Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan
kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup
seseorang. Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan
umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat
disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang
bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan
berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses
ini ada keinginan untuk mencari bantuan kepada orang lain. Pandangan-
pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi
kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan
diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang
memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga
intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk
memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga
kehidupan mereka dapat berlanjut.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam
lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan
klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi
perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga,
parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-
perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian.
Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh
perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian
(Potter & Perry, 2005).

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan kehilangan dan berduka?
b. Apa saja tipe-tipe dari kehilangan?
c. Apa saja jenis-jenis kehilangan dan berduka?
d. Bagaimana teori dari proses berduka?
e. Bagaimana respon dari kehilangan dan berduka?
f. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada kehilangan dan berduka?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah :
a. Tujuan umum
1. Mengetahui konsep kehilangan dan berduka.
2. Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada kehilangan dan
berduka.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk megetahui pengertian dari kehilangan dan berduka.
2. Untuk mengetahui tipe-tipe dari kehilangan.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis kehilangan dan berduka.
4. Untuk mengetahui teori dari proses berduka.
5. Untuk mengetahui respon dari kehilangan dan berduka.
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada kehilangan dan
berduka.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Kehilangan


A. Definisi Kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari
kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah
atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut.
Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa
kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga,
sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi
sebagian atau keseluruhan (Lambert dan,1985,h.35).
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh
setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali
walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan merupakan suatu
kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada
dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.

B. Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
1. Aktual atau nyata
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya
amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat
dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK,
menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi
menurun.

3
C. Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 jenis kehilangan, yaitu:
1. Kehilangan seseorang yang dicintai ( ACTUAL LOSS )
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna
atau orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat
stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus
ditanggung oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak
kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena keintiman, intensitas
dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian
pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak
emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi. Contoh :
kehilangan anggota badan , kehilngan suami/ istri , kehilangan
pekerjaan.
2. Kehilangan yang ada pada diri sendiri ( LOSS OF SELF )
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau
anggapan tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi
perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan
mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari
aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau
komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang.
Contoh : misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda,
fungsi tubuh.
3. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik
sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan.
Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang
hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
4. Kehilangan lingkungan yang dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan
yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang
keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara

4
permanen. Contoh : pindah kekota lain, maka akan memiliki
tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
5. Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan,
pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai
pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon
berbeda tentang kematian

D. Rentang Respon Kehilangan

Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance

1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan.
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin, saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.
2. Fase anger / marah
a. Mulai sadar akan kenyataan.
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan mengepal.
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar
a. Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja
yang sakit bukan saya “ seandainya saya hati-hati “.
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri dan tidak mau bicara
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido
menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat
sembuh”, “ yah, akhirnya saya harus operasi “

5
2.2 Konsep Berduka
A. Definisi Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah,
cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan
respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan
ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun
yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini
masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

B. Jenis-jenis Berduka
1. Berduka normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal
terhadap kehilangan.Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis,
kesepian, dan menari diri dari aktivitas untuk sementara.
2. Berduka antisipatif
Yaitu proses’melepaskan diri’ yang muncul sebelum
kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya,
ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai
proses perpisahan dan menyesuaikan beragai urusan didunia
sebelum ajalnya tiba.

6
3. Berduka yang rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap
berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-
olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang
yang bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka tertutup
Yaitu kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka. Contohnya: Kehilangan pasangan karena AIDS,
anak mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan
anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

C. Teori dari Proses Berduka


Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah
untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali
pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam
bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa
fase yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka
maupun menjelang ajal.
a. Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan
mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan.
Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare,
detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan
kelelahan.

7
b. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut
dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan
bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba
terjadi.
c. Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan
yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak
dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang
bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d. Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat
menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap
almarhum.
e. Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan
seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru
telah berkembang

2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969)
adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu
sebagai berikut:
a. Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan
dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi
kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti
itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan
klien.

8
b. Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin
“bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan
lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah.
Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa
kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.
c. Penawaran (Bergaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara
yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap
ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d. Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata
dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi
kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.
e. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut.
Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila
seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya
menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.

3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang
mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat
diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada
faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi
yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan
dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

9
4. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3
katagori:
a. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
b. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi
ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan
mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan
paling akut.
c. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan
akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial
dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup
dengan kehidupan mereka.

PERBEDAAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA


ENGELS (1964) KUBLER-ROSS MARTOCCHIO RANDO (1991)
(1969) (1985)
Shock dan tidak Menyangkal Shock and disbelief Penghindaran
percaya
Berkembangnya Marah Yearning and protest
kesadaran
Restitusi Tawar-menawar Anguish, Konfrontasi
disorganization and
despair
Idealization Depresi Identification in
bereavement
Reorganization / Penerimaan Reorganization and Akomodasi
restitution
the out come

10
D. Respon Berduka
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui
tahap-tahap berikut (Kubler-Ross, dalam Potter dan Perry,1997)
1. Tahap pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan
adalah syok, tidak percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa
kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap
ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan,
detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu
tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung selama
beberapa menit hingga beberapa tahun.
2. Tahap marah
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan
yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya
sendiri.Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang
menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang
lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat
tidak berkompeten. Respon fisik yang sering terjadi antara lain
muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal, dan seterusnya.
3. Tahap tawar-menawar
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan
terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat
kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan
tersebut dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk
melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
4. Tahap depresi
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik
diri, kadang-kadang bersikap sangat menurut, tidak mau bicara,
menyatakan keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul
keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain menolak
makan, susah tidur, letih, dan lain-lain.

11
5. Tahap penerimaan
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan
kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yg hilang akan
mulai berkurang atau bahkan hilang. Perhatiannya akan beralih
pada objek yg baru.Apabila individu dapat memulai tahap tersebut
dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri
proses kehilangan secara tuntas.Kegagalan untuk masuk ke proses
ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan
kehilangan selanjutnya.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka


A. Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka
cita klien: apa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan
melalui perilaku.
Beberapa percakapan yang merupakan bagian pengkajian agar
mengetahui apa yang mereka pikir dan rasakan adalah :
 Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
 Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
 Perilaku koping yang adekuat selama proses
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon
kehilangan adalah:
a. Faktor Genetic : Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di
dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan sulit
mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan
kehilangan.
b. Kesehatan Jasmani : Individu dengan keadaan fisik sehat, pola
hidup yang teratur, cenderung mempunyai kemampuan
mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik

12
c. Kesehatan Mental : Individu yang mengalami gangguan jiwa
terutama yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai
dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh
masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam
menghadapi situasi kehilangan.
d. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu : Kehilangan atau
perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-kanak
akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan
kehilangan pada masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991).
e. Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif
terhadap stress yang dihadapi.
2. Faktor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan
kehilangan. Kehilangan kasih sayang secara nyata ataupun
imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara
lain meliputi;
a. Kehilangan kesehatan
b. Kehilangan fungsi seksualitas
c. Kehilangan peran dalam keluarga
d. Kehilangan posisi di masyarakat
e. Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
f. Kehilangan kewarganegaraan
3. Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan
respon antara lain: Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi,
Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang digunakan untuk menghindari
intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan
disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam
keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara
berlebihan dan tidak tepat.

13
4. Respon Spiritual
a. Kecewa dan marah terhadap Tuhan
b. Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
c. Tidak memilki harapan; kehilangan makna
5. Respon Fisiologis
a. Sakit kepala, insomnia
b. Gangguan nafsu makan
c. Berat badan turun
d. Tidak bertenaga
e. Palpitasi, gangguan pencernaan
f. Perubahan sistem imune dan endokrin
6. Respon Emosional
a. Merasa sedih, cemas
b. Kebencian
c. Merasa bersalah
d. Perasaan mati rasa
e. Emosi yang berubah-ubah
f. Penderitaan dan kesepian yang berat
g. Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan
individu atau benda yang hilang
h. Depresi, apati, putus asa selama fase disorganisasi dan
keputusasaan
i. Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri
7. Respon Kognitif
a. Gangguan asumsi dan keyakinan
b. Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna
kehilangan
c. Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
d. Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang
meninggal adalah pembimbing.

14
8. Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku
seperti :
a. Menangis tidak terkontrol
b. Sangat gelisah; perilaku mencari
c. Iritabilitas dan sikap bermusuhan
d. Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan
bersama orang yang telah meninggal.
e. Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal
padahal ingin membuangnya
f. Kemungkinan menyalahgunakan obat atau alkohol
g. Kemungkinan melakukan gestur, upaya bunuh diri atau
pembunuhan
h. Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fase
reorganisasi
9. Analisa data
a. Data subjektif
1) Merasa putus asa dan kesepian
2) Kesulitan mengekspresikan perasaan
3) Konsentrasi menurun
b. Data objektif
1) Menangis
2) Mengingkari kehilangan
3) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
4) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
5) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur,
tingkat aktivitas

15
B. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah/kronis.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan
dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon
kehilangan pasangan/keluarga.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.

C. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah/kronis.
a. Tujuan Umum :
1) Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
b. Tujuan Khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan
perawat.
2) Klien dapat memahami penyebab dari harga diri rendah.
3) Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4) Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat,
jujur, dan terbuka.
5) Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan
perbaikan komunikasi dengan orang lain.
c. Intervensi
1) Bina hubungan saling percaya dengan klien.
Rasional : rasa percaya merupakan dasar dari hubungan
terapeutik yang mendukung dalam mengatasi
perasaannya.
2) Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan pikiran dan
perasaannya.
Rasional : motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3) Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah

16
Rasional : dengan mengetahui penyebab diharapkan klien
dapat beradaptasi dengan perasaannya.
4) Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon, dan
tidak menghakimi.
Rasional : empati dapat diartikan sebagai rasa peduli
terhadap perasaan klien, tetapi tidak terlibat secara emosi.
5) Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan
negatif dari dirinya.
Rasional : meningkatkan harga diri.
6) Beri dukungan, support dan pujian setelah klien mampu
melakukan aktivitasnya.
Rasional : pujian membuat klien berusaha lebih keras
lagi.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan
dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon
kehilangan pasangan/keluarga.
a. Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.
2) Klien menggunkan koping yang adaptif.
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
b. Intervensi
1) Merespon kesadaran diri dengan cara :
a) Membina hubungan saling percayadan keterbukaan.
b) Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang
dimilikinya.
c) Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan
terpeutik.
Rasional : kesadaran diri sangat diperlukan dalam
membina hubungan terapeutik perawat-klien.
2) Menyelidiki diri dengan cara :
a) Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.

17
b) Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan
hubungannya dengan orang lain melalui keterbukaan.
c) Berespon secara empati dan menekankan bahwa
kekuatan untuk berubah ada pada klien.
Rasional : klien yang dapat memahami perasaannya
memudahkan dalam penerimaan terhadap dirinya sendiri.
3) Mengevaluasi diri dengan cara :
a) Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
b) Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal
adaptif terhadap masalahnya.
Rasional : respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam
penyelesaian masalah secara konstruktif.
4) Membuat perencanaan yang realistik.
a) Membantu klien mengidentifikasi alternatif
pemecahan masalah.
b) Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang
realistik.
Rasional : klien membutuhkan bantuan perawat untuk
mengatasi permasalahnnya dengan cara menentukan
perancanaan yang realistik.
5) Bertanggung jawab dalam bertindak.
a) Membantu klien untuk melakukan tindakan yang
penting untuk merubah respon mal adaptif dan
mempertahankan respon koping yang adaptif.
Rasional : penggunaan koping yang adaptif membantu
dalam proses penyelesaian masalah klien.
6) Mengobservasi tingkat depresi.
a) Mengamatu prilaku klien.
b) Bersama klien membahas perasaannya.
Rasional : dengan mengobservasi tingkat depresi maka
rencana perawatan selanjutnya disusun dengan tepat.

18
7) Membantu klien mengurangi rasa bersalah.
a) Menghrgai perasaan klien.
b) Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan
mengaitkan terhadap kenyataan.
c) Memberikan kesempatan untuk menangis dan
mengungkapkan perasaanya.
d) Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
Rasional : individu dalam keadaan berduka sering
mempertahankan perasaan bersalahnya terhadap orang
yang hilang.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
a. Tujuan Umum :
1) Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
b. Tujuan Khusus :
1) Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2) Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3) Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4) Klien dapat merawat kukunya sendiri.
c. Intervensi
1) Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
Rasional : sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam
proses menyembuhkannya.
2) Menganjurkan klien untuk mandi.
Rasional : pengertian yang baik dapat membantu klien
dapat dimengerti dan diharapkan dapat melakukan
sendiri.
3) Menganjurkan klien untuk mencuci baju.
Rasional : diharapkan klien mandiri.
4) Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.
Rasional : diharapkan klien mandiri.
5) Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.
Rasional : diharapkan klien mandiri

19
D. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam
Potter & Perry, 1997). Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan
kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk
memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga, atau tindakan
untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari.
Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar
sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai
kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan
interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses
pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien,
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Kozier et al.,
1995).

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang
memungkinkan perawat untuk menentukan apakah intervensi
keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien (Potter & Perry,
2009). Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang
sistematis dan terencaan tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan
melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya
(Setiadi, 2012). Penilaian keperawatan adalah mungukur keberhasilan
dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan
dalam memenuhi kebutuhan klien. Penilaian adalah tahap yang
menentukan apakah tujuan tercapai.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi
dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang
merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual
ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih
dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang
merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat
individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/kekacauan. Peran perawat adalah untuk
mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh
berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.

3.2 Saran
Saran untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
Adapun saran-saran yang dapat kami sampaikan sebagaiberikut:
a. Dalam perencanaan tindakan, harus disesuikan dengan kebutuhan klien
pada saat itu.
b. Dalam perumusan diagnosa keperawatan, harus diprioritaskan sesuai
dengan kebutuhan maslow ataupun kegawatan dari masalah.
c. Selalu mendokumentasikan semua tindakan keperawatan baik yang
kritis maupun yang tidak.

21

Anda mungkin juga menyukai