Anda di halaman 1dari 11

RESUME KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN DAN BERDUKA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikososial dan Budaya dalam
Keperawatan Dosen pengampu: Drs. H. Nasihin, M.Kes.

Disusun Oleh:

Lency Cahyaningsih
P2790522022

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANTEN
JURUSAN KEPERAWATAN
TANGERANG
2022/2023
A. Pengertian Kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik,
diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa
kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan
pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang
kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna
kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan
menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi
kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima.
Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali
ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social.

B. Bentuk-Bentuk Kehilangan
1. Kehilangan orang yang berarti
2. Kehilangan kesejahteraan
3. Kehilangan milik pribadi

C. Sifat Kehilangan
1. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak
diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang lambat.
Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian
diri akan sulit diterima.
2. Berangsur-angsur (Dapat Diramalkan) Penyakit yang sangat menyulitkan,
berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan
emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan
oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai
kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan
perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan proses
berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya.
Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh
apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas
kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis.
Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi
jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium
fisik, pshikologis, dan social.

D. Tipe kehilangan
1. Actual Loss kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang
lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
2. Perceived Loss(Psikologis) perasaan individual tetapi mnyangkut hal-hal
yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
3. Anticipatory Loss Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.
Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu
kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan
klien(anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi
tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan
distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita.
Namun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara
berbeda. Kematian seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress
lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang
yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters
emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak
pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual
atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah
diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah.
Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salah artikan seperti
kehilangan kepercayaan diri atau prestise.

E. Katagori Kehilangan
1. Kehilangan Objek Eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai yang
dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2. Kehilangan Lingkungan Yang Telah Dikenal.
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang
telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode
tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru
atau perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari
lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturaasionol,
misalnya ketika seorang lansia pindah kerumah perawatan, atau situasi
situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan
rumah akibat bencana alam.
3. Kehilangan Orang Terdekat.
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara
sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet
terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset
membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai
orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis. Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup
anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara. Kehilangan fungsi
fsiologis mencakupo kehilangan control kandung kemih atau usus,
mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk
kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri
ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan
atau situasi.

F. Tahap Kehilangan
1. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan –
perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.
2. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit
fisik.
3. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku konstruktif – perbaikan –
mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan
bersalah – ketidakberdayaan.
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap
kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap
kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif (konstruktif).

G. Pengertian Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas,
susah tidur, dan lain- lain. Berduka merupakan respon normal pada semua
kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu
berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah
suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon
kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum
terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara
aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional.
Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.

H. Teori dari Proses Berduka


Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya
dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan
mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap
perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
a. Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik
diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk
pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat,
insomnia dan kelelahan.
b. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima
perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan
kehilangan seseorang.
c. Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima
perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan
kehilangan seseorang.
d. Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e. Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari.
Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak
untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti
“Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!”
umum dilontarkan klien.
b. Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih”
pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali
tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.
c. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus
atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali
mencari pendapat orang lain.
d. Depresi (Depression0
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk
berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau
berputus asa.
3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai
lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi
kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi
respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan
biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin
berlanjut sampai 3-5 tahun.
4. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
b. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling
dalam dan dirasakan paling akut.
c. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari
dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

I. Pengertian Kematian
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia.
Namun, bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan atau
mengalami kematian secara tiba-tiba. Pemahaman akan kematian
mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang terhadap kematian. Selain
pengalaman, pemahaman konsep kematian juga dipengaruhi oleh
perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya. Kebudayaan Jawa
yang menjadi latar tumbuh kembang anak menjadi penting untuk
diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak
usia sekolah dan praremaja tentang kematian dengan mengacu pada tujuh
subkonsep kematian, yakni irreversibility, cessation, inevitability,
universability, causality, unpredictability, dan personal mortality dari
Slaughter (2003). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan
metode wawancara yang dilakukan pada tiga anak usia (6-7 tahun) dan 4
praremaja (10-11 tahun).
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman konsep kematian yang
berbeda-beda pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum
memahami subkonsep unpredictability dan causality, sedangkan kelima
subkonsep lainnya sudah dipahami oleh anak. Satu subjek lainnya hanya
memahami subkonsep inevitability, universality, dan personal mortality,
sedangkan empat subkonsep lainnya belum dipahami sama sekali. Secara
umum ketiga subjek belum memahami kematian sebagai fenomena biologis.
Partisipan yang berusia 10-11 tahun sudah memiliki ketujuh subkonsep
kematian walaupun belum bisa mendeskripsikannya secara utuh. Hasil
penelitian ini disoroti dari teori kematian, teori perkembangan dan budaya
Jawa. Hasil penelitian ini berimplikasi pada teori perkembangan konsep
kematian pada anak, dan juga pada seberapa jauh budaya Jawa memberikan
kesempatan pada anak untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang
kematian.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep
tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan
menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran
telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan
penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati. Berikut ini beberapa
konsep tentang mati yaitu :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam PP
No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi
jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman.
Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan
jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan
nyawa dapat ditarik kembali.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri
tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi,
konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima
karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu
lagi.
4. Hilangnya mausia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu
yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan
mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari
otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat
pengendali ini terletak dalam batang otak. Olah karena itu, jika batang otak
telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah
mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan
tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resuscitation). Bila fungsi jantung
dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya
terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama
yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang
belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian.

Anda mungkin juga menyukai