS padasesi1-2. Hal tersebut diantisipasi penulis agar klien tidak mengalami SST
yang tidak tuntas.
Kemampuan klien dalam berinteraksi sosial tidak terlepas dari proses belajar. Dalam
pelaksanaan SST klien diberi informasi dan cara belajar ketrampilan baru dalam bersosialisasi
(Callafel et al, 2014). Melalui pendekatan interpersonal relationship, tindakan keperawatan
dapat dengan mudah diaplikasikan pada tiap sesi pelaksanaan terapi SST. Klien isolasi social
membutuhkan hubungan antara perawat dan klien yang lebih dalam dan memiliki lingkungan
yang terapeutik (Williams B, 2015).
Kemampuan interaksi sosial klien isolasi sosial dapat terlihat dengan berkurangnya
kesendirian klien, kontak mata klien pada orang lain serta kemajuan klien dalam berinterksi
dengan orang lain. Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan keperawatan spesialis didapatkan
data bahwa terjadi penurunan tanda dan gejala baik kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial klien melalui SST. Hal ini juga tergambar dalam penelitian Kirana SAC, Keliat BA,
Mustikasari, (2015) yang mengalami penurunan tanda dan gejala isolasi sosial serta
peningkatan interaksi klien saat pelaksanaan SST dalam terapi CBSST Berdasarkan evaluasi
terhadap tindakan keperawatan SST pada klien dengan isolasi sosial ditemukan beberapa
hambatan antara lain tidak semua klien mengikuti secara tuntas pelaksanaan SST hal tersebut
disebabkan ada beberapa klien yang sudah diperbolehkan pulang dan dijemput keluarga untuk
melanjutkan pengobatan dipoliklinik.
KESIMPULAN
Karakteristik klien isolasi sosial dalam penelitian ini berdasarkan usia memiliki rerata usia
36 tahun, 34 klien berpendidikan rendah,38 klien tidak bekerja. Klien yang belum menikah 35
klien. Lama dirawat lebih banyak pada 1-2 bulan yaitu sebanyak 38 klien atau sebesar 95%.
Pelaksanaan SST pada 40 klien tidak dapat tuntas akibat lama rawat pasien yang tidak
dapat memanjang akibat peraturan pemerintah yang hanya merawat pasien 41 hari dengan
menggunakan fasilitas jaminan kesehatan pemerintah. Sedangkan pasien pindah ke ruangan
tenang minimal pada hari rawat 15-20 hari. Sehingga dibutuhkan tindakan keperawatan yang
konsisten dan teroganisir sesuai kondisi pasien agar tindakan keperawatan baik generalis
maupun spesialis dapat dilaksanakan dengan tuntas tanpa kendala waktu rawat pasien
Terdapat perubahan kemampuan interaksi sosial pasien isolasi sosial sebelum dan sesudah
pemberian Social Skills Therapy di tiap pelaksanaan sesinya. Sehingga psikoterapi ini dapat
direkomendasikan sebagai tindakan keperawatan dalam meningkatankan kemampuan interaksi
sosial pasien dengan isolasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Kirana, Sukma Ayu Candra , 2018. Gambaran Kemampuan Interaksi Sosial Pasien Isolasi
Sosial Setelah Pemberian Social Skills Therapy di Rumah Sakit
Rasmun. (2004). Stress Koping dan Adaptasi. Jakarta :CV.Sagung
Stuart, G.W & Sundeen. (2006). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St. Louis:
Mosby.

Anda mungkin juga menyukai