Anda di halaman 1dari 20

KEHILANGAN

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Keperawatan Jiwa 1

Dosen Pengampu : Ns.Duma Lumban Tobing, M. Kep, Sp. Kep. J

Disusun Oleh :
Jesica Rachel Meliala 1710711098
Arlia Fika Damayanti 1710711099
Rismayanti Saleha 1710711100
Salbila Safa Alivia 1710711118
Sarah Nurul Izzah M 1710711132
Febby Fereza 1710711135
Anggi Dwi Prasetyo 1710711136
Refany Salsabila 1710711146

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
1. PENGERTIAN

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang


sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart,
2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan.

Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan,
atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan.

Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami setiap individu selama


rentang kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap individu akan bereaksi
terhadap kehilangan. Respons terakhir kehilangan sangat dipengeruhi oleh respons individu
terhadap kehilangan sebelumnya (Potter & Perry, 1997).

Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal dan
merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Seorang individu harus diberikan
kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui proses berduka, sehingga
mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan merupakan bagian
dari proses kehidupan.

Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau
sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek yang hilang, dapat merupakan objek
eksternal, orang yang berarti, lingkungan, aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang
mungkin dirasakan hilang ketika seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis antara lain
sebagai berikut.

Bentuk Kehilangan
1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal atau
dipenjara.
2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit, amputasi
bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri, kehilangan
pekerjaan, kehilangan kedudukan, dan kehilangan kemampuan seksual.

3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau perhiasan.

Jenis-jenis Kehilangan

Menurut Aziz Alimul (2014), kehilangan digolongkan menjadi beberapa jenis yakni
sebagai berikut:
a. Kehilangan objek eksternal (misalnya kecurian atau kehancuran akibat bencana).
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-
sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
b. Kehilangan lingkungan yang dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal
termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau
bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki
tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
(misalnya berpindah rumah, dirawat di rumah sakit, atau berpindah pekerjaan).
c. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti (misalnya pekerjaan, kepergian anggota
keluarga atau teman dekat, perawat yang dipercaya, atau binatang peliharaan).
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang
berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe
kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena
keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian
pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa
dan tidak dapat
d. Kehilangan suatu aspek diri (misalnya anggota tubuh dan fungsi psikologis atau fisik).
e. Kehilangan hidup (misalnya kematian anggota keluarga, teman dekat, atau diri sendiri).

2. ETIOLOGI KEHILANGAN DAN BERDUKA

Faktor Penyebab Berduka


Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan yang dapat menimbulkan respon
berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006). Situasi yang paling sering ditemui adalah
sebagai berikut:
1) Patofisiologis
Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat sekunder
akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori, muskuloskeletal, digestif,
pernapasan, ginjal dan trauma;
2) Terkait pengobatan Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka
waktu yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi, histerektomi);
3) Situasional (Personal, Lingkungan) Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa
kehilangan sekunder akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan
dengan kehilangan gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak
meninggalkan rumah, dan perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan normalitas
sekunder akibat keadaan cacat, bekas luka, penyakit;
4) Maturasional Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti teman-teman,
pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan harapan dan impian

Rasa berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi oleh bagaimana cara
individu merespon terhadap terjadinya peristiwa kehilangan. Menurut Miller (1999) (dalam
Carpenito, 2006), dalam menghadapi kehilangan, individu dipengaruhi oleh: 1) Dukungan
sosial (Support System); 2) Keyakinan religius yang kuat; 3) Kesehatan mental yang baik; 4)
Banyaknya sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau psikososial yang dialami.

3. RENTANG RESPON KEHILANGAN

RENTANG RESPONS EMOSI

Adaptif Maldaptif

 Menangis, menjerit,  Diam/tidak menangis


menyangkal,  Menyalahkan diri
menyalahkan diri sendiri, berkepanjangan.
menawar, bertanya-  Rendah diri.
 Mengasingkan diri.
tanya.
 Tak berminat hidup.
 Membuat rencana untuk
yang akan datang.
 Berani terbuka tentang
kehilangan.

Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada dalam rentang
yang fluktuatif, dari tingkatan yang adaptif sampai dengan maladaptif.

 TAHAPAN PROSES KEHILANGAN DAN BERDUKA


Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga proses, yaitu
syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
a. Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima
pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang dibutuhkan untuk
menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan untuk menerima
kenyataan kematian.
b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain, perasaan
bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan menangis untuk
menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.
c. Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga membantu
menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
2. Fase jangka panjang
a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan
termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang menjadi
keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan
dan menggunakan alkohol.

 Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan
dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama beberapa hari, kemudian
individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik
dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama
beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu
sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

 Tahapan Proses Kehilangan


Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah
(anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau
sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat
atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang
tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi
1. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok,
diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap
kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi
yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut.
1) “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2) “Diagnosis dokter itu salah.”
3) Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam, panas/dingin
dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak nyaman.
4) Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan (defense
mechanism) terhadap rasa cemas.
5) Pasien perlu waktu beradaptasi.
6) Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya
dan menggunakan pertahanan yang tidak radikal.
7) Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan kematian,
tapi tidak demikian dengan emosional.

Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian orang yang
dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang yang dicintainya masih
hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara seperti biasanya. Secara
fisik akan tampak letih, lemah, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis,
dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa
tahun setelah kehilangan.

2. Tahap Marah (Anger)


Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan.
Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau
benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah
tidur, dan tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
1) Emosional tak terkontrol. “Mengapa aku?”
2) “Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
3) Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.
4) Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik. “Peraturan RS terlalu
keras/kaku.”
5) “Perawat tidak becus!”
6) Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.
7) Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang akan
mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.

3. Tahap Penawaran (Bargaining)


1) Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak
melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......” atau “misalkan
dia tidak memilih pergi ke tempat itu... pasti semua akan baik-baik saja”, dan
sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut.
a. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
b. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu
hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
c. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-
menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara
tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin
akan lebih berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang
lebih baik.”
“Bila saya sembuh, saya akan…….”
d. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali perbuatannya,
dan menangis mencari pendapat orang lain.

4. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan
penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau
berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan,
susah tidur, letih, dan penurunan libido.
Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi
pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi
permasalahannya tanpa kehadiran saya?”
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang penting dan
bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan damai. Tahap
penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.

5. Tahap Penerimaan (Acceptance)


Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran
terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang.
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses
Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang
hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang
baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya yang telah
pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus
berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.........”
Berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang
sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan
jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk
mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang
disfungsional.

4. DEFINISI BERDUKA

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang


dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-
lain.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA


merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam
merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan,
objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih
dalam batas normal.

Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu


yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial,
hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

5. KEBUTUHAN KELUARGA YANG KEHILANGAN MEMBUTUHKAN HAL-


HAL SEBAGAI BERIKUT:

1. Harapan

Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati adalah akhir
penderitaan dan kesakitan.
2. Partisipasi

Memberi perawatan. Sharing dengan staf perawatan.


3. Dukungan

Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan


penyangkalan. Dukungan bisa digunakan sebagai koping dengan perubahan yang
terjadi.
4. Kebutuhan Spiritual

Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Mendapatkan kekuatan dari


Tuhan.

6. JENIS-JENIS BERDUKA

Ada 5 jenis konsep berduka, yaitu :

1. Berduka Normal

Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap


kehilangan. Misal : kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri
dari aktivitas untuk sementara.
2. Berduka Antisipatif

Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau kematian


yang sesungguhnya terjadi. Misal : ketika menerima diagnosis terminal, seseorang
akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan diri dengan berbagai urusan
dunia sebelum ajalnya tiba.
3. Berduka yang Rumit

Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu
tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan
dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka Tertutup

Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.


Misal : kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua,
ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.
5. Berduka Disfungsional

Suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya


dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial. Tipe
ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/ kekacauan.

7. TEORI DARI PROSES BERDUKA


Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka.
Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi
kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu
mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk
mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap
perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.

1. Teori Engels

Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.

 Fase I (shock dan tidak percaya)


Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik
diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk
pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat,
insomnia dan kelelahan.

 Fase II (berkembangnya kesadaran)

Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin


mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.

 Fase III (restitusi)

Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang


hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima
perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan
kehilangan seseorang.

 Fase IV

Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap


almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.

 Fase V

Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari.


Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

2. Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah


berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

 Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti
“ Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “ Tidak akan terjadi pada saya!”
umum dilontarkan klien.

 Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “ bertindak lebih”


pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan.
Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan
marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.

 Penawaran (Bargaining)

Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus


atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari
pendapat orang lain.

 Depresi (Depression)

Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya
melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.

 Penerimaan (Acceptance)

Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross


mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.

3. Teori Martocchio

Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai


lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan
bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu
sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan
dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
4. Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:

 Penghindaran

Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.

 Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka
paling dalam dan dirasakan paling akut.

 Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana
klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA

ENGEL (1964) KUBLER- MARTOCCHIO RANDO (1991)


ROSS (1969) (1985)
Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and Penghindaran
disbelief
Berkembangnya kesadaran Marah Yearning and
protest
Restitusi Tawar-menawar Anguish, Konfrontasi
disorganization
and despair
Idealization Depresi Identification in
bereavement
Reorganization / the out Penerimaan Reorganization akomodasi
come and restitution
8. PENGKAJIAN KEPERAWATAN KEHILANGAN
a. Faktor Predisposisi
1. Pengalaman kehilangan sebelumnya
Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti dihidupnya/orang yang
disayang memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan

b. Faktor Presipitasi
 Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu dan
kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti
- kehilangan orang yang berarti di hidupnya

c. Perilaku
1. Menangis atau tidak mampu menangis.
2. Menyalahkan diri sendiri atas meninggalnya anaknya

d. Mekanisme Koping
 Intelektualisasi
Pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk menghindari pengalaman
yang mengganggu perasaannya
Contoh : Pasien mengatakan “kenapa saya mengijinkan dia pergi, kalau saja dia
dirumah tentu masih hidup”
 Regresi (Regression)
Keadaan dimana seseorang kembali ke tingkat yang lebih awal dan kurang
matang dalam adaptasi. Bentuknya yang ekstrim adalah tingkah laku infantile
(kekanak-kanakan). Keadaan seorang yang kembali ke tingkat perkembangan yang
sebelumya dan kurang matang dalam adaptasi.
Contoh : Pasien dengan keluhan menangis,tidak bisa tidur, tidak mau
makan
 Denial
Menyatakan ketidak setujuan terhadap realitas dengan mengingkari dengan
realitas tersebut
Contoh : Pasien selalu teringat anaknya yang meninggal 1 bulan lalu akibat
kecelakaan dan Jantung berdebar-debar serta menyalahkan dirinya atas
meninggalnya anaknya

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan identitas pribadi berhubungan dengan gangguan manik
2. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan penurunan kontrol terhadap
lingkungan
3. Pengabaian diri berhubungan dengan stresor

10. TUJUAN DAN KRITERIA HASIL DAN INTERVENSI

NO. DIAGNOSA NOC NIC


KEPERAWATAN
1. Gangguan Identitas Setelah dilakukan asuhan 1. Pengurangan
Pribadi b.d Gangguan keperawatan selama 3x24 Kecemasan.
Manik jam diharapkan gangguan a. Gunakan
identitas pribadi teratasi. pendekatan yang
tenang dan
1. Kontrol diri meyakinkan.
terhadap distorsi b. Berikan aktivitas
pemikiran pengganti yang
Indikator: bertujuan untuk
1) Menunjukkan pola mengurangi
berpikir yang logis tekanan.
(2→4). c. Dengarkan klien.
2) Menunjukkan d. Eksplorasi dengan
pemikiran yang pasien mengenai
berdasarkan kebutuhan control
kenyataan (2→4). e. Bantu pasien untuk
3) Menunjukkan isi mengidentifikasi
pikiran yang tepat perilaku yang
(2→4). merusak diri.
2. Kesadaran diri
Indikator:
1) Mepertahankan
Kesadaran Berpikir
(2→4).
2) Memertahankan
kesadaran terhadap
perasaan (2→4).
2. Harga diri rendah Setelah dilakukan asuhan 1. Fasilitas perasaan
situasional b.d penurunan keperawatan selama 3x24 bersalah
Intervensi :
control terhadap jam diharapkan harga diri a. Pandu klien dan
lingkunngan. pasien meningkat. keluarga
1. Resolusi rasa mengidentifikasi
bersalah perasaan sakit
Indikator: karena merasa
1) Menggunakan bersalah.
strategi untuk b. Bantu klien /
mengurangi keluarga
perasaan bersalah mengidentifikasi
(2→4). perilaku dalam
2) Melaporkan mennghadapi
penurunan perasaan bersalah
kecemasan c. Ajarkan klien
terhadap perasaan untuk
bersalah (2→4). mengginakan
3) Mengungkapkan teknik “berhenti
penerimaan berpikir”
perasaan bersalah danberpikir
(2→4). substitusi dalam
4) Beradaptasi dengan hubungannya
perubahan hidup dengan relaksasi
yang terjadi otot yang disengaja
5) Pemulihan ketika pikiran
perasaan bersalah bersalah terus
(2→4). menerus
mengganggu
pikiran
d. Fasilitasi
dukungan spiritual
jika diperlukan
e. Bantu klien atau
anggota keluarga
untuk
mengidentifikasi
pilihan – pilihan
untuk pencegahan,
resitusi, penebusan
dan resolusi yang
tepat.
3. Pengabaian diri b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen
stressor keperawatan selama 3x24 status nutrisi
jam diharapkan pengabaian Intervensi:
diri pasien teratasi. a. Tentukan status
1. Status kesehatan gizi pasien dan
pribadi kemampuan pasien
Indikator : untuk memenuhi
1) Pola tidur – keburuhan gizi
istirahat (2→4). b. Instruksikan pasien
2) Status nutrisi mengenai
(2→4). kebutuhan nutrisi
c. Anjurkan keluarga
untuk membawa
makanan favorit
pasien sementara
pasien berada
dirumah sakit
2. Peningkatan
tidur
Intervensi:
a. Tentukan pola
tidur / aktivitas
pasien
b. Anjurkan pasien
untuk memantau
pola tidur
c. Monitor pola tidur
pasien
d. Bantu untuk
menghilangkan
situasi stress
sebelum tidur

11. HASIL PENELITIAN ASKEP PADA PASIEN YANG MENGALAMI MASALAH


KEHILANGAN :

A. Judul : Asuhan Keperawatan Berduka Situasional Pada Ibu A dengan Stroke Non-
Hemoragik Di Ruang Rawat Antasena Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor

B. Penulis : Rosiana Putri S.kep

C. Tahun : 2013

D. Masalah keperawatan: Berduka situasional b.d kehilangan,fungsi tubuh

Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan, lalu dilakukan analisa kasus dan
didapatkan beberapa masalah keperawatan yang muncul, baik masalah keperawatan
fisik maupun psikososial. Namun, disini penulis lebih menekankan kepada masalah
psikososial yang dialami klien. Masalah psikososial yang dialami klien berhubungan
dengan masalah fisik yang timbul sebelumnya.
 Berduka situasional ini berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan
sekunder akibat penyakit yang dialami klien, yaitu kehilangan,fungsi tubuh yang
dialami klien. Hal ini nampak dari respon klien yang terkadang masih menyalahkan
diri sendiri dan cenderung menyesal pada aktivitas yang dilakukan sebelum
kehilangan. Saat berinteraksi, klien masih tampak bersedih dan lemas. Keluarga
mengatakan klien menjadi malas makan dan susah tidur karena kejadian ini.
 Masalah psikososial lain yang muncul sebagai akibat adanya masalah fisik pada
klien adalah ansietas. Hal ini nampak pada respon klien yang menyatakan ketakutan
“Tidak bisa seperti dulu lagi dan tidak dapat beraktivitas seperti dulu lagi”. Selain
itu terlihat dari adanya respon penyesalan yang diucapkan klien saat berinteraksi.
Klien masih tampak tegang saat berinteraksi, konsentrasi kurang, dan mulut tampak
kering.

E. Rencana Tindakan dan Implementasi

1. Rencana Tindakan

Setelah menentukan diagnosa keperawatan yang didapat dari hasil pengkajian,


barulah penulis mulai menganalisis intervensi atau rencana tindakan keperawatan
berduka situasional yang akan diberikan pada klien. Rencana tindakan keperawatan
yang dibuat untuk mengatasi berduka situasional pada klien bertujuan agar klien
dapat mengenal peristiwa kehilangan yang dialaminya, memahami hubungan antara
kehilangan yang dialami dengan keadaan dirinya, mengidentifikasi cara-cara
mengatasi berduka yang dialaminya, dan memanfaatkan faktor pendukung
disekeliling klien. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan verbal
(mengungkapkan perasaan), fisik, sosial, dan spiritual (CHMN, 2010).

Rencana tindakan keperawatan yang dibuat penulis mengacu dan sejalan pada teori
yang sudah ada dan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dimana, untuk
mengatasi masalah berduka situasional yang dialami klien, penulis menekankan
pada aktivitas memunculkan emosi positif melalui pengungkapan perasaan, baik
secara fisik, sosial, maupun spiritual klien yang didukung oleh support system klien,
yaitu keluarga dan lingkungan sosial klien.

2. Implementasi

Setelah rencana tindakan keperawatan dibuat, barulah penulis mulai melakukan


implementasi atau memberikan tindakan keperawatan kepada klien. Implementasi
untuk mengatasi masalah berduka situasional dilakukan sebanyak tiga kali
pertemuan.

 Pertemuan pertama dilakukan pada hari Rabu, tanggal 8 Mei 2013 pukul 10.00-
10.30 WIB. Penulis melakukan beberapa tindakan keperawatan, meliputi
mempertahankan hubungan saling percaya dengan klien yang telah dibina pada
saat pengkajian klien sebelumnya, membantu klien mengungkapkan perasaan
yang dirasakan klien, dan membantu klien mengetahui tahapan berduka yang
sedang dialami klien.
 Pada pertemuan kedua dalam melakukan implemementasi berduka situasional
(Jumat, 10 Mei 2013 pukul 09.00-09.30), penulis membantu klien untuk
menggambarkan arti kehilangan yang dirasakan klien agar dapat diambil
hikmah dari semua kejadian yang sudah terjadi. Selain itu penulis memberikan
gambaran terhadap klien maupun keluarga mengenai koping yang adaptif yang
dapat digunakan dalam menghadapi proses berduka yang dialami klien. Pada
pertemuan kedua ini penulis menjelaskan cara-cara yang dapat dilakukan klien
untuk mengatasi berduka yang dialaminya, dengan cara mengungkapkan
perasaan secara verbal, secara fisik dengan memberikan kesempatan aktivitas
fisik pada klien dan membuatkan jadwal aktivitas fisik, secara sosial, maupun
secara spiritual. Aktivitas fisik yang dipilih klien adalah dengan berolahraga di
tempat tidur, membaca majalah, dan mengajarkan ‘ngaji’ cucu-cucunya.

 Pada pertemuan ketiga (Sabtu, 11 Mei 2013 pukul 09.30-10.00), implementasi


yang telah dilakukan penulis adalah membantu dan memotivasi klien untuk
menerima kehilangan dengan ikhlas dengan cara meningkatkan nilai spiritual
pada klien. Pada pertemuan ketiga ini, penulis juga menjelaskan pada keluarga
bahwa support keluarga merupakan dukungan terbesar yang dibutuhkan klien
menghadapi proses kehilangan yang terjadi pada klien. Keluarga diharapkan
dapat terus memotivasi klien untuk mencegah efek berduka situasional lebih
lanjut. Disini penulis memberikan edukasi terhadap keluarga tentang bagaimana
cara membimbing klien agar dapat melewati fase berduka dengan baik sehingga
tidak menimbulkan akibat lebih lanjut, seperti depresi.

F. Evaluasi

Pada evaluasi, penulis mendapatkan respon klien terhadap tindakan yang sudah
dilaksanakan selama tiga hari untuk mengatasi diagnosa berduka situasional, yaitu
tanggal 8, 10, dan 11 Mei 2013. Dari tujuan khusus 1 hingga 7 yang dilaksanakan, dapat
dievaluasi bahwa semua tujuan yang direncanakan tercapai. Klien dan penulis dapat
saling membina hubungan saling percaya dengan menggunakan komunikasi yang
terapeutik. Hal ini terlihat dari terlaksananya semua kontrak pertemuan yang telah
disepakati dengan klien sebelumnya.

 Evaluasi Hari Pertama, yaitu klien sudah mampu mengungkapkan kehilangan yang
dirasakannya dan mengetahui tahapan berduka yang sedang dirasakan klien. Klien
mengatakan bahwa dirinya merasa sedih karena kehilangan fungsi tubuh akibat
stroke yang dialaminya, namun rasa kehilangan ini tidak separah ketika dirinya
kehilangan suaminya dahulu yang membuat dirinya tidak keluar rumah selama tiga
bulan lebih. Klien juga mengungkapkan bahwa sesaat setelah dirinya mengetahui
terkena stroke, dirinya merasa sangat syok dan takut serta selalu menyalahkan diri
sendiri. Klien mengatakan sampai saat ini masih ada rasa penyesalan dalam dirinya
sehingga membuat dirinya malas berbuat apa-apa.

 Evaluasi Hari Kedua, yaitu klien sudah mampu menggambarkan arti kehilangan
dan belum dapat menggunakan mekanisme koping yang adaptif untuk mengatasi
kesedihan yang dirasakan klien sehingga dapat memunculkan emosi positif pada
diri klien. Bersama penulis, klien mengidentifikasi cara-cara yang dapat dilakukan
klien untuk mengatasi berduka yang dialami klien. Klien sudah dapat
mengungkapkan perasaaanya secara verbal. Disini penulis juga mengidentifikasi
aktivitas fisik bersama klien agar dapat dilakukan untuk mengurangi rasa berduka
yang dialaminya. Aktivitas fisik yang dipilih klien adalah dengan berolahraga di
tempat tidur, membaca majalah, dan mengajarkan ‘ngaji’ cucu-cucunya. Kemudian
bersama penulis, klien membuat jadwal latihan fisik dirumah sakit dan untuk di
rumah nantinya.

 Evaluasi Hari Ketiga, yaitu klien sudah mampu menyebutkan cara kehilangan
dengan ikhlas dan menggunakan sistem pendukung yang ada. Klien sudah mampu
mengambil hikmah dari kehilangan yang dialaminya dan mau kembali
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kembali menjalankan
ibadah sholat dan mengaji ketika dirawat di ruangan.
DAFTAR PUSTAKA:
 Bulechek, Gloria M., Howard, Joanne, Cheryl. 2013. Nursing Interventions Classification
(NIC). Singapore; Indonesia : Elsevier; Mocomedia.
 Moorhead, Sue., Marion, Meridean, Elizabeth. 2016. Nursing Outcomes Classification
(NOC) Edisi-5. Singapore; Indonesia : Elsevier; Mocomedia.
 Potter, A. Patricia dan Anne G. Perry. 2010. Fundamental Keperawatan, Edisi 7 Buku 2.
Singapore: Elsevier
 Alimul, Aziz.2014.Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Buku 1 Edisi 2.Jakarta: Salemba
Medika
 Yusuf, Ah dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
 Putri, Rosiana. 2013. Asuhan Keperawatan Berduka Situasional Pada Ibu A dengan Stroke
Non-Hemoragik Di Ruang Rawat Antasena Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor.
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351452-PR-Rosiana%20Putri.pdf) di akses pada 1
Mei 2019

Anda mungkin juga menyukai