Oleh:
( 196070300111016 )
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
BERDUKA KOMPLEK
A. Masalah utama
Berduka KOMPLEK
1. Kehilangan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi
suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau
- Tipe Kehilangan
- Jenis-jenis Kehilangan
1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan,
detak jantung cepat, menangis, gelisah.
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “
yah, akhirnya saya harus operasi “
2. Berduka
- Definisi berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani
proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah
untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali
pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam
bentuk empati.
1. Teori Engels
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk
malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis,
mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa
merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu
terhadap almarhum.
Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga
pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran
baru telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
a) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak
mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan
klien.
b) Kemarahan (Anger)
c) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas
untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat
orang lain.
d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya
melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
1. Teori Martocchio
1. Teori Rando
1. Penghindaran
2. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam
dan dirasakan paling akut.
3. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai
memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien
belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA
ENGEL (1964) KUBLER-ROSS MARTOCCHIO RANDO (1991)
(1969) (1985)
Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and Penghindaran
disbelief
Berkembangnya Marah Yearning and
kesadaran protest
Restitusi Tawar-menawar Anguish, Konfrontasi
disorganization
and despair
Idealization Depresi Identification in
bereavement
Reorganization / the out Penerimaan Reorganization akomodasi
come and restitution
Tidak, saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat,
dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam
tidak pecus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah,
maka saya akan sering berdoa “. Apabila proses ini oleh keluarga maka
pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan
anaksaya”.
menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara,
bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak
akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan
dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini
tampak manis “ atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat
sembuh”.
a. Ungkapan kehilangan
b. Menangis
c. Gangguan tidur
e. Sulit berkonsentrasi
b. Sedih berkepanjangan
menawar depresi penerimaan.
f. Fase denial
3) Reaksi fisik : muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal.
4) Perilaku agresif
i. Fase depresi.
1) Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
menurun.
Fase acceptance
E. Faktor Predisposisi
a. Genetic
b. Kesehatan Jasmani
gangguan fisik.
c. Kesehatan Mental
e. Struktur Kepribadian
F. Faktor Presipitasi
milik pribadi seperti: kehilangan harta benda atau orang yang dicintai,
G. Pohon masalah
Berduka
Core Problem
Kehilangan
1. Berduka KOMPLEK
2. Kehilangan
1. Data objektif
aktivitas.
2. Data subjektif
a. Mengingkari kehilangan
c. Konsentrasi menurun
J. Tindakan Keperawatan
1. Psikoterapi individu
Terapi kognitif adalah salah satu bentuk psikoterapi yang
didasarkan pada konsep
proses patologi jiwa, dimana fokus dari tindakannya berdasarkan
modifikasi dari
distorsi kognitif dan perilaku maladpatif (Townsend, 2009). CT
merupakan terapi yang berfokus kepada pikiran negative otomatis yang
dimiliki oleh klien (Hyland & Boduszek, 2012). Sehingga CT merupakan
lingkup terapi yang lebih kecil dibandingkan dengan CBT karena murni
berfokus kepada kognitif klien (Lorenzo-Luaces, Keefe, & DeRubeis,
2016).
Tujuan khusus dari terapi kognitif ini diharapkan klien mampu
mengidentifikasi pikiran otomatis yang negative, menggunakan tanggapan
rasional dalam mengatasi pikiran otomatis negatif yang muncul,
mengungkapkan manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
yang negative dan mendapatkan dukungan keluarga dalam membantu
klien meningkatkan kemampuan merubah pikiran negatif.
Pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari lima sesi dan masing-masing
sesi dilaksanakan selama 30 - 45 menit. Uraian pelaksanaan masing-
masing sesi akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Sesi 1: Mengidentifikasi pikiran negatif otomatis yang
negatif dan penggunaan
tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif
pertama
Tujuan dari sesi 1 yaitu klien mampu mengungkapkan pikiran-
pikiran otomatis yang negative, klien mampu memilih 1 pikiran
otomatis negatif yang dirasakan paling
utama (mengganggu) untuk didiskusikan dalam pertemuan saat ini.,
klien mampu mengungkapkan alasan/sumber pikiran otomatis
negative, klien mampu memberi tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negative pertama, klien dapat menuliskan pikiran otomatis
negatif dan tanggapan rasionalnya dan klien dapat meningkatkan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
b. Sesi 2 : Penggunaan tanggapan rasional terhadap
pikiran negatif kedua
Tujuan dari sesi dua yaitu evaluasi kemampuan klien dalam memberi
tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian terhadap pikiran
otomatis negatif pertama yang
telah didiskusikan dalam pertemuan sebelumnya (sesi 1), klien mampu
memilih pikiran otomatis negatif kedua yang akan diselesaikan dalam
pertemuan kedua ini, klien mampu memberikan tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis negatif kedua dan menuliskannya di
lembar/buku catatan harian, klien mampu meningkatkan kemampuan
untuk menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran otomatis yang
timbul, klien mampu menuliskan kembali pembuatan catatan harian
terkait dengan penyelesaian masalah dalam mengatasi pikiran otomatis
lainnya.
c. Sesi 3 : Penggunaan tanggapan rasional terhadap
pikiran negatif ketiga
Tujuan dari sesi tiga yaitu evaluasi kemampuan klien dalam memberi
tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian terhadap pikiran
otomatis negatif pertamadan kedua yang telah didiskusikan dalam
pertemuan sebelumnya (sesi 1 dan 2), klien mampu memilih pikiran
otomatis negatif ketiga yang akan diselesaikan dalam pertemuan ketiga
ini, klien mampu memberikan tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negative ketiga dan menuliskannya di lembar/buku catatan
harian, klien mampu meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan
masalah terkait dengan pikiran otomatis yang timbul dan klien mampu
menuliskan kembali pembuatan catatan harian terkait dengan
penyelesaian masalah dalam mengatasi pikiran otomatis lainnya.
d. Sesi 4 : Manfaat tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif
(ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif)
Pada sesi empat ini kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan
dengan klien
manfaat yang dirasakan klien setelah menggunkan tanggapan rasional
yang diajarkan
terhadap pikiran otomatis negatif. Latihan yang dilakukan secara
disiplin dan rutin oleh
klien dapat mendatangkan hasil yang sangat memuaskan bagi klien
terhadap perubahan
pikiran negatif yang dialami klien
e. Sesi 5 : Support system
Pada sesi 5 ini, terapis mendiskusikan dengan keluarga tentang pikiran
negatif yang
dialami oleh klien dan cara mengubah pikiran negatif yag dialami
klien. Sehingga
pada sesi ini keluarga memiliki pengetahuan tentang kondisi klien dan
dapat
membantu klien dalam mengatasi pikiran negatif yang muncul.
5. Psikoterapi keluarga
Family psychoeducation (FPE) adalah program kesehatan mental
yang melibatkan partisipasi keluarga sebagai pendukung sistem untuk
klien melalui implementasi informasi dan pendidikan menggunakan
komunikasi terapeutik. Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengidentifikasi masalah keluarga
yang terkait dengan perawatan dan perawatan anggota keluarga. menderita
HIV, dan mengeksplorasi potensi kekuatan keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang sakit. Sebuah studi menunjukkan penurunan
depresi sebesar 8,46% setelah diberikan terapi acceptence dan
commitment (ACT) dan FPE. pengenalan psikoedukasi kepada keluarga
yakni menginformasikan keluarga tentang kondisi dan gejala, keadaan
emosi, program perawatan tentang suatu penyakit, Menurut Vilardaga et
al, ACT adalah terapi perilaku yang dapat digunakan untuk mengobati
masalah klinis yang kompleks, seperti depresi dan gangguan kepribadian.
ACT menggunakan beberapa teknik yang bertujuan untuk mengajarkan
psikologis positif keterampilan kepada klien. Logoterapi dapat digunakan
oleh perawat untuk mengatasi masalah persepsi negatif tentang efek dari
penyakit dan pengobatan. Logoterapi adalah psikoterapi eksistensial yang
berfokus pada kesadaran arti hidup seseorang sebagai cara untuk mencapai
kesehatan mental (Sri Suyanti, Anna Keliat, & Catharina Daulima,
2018).Terapi psikoedukasi keluarga (family psychoeducation) yaitu
memberikan informasi atau menambah pengetahuan keluarga mengenai
penyakit yang dialami keluarga (Townsend, 2018). Family psycoeducation
terapy (FPE) bertujuan untuk mengurangi tingkat kekambuhan dengan
mengurangi stres yang timbul dari respons kritis dan perilaku yang terlalu
terlibat melalui penyediaan pendidikan dan pelatihan keterampilan
(Harvey, C., 2017).Intervensi yang dapat diterapkan kepada pasien dengan
deficit perawatan diri salah satunya adalah terapi psikoedukasi keluarga
(family psychoeducation) dimana pelaksanaan terapi ini terdiri dari 5 sesi
yang setiapsesinya dilakukab sebanyak 45-60 menit.
Sesi 1 dilakukan pengkajian pada sesi pertama ini terapis dan
keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga
karena memiliki klien gangguan jiwa. Terapi ini mengikutsertakan seluruh
anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien,
terutama caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan
jiwa bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung,
dan pasangan. Pengkajian dibuat terpisah antara masalah yang dirasakan
oleh caregiver dan anggota keluarga yang lain. Pengkajian berfokus pada
masalah dalam merawat klien sakit dan masalah yang muncul pada diri
karena merawat klien.
Sesi 2, Perawatan Klien Gangguan Jiwa, sesi II ini berfokus pada
edukasi mengenai masalah yang dialami oleh klien. Edukasi yang
diberikan kepada keluarga terkait dengan diagnosa medis dan diagnosa
keperawatan yang dialami klien. Edukasi pada sesi II ini disesuaikan
dengan SAK keluarga yang telah dikembangkan pada untuk intervensi
generalis. Intervensi yang diberikan pada sesi II ini didasarkan dengan
diagnosa keperawatan yang muncul pada klien. Townsend (2009)
menyatakan dampak positif program psikoedukasional secara tidak
langsung pada klien yaitu bahwa dengan memberikan informasi mengenai
penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran mengenai koping
yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan
menurunkan kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap
anggota keluarga yang lain.
Sesi 3, Manajemen Stress Keluarga. Stress adalah kondisi
ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu
dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk
menghadapi keinginan-keinginan tersebut (Townsend, 2009). Stressor
adalah keinginan dari lingkungan internal atau eksternal individu yang
meningkatkan respon fisiologis dan/atau psikologis seseorang. Kondisi
klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor tersendiri bagi
keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan
koping yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik,
diperlukan manajemen stress yang tepat. Manajemen stress adalah
berbagai metode yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi
tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup; termasuk
latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik
lain yang berhasil pada individu tersebut. Sesi III dari FPE adalah sesi
untuk membantu mengatasi masalah masing-masing individu keluarga
yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada
caregiver yang setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini,
terapis mengajarkan cara-cara memanajemen stress pada seluruh anggota
keluarga, terutama caregiver.
Sesi 4, Manajemen Beban Keluarga, pada sesi IV ini terapis
bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan mengenai
masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah
bersama-sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari seluruh
anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga.
Family psychoeducation telah terbukti dapat memperbaiki gejala umum
penyakit dan mengatasi penolakan dan beban yang dirasakan keluarga.
Pengaruh dari adanya anggota keluarga dengan gangguan mental sering
disebut dengan beban keluarga (Stuart, 2016). Sebuah survey mengenai
caregiver di keluarga menunjukkan bahwa beban yang paling besar
dirasakan adalah mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya
konsentrasi, terganggunya rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena
merasa apa yang dilakukan tidak cukup baik, merasa terperangkap di
rumah, dan merasa sedih karena perubahan pada anggota keluarga (Rose et
al., 2006 dalam Stuart, 2016).
Sesi V yaitu pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga.
Pada sesi V akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar
keluarga, yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga
dengan klien gangguan jiwa. Keluarga yang merawat klien dengan
gangguan jiwa seringkali merasa malu, merasa dikucilkan dan merasa
sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya ada
dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota
keluarga dengan gangguan jiwa.
8. Psychodynamic therapy
Menurut Wade dan Tavris (2015), terapi psikodinamika adalah suatu jenis
psikoterapi dengan tujuan mirip dengan tujuan psikoanalisis, yaitu
mempelajari dinamika ketidaksadaran pada kepribadian; meskipun dalam
berbagai hal. Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy
yang terdiri dari 3 fase yaitu Fase 1 (sesi 1-4) Melibatkan pasien dalam
perawatan adalah fokus pertama dari fase awal. Pasien biasanya datang
menolak penjelasan psikologis untuk kondisinya dan memiliki riwayat
negative dengan para profesional kesehatan. Satu-satunya cara bagi terapis
untuk melakukannya melawan perasaan ini adalah dengan validasi empati
dan perasaan kuat dari pembatalan pasien, dalam kombinasi dengan
mengakui realitas penderitaan mereka. sebagian dicapai oleh terapis dan
pasien memutuskan bersama pada focus terapi yang akan dijalankan.
mengacu pada pola hubungan atau kelekatan afektif kognitif berulang
yang berhubungan dengan timbulnya dan lamanya gejala pasien. Fase 2
(sesi 5-12) terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah disusun di
sesi awal dan memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan
proses bersama dimana pasien dibantu untuk mengenali pola perlekatan
interpersonal tipikal dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus pada
kapasitas pasien untuk merenungkan dampak dari pola ini pada diri yang
diwujudkan, orang lain, dan hubungan diri dengan orang lain. Di dinamyc
interpersonal terapi, terapis secara aktif mendorong dan mendukung
perubahan. Di fase tengah terapis menggunakan rangkuman penuh
intervensi psikodinamik: (1) mendukung intervensi (jaminan, dukungan,
dan empati); (2) intervensi yang menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi
ekspresif seperti pandangan teoritis, yang termasuk terbatas fokus pada
hubungan transferensi saat yang tepat, (4) teknik pengarahan (mis.,
mendorong pasien untuk mengubah cara dia berinteraksi dengan orang
lain). Fase 3 (sesi 13-16) Berfokus pada pemberdayaan pasien untuk
melanjutkan proses perubahan terapi sendiri. Ini dimulai dengan berbagi
draft "selamat tinggal" surat yang ditulis oleh terapis. Surat ini
memberikan gambaran umum tentang (1) masalah yang muncul, (2) focus
terapi, (3) apa yang telah dicapai dalam hal berubah, dan (4) apa yang
belum tercapai. Surat ini sering memancing reaksi emosional yang sangat
kuat pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA