Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikososial dan Budaya dalam
Keperawatan Dosen pengampu: Drs. H. Nasihin, M.Kes.
Disusun Oleh:
Lency Cahyaningsih
P2790522022
B. Bentuk-Bentuk Kehilangan
1. Kehilangan orang yang berarti
2. Kehilangan kesejahteraan
3. Kehilangan milik pribadi
C. Sifat Kehilangan
1. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak
diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang lambat.
Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian
diri akan sulit diterima.
2. Berangsur-angsur (Dapat Diramalkan) Penyakit yang sangat menyulitkan,
berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan
emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan
oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai
kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan
perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan proses
berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya.
Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh
apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas
kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis.
Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi
jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium
fisik, pshikologis, dan social.
D. Tipe kehilangan
1. Actual Loss kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang
lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
2. Perceived Loss(Psikologis) perasaan individual tetapi mnyangkut hal-hal
yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
3. Anticipatory Loss Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.
Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu
kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan
klien(anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi
tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan
distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita.
Namun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara
berbeda. Kematian seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress
lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang
yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters
emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak
pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual
atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah
diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah.
Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salah artikan seperti
kehilangan kepercayaan diri atau prestise.
E. Katagori Kehilangan
1. Kehilangan Objek Eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai yang
dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2. Kehilangan Lingkungan Yang Telah Dikenal.
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang
telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode
tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru
atau perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari
lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturaasionol,
misalnya ketika seorang lansia pindah kerumah perawatan, atau situasi
situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan
rumah akibat bencana alam.
3. Kehilangan Orang Terdekat.
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara
sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet
terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset
membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai
orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis. Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup
anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara. Kehilangan fungsi
fsiologis mencakupo kehilangan control kandung kemih atau usus,
mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk
kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri
ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan
atau situasi.
F. Tahap Kehilangan
1. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan –
perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.
2. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit
fisik.
3. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku konstruktif – perbaikan –
mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan
bersalah – ketidakberdayaan.
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap
kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap
kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif (konstruktif).
G. Pengertian Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas,
susah tidur, dan lain- lain. Berduka merupakan respon normal pada semua
kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu
berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah
suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon
kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum
terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara
aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional.
Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.
I. Pengertian Kematian
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia.
Namun, bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan atau
mengalami kematian secara tiba-tiba. Pemahaman akan kematian
mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang terhadap kematian. Selain
pengalaman, pemahaman konsep kematian juga dipengaruhi oleh
perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya. Kebudayaan Jawa
yang menjadi latar tumbuh kembang anak menjadi penting untuk
diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak
usia sekolah dan praremaja tentang kematian dengan mengacu pada tujuh
subkonsep kematian, yakni irreversibility, cessation, inevitability,
universability, causality, unpredictability, dan personal mortality dari
Slaughter (2003). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan
metode wawancara yang dilakukan pada tiga anak usia (6-7 tahun) dan 4
praremaja (10-11 tahun).
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman konsep kematian yang
berbeda-beda pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum
memahami subkonsep unpredictability dan causality, sedangkan kelima
subkonsep lainnya sudah dipahami oleh anak. Satu subjek lainnya hanya
memahami subkonsep inevitability, universality, dan personal mortality,
sedangkan empat subkonsep lainnya belum dipahami sama sekali. Secara
umum ketiga subjek belum memahami kematian sebagai fenomena biologis.
Partisipan yang berusia 10-11 tahun sudah memiliki ketujuh subkonsep
kematian walaupun belum bisa mendeskripsikannya secara utuh. Hasil
penelitian ini disoroti dari teori kematian, teori perkembangan dan budaya
Jawa. Hasil penelitian ini berimplikasi pada teori perkembangan konsep
kematian pada anak, dan juga pada seberapa jauh budaya Jawa memberikan
kesempatan pada anak untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang
kematian.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep
tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan
menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran
telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan
penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati. Berikut ini beberapa
konsep tentang mati yaitu :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam PP
No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi
jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman.
Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan
jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan
nyawa dapat ditarik kembali.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri
tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi,
konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima
karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu
lagi.
4. Hilangnya mausia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu
yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan
mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari
otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat
pengendali ini terletak dalam batang otak. Olah karena itu, jika batang otak
telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah
mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan
tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resuscitation). Bila fungsi jantung
dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya
terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama
yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang
belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian.