Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu
kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih
banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.

Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit
demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk
mencari bentuan kepada orang lain.

Kehilangan (Loss) merupakan peristiwa yang siapapun individu pasti pernah dan akan
mengalaminya dalam kehidupannya, baik kehilangan harta benda, kehilangan pekerjaan,
kehilangan anggota tubuh atau fungsi dari anggota tubuh, kehilangan tempat tinggal, ataupun
kehilangan orang terdekat baik keseluruhan ataupun hanya sebagian, baik secara perlahan atupun
tibatiba, baik bersifat sementara ataupun selama-lamanya. Penyebab dari kehilangan bisa karena
ketidakwaspadaan, kecelakaan, bencana alam, perceraian, ataupun kematian. Kehilangan (Loss)
didefinisikan sebagai suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami individu ketika
berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi
perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan (Hidayat, 2012)

Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila


menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan
diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan
perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang
tidak tetap (Suseno, 2004).

Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan.
Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima
kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks
kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak
berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka
akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami
kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika
merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-
kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian.
Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat
mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).

B.     Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan kehilangan dan berduka?


2. Apa saja jenis-jenis kehilangan?
3. Bagaimana konsep dan teori dari proses berduka?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan?

C.    Tujuan Penulisan

1. Mengetahui konsep kehilangan dan berduka


2. Mengetahui jenis-jenis kehilangan.
3. Menjelaskan konsep dan teori dari proses berduka.
4. Mengetahui faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi kehilangan

Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah
suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak
kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa
kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa
kembali atau tidak dapat kembali.

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert
dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.

Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan


atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan
suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik
sebagian atau seluruhnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:


1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu.

Tipe Kehilangan

Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:


1. Aktual atau nyata
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian orang yang
sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang
berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi
menurun.

B. Jenis-jenis Kehilangan

Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:

 Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai

Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah
salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana
harus ditanggung oleh seseorang.

Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena
keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan
suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat
ditutupi.

 Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)

Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik
dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin
sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari
seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.

 Kehilangan objek eksternal

Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama,


perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda
yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
 Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal

Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk
dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara
permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses
penyesuaian baru.

 Kehilangan kehidupan/ meninggal

Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan
dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon
berbeda tentang kematian.

C. Rentang Respon Kehilangan

Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance

1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah.

2. Fase anger / marah


a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar.
a. Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit bukan saya “ seandainya
saya hati-hati “.

4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah, akhirnya saya
harus operasi “

Berduka

A.    Definisi berduka

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang


dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA


merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.

Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam
merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek
atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas
normal.

Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang
responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan,
objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal,
atau kesalahan/kekacauan.

B.     Teori dari Proses Berduka

Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan
teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan
emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan
memberikan dukungan dalam bentuk empati.

1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada
seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.

 Fase I (shock dan tidak percaya)

Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau
pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung
cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.

 Fase II (berkembangnya kesadaran)

Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.

 Fase III (restitusi)

Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena


kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

 Fase IV

Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa
bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.

 Fase V

Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini
diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

1. Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan
menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a) Penyangkalan (Denial)

Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai
bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau
“Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.

b) Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.

c) Penawaran (Bargaining)

Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah
kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.

d) Depresi (Depression)

Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut.
Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.

e) Penerimaan (Acceptance)

Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap
penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.

1. Teori Martocchio

Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang
tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya
reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

1. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:

1. Penghindaran

Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.

2.      Konfrontasi

Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang
melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.

3.      Akomodasi

Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali
secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.

PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA


ENGEL (1964) KUBLER-ROSS MARTOCCHIO RANDO (1991)
(1969) (1985)
Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and disbelief Penghindaran
Berkembangnya  kesadaran Marah Yearning and
protest
Restitusi Tawar-menawar Anguish, Konfrontasi
disorganization and
despair
Idealization Depresi Identification in
bereavement
Reorganization / the out Penerimaan Reorganization and akomodasi
come restitution
Rentang Respon Kehilanagn

Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “ Tidak,
saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau keluarga
yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernafasan,
detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat
berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.

Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan
Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain
atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. Respon fisik yang sering
terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase
tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan
kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa “. Apabila proses
ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan anak
saya”.

Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat
penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan
bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libido manurun.

Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada
obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima
kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan
dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya
dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis “
atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.

Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan
mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila
tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi
perasaan kehilangan selanjutnya.

ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL

Pengkajian

Data yang dapat dikumpulkan adalah:


a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

A. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu tak
efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.

B. Rencana Tindakan Keperawatan


Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis
- Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
- Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
2. Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3. Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4. Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5. Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi dengan orang
lain.

Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung dalam mengatasi
perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak terlibat
secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan harga diri klien.

Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif
sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.

Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat – klien.

2. Menyelidiki diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
~ Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
~ Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
R/ klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap dirinya
sendiri.

3. Mengevaluasi diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
~ Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/ Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara konstruktif.

4. Membuat perencanaan yang realistik.


~ Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
~ Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
R/ Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya dengan cara
menentukan perencanaan yang realistik.

5. Bertanggung jawab dalam bertindak.


~ Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif
dan mempertahankan respon koping yang adaptif.
R/ Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian masalah klien.

6. Mengobservasi tingkat depresi.


~ Mengamati perilaku klien.
~ Bersama klien membahas perasaannya.
R/ Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana perawatan selanjutnya disusun dengan
tepat.

7. Membantu klien mengurangi rasa bersalah.


~ Menghargai perasaan klien.
~ Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
~ Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
~ Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
R/ Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan perasaan bersalahnya terhadap
orang yang hilang.

Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.


Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2. Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3. Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4. Klien dapat merawat kukunya sendiri.

Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.

2. Menganjurkan klien untuk mandi.


R/ Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat melakukan
sendiri.
3. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.
R/ Diharapkan klien mandiri.

4. Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.


R/ Diharapkan klien mandiri.

5. Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.


R/ Diharapkan klien mandiri
R/ Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien yang lain

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal
dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan
mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan
secara jujur.
3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang
berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan
aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.

JURNAL 1

ABSTRACT

Article history: Received 3 March 2018 Revised 14 May 2018 Accepted 15 May 2018
Losing is a condition who has ever been in individual a long life. The objective of the research
was to find the meaning of parents losing for adolescent of social home at Bina Remaja. It was
important in adolescents respon to have parents losing process and also adaption in Life Phase
Qrowth. The Qualitative research used Phenomenology Study with Indepth Interveiw and Field
Notes by involved six informans. The result of the study found there were five themes losing
parents such as : The deep sadness in different scale, losing parents figure, lack of affections,
there is no one to share, and the unbreakable family condition. The losing Phases were denial,
anger, and acceptance. In conclusion the deep sadness in adolescentt was found hey can accept it.
Hoping and Praying of adolescent is kind of their love to them. 2018, Jurnal Aisyah: Jurnal Ilmu
Kesehatan.

PENDAHULUAN

Kehidupan manusia pada hakikatnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Rentang


kehidupan manusia manusia melewati tahap-tahap perkembangan dimana setiap tahap memiliki
tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai dan diselesaikan. Sebagian besar dari kita ingin
berusaha menguasai dan menyelesaikannya pada waktu yang tepat . Beberapa orang dapat
berhasil, sedangkan yang lain kemungkinan tidak berhasil atau terlalu cepat dari tahap yang
seharusnya. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan manusia dimulai dari masa sebelum
lahir,kelahiran, masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa dan usia lanjut (Hurlock,
2007). Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) Masa dewasa adalah
masa yang sangat panjang (20-40 tahun), dimana sumber potensi dan kemampuan bertumpu
pada usia ini. Masa ini adalah peralihan dari masa remaja yang masih dalam ketergantungan
menuju masa dewasa, yang menuntut kemandirian dan diujung fase ini adalah fase dewasa akhir,
dimana kemampuan sedikit demi sedikit akan berkurang. Sehingga masa dewasa awal adalah
masa yang paling penting dalam hidup seseorang dalam masa penitian karir/pekerjaan/sumber
penghasilan yang tetap. Masa ini juga adalah masa dimana kematangan emosi memegang
peranan penting. Seseorang yang ada pada masa ini, harus bisa menempatkan dirinya pada
situasi yang berbeda; problem rumah tangga, masalah pekerjaan, pengasuhan anak, hidup
berkeluarga, menjadi warga masyarakat, pemimpin, suami/istri membutuhkan kestabilan emosi
yang baik. Usia lanjut (later maturity) merupakan masa dimana mereka berada pada usia lima
puluh tahun lebih dan mulai menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan,
menyesuaikan diri dengan situasi pensiun dan penghasilan yang semakin berkurang,
menyesuaikan diri dengan keadaan kehilangan pasangan, membangun hubungan baik dengan
sesama usia lanjut dan pada akhirnya kesiapan menghadapi kematian. Kematian dan kehilangan
merupakan bagian yang tidak terlepas dari kehidupan manusia. Kematian merupakan fakta
hidup, setiap manusia di dunia ini pasti akan mati. Kematian tidak hanya dialami oleh kaum usia
lanjut, tapi juga oleh orang-orang yang masih muda, anak-anak bahkan bayi. Seseorang dapat
meningal karena sakit, usia lanjut, kecelakaan, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan firman
Allah dalam AlQur’an “Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi dan kokoh” (An-nisa: 4:78). Jika seseorang
meninggal dunia, peristiwa kematian tersebut tidak hanya melibatkan dirinya sendiri namun juga
melibatkan orang lain, yaitu orang-orang yang ditinggalkannya, kematian dapat menimbulkan
penderitaan bagi orang-orang yang mencintai orang yang meninggal tersebut (Turner & Helms,
1995 dalam Hurlock, 2007). Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan
sesuatu yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari
(Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan.
Kehilangan juga mempengaruhi proses psikologis atau kejiwaan, hal ini dikarenakan kehilangan
memiliki tahapan proses kehilangan yaitu penyangkalan, marah, penawaran, depresi, dan
penerimaan. Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya
sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia,
bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi. Jika individu tetap berada di satu tahap
dalam waktu yang sangat lama bahkan bertahuntahun dan tidak mencapai tahap penerimaan,
disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka
akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi
sebuah proses yang disfungsional (Yusuf, 2015). Peristiwa kematian diawali dengan
bereavement, yaitu suatu kehilangan karena kematian seseorang yang dirasakan dekat dengan
yang sedang berduka dan proses penyesuaian diri kepada kehilangan (Papalia, 2008). Seseorang
yang mengalami bereavement wajar apabila ia mengalami grief. Menurut Papalia (2008) grief
adalah respon emosional yang dialami pada fase awal berduka. Menurut Yuliawati dalam
(Adina, 2013) sebagian besar remaja yang mengalami ketiadaan ayah pada usia 11 tahun sampai
dengan 15 tahun (usia remaja) justru mengalami masalah emosi (merasa kesepian, merasa
kesedihan, serta merasa kurang diperhatikan). Peristiwa kematian bagi remaja akan lebih buruk
lagi jika peristiwa kematian secara tiba-tiba atau mendadak dan tak terpikirkan oleh mereka.
Peristiwa kematian mendadak atau tidak diharapkan akan benar-benar mengejutkan bagi orang
yang ditinggalkan, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk menyiapkan diri secara
psikologis untuk menghadapi kehilangan karena kematian orang yang dekat dengan dirinya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suprihatin (2013) bahwa grief yang muncul dapat
dilihat dalam proses perkembangan grief yang dilalui oleh subjek yaitu pada tahap inisial respon
reaksi yang muncul adalah shock, kehilangan, kecemasan, dan kekhawatiran. Pada tahap
intermediate reaksi yang muncul adalah kemarahan, kesepian dan kerinduan, sedangkan pada
tahap recovery reaksi yang muncul adalah kehidupan subjek sudah kembali normal. Para remaja
berduka proses berduka yang terjadi lebih sama dengan orang dewasa, namun karena pada
tingkat pertumbuhan ini para remaja sering merasakan emosi cenderung fluktuatif sebagai akibat
dari stresnya. Remaja bisa merasakan dampak yang sangat besar akibat kesedihan yang mereka
rasakan setelah putus hubungan, perpisahan orangtua atau kematian seseorang yang dekat
dengan mereka. Mereka bisa menutup diri, tertekan dan mudah marah. Dalam hal ini diperlukan
hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga yang lain untuk membantu menyelesaikan
masalah sehingga tidak terjadi kondisi depresi pada remaja. Sarwono (2016). Berdasarkan
penelitian Nurhidayati (2014) yang menjelaskan pengalaman dari kematian orang tua melalui
wawancara makna kematian orang tua adalah kehilangan. Adapun temanya adalah kehilangan
yang dirasakan oleh remaja meliputi kehilangan perhatian dan kasih sayang, kehilangan figur
yang dapat dijadikan sebagai panutan, kehilangan perlindungan, serta kehilangan teman berbagi,
kehilangan keutuhan keluarga serta kehilangan arah. Hal yang senada dalam penelitian
Suprihatin (2013) yang menguraikan bahwa Grief atau proses berduka dilalui oleh informan
yaitu pada tahap inisial respon reaksi yang muncul adalah shock, kehilangan, kecemasan, dan
kekhawatiran. Pada tahap intermediate reaksi yang muncul adalah kemarahan, kesepian dan
kerinduan, sedangkan pada tahap recovery reaksi yang muncul adalah kehidupan subjek sudah
kembali normal. Adapun faktor yang menyebabkan grief yang dialami yaitu hubungan subjek
dengan almarhum, kepribadian, usia, jenis kelamin orang yang ditinggalkan, proses kematian,
dukungan dari orang-orang terdekat dan posisi subjek dalam keluarga. Faktor penyebab yaitu
kelekatan semakin subjek memiliki ikatan yang kuat dengan almarhum, waktu yang dibutuhkan
untuk melalui grief akan semakin lama. Penelitian Cahyasari (2008) menjelaskan bahwa Grief
dengan reaksi berduka yang muncul yaitu: ekspresi fisik, kognittif, afektif dan tingkah laku yang
dirasakan oleh informan. Dengan adanya penolakan, tangisan kekecewaan, kemarahan, rasa
kehilangan, tidak mau untuk berinteraksi social lalu pada fase akhir mulai bisa menerima
keadaan. Adapun faktor yang menyebabkan grief yang dialami subjek yaitu hubungan individu
dengan almarhum, proses kematian, jenis kelamin orang yang ditnggalkan, latar belakang
keluarga, support system. bahwa makna kematian orang tua bagi remaja adalah kehilangan.
Adapun kehilangan yang dirasakan oleh remaja meliputi kehilangan sosok pemberi perhatian dan
kasih sayang, kehilangan model, kehilangan sumber rasa aman, dan kehilangan teman berbagi.
Remaja mengungkapkan perasaan kehilangannya dengan menangis, merasa sedih, melakukan
penolakan, dan menyesal. gur pengganti yang dapat berfungsi mengisi Penelitian dilakukan oleh
Felicia (2016) ini difokuskan pada bagaimana remaja mengatasi sosial dengan berduka. Usia dan
jenis kelamin tidak membuat perbedaan yang signifikan dalam pilihan remaja dari strategi
coping. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para remaja mengadopsi strategi untuk mengatasi
kehilangan orang tua secara sosial. Sebagian remaja menghabiskan banyak waktu interaktif di
sekolah, kelompok drama, klub sepak bola, tim bola basket dan dukungan kelompok penyuluhan
sehingga rasa berduka dapat teralihkan. Remaja berada dalam masa peralihan dari kanak-kanak
kemasa dewasa Menurut Marmi (2015) Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari
identitasnya. Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan
dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat
dengannya terutama orang tuanya. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan
yang memadai dan pedoman hidupnya (Hurlock, dalam Adina 2013). Tetapi pada kenyataanya
tidak semua remaja tinggal bersama orang tua, seperti halnya remaja yang tinggal di panti
asuhan, mereka hanya mendapatkan lingkungan teman sebaya yang mereka anggap sebagai
tempat berbagi dan pengasuh menggantikan peran orang tua hanya memberikan perhatian juga
membimbing secara terbatas. Pada remaja yang tidak memiliki orang tua tekanan-tekanan yang
dialami akan semakin banyak terkait dengan tidak adanya orang tua sebagai sumber kasih
sayang, perlindungan dan dukungan. Ketiadaan orang tua merupakan kondisi yang sangat
kompleks bagi remaja. Margaret (Hurlock, 2007) melaporkan bahwa selain pemenuhan
kebutuhan fisiologis, anak membutuhkan kasih sayang bagi perkembangan psikis yang sehat.
Diketahui juga bahwa remaja dapat bertahan dengan baik dari situasi yang menekan bila remaja
mempunyai hubungan yang dekat dan penuh kasih sayang dengan orang tua terutama ibu. Dalam
kondisi yatim atau yatim piatu, hubungan yang penuh kasih sayang dengan orang tua tidak lagi
dirasakan oleh remaja, dengan kondisi ini mereka harus tinggal di tempat selain rumah seperti
yayasan atau panti asuhan karena tidak ada lagi orang yang merawatnya. Kondisi panti asuhan
dengan jumlah pengasuh yang tidak sebanding dengan remaja di panti asuhan dapat mejadi salah
satu faktor resiko. Remaja dipanti asuhan menjadi kurang mendapat perhatian, kasih sayang atau
bimbingan dari pengasuh secara mendalam. Dengan sedikit bimbingan, remaja harus mengatur
hidup sendiri. Pengalaman di panti akan berpengaruh terhadap konsep diri dan kepribadian
remaja yang tinggal disana. Selain jumlah pengasuh yang tidak sebanding, panti asuhan sering
dianggap sebagai lembaga yang hanya menampung dan memenuhi kebutuhan fisik saja sehingga
kebutuhan lain seperti kebutuhan emosional tidak terpenuhi dengan baik. Remaja dengan
kehilangan orang tua diasumsikan memiliki masalah psikologis yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan remaja pada umumnya yang tinggal dirumah, masih memiliki orang tua
utuh dan keluarga yang dipenuhi kehangatan. Menurut Potter dan Perry (2005) kehilangan
adalah suatu situasi actual maupun potensial yang dapat dialami individu ketika berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan atau perubahan dalam hidup.
Bentuk kehilangan antara lain kehilangan obyek eksternal, kehilangan lingkungan yang familiar,
kehilangan seseorang yang sangat berarti dan kehilangan kehidupan. Seorang individu yang
mengalami kehilangan akan menunjukkan reaksi emosional yang berupa reaksi berduka. Reaksi
emosional ini terjadi selama masa kehilangan dan dipengaruhi oleh kebudayaan atau kebiasaan
individu yang dapat diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada masing-masing orang
dipengaruhi pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya dan keyakinan spiritual yang
dianutnya; reaksi emosional tersebut dialami anak jalanan yang kehilangan orang tua. Respon
kehilangan pada remaja tentunya akan berbeda pada situasi remaja tinggal dalam satu rumah
dengan yang tinggal tidak satu rumah seperti panti asuhan. Data dari Kemensos (2013)
didapatkan bahwa 8.000 panti asuhan yang mengelola 1,5 juta anak. Data Badan Pusat Statistik
Sumsel (2014) terdapat 139 panti asuhan yang terdiri 133 swasta dan 6 pemerintah dengan 4504
jumlah anak asuh serta didapatkan alasan masuk bahwa kondisi orang tua baik ibu atau ayah
yang telah meninggal dunia. Panti asuhan merupakan lembaga untuk membentuk perkembangan,
keterampilan serta kasih sayang bagi anak yang tidak memiliki keluarga serta tidak tinggal
bersama keluarga. Salah satu panti asuhan yang terdapat di Sumsel yaitu Panti Sosial Bina
Remaja yang menerima anak asuhan dengan latar belakang putus sekolah, kehilangan orang tua
dan anggota keluarga. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Panti Sosial
Bina Remaja Sumatera Selatan dari 50 remaja yang tinggal di panti, terdapat 15 remaja dengan
kehilangan orang tuanya akibat kematian. Kehilangan orang tua yang dialami remaja penghuni
panti tersebut disebabkan kematian karena sakit parah, usia lanjut, kecelakaan, dan sebagainya.
Adapun petikan wawancara “Dulu, saya memiliki sosok untuk mencurahkan isi hati saya ketika
saya sedih maupun ketika saya bahagia. Tapi, setelah ibu tiada saya tidak bisa lagi bercerita
kepada ibu. Terkadang saya merasa sangat sedih dan merasa kalau saya sendiri” (W.01.Hmd).
“Saya sangat sedih kadang menangis ketika selesai sholat, sedih kalau teringat ayah dulu, sedih
banget apalagi saya tidak bisa menemani waktu diakhir kamatiannya”(W.02. Nrml). Dalam
penelitian Nurhidayati (2014) menguraikan bahwa kehilangan orang yang dicintai diidentifikasi
sebagai suatu kehilangan yang sangat mendalam. Rasa kehilangan bersifat individual, karena
setiap individu tidak akan merasakan hal yang sama tentang kehilangan. Sebagian individu akan
merasa kehilangan hal yang biasa dalam hidupnya dan dapat menerimanya dengan sabar.
Individu yang tidak mampu menerima kehilangan orang yang disayang dalam hidupnya akan
merasa sendiri dan berada dalam keterpurukan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui
bahwa makna kehilangan orang tua bagi remaja berbeda dan dapat berlangsung lama bahkan
bertahun-tahun. Kehilangan yang dialami remaja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena
dapat mengganggu kejiwaan remaja seperti stress bahkan depresi sehingga tidak dapat
melakukan tugas perkembangannya, terutama perkembangan emosional dan sosial mereka
sehingga sedikit memiliki andil dalam setiap perilaku mereka. Oleh karena itu, peneliti tertarik
melakukan penelitian mengenai “Studi Fenomenologi Makna Kehilangan Orang Tua Bagi
Remaja di Panti Sosial Bina Remaja Indralaya Sumatera Selatan.

METODE

Penelitian menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yaitu:


penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian
atau pemahaman tentang fenomena mengenai apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan
cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa dalam suatu latar yang berkonteks khusus dan
alamiah (Maleong, 2010). Adapun jumlah informan yang telah mengalami saturasi data
sebanyak 6 informan. Penelitian ini dilakukan pada 10 – 28 April 2017 di Panti Sosial Bina
Remaja Sumatera Selatan Indralaya KM 33 Ogan Ilir. Pengumpulan data dalam penelitian
dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan catatan lapangan (field notes).
Teknik wawancara mendalam digunakan untuk mengeksplorasi makna kehilangan dengan 10
pertanyaan sebagai panduan wawancara yang berdasarkan pada fase kehilangan menurut Kubler
Rose. Setelah didapatkan jawaban dari informan dalam bentuk pernyataan lagi dilanjutkan
dengan analisa data kualitatif. Menurut Afiyati (2014) dengan tahapan analisa data kualitatif
sebagai berikut: Memberi gambaran pengalaman personal terhadap fenomena yang diteliti, yaitu
peneliti mulai dengan mendengarkan deskripsi verbal partisipan, membaca dan membaca ulang
deskriptif tersebut. Membuat daftar pertanyaan yang signifikan. Peneliti menemukan
pertanyanpertanyaan tentang bagaimana para partisipannya mengalami berbagai pengalaman
mereka yang dibuat dalam suatu daftar pertanyaan-pertanyaan yang signifikan.
Mengelompokkan pertanyaan yang signifikan tersebut dikumpul dalam suatu unit data/ informasi
yang lebih besar, yang disebut “unit meaning“ atau tematema. Menuliskan deskriptif atau
interpretasi “apa” yang dialami para partisipan terkait fenomena yag diteliti. Ini yang disebut “
suatu deskriptf tersrtuktural” tentang suatu pengalaman – apa yang dialami- dan dilengkapi
contoh-contoh verbatim para partisipan. Menuliskan “bagaimana” pengalaman yang dialami
pertisipan .ini yang disebut dengan “ deskripsi structural”, dan peneliti merekflesikan pada
setting atau fenomena yag diteliti dialami partisipan. Menuliskan deskripsi gabungan
(interpretasi data), yaitu menggabungkan deskripsi tekstural dan strukural. Ini yang disebut
“intisari” (essence) dari pengalaman para partisipan dan merepresentasikan aspek inti dari studi
fenoenologi yang dituliskan peneliti melalui data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan catatan lapangan selama proses pengambilan data
Penelitian ini menghasilkan lima tema yaitu: 1) Kesedihan yang mendalam dalam rentang
berbeda, 2) hilangnya figur orang tua 3) Kasih sayang yang berkurang, 4) tiada lagi tempat
Berbagi, 5) Kondisi keluarga yang tidak lagi utuh.

Tema 1: Kesedihan yang mendalam dalam rentang berbeda

Berdasarkan wawancara mendalam, didapatkan tema yang pertama yaitu Kesediahan yang
mendalam dalam rentang yang berbeda adalah perasaan remaja terhadap kehilangan sosok ibu
dan perasaan remaja terhadap kehilangan sosok bapak. Pada kategori pertama, terdapat 2
partisipan yang mengalami perasaan kesedihan terhadap kehilangan sosok ibu yaitu partisipan 1
dan partisipan 4. Kedua partisipan merasakan hal yang sama yaitu merasakan kesedihan
kehiangan sosok ibu. Selain itu 4 dari 6 partisipan juga mengatakan perasaan remaja terhadap
kehilangan sosok bapak bahwa partisipan merasakan kesedihan yang teramat menyakitkan dan
perasaan itu sering menghampirinya. Berikut ungkapan partisipan: ”Sedih banget sekitar 3
bulanan, menangis dan berdiam diri di kamar… gimana kalau orang tua tinggal satu susah kalau
masak saja itu susah, saya yang masak saya’’.(P1) ”Iya, kalau kehilangan orang tua itu pastinya
sedih ya,waktu itu kan masih sekolah pas mau perpisahan tiba-tiba orang tua dari kawan aku
datang ngasih kabar bahwa ibu saya itu sudah meninggal, satu bulan lebih saya merasakannya”.
(P4) “Iya sedih lah, nangis”. (P4) “Iya sedih, perasaan nya nggak mau kehilangan orang tua, “.
(P4) ”ada dua tahun lamanya habis itu gak lagi sedih”.(P4) ”Sering sedih, ketika sedang sendiri
bahkan sekarang masih terkenang selama 4 bulan lamanya , makanya saya itu nggak mau sendiri,
karna pasti aku teringat sama orang tua kandung saya”.(menundukan kepala”. (P2) Menagis, ya
sedih, marah terlalu marah, cumo ngrasa dak mau sekolah, nunggu dulu, menenangkan dulu 1
tahun”.(P3) “Masih nangis tulah, sedih sebener nya dalem rumah keluar duduk, merenung
nanges”. (P3) ”Rasanya tuh sakit, ya kita kan di tinggal dari kecil, butuh lah bagaimana peran
seorang ayah di kehidupan itu bagaiman, Sakit nian rasanya selama enam bulan rasanya, pedih
”(P5) “Sedih, sedih nian”. (menangis) (P5) “Iya sedih, sedih perasaannya sedih, ngerasa kayak
ada yang hilang..selama 3 bulan”(P6) Hasil penelitian terkait dengan kesedihan mendalam
diidentifikasi sebagai suatu kehilangan yang sangat mendalam. Bagi seorang remaja baik putra
maupun putri pasti memiliki perasaan kehilangan, tetapi dalam meluapkan dan mengekspresikan
perasaannya berbeda, untuk remaja putra biasanya memiliki perasaan kehilangan yang
cenderung sulit untuk diungkapkan, lebih pada menahan dan memendam perasaannya tersebut
sedangkan untuk remaja putri cenderung lebih memiliki perasaan yang sensitif dan lebih peka,
lebih menunjukkan kesedihan dan rasa kehilangannya. Bersedih adalah reaksi terhadap
kehilangan, yaitu respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan
masalah. Seorang individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif
dalam melalui proses berduka, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang
menyebabkan berduka dan merupakan bagian dari proses kehidupan (Yusuf, 2015). Dukacita
mengacu pada emosi yang subjektif dan afek yang merupakan respons normal terhadap
pengalaman kehilangan. Berduka juga mengacu pada proses mengalami dukacita. Mourn-ing,
tampilan luar dukacita adalah suatu cara mengintegrasikan kehilangan dan dukacita kedalam
hidup individu yang berduka (Varcolanis dan Marrone dalam Videbeck, 2001). Hasil penelitian
ini senada dengan pendapat Papalia (2008) grief adalah respon emosional yang dialami pada fase
awal berduka. Seseorang yang mengalami bereavement wajar apabila ia mengalami grief
(berduka). Menurut Schulz (dalam Yusuf 2014) fase awal seseorang menunjukkan reaksi syok,
tidak yakin, tidak percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasaan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka
berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis
dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu. Jika individu tetap berada di
satu tahap dalam waktu yang sangat lama bahkan bertahun-tahun dan tidak mencapai tahap
penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan
kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan
akan menjadi sebuah proses yang disfungsional (Yusuf, 2015). Hasil penelitian ini senada juga
dengan pendapat Yusuf (2014) bahwa kehilangan memiliki dua fase yaitu fase akut yang
berlangsung selama 4 sampai 8 minggu dan fase jangka panjang yang berlangsung selama satu
sampai dua tahun atau lebih. Hasil penelitian ini didukung oleh Suprihatin (2013) dengan kondiri
Grief atau berduka atas kehilangan dari seseorang yang kita kenal terlebih kita cintai, akan
berpengaruh terhadap kehidupan selanjutnya. Apa lagi jika kehilangan sosok orang tua, maka
akan ada masa dimana kita meratapi kepergian mereka dan merasakan kesedian yang mendalam.
Hal yang sama dengan penelitian Nurhidayati (2014) mengatakan bahwa ramaja mengungkapkan
perasaan kehilangannya dengan menangis, merasa sedih, melakukan penolakan, dan menyesal.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti beramsumsi bahwa kesedihan remaja
terhadap kehilangan orang tua adalah kesedihan yang mendalam, karena kehilangan orang tua
merupakan kehilangan seseorang yang kita kenal, dekat dan sangat kita cintai. Kehilangan orang
tua bagi remaja merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dibandingkan dengan peristiwa-
peristiwa lain, karena hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan remaja
selanjutnya, dengan kata lain kurang dapat menjalani kehidupan dengan baik. Bagi remaja
dengan kehilangan orang tua yang tinggal di panti, kondisi panti asuhan dengan jumlah pengasuh
yang tidak sebanding dengan remaja di panti asuhan dapat mejadi salah satu faktor resiko
munculnya kesedihan. Remaja harus memiliki koping yang efektif dalam melalui proses
bersedih, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan kematian orang
tua yang dialaminya. Berdasarkan teori di atas, peneliti berasumsi bahwa rentang waktu
kesedihan yang dialami partisipan terhadap kehilangan orang tua berbeda-beda. Keadaan itu
terjadi karena beberapa faktor diantara yaitu hubungan remaja dengan armahum, kepribadian,
usia dan jenis kelamin serta proses kematian, guilt, anger, perasaan kehilangan. Seorang individu
harus diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui proses
berduka, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan
merupakan bagian dari proses kehidupan.

Tema 2: Hilangnya seorang Figur orang tua

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tema yang ketiga yaitu hilangnya seorang figur orang
tua Pada kategori yang pertama adalah Bapak sebagai sosok pemberi role model, 2 dari 6
partisipan mengungkapkan bahwa bapak adalah sebagai sosok pemberi role model atau contoh
yang dapat ditiru oleh anak-anaknya. Kategori yang ketiga yaitu ibu sebagai sosok pemberi
nasihat dan semangat. 2 dari 6 partisipan mengungkapkan bahwa sosok ibu merupakan pemberi
nasihat dan pemberi semangat baik untuk anaknya. Kategori yang keempat yaitu bapak sebagai
figur pembimbing. Hanya partisipan 5 yang mengungkapkan bahwa figur orang tua itu sangat
dibutuhkan. Hal tersebut tergambar pada ungkapan berikut: ”Sosok seorang bapak itu dulu nya
taat pada agama, ngaji bisa pokok nya, sholat 5 waktu nggak pernah putus, kenapa nggak nurun
sama aku, “.(P2) “Yang pasti kehilangan sosok pemimpin dan orang tua” (P6) “ kehilangan
sosok orang tua yang penuh perhatian dan peduli dengan aku….” (P3) Ayah itu sholatnya rajin
jadi dia itu ngasih contoh buat anak-anaknya sholat, sholat selalu ngajak jama’ah”. (P6) “Ya
kehilangan sosok orang tua” sering menyuruh sholat yang rajin ingin jadi anakknya yang sholeh
“.(P1) “Misalnya seperti ngasih arahan, nguatkan, neli harus kuat, ntar kalau misalnya ibu udah
nggak ada, neli lah yang bisa nguatkan adek-adek,”.(P4) “Padahal aku butuh bimbingannya”.
(menangis) “Butuh lah bagaimana peran seorang ayah di kehidupan itu bagaimana, apalagi kita
itu sudah remaja , pasti butuh bimbingan, dari ayah nggak dari ibu saja, “.(P5) Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan peneliti, didapatkan tema yang ketiga yaitu Kehilangan Sosok
Pemimpin dengan 3 kategorinya adalah ibu bapak sebagai sosok pemberi role model, sebagai
sosok pemberi nasehat dan penyemangat, dan bapak sebagai sosok pembimbing. Pada kategori
yang pertama yaitu bapak sebagai sosok pemberi role model. Pada penelitian ini remaja
mengungkapkan ahwa bapak adalah sebagai sosok pemberi role model atau contoh yang dapat
ditiru oleh anakanaknya. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nurhidayati pada tahun 2014 yang berjudul Makna Kematian Orang Tua Bagi Remaja
Menggunakan Studi Fenomenologi Pada Remaja Pasca Kematian Orang Tua, dari hasil
wawancara keseluruhan terhadap sepuluh orang subjek, mengungkap kan bahwa makna
kematian orang tua adalah kehilangan yang salah satunya adalah kehilangan figur yang dapat
dijadikan sebagai panutan (role model). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nurhidayati pada yahun 2014 yang berjudul Makna Kematian Orang Tua Bagi
Remaja Menggunakan Studi Fenomenologi Pada Remaja Pasca Kematian Orang Tua, dari hasil
wawancara keseluruhan terhadap sepuluh orang subjek, mengungkap kan bahwa makna
kematian orang tua adalah kehilangan yang salah satunya adalah kehilangan arah atau
pembimbing. Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti beramsumsi bahwa
kehilangan sosok pemimpin merupakan kehilangan sosok yang dapat dijadikan panutan, arahan,
motivasi dan pembimbing bagi remaja. Remaja berada dalam masa peralihan dari kanak-kanak
kemasa dewasa. Dalam masa peralihan, remaja sedang mencari identitasnya, dalam proses
perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan
panutan, arahan, motivasi dan bimbingan serta bantuan dari orang yang dicintai dan dekat
dengannya terutama orang tuanya. Karena orang tua adalah orang yang dekat dan mengerti akan
anakanaknya, hangatnya sebuah keluarga akan membuat kedekatan yang terjalin antara anak dan
orang tua, dan kedekatan itu akan membuat anak menjadi merasa aman dan nyaman, ketika
seorang remaja dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak diinginkan dalam hidupnya pasti
akan merasa berat untuk menerimanya, seperti peristiwa kehilangan yang memisahkan hubungan
antara orang tua dan anak, peristiwa tersebut sulit untuk diterima oleh siapapun karena tidak ada
satu orang pun yang akan benar-benar siap ketika harus kehilangan orang yang dicintainya.

Tema 3 : Kasih Sayang yang berkurang

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tema yang ketiga yaitu Kasih sayang yang berkurang.
Pada kategori yang pertama yaitu kasih sayang seorang ibu, partisipan 1 mengungkapkan bahwa
perhatian dan kasih sayang yang dulu didapatkan oleh partisipan tidak biasa ia dapatkan lagi
setelah kehilangan ibu. Partisipan 1 terlihat sangat kehilangan ibu sebagai sosok pemberi
perhatian dan kasih sayang , ia selalu menundukan kepala dan menyatakannya dengan suara
berat seperti hendak menangis. Sedangkan partisipan 4 mengungkapkan bahwa ia masih
terkenang kasih sayang seorang ibu yang pernah partisipan 4 rasakan. Kategori yang kedua yaitu
Bapak sebagai sosok pemberi perhatian dan kasih sayang, 2 dari 6 partisipan mengungkapkan
bahwa sangat kehilangan kasih sayang seorang bapak Hal tersebut terungkap pada pernyataan
berikut: “iyah..kalu Ibu tuh dengan saya perhatian kalau sekarang ya Bapak ya… perhatian
cuman kurang tidak seperti Ibu perhatiannya’’. (menundukan kepala,suaranya berat) (P1) “ ya
sejak ibu saya meninggal, kasih sayang orang tua berkurang dan perhatiannya tidak sepenuhnya
yang dulu” (P2) “Saya ingat itu pagi-pagi di bangunin ntar kesiangan, diantar ke sekolah di
nasehatin belajar bener-bener jangan sampai dapat nilai jelek, pulang nya di jemput di siapin
makan, suruh ganti baju dulu”. (P4) “Ya tidak ada lagi kasih sayang dari orang tua sekarang
tidak seperti yang dulu” (P3) “Kehilangan itu pasti kehilangan sekali, soalnya kita masih kecil,
masih butuh, sosok seorang ayah, dah masih kecil sudah ditinggalin yang sangat peduli dengan
saya dan adik adik ”. (P5) “Ayah itu lucu jadi seneng anak-anaknya seneng gitu, ngak keras
orangnya lembut, memberi perhatian kasih sayang”.(P6) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
tema yaitu kasih sayang yang berkurang dengan kategorinya adalah kasih sayang seorang ibu
dan bapak sosok pemberi perhatian dan kasih sayang. Pada kategori yang pertama yaitu kasih
sayang seorang ibu, remaja mengatakan bahwa mereka sangat kehilangan sosok ibu yang selalu
memberikan kasih sayang dan perhatinnya serta remaja mengatakan bahwa mereka rindu akan
kasih sayang seorang ibu yang dulu mereka dapatkan oleh partisipan dan sekarang tidak bisa ia
dapatkan lagi setelah kehilangan ibu. Hasil penelitian ini senada dengan pendapat. Diketahui
juga bahwa remaja dapat bertahan dengan baik dari situasi yang menekan bila remaja
mempunyai hubungan yang dekat dan penuh kasih sayang dengan orang tua terutama ibu. Dalam
kondisi yatim atau yatim piatu, hubungan yang intim dengan orang tua tidak lagi diperoleh,
dengan kondisi ini mereka harus tinggal di tempat selain rumah seperti yayasan atau panti asuhan
karena tidak ada lagi orang yang merawatnya. Hasil penelitian ini juga senada dengan pendapat
Syam (2012) yang memandangnya dari perspektif psikologi agama. Syam menyatakan bahwa
islam meletakan kaidah-kaidah yang menjaga hakikat kemanusiaan tersebut dalam hubungan
antar individu. Salah satu kaidah tersebut adalah menyebarkan kasih sayang. Ini merupakan
eksplorasi dari risalah islam sebagai ajaran yang utuh karena dia datang sebagai rahmat untuk
seluruh alam. Berdasarkan penelitian ini, kategori dari tema yaitu bapak sebagai figur pemberi
perhatian dan kasih sayang. Remaja mengungkapkan bahwa mereka sangat kehilangan kasih
sayang yang pernah didapatkan dari bapak sewaktu masih hidup. Remaja seakan rindu kepada
sosok bapak yang perhatian dan penyayang. Hasil penelitian ini sejalan Adina, (2013) sebagian
besar remaja yang mengalami ketiadaan ayah pada usia 11 tahun sampai dengan 15 tahun (usia
remaja) justru mengalami masalah emosi seperti merasa kesepian, merasa kesedihan, serta
merasa kurang diperhatikan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati terdapat masalah
yang mendasar pada remaja akibat kehilangan orang tua. Adapun masalah yang mendasar pada
remaja adalah kurangnya kasih sayang yang seharusnya diperoleh remaja. Remaja yang tidak
mendapatkan kasih sayang akan berusaha mendapatkan apa yang seharusnya dia peroleh. Kasih
sayang adalah hal yang mutlak harus diperoleh setiap individu, kuhusnya remaja. Hal ini karena
masa remaja adalah masa yang sangat rentan bagi setiap individu. Ketika remaja kehilangan
figur yang seharusnya dapat memberikan kasih sayang, maka dia akan mencari figur yang
mereka anggap dapat memberikan kasih sayang sebagaimana yang mereka inginkan.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti beramsumsi bahwa kehilangan sosok
pemberi kasih sayang merupakan keadaan diamana remaja tidak bisa lagi mendapatkan
perhatian, perlindungan, rasa nyaman dan aman serta dukungan dari orang tua. Pada remaja yang
tidak memiliki orang tua tekanan-tekanan yang dialami akan semakin banyak terkait dengan
tidak adanya orang tua sebagai sumber kasih sayang, perlindungan dan dukungan. Ketiadaan
orang tua merupakan kondisi yang sangat kompleks bagi remaja. Seperti halnya remaja yang
tinggal di panti asuhan, mereka hanya mendapatkan lingkungan teman dan pengasuh
menggantikan peran orang tua hanya memberikan perhatian juga membimbing secara terbatas.
Dengan sedikit bimbingan, remaja remaja harus mengatur hidup sendiri. Pengalamanpengalaman
di panti akan berpengaruh terhadap konsep diri dan kepribadian remaja yang tinggal disana.
Selain jumlah pengasuh yang tidak sebanding, panti asuhan sering dianggap sebagai lembaga
yang hanya menampung dan memenuhi kebutuhan fisik saja sehingga kebutuhan lain seperti
kebutuhan emosional tidak terpenuhi dengan baik. Remaja dengan kehilangan orang tua
diasumsikan memiliki masalah psikologis yang lebih banyak jika dibandingkan dengan remaja
pada umumnya yang tinggal dirumah, masih memiliki orang tua utuh dan keluarga yang
dipenuhi kehangatan.

Tema 4: Tiada lagi tempat berbagi

Dari hasil wawancara mendalam didapatkan tema yang kelima yaitu Kehilangan Tempat Berbagi
dengan 2 kategorinya adalah Ibu sebagai tempat tempat memecahkan masalah dan Bapak
sebagai tempat tempat bercerita dan berbagi. 2 dari 6 partisipan mengatakan bahwa ia sangat
sedih kehilangan ibunya karena jika partisipan mendapatkan masalah hidupnya orang tua bisa
partisipan 4 matanya merah seperti hendak menangisi. Kategori selanjutnya pada tema 4 yaitu
kategori yang kedua adalah Bapak sebagai tempat tempat bercerita dan berbagi, berbeda dengan
partisipan di atas, partisipan 2 dengan sedikit lantang mengatakan bahwa partisipan tidak ada
teman mencurahkan isi hati. Hal itu terungkap seperti pada pernyataan berikut: ”Ya gimana yah..
sedih ngak bisa kumpul bareng, biasanya orang tua kalau ada masalah bisa memecahkan, kalau
orang tua ngak ada ya..susah”.(selalu menundukan kepala) (P1) “Sering curhat sama ibu
sekarang ngak bisa lagi” (P2) ”Susah tidak ada tempat berbagi masalah’. (matanya memerah)
(P4) “Aku nggak ada teman curhat aku ngadepin sendirian” (sedikit lantang) (P3) “ sedih tidak
ada lagi tempat berbagi masalah yang berat” (P5) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tema
yang kelima yaitu Kehilangan Kehilangan teman berbagi dengan kategorinya adalah Ibu sebagai
teman memecahkan masalah dan Bapak sebagai teman bercerita dan berbagi. Pada kategori yang
pertama yaitu Ibu sebagai teman memecahkan masalah, remaja mengungkapkan bahwa sosok
seorang ibu sangat dibutuhkan untuk berbagi dan menyelesaikan masalah, remaja juga
mengatakan bahwa kesulitan untuk menyelesaikan masalah kehidupannya jika tidak ada ibu.
Kategori selanjutnya pada tema 4 yaitu kategori yang kedua adalah Bapak sebagai teman
mencurahkan isi hati, remaja mengatakan bahwa ia tidak menceritakan kehidupan keluarga
kepada orang lain dan menghadapi masalahnya sendirian. Hasil penelitian diatas senada dengan
pendapat Sarwono (2016) yang menyatakan bahwa hubungan dengan orang tua yang pada masa
remaja ini sangat dibutuhkan anak, jika terganggu dan dihadapkan dengan masalah atau harus
diselesaikan bersama orang tua, menyebabkan remaja yang bersangkutan merasa seakan-akan
tidak ada lagi jalan keluar. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nurhidayati pada tahun 2014 berjudul Makna Kematian Orang Tua Bagi Remaja
Menggunakan Studi Fenomenologi Pada Remaja Pasca Kematian Orang Tua, dari hasil
wawancara keseluruhan terhadap sepuluh orang subjek, mengungkap kan bahwa makna
kematian orang tua adalah kehilangan yang salah satunya adalah kehilangan teman berbagi.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti beramsumsi bahwa kehilangan tempat
berbagi merupakan kehilangan sosok seseorang yang dapat memahami, membantu dan
menyelesaikan masalah yang dialami remaja. Remaja dengan kehilangan orang tua sangat
membutuhkan teman tau tempat berbagi, seperti halnya remaja yang tinggal di panti asuhan,
mereka hanya mendapatkan lingkungan teman sebaya yang mereka anggap sebagai tempat
berbagi dan pengasuh atau pendidik walaupun itu terbatas itu sangat membantu. Karena remaja
bisa merasakan dampak yang sangat besar akibat tidak mempunyai tempat atau teman untuk
berbagi, mereka bisa menutup diri, tertekan dan mudah marah dan akibatnya remaja putus asa,
depresi, dan akhirnya mengambil keputusan untuk bunuh diri saja. Seperti halnya kehilangan
sosok pemimpin dan kehilangan sosok pemberi kasih sayang, kehilangan teman berbagi juga
merupakan bagian dari kehilangan orang tua karena kehilangan tersebut saling berhubungan.
Remaja yang tidak mendapatkan sosok pemimpin yang dapat dijadikan panutan, tidak
mendapatkan kasih sayang dan juga teman berbagi akan berusaha untuk mendapatkan apa yang
harusnya mereka peroleh. Remaja akan mencari seseorang yang menurutnya bisa menjadi
panutan, perhatian dan teman bercerita. Oleh karena itu peran keluarga, guru, teman dan pihak
lain yang dekat dengan remaja harus mendukung untuk menyelesaikan tuga perkembangan
remaja dengan baik.

Tema 5 : Kehilangan Keutuhan Keluarga

Partisipan memberikan penjelasan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dalam
proses wawancara ini. Dari hasil wawancara mendalam didapatkan tema yang keenam yaitu
Kehilangan Keutuhan Keluarga dengan 3 kategorinya adalah perasaan sedih tidak bisa kumpul
bersama dan keluarga tidah utuh lagi dan kondisi keluarga yang tidak lengkap. Pada kategori
pertama yaitu perasaan sedih tidak bisa kumpul bersama, pada partisipan 1 dan 2 terlihat sedih
dan merasa iri dengan teman-temannya bahwa teman-temanya sering dikunjungi orang tuanya
sedangkan ia tidak serta selalu menundukan kepala. Hal itu terungkap seperti pada pernyataan
berikut: “Teringat kawan-kawan sering dilihat orang tua, bisa kumpul bareng sedangkan saya
tidak bisa berkumpul dengan orang tua”.(P1) “Kadang sedih kalau berfikir (membayangkan)
masih ada orang tua bisa kumpul bareng”. (selalu menundukan kepala) (P1) ”Sering sedih, ketika
sedang sendiri bahkan sekarang masih terkenang , makanya saya itu nggak mau sendiri, karna
pasti aku teringat sama orang tua kandung saya”.(menundukan kepala) (P2) Kategori selanjutnya
yaitu kategori yang kedua adalah keluarga yang tidak utuh lagi. 2 dari 6 partisipan mengatakan
perasaan kekesalannya melihat orang lain mempunyai kedua orang tua yang masih utuh
sedangkan partisipan 3 dan partisipan 4 tidak mempunyai orang tua yang lengkap karena telah
meninggal salah satu orang tuanya. Hal tersebut terungkap pada pernyataan berikut: “Baru
sekarang sadar , ibaratnya nyesel lihat orang tua temen lengkap sedangkan saya tidak”.(P3) “Di
luar sana kawan-kawan masih mempunyai orang tua yang lengkap sedangkan neli nggak”.(P4)
Kategori yang ketiga adalah kondisi keluarga yang tidak lengkap. Seperti pada partisipan 6, ia
menundukan kepala, menarik napas dan menyatakan bahwa kesedihannya melihat orang lain
masih memiliki kesempatan bersama orang tua yang lengkap, berbeda dengan kondisi yang
partisipan 6 rasakan sekarang. Hal tersebut terungkap pada pernyataan berikut: “Mereka masih
punya orang tua, bisa minta maaf sama orang tua,ya masih lengkaplah kedua orang tuanya, bisa
buka puasa bareng-bareng, kalau kayak ginikan cuman ibu dan ibu ngak seseru ayah dulu
bedalah waktu ayah ada atau ngak tetap beda”.(menarik napas, menundukan kepala) (P6)
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tema yang keenam yaitu Kondisi keluarga yang tidak
lagi utuh, hal ini dikarenakan adanya orang tua yang tidak lagi lengkap bersama dengan remaja.
Hasil penelitian ini senada dengan pendapat Margaret (dalam Hurlock, 2007) melaporkan bahwa
selain pemenuhan kebutuhan fisiologis, anak membutuhkan kasih sayang bagi perkembangan
psikis yang sehat. Diketahui juga bahwa remaja dapat bertahan dengan baik dari situasi yang
menekan bila remaja mempunyai hubungan yang dekat dan penuh kasih sayang dengan orang
tua terutama ibu. Dalam kondisi yatim atau yatim piatu, hubungan yang intim dengan orang tua
tidak lagi diperoleh, dengan kondisi ini mereka harus tinggal di tempat selain rumah seperti
yayasan atau panti asuhan karena tidak ada lagi orang yang merawatnya. Hasil penelitian ini
sependapat dengan Glading (2002) yang mengungkapkan bahwa salah satu ciri keluarga yang
disfungsional adalah ketidakseimbangan pola asuh seperti ibu yang terlalu melindungi atau
sebaliknya. Hasil penelitian di atas juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nurhidayati pada tahun 2014 yang berjudul Makna Kematian Orang Tua Bagi Remaja
Menggunakan Studi Fenomenologi Pada Remaja Pasca Kematian Orang Tua, dari hasil
wawancara keseluruhan terhadap sepuluh orang subjek, mengungkap kan bahwa makna
kematian orang tua adalah kehilangan, salah satunya adalah kehilangan keutuhan keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti beramsumsi bahwa kehilangan keutuhan
keluarga merupakan kenyataan yang sulit diterima oleh remaja, karena jika remaja mengalami
hal tersebut maka remaja akan merasa kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang,
kebersamaan dan perlindungan serta teman berbagi. Karena semuanya akan remaja dapatkan jika
memiliki keluarga dan orang tua yang utuh dan pedulinya. Keluarga merupakan lembaga sosial
yang paling awal dikenal dan dekat dengan anak, maka peranannya dalam pendidikan dan proses
pembentukan pribadi tampak dominan. Tumbuh dan berkembangnya aspek manusia baik fisik,
psikis atau mental, sosial dan spiritual, yang akan menentukan bagi keberhasilan bagi
kehidupannya, sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang kondusif
sangat menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, moral, kemampuan bersosialisasi,
penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas juga peningkatan kapasitas diri menuju batasbatas
kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan. Pada dasarnya manusia itu mempunyai
potensi yang positif untuk berkembang tetapi apakah potensi itu akan teraktualisasikan atau tidak
sangat ditentukan oleh pendidikan dalam keluarga.
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan


atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan
suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik
sebagian atau seluruhnya.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA


merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.

Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam
merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek
atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas
normal.

Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang
responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan,
objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal,
atau kesalahan/kekacauan.

Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka,


mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.

Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktual atau nyata dan persepsi. Terdapat 5
katagori kehilangan, yaitu:Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai, kehilangan
lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada diri
sendiri/aspek diri, dan kehilangan kehidupan/meninggal.

Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran,
marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
2.      Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan
Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
3.      Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman
Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
4.      Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
5. http://ppnijateng.org/wp-content/uploads/2016/08/Keperawatan-Jiwa_-place-PDF-vol-3-No-2-
rev.40-52.pdf

Anda mungkin juga menyukai