Disusun oleh:
MUGIA SAIDHA
2018
i
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani
sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi
rahmat bagi seluruh alam.
Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan jiwa II dengan judul “Asuhan keperawatan pasien halusinasi
pendengaran /suara”, Disamping itu, kami sebagai penyusun mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata, kami memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka dari
itu kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya-karya kami di waktu yang
akan datang.
Wassalammualaikum Wr.Wb
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi. Halusinasi
adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran)
dan rangsangan eksternal (dunia luar) sehingga klien memberi persepsi atau pendapat
tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Halusinasi yang dialami
klien jenisnya bervariasi, tetapi sebagian besar klien skizofrenia mengalami halusinasi
pendengaran. Halusinasi pendengaran dapat dikontrol dengan empat cara, yaitu
menghardik halusinasi, mengkonsumsi obat dengan teratur, bercakap-cakap dengan orang
lain, melakukan aktivitas secara terjadwal.
Menurut Videberk dalam Yosep Iyus (2009) tanda pasien mengalami halusinasi
pendengaran yaitu pasien tampak berbicara ataupun tertawa sendiri, pasien marah-marah
sendiri, menutup telinga, karena pasien menganggap ada yang berbibicara dengannya.
Halusinasi terjadi karena adanya reaksi emosi berlebihan atau kurang, dan perilaku aneh
(Damayanti, 2012). Bahaya secara umum yang dapat terjadi pada pasien tidak sadar lagi
akan dirinya, terjadi disorentasi waktu dan ruang (Iyus Yosep, 2009).oleh karena itu kami
tertarik mengambil judul asuhan keperawatan pada pasien halusinasi pendengaran /suara.
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
2
BAB II
TEORI
A. PENGERTIAN
Istilah halusinasi berasal dari bahasa latin hallucinatio yang bermakna secara mental
mengembara atau menjadi linglung (Jardi,dkk 2013) menegaskan “the term hallucination
comes fom the the latin “hallucinatio”: to wander mentally or to be absent-minded”.
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya rangsangan
(stimulus) eksternal (Stuart&Laraia, 2005).
Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa di mana klien merasakan suatu stimulus
yang sebenarnya tidak ada. Klien mengalami perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pada gangguan
halusinasi penglihatan, misalnya klien melihat suatu bayangan menakutkan, padahal tidak ada
bayangan tersebut. Salah satu manifestasi yang timbul adalah halusinasi membuat klien tidak
dapat memenuhi kehidupannya sehari-hari. Halusinasi merupakan salah satu dari sekian bentuk
psikopatologi yang paling parah dan membingungkan. Secara fenomenologis, halusinasi
adalah gangguan yang paling umum dan paling penting, selain itu, halusinasi dianggap sebagai
karakteristik psikosis.
B. ETIOLOGI
Halusinasi terjadi apabila yang bersangkutan mempunyai kesan tertentu tentang sesuatu
namun dalam kenyataan tidak terjadi sesuatu apapun dan bentuk kesalahan pengliatan tanpa
objektivitas pengindraan yang tidak disertai stimulus fisik yang adekuat sehingga
memunculkan respon seperti berbicara sendiri, isi suara memerintah sesuatu pada klien,
ataupun klien merasa melihat sosok yang dianggapnya temannamun sebenarnya tidak ada.
Ganguan otak karena kerusakan otak, keracunan, obat halusinogenik, gangguan jiwa,
seperti emosi tertentu yang dapat mengakibatkan ilusi, psikosis yang dapat menimbulkan
halusinasi, dan pengaruh lingkungan sosio-budaya, sosio-budaya yang berbeda menimbulkan
presepsi berbeda atau orang yang berasal dari sosio-budaya yang berbeda.
3
a. Faktor perkembangan
Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya mengontrol emosi
dan keharmonisan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi dan hilang percaya diri.
b. Faktor social kultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
membekas diingatannya sampai dewasa dan ia akan merasakan disingkirkan,
kesepian dan tidak percaya pada lingkungan.
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.
c. Faktor biokimia
Adanya stress yang berlebih yang di alami oleh seseorang maka di dalam
tubuhnya akan di hasilkan suatu zat yang bersifat halusinogenik neurokimia
buffofenon dan metytransferase sehingga terjadi ketidakseimbangan asetil kolin
dan dopamine.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian yang lemah dan tidak bertanggung jawab akan mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Klien lebih memilih kesenangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien.Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien.
e. Faktor genetic dan pola asuh
Hasil study menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Prespitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak
berdaya.Penilaian individu terhadap stresor dan masalah koping dapat mengindikasikan
kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai ancaman,
tantangan atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Adanya
rangsangan dari lingkungan seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak
4
berkomunikasi objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi sering
menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stres dan kecemasan
yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
Menurut Rawlis (1993), penyebab halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi (Yosep, 2011)
a. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksisitas
alcohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.
c. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperhatikan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
d. Dimensi social
Klien mengalami gangguan interaksi dalam fase awal dan comforting, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.
Klien asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi social, control diri dan harga diri yang tidak
di dapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi di jadikan system control oleh
individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya
atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting
dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu
proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungan dan halusianasi tidak berlangsung.
5
e. Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri. Irama serkadiannya terganggu, karena ia sering tidur larut
malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas
tujuan hidupnnya. Ia sering memakai takdir tetapi lemah dalam upaya
menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan
takdirnya memburuk.
C. RENTANG RESPON NEUROBIOLOGI HALUSINASI
Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori, sehingga halusinasi merupakan
gangguan dari respon neurobiologi. Oleh karenanya, secara keseluruhan, rentang respon
halusinasi mengikuti kaidah rentang respon neurobiologi. Rentang respon neurobiologi yang
paling adaptif adalah adanya pikiran logis, persepsi akurat, emosi yang konsisten dengan
pengalaman, perilaku cocok, dan terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Sementara itu,
respon maladaptif meliputi adanya waham, halusinasi, kesukaran proses emosi, perilaku tidak
terorganisasi, dan isolasi sosial: menarik diri.
Adaptif Maladaptif
- Pikiran logis - Pikiran kadang - Gangguan proses
- Persepsi akurat menyimpang pikir : waham
- Emosi konsisten - Ilusi - Halusinasi
dengan pengalaman perilaku - Emosi tidak stabil - Ketidakmampuan
sesuai hubungan sosial - Perilaku aneh untuk mengalami emosi
- Menarik diri - ketidakteraturan
- isolasi sosial
D. JENIS-JENIS HALUSINASI
6
- Bicara atau tertawa melakukan sesuatu
sendiri yang berbahaya
- Menutup telinga - Mendengar suara
yang mengajak
bercakap-cakap
- Mendengar suara
orang yang sudah
meninggal
Halusinasi penglihatan - Ketakutan pada - Melihat makhluk
sesuatu / objek yang tertentu, bayangan,
dilihat seseorang yang sudah
- Tatapan mata menuju meninggal, sesuatu
tempat tertentu yang menakutkan
- Menunjuk ke arah atau hantu, cahaya
tertentu
Halusinasi pengecapan - Adanya tindakan - Klien seperti sedang
mengecap sesuat, merasakan makanan
gerakan mengunyah, atau rasa tertentu,
sering meludah atau atau mengunyah
muntah sesuatu
Halusinasi penghidung - Adanya gerakan - Mencium bau dari
/penciuman cuping hidung karena bau-bauan tertentu,
mencium sesuatu seperti bau mayat,
atau mengarahkan masakan, fases, bayi,
hidung pada tempat atau parfum
tertentu - Klien sering
mengatakan bahwa ia
mencium suatu bau
- Halusinasi
penciuman sering
menyertai klien
demensia, kejang atau
7
penyakit
serebrovaskular
Halusinasi perabaan - Menggaruk-garuk - klien mengatakan ada
permukaan kulit sesuatu yang
- Klien terlihat menggerayangi
menatap tubuhnya tubuh, seperti tangan,
dan terlihat serangga, atau
merasakan sesuatu makhluk halus
yang aneh seputar - Merasakan sesuatu di
tubuhnya permukaan kulit,
seperti rasa yang
sangat panas dan
dingin, atau rasa
tersengat aliran listrik
8
c) Gerakan mata yang cepat.
d) Respons verbal yang lamban.
e) Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
b. Fase II :
Complementing : Ansietas tingkat berat, Secara umum halusinasi bersifat
menjijikan.
1) Karakteristik :
Pengalaman sensori yang bersifat menjijikan dan menakutkan. Orang
yang berhalusinasi mulai merasa kehilangan kendali dan mungkin berusaha
untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan, individu mungkin
merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain
(Nonpsikotik).
2) Perilaku klien
a) Peningkatan syaraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya,
peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah.
b) Penyempitan kemampuan konsentrasi.
c) Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan
untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
c. Fase III :
Controling : Ansietas tingkat berat, pengalaman sensori menjadi penguasa.
1) Karakteristik :
Orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan pengalaman halusinasi dan
membiarkan halusinasi menguasai dirinya.Isi halusinasi dapat berupa
permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori
tersebut berakhir (Psikotik).
2) Perilaku klien
a) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya
daripada menolaknya.
b) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
c) Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
d) Gejala fisik dari ansietas berat, seperti berkeringat, tremor,
ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
9
d. Fase IV :
Conquering panic : Ansietas tingkat panic, Secara umum halusinasi menjadi
lebih rumit dan saling terkait dengan delusi.
1) Karakteristik:
Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti
perintah. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila
tidak ada intervensi terapeutik (Psikotik).
2) Perilaku klien
a) Perilaku menyerang seperti panik.
b) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
c) Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi,
menarik diri, atau katatonik.
d) Tidak mampu berespons terhadap petunjuk yang kompleks.
F. PENGKAJIAN
Halusinasi pada klien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi stuart
(2013) yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi.
Faktor Predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya halusinasi adalah:
1. Faktor biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis, meliputi adanya faktor herediter gangguan
jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma kepala , dan riwayat
penggunaan NAPZA.
2. Faktor psikologis
Pada klien yang mengalami halusinasi ,dapat ditemukan adanya kegagalan yang
berulang, individu korban kekerasan,kurangnya kasih saying atau overprotektif
3. Social budaya dan lingkungan
Klien dengan halusinasi didapatka social ekonomi rendah ,riwayat penolakan
lingkungan pada usia perkembangan anak, tingkat pendidikan rendah , dan kegagalan
dalam hubungan social (perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja.
Faktor Presipitasi
10
Stressor presipitasi pada kliendengan halusinasi ditemuakn adanya riwayat penyakit
infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, kekerasan dalam keluarga, atau adanya
aturan atau tuntutan dikeluarga, adanya aturan atau tuntutn dikeluarga atau masyarakat
yang sering tidak sesuai dengan klien serta konflik antar masyarakat.
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1). Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
11
b. Data objektif
Berdasarkan data objektif , klien dengan gangguan halusinasi melakukan hal-hal
berikut:
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Mengarahkan telinga kearah tertentu
4. Menutup telinga
5. Menunjuk-nunjuk kearah tertentu
6. Ketakutan pada suatu yang tidak jelas
7. Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
8. Menutup hidung
9. Sering meludah
10. Muntah
11. Menggaruk – garuk permukaan kulit
Sumber Koping
Gangguan jiwa adalah penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan yang
membutuhka penyesuaian oleh klien dan keluarga. Sumber daya keluarga ,seperti
pemahaman orang tua tentang penyakit , ketersediaan keuangan, ketersediaan waktu dan
tenaga , dan kemampuan untuk memberikan dukungan yang berkelanjutan, memengaruhi
jalannya penyesuaian setelah gangguan jiwa terjadi. Proses penyesuaian setelah gangguan
jiwa terjadi terdiri dari empat tahap dan dapat berlangsung mungkin selama 3 sampai 6
tahun (Moller dan Zauszniewsky, 2011)
a. Disonansi kognitif (gangguan jiwa aktif): Disonansi kognitif melibatkan pencapaian
keberhasilan farmakologi untuk menurunkan gejala dan menstabilkan gangguan jiwa aktif
dengan memilah kenyataan setelah episode pertama. Hal ini dapat memakan waktu 6
sampai 12 bulan
b. Pencapaian wawasan (attaining insight): permulaan wawasan terjadi dengan kemampuan
melakukan pemeriksaan terhadap kenyataan yang dapat di percaya. Hal ini memakan waktu
6 sampai 18 bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan dukungan yang
berkelanjutan
c. Kognitif dan konstan (stabilitas di segala aspek kehidupan): kognitif konstan ( cognitive
constancy)termasuk melajutkan hubungan interpersonal yang normal dan kembali terlibat
12
dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan bekerja. Fase
ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Bergerak menuju prestasi kerja atau tujuan pendidikan (kebiasaan
kekhidupan/ordinariness): tahap ini termasuk kemampuan untuk secara konsisten terlibat
dalam kegiatan harian yang sesuai dengan usia hidup yang merefleksikan tujuan sebelum
gangguan jiwa. Fase ini berlangsung minimal 2 tahun.
Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi:
a. Regresi
Regresi berhubungan dengan proses informasi dan upaya yang digunakan untuk
menanggulangi ansietas. Energy yang tersisa untuk aktivitas sehari-hari tinggal sedikit,
sehingga klien menjadi malas beraktivitas sehari-hari.
b. Proteksi
Dalam hal ini, klien mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda.
c. Menarik diri
Klien sulit mempercayai orang lain dan syik dengan stimulus internal
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
POHON MASALAH
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan halusinasi, yaitu :
13
Gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran / penglihatan / pengecapan /
penghidung / perabaan
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
b. Perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan.
c. Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien.
d. Buat kontrak yang jelas.
e. Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi.
f. Tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya.
g. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
h. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien.
i. Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien.
14
Diskusikan tentang dampak yang akan dialaminya bila klien menikmati
halusinasinya.
1. a. Identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi
(tidur, marah, menyibukan diri dll)
b. Diskusikan cara yang digunakan klien,
Jika cara yang digunakan adaptif beri pujian.
Jika cara yang digunakan maladaptif diskusikan kerugian cara tersebut
c. Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol timbulnya halusinasi :
Katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak nyata (“saya tidak mau dengar/
lihat/ penghidu/ raba /kecap pada saat halusinasi terjadi)
Menemui orang lain (perawat/teman/anggota keluarga) untuk menceritakan
tentang halusinasinya.
Membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan sehari hari yang telah di
susun.
Meminta keluarga/teman/ perawat menyapa jika sedang berhalusinasi.
d. Bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk mencobanya.
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih.
f. Pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan dilatih , jika berhasil beri pujian
g. Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi
persepsi
Seorang perempuan berusia 34 tahun dirawat di RSJ. Seorang wanita berusia berusia 27 tahun,
belum menikah, dirawat untuk kelima kalinya di RSJ sejak tahun 2008 dengan diagnosa medik
Skizofrenia paranoid. Klien dibawa oleh keluarga dengan alasan masuk bicara kacau, marah-
marah dan merusak alat rumah tangga. Klien kesal dengan suara yang pacarnya dan berusaha
mengusir dengan cara melempar barang. Suara muncul pada malam dan siang hari. Klien juga
malas ngobrol dengan teman sekamarnya. Klien bercerita selama di rumah juga selalu marah-
marah, hal ini terjadi karena ia tersinggung dengan keluarga yang tidak mempedulikan dirinya
sehingga klien jarang untuk kontrol ke dokter. Dari hasil observasi perawat didapatkan data
15
klien tampak senyum-senyum sendiri, pandangan mata melihat ke satu sudut ruangan, kontak
mata mudah beralih, saat komunikasi dengan perawat klien blocking (terdiam). Klien menolak
bergabung dengan temannya, lebih senang duduk sendiri, melamun atau berjalan mondar-
mandir tanpa arah.
Data Tambahan
Klien merupakan anak dari keluarga yang broken home, dimana orangtua nya sudah bercerai
beberapa tahun yang lalu. Semenjak saat itu, klien menjadi trauma yang membuat interaksi
social klien terbatas. Dan orangtua pacarnya tidak suka dengan latar belakang keluarga klien
dan latar belakang pekerjaannya
Pengkajian Keperawatan
1. Faktor Predisposisi
Klien dirawat untuk kelima kalinya di RSJ dengan diagnosa medik Skizofrenia
Paranoid
Beberapa tahun yang lalu, orangtua klien bercerai yang membuat klien
menjadi trauma dan hubungan social klien menjadi terbatas
2. Faktor Presipitasi
Klien dibawa oleh keluarga dengan alasan masuk bicara kacau, marah-marah
dan merusak alat rumah tangga.
Orangtua pacarnya tidak suka dengan latar belakang keluarga klien dan latar
belakang pekerjaan klien
3. Penilaian Stresor
1) Afektif : Tersinggung dengan keluarganya yang tidak peduli kepadanya
2) Perilaku :
Merusak dan melempar alat rumah tangga
Klien bercerita selama di rumah juga selalu marah-marah
Klien tampak senyum-senyum sendiri
Pandangan mata melihat ke satu sudut ruangan
Kontak mata mudah beralih, saat komunikasi dengan perawat klien
blocking (terdiam).
16
3) Sosial : Klien malas ngobrol dengan teman sekamarnya. Saat komunikasi
dengan perawat klien blocking (terdiam).
4. Sumber Koping
Sumber koping yang dimiliki oleh klien adalah social support. Klien dibawa ke
RSJ oleh keluarga.
5. Mekanisme Koping
Menarik diri
Klien malas ngobrol dengan teman sekamarnya. Klien menolak bergabung
dengan temannya, lebih senang duduk sendiri, melamun atau berjalan
mondar-mandir tanpa arah.
Regresi
Klien tampak senyum-senyum sendiri, pandangan mata melihat ke satu sudut
ruangan, kontak mata mudah beralih, saat komunikasi dengan perawat klien
blocking (terdiam). Klien menolak bergabung dengan temannya, lebih
senang duduk sendiri, melamun atau berjalan mondar-mandir tanpa arah.
Pohon Masalah
Isolasi Sosial
Halusinasi Pendengaran
Analisa Data
17
Data Masalah Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Intervensi Keperawatan
RM.NO : Ruangan :
No Dx Perencanaan
Tgl
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Halusinasi TUM:………
(lihat/dengar/ 1. Setelah….. x
Tuk 1 : interaksi klien 1. Bina hubungan saling
menunjukkan tanda percaya dengan
18
penghidu/raba Klien dapat – tanda percaya menggunakan prinsip
/kecap) membina kepada perawat : komunikasi terapeutik :
hubungan Ekspresi wajah Sapa klien dengan
bersahabat ramah baik verbal
saling percaya
Menunjukkan maupun non verbal
rasa senang. Perkenalkan nama,
Ada kontak nama panggilan dan
mata. tujuan perawat
Mau berjabat berkenalan
tangan. Tanyakan nama
Mau lengkap dan nama
menyebutkan panggilan yang
nama. disukai klien
Mau Buat kontrak yang
menjawab jelas
salam. Tunjukkan sikap jujur
Mau duduk dan menepati janji
berdampingan setiap kali interaksi
dengan Tunjukan sikap
perawat. empati dan
Bersedia menerima apa
mengungkapk adanya
an masalah Beri perhatian
yang dihadapi. kepada klien dan
perhatikan
kebutuhan dasar
klien
Tanyakan perasaan
klien dan masalah
yang dihadapi klien
Dengarkan dengan
penuh perhatian
ekspresi perasaan
klien
19
lihat/ penghidu
/raba/ kecap )
Jika klien menjawab
ya, tanyakan apa
yang sedang
dialaminya
Katakana bahwa
perawat percaya
klien mengalami hal
tersebut, namun
perawat sendiri
tidak mengalaminya
( dengan nada
bersahabat tanpa
menuduh atau
menghakimi)
Katakan bahwa ada
klien lain yang
mengalami hal yang
sama.
Katakan bahwa
perawat akan
membantu klien
iii. Jika klien tidak sedang
berhalusinasi klarifikasi
tentang adanya
pengalaman halusinasi,
diskusikan dengan klien
:
Isi, waktu dan
frekuensi terjadinya
halusinasi (pagi,
siang, sore, malam
atau sering dan
kadang – kadang )
Situasi dan kondisi
yang menimbulkan
atau tidak
menimbulkan
halusinasi
b. Setelah…..x i. Diskusikan dengan
interaksi klien klien apa yang
menyatakan dirasakan jika terjadi
perasaan dan halusinasi dan beri
responnya saat kesempatan untuk
mengalami mengungkapkan
halusinasi : perasaannya.
Marah ii. Diskusikan dengan
Takut klien apa yang
Sedih dilakukan untuk
Senang
20
Cemas mengatasi perasaan
Jengkel tersebut.
iii. Diskusikan tentang
dampak yang akan
dialaminya bila klien
menikmati
halusinasinya.
21
perawat menyapa
jika sedang
berhalusinasi.
3.4 Bantu klien memilih cara
yang sudah dianjurkan
dan latih untuk
mencobanya.
3.5 Beri kesempatan untuk
melakukan cara yang
dipilih dan dilatih.
3.6. Pantau pelaksanaan yang
telah dipilih dan dilatih ,
jika berhasil beri pujian
3.7. Anjurkan klien mengikuti
terapi aktivitas
kelompok, orientasi
realita, stimulasi persepsi
TUK 4 : 4.1. Setelah … X 4.1 Buat kontrak dengan
Klien dapat pertemuan keluarga untuk
dukungan dari keluarga, keluarga pertemuan ( waktu,
keluarga menyatakan setuju tempat dan topik )
dalam untuk mengikuti 4.2 Diskusikan dengan
mengontrol pertemuan dengan keluarga ( pada saat
halusinasinya perawat pertemuan keluarga/
4.2. Setelah ……x kunjungan rumah)
interaksi keluarga a. Pengertian
menyebutkan halusinasi
pengertian, tanda b. Tanda dan gejala
dan gejala, proses halusinasi
terjadinya c. Proses terjadinya
halusinasi dan halusinasi
tindakan untuk d. Cara yang dapat
mengendali kan dilakukan klien dan
halusinasi keluarga untuk
memutus halusinasi
e. Obat- obatan
halusinasi
f. Cara merawat
anggota keluarga
yang halusinasi di
rumah ( beri
kegiatan, jangan
biarkan sendiri,
makan bersama,
bepergian bersama,
memantau obat –
obatan dan cara
pemberiannya
untuk mengatasi
halusinasi )
22
g. Beri informasi
waktu kontrol ke
rumah sakit dan
bagaimana cara
mencari bantuan
jika halusinasi tidak
tidak dapat diatasi
di rumah
TUK 5 : 5.1. Setelah ……x 5.1 Diskusikan dengan
Klien dapat interaksi klien klien tentang manfaat
memanfaatka menyebutkan; dan kerugian tidak
n obat dengan o Manfaat minum obat, nama ,
baik minum obat warna, dosis, cara ,
o Kerugian tidak efek terapi dan efek
minum obat samping penggunan
o Nama,warna,do obat
sis, efek terapi
dan efek
samping obat
5.2. Setelah ……..x
interaksi klien 5.2 Pantau klien saat
mendemontrasika penggunaan obat
n penggunaan 5.3 Beri pujian jika klien
obat dgn benar menggunakan obat
5.3. Setelah ….x dengan benar
interaksi klien 5.4 Diskusikan akibat
menyebutkan berhenti minum obat
akibat berhenti tanpa konsultasi dengan
minum obat tanpa dokter
konsultasi dokter 5.5 Anjurkan klien untuk
konsultasi kepada
dokter/perawat jika
terjadi hal – hal yang
tidak di inginkan .
Keterangan :
23
Strategi Pelaksanaan
SP I SP I
SP II SP II
I. HASIL PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA PASIEN HALUSINASI PENDENGARAN TERHADAP RESIKO
PERILAKU KEKERASAN DIRUANG KENARI RS.KHUSUS DAERAH PROVINSI SUL-SEL
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 4 Nomor 4 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721
Gangguan jiwa ialah gejala-gejala patologik domain berasal dari unsur psike. Hal ini tidak berarti
bahwa unsur yang lain tidak terganggu. Sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya
dan bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya. Menurut Keliat & Akemat, (2012),
24
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan
sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada. Perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol
(Kusumawati dan Hartono, 2010).
Tujuan penelitian ini adalah Untuk Mengetahui Hubungan Antara Pasien Halusinasi Pendengaran
Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan di Ruang Kenari di RS. Khusus Daerah Provinsi Sul-Sel. Desain
penelitian penelitian cross sectional, dimana peneliti melakukan observasi atau pengukuran variable
pada satu saat. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 63 responden. Penelitin dilaksanakan mulai dari
bulan april-juni 2013. Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik non
probability sampling dengan uji purposive sampling. Instrument penelitian menggunakan Lembar
Observasi
HASIL PENELITIAN
1. Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa responden berumur 20-30 tahun sebanyak 30 orang
(46.9%) dan umur 31-40 tahun sebanyak 34 orang (54.1%).
2. Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa responden yang pendidikan SD 27 orang (42,2%),
pendidikan SMP 17 orang (26.6%), pendidikan SMA 13 orang (20.3%), dan pendidikan D3-
D4 2 orang (3.1%), sedangkan yang Tidak Sekolah 5 orang (7.8%).
3. Tabel 5.3 Data Demografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Ruang Kenari
RS.Khusus Daerah Provinsi Sul-Sel
4. Dari tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang beragama Islam 62 orang (96.9%) dan
responden yang beragama Kristen 2 orang (3.1%).
25
5. Dari tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebanyak 36 responden (56.2%) yang Nampak
mengalami halusinasi pendengaran, sedangkan responden yang tidak Nampak mengalami
halusinasi pendengaran sebanyak 28 responden (43.8%).
6. Dari tabel 5.6 dapat diketahui bahwa sebanyak 40 responden (62.5%) yang mengalami perilaku
kekerasan, sedangkan responden yang tidak mengalami perilaku kekerasan sebanyak 24
responden (37.5%).
7. Dari tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 64 responden, ada 36 responden (56.2%) yang
mengalami halusinasi pendengaran dan dari 36 responden tersebut ada 32 responden (50%)
yang melakukan tindakan perilaku kekerasan dan 4 responden (6.2%) yang tidak melakukan
tindakan perilaku kekerasan. Sedangkan ada 28 responden (43.8%) yang tidak mengalami
halusinasi, dan dari 28 responden tersebut 8 responden ( 12.5%) yang melakukan tindakan
perilaku kekerasan. dan 20 responden (31.2%) yang tidak melakukan tindakan perilaku
kekerasan. Berdasarkan uji statistic chi-square di peroleh nilai p= 0,000. Dengan
demikian p˂α (0,05) sehingga hipotesis Alternatif (Ha) diterima dan Hipotesis (Ho) ditolak
dengan interpretasi “ Ditemukan adanya “ Hubungan antara pasien halusinasi
pendegaran terhadap perilaku kekerasan di ruang kenari RS.Khusus Daerah Provinsi Sul-Sel.
PEMBAHASAN
26
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata artinya klien
menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus atau rangsangan dari luar. Halausinasi
merupakan distorsi persepsi yang muncul dari berbagai indera (Trimelia, 2011). Menurut
NAMI (National Alliance For Mentally III ) halusinasi dapat terjadi pada seseorang yang bukan
penderita gangguan jiwa. Pada umumnya terjadi pada klien yang mengalami stress yang
berlebihan atau kelelahan bisa juga karena pengaruh obatobatan (Halusinasinogenik). Perilaku
kekerasan merupakan suatu keadaan dimana sesorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Nita
Fitria Cit Stuart dan Sundeen,2009:139). Hal ini berarti kondisi emosional atau perilaku
kekerasan pasien dipengaruhi oleh kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasinya.
Hasil dari penelitian ini ditemukan kebanyakan dari responden berumur 31-40 tahun sebanyak
34 orang (53.1%) dan umur 20-30 tahun sebanyak 30 orang (46.9%). Sedangkan untuk
pendidikan responden dari pendidikan tingkat SD ada 27 orang (42.2%), SMP 17 orang
(26.6%), sedangkan SMA 13 orang (20.3%), D3-D4 2 orang (3.1%), dan Tidak sekolah 5 orang
(7.8%). Sebanyak 64 orang (100.0%) adalah laki-laki, agama islam sebanyak 62 orang (96.9%)
dan Kristen 2 orang (3.1%). Dari 64 sampel, di temukan sebanyak 36 orang (56.2%) yang
mengalami halusinasi pendengaran dan 28 orang (43.8%) yang tidak mengalami halusinasi.
Sedangkan dari 64 sampel di temukan sebanyak 40 orang (62.5%) yang melakukan perilaku
kekerasan, dan sebanyak 24 orang (37.5%) yang tidak melakukan perilaku kekerasan.
Berdasarkan hasil uji statistic chi-square diperoleh nilai p=0,000. Dengan demikian p˂α (0,05)
sehingga Ha diterima dan Ho ditolak dengan interpretasi “ Ditemukan Adanya “Hubungan
Antara Pasien Halusinasi Pendengaran Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan di Ruang Kenari
RS.Khusus Daerah Provinsi Sul-Sel”
KESIMPULAN
27
memerintah, memarahi, dan menakutkan apabila tidak mengikuti perintahnya, sehingga
klien mulai terasa mengancam
28
DAFTAR PUSTAKA
Ns.sutejo,M.kep.,Sp.Kep.J.2014.keperawatan jiwa.yogyakarta:Pustaka baru press.
Stuart, Gail W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart, edisi
Indonesia pertama, oleh Budi Anna Keliat dan Jesika Pasaribu. Jakarta: Elsevier
29