Anda di halaman 1dari 26

LTM

Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa Lanjut Pada Berduka KOMPLEK

Oleh:

ALIFIA DIAN SUKMANINGTYAS

( 196070300111016 )

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2020
BERDUKA KOMPLEK

A. Masalah utama

Berduka KOMPLEK

B. proses terjadinya masalah:

1. Kehilangan

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan

sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi

sebagian atau keseluruhan (Lambert dan, 1985, h.35).

Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami

suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau

pernah dimiliki (erma wati,2009)

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap

kehilangan yang di manifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas,

sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.

- Tipe Kehilangan

Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:


1. Aktual atau nyata. Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain,
misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi. Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat
dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK,
menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.

- Jenis-jenis Kehilangan

Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:


 Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai

Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau


orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan
mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh
seseorang.

Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang


dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau
jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya
membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.

 Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)

Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan


tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap
keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam
kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin
sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang
dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan,
usia muda, fungsi tubuh.

 Kehilangan objek eksternal

Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri


atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka
yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti
dan kegunaan benda tersebut.

 Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal

Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang


sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam
waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah
kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses
penyesuaian baru.

 Kehilangan kehidupan/ meninggal

Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran


dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian
yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.

- Rentang Respon Kehilangan

Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance

1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan,
detak jantung cepat, menangis, gelisah.

2. Fase anger / marah


a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal.
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar
a. Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit
bukan saya “ seandainya saya hati-hati “.

4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.

5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “
yah, akhirnya saya harus operasi “

2. Berduka

- Definisi berduka

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap


kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas,
sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian


kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka
diantisipasi dan berduka KOMPLEK.

Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan


pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun
yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini
masih dalam batas normal.

Berduka KOMPLEK adalah suatu status yang merupakan


pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

- Teori dari Proses Berduka

Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani
proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah
untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali
pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam
bentuk empati.
1. Teori Engels

Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase


yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun
menjelang ajal.

 Fase I (shock dan tidak percaya)

Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk
malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis,
mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.

 Fase II (berkembangnya kesadaran)

Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin


mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.

 Fase III (restitusi)

Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong,


karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari
seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

 Fase IV

Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa
merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu
terhadap almarhum.

 Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga
pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran
baru telah berkembang.

2. Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi


pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

a) Penyangkalan (Denial)

Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak
mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan
klien.

b) Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap


orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini
orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan
menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.

c) Penawaran (Bargaining)

Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas
untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat
orang lain.

d) Depresi (Depression)

Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya
melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.

e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.

1. Teori Martocchio

Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup


yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan
bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi
yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka
yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

1. Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:

1. Penghindaran

Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.

2. Konfrontasi

Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam
dan dirasakan paling akut.

3. Akomodasi

Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai
memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien
belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA
ENGEL (1964) KUBLER-ROSS MARTOCCHIO RANDO (1991)
(1969) (1985)
Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and Penghindaran
disbelief
Berkembangnya  Marah Yearning and
kesadaran protest
Restitusi Tawar-menawar Anguish, Konfrontasi
disorganization
and despair
Idealization Depresi Identification in
bereavement
Reorganization / the out Penerimaan Reorganization akomodasi
come and restitution

Rentang Respon Kehilanagn

- Fase Pengingkaran. Reaksi pertama individu yang mengalami

kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan

bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “

Tidak, saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi

“. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosa dengan penyakit

terminal, akan terus mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat,

diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah,

dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam

beberapa menit atau beberapa tahun.


- Fase Marah. Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan

kenyataan terjadinya kehilangan Individu menunjukkan rasa marah

yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau

pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif,

berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang

tidak pecus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah,

nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

- Fase Tawar-menawar. Individu telah mampu mengungkapkan rasa

marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar-menawar

dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering

dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda,

maka saya akan sering berdoa “. Apabila proses ini oleh keluarga maka

pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan

anaksaya”.

- Fase Depresi. Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap

menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara,

menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan

bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak

makan, susah tidur, letih, dorongan libido manurun.

- Fase Penerimaan. Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan

kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada obyek atau orang


yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah

menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau

orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya

akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan

dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini

tampak manis “ atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat

sembuh”.

Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan

perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta

mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak

dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya

dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

C. Tanda dan gejala

a. Ungkapan kehilangan

b. Menangis

c. Gangguan tidur

d. Kehilangan nafsu makan

e. Sulit berkonsentrasi

D. Karakteristik berduka yang berkepanjangan,yaitu:

a. Mengingkari kenyataan kehilngan terjadi dalam waktu yang lama

b. Sedih berkepanjangan

c. Adanya gejala fisik yang berat

d. Keinginan untuk bunuh diri


e. Rentang respon Adaptif Maladaptif: Penyangkalan marah tawar

menawar depresi penerimaan.

f. Fase denial

1) Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan

2) Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.

3) Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan

pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.

g. Fase anger / marah

1) Mulai sadar akan kenyataan

2) Marah diproyeksikan pada orang lain

3) Reaksi fisik : muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan

mengepal.

4) Perilaku agresif

h. Fase bargaining / tawar menawar

1) Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “

2) Kalau saja yang sakit bukan saya

3) Seandainya saya hati-hati .

i. Fase depresi.

1) Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.

2) Gejala ;menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido

menurun.

Fase acceptance

1) Pikiran pada objek yang hilang berkurang.


2) Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat

sembuh”, “ yah, akhirnya saya harus operasi “

E. Faktor Predisposisi

Faktor prdisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:

a. Genetic

Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga

yang mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap

optimis dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam

menghadapi proses kehilangan.

b. Kesehatan Jasmani

Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang

teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang

lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami

gangguan fisik.

c. Kesehatan Mental

Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang

mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak

berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan yang suram,

biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan.

d. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu


Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada

masa kanak-kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi

perasaan kehilangan pada masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991)

e. Struktur Kepribadian

Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri

akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak

objektif terhadap stress yang dihadapi.

F. Faktor Presipitasi

Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress

nyata, ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial

antara lain meliputi: kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas,

kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan posisi dimasyarakat, kehilangan

milik pribadi seperti: kehilangan harta benda atau orang yang dicintai,

kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya.

G. Pohon masalah

Gangguan konsep diri

Berduka
Core Problem

Kehilangan

H. Masalah keperawatan yang mungkin timbul

1. Berduka KOMPLEK
2. Kehilangan

3. Gangguan konsep diri

I. Data yang dikaji

1. Data objektif

a. Klien tampak sedih dan menangis

b. Klien tampak putus asa dan kesepian

c. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat

aktivitas.

d. Reaksi emosional klien tampak melambat

e. Klien tampak marah berlebihan

2. Data subjektif

a. Mengingkari kehilangan

b. Kesulitan mengekspresikan perasaan

c. Konsentrasi menurun

d. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.

e. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.

f. Reaksi emosional yang lambat

J. Tindakan Keperawatan
1. Psikoterapi individu
Terapi kognitif adalah salah satu bentuk psikoterapi yang
didasarkan pada konsep
proses patologi jiwa, dimana fokus dari tindakannya berdasarkan
modifikasi dari
distorsi kognitif dan perilaku maladpatif (Townsend, 2009). CT
merupakan terapi yang berfokus kepada pikiran negative otomatis yang
dimiliki oleh klien (Hyland & Boduszek, 2012). Sehingga CT merupakan
lingkup terapi yang lebih kecil dibandingkan dengan CBT karena murni
berfokus kepada kognitif klien (Lorenzo-Luaces, Keefe, & DeRubeis,
2016). 
Tujuan khusus dari terapi kognitif ini diharapkan klien mampu
mengidentifikasi pikiran otomatis yang negative, menggunakan tanggapan
rasional dalam mengatasi pikiran otomatis negatif yang muncul,
mengungkapkan manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
yang negative dan mendapatkan dukungan keluarga dalam membantu
klien meningkatkan kemampuan merubah pikiran negatif.
Pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari lima sesi dan masing-masing
sesi dilaksanakan selama 30 - 45 menit. Uraian pelaksanaan masing-
masing sesi akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Sesi 1: Mengidentifikasi pikiran negatif otomatis yang
negatif dan penggunaan
tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif
pertama
Tujuan dari sesi 1 yaitu klien mampu mengungkapkan pikiran-
pikiran otomatis yang negative, klien mampu memilih 1 pikiran
otomatis negatif yang dirasakan paling
utama (mengganggu) untuk didiskusikan dalam pertemuan saat ini.,
klien mampu mengungkapkan alasan/sumber pikiran otomatis
negative, klien mampu memberi tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negative pertama, klien dapat menuliskan pikiran otomatis
negatif dan tanggapan rasionalnya dan klien dapat meningkatkan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
b. Sesi 2 : Penggunaan tanggapan rasional terhadap
pikiran negatif kedua
Tujuan dari sesi dua yaitu evaluasi kemampuan klien dalam memberi
tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian terhadap pikiran
otomatis negatif pertama yang
telah didiskusikan dalam pertemuan sebelumnya (sesi 1), klien mampu
memilih pikiran otomatis negatif kedua yang akan diselesaikan dalam
pertemuan kedua ini, klien mampu memberikan tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis negatif kedua dan menuliskannya di
lembar/buku catatan harian, klien mampu meningkatkan kemampuan
untuk menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran otomatis yang
timbul, klien mampu menuliskan kembali pembuatan catatan harian
terkait dengan penyelesaian masalah dalam mengatasi pikiran otomatis
lainnya.
c. Sesi 3 : Penggunaan tanggapan rasional terhadap
pikiran negatif ketiga
Tujuan dari sesi tiga yaitu evaluasi kemampuan klien dalam memberi
tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian terhadap pikiran
otomatis negatif pertamadan kedua yang telah didiskusikan dalam
pertemuan sebelumnya (sesi 1 dan 2), klien mampu memilih pikiran
otomatis negatif ketiga yang akan diselesaikan dalam pertemuan ketiga
ini, klien mampu memberikan tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negative ketiga dan menuliskannya di lembar/buku catatan
harian, klien mampu meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan
masalah terkait dengan pikiran otomatis yang timbul dan klien mampu
menuliskan kembali pembuatan catatan harian terkait dengan
penyelesaian masalah dalam mengatasi pikiran otomatis lainnya.
d. Sesi 4 : Manfaat tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif
(ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif)
Pada sesi empat ini kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan
dengan klien
manfaat yang dirasakan klien setelah menggunkan tanggapan rasional
yang diajarkan
terhadap pikiran otomatis negatif. Latihan yang dilakukan secara
disiplin dan rutin oleh
klien dapat mendatangkan hasil yang sangat memuaskan bagi klien
terhadap perubahan
pikiran negatif yang dialami klien
e. Sesi 5 : Support system
Pada sesi 5 ini, terapis mendiskusikan dengan keluarga tentang pikiran
negatif yang
dialami oleh klien dan cara mengubah pikiran negatif yag dialami
klien. Sehingga
pada sesi ini keluarga memiliki pengetahuan tentang kondisi klien dan
dapat
membantu klien dalam mengatasi pikiran negatif yang muncul.

2. Logotherapy, Logoterapi Viktor Frankl berpendapat bahwa kehidupan


manusia memiliki tujuan dan bahwa manusia termotivasi untuk
menemukan makna dalam kehidupan mereka. . Logoterapi adalah
modalitas yang berpotensi berguna, terlepas dari orientasi teoritis
dokter, mengingat sifat kolaboratifnya dan fokus pada signifikansi
makna dan nilai-nilai pada kondisi manusia. Pendekatan
logotherapeutic untuk terapi pasangan (yaitu, terapi pasangan yang
berpusat pada makna) akan melibatkan klarifikasi nilai-nilai (secara
individu dan kolektif) dan penekanan pada cinta yang didasarkan pada
penerimaan dan pertumbuhan transenden-diri (Schulenberg, Schnetzer,
Winters, & Hutzell, 2010) Frankl menulis bahwa dia perlu menemukan
makna dalam hidupnya sehingga dia dapat mempertahankan hidupnya
secara fisik, psikologis, dan spiritual. Dengan kata lain, ketika
seseorang memahami makna dalam hidup, ketiga dimensi ini akan
berada dalam interaksi yang sehat. Dimensi spiritual dan dua dimensi
lainnya memiliki kekuatan penyembuhan. Karena itu, akan semakin
mudah bagi seseorang yang sadar akan sisi spiritual dan bertindak
dengan kesadaran ini untuk menemukan makna. Salah satu elemen
paling efektif dalam menemukan makna adalah spiritualitas. Penelitian
telah menunjukkan bahwa kerohanian membantu orang menemukan
makna dalam kehidupan mereka dan bahkan memiliki efek penting
dalam mengalahkan rasa takut akan kematian. Dalam hal ini,
logoterapi tidak menolak spiritualitas dan agama tetapi lebih
mendorong penggunaannya.(Okan & Eksi, 2017a).

3. Psychoreligious therapy, Spiritual mengandung unsur psikoterapeutik,


terapi psikoreligius mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan efek
rasa percaya diri dan optimisme terhadap penyembuhan (Ruslinawati,
2017). psikologis dengan membaca Alquran sebagai cara kekuatan.
Penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan eksperimen
semu dengan desain kelompok kontrol yang tidak setara. Penelitian ini
membandingkan hasil pretest dan posttest kelompok eksperimen
setelah dirawat dengan kelompok kontrol yang tidak diobati.
Pengukuran Tingkat Depresi diterapkan Beck Depression Inventory
(BDI) (Fansuri, 2018) (Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, 2014) agama
sebagai efek dari kekuatan normalisasi dalam hubungan individu
dengan Tuhan (Ratinen, 2019).

4. Mindfulness spiritual islam, suatu latihan yang melibatkan Allah SWT


sebagai tuhan yang maha kuasa dalam setiap proses (mengingat Allah
SWT) dengan tujuan membantu individu untuk secara sadar
memahami kondisi atau pegalaman yang dihadapi bukan sebagai
kebetulan tetapi peristiwa dibuat oleh Allah SWT. Seseorang
menerima kondisi dengan lapang dada, menemukan maksud serta
tujuan dan cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi sesuai
dengan aturan islam. Individu yang mindful melakukan sesuatu dengan
penuh kesadaran dan berusaha meningkatkan kemampuan mereka
untuk menyelesaikan masalah. konsep spiritual islam memiliki
pararelitas dengan konsep ilmu jiwa secara umum hal ini dicerminkan
dari analogi qolbiyah dengan super ego (hati nurani), aqliyah dengan
ego (akal) dan naf’s dengan id (instinct), ketiga komponen tersebut
saling tarik menarik untuk mendominasi keseluruhan unser
kepribadian manusia (Meidiana Dwidiyanti & Munif, 2019).

5. Psikoterapi keluarga
Family psychoeducation (FPE) adalah program kesehatan mental
yang melibatkan partisipasi keluarga sebagai pendukung sistem untuk
klien melalui implementasi informasi dan pendidikan menggunakan
komunikasi terapeutik. Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengidentifikasi masalah keluarga
yang terkait dengan perawatan dan perawatan anggota keluarga. menderita
HIV, dan mengeksplorasi potensi kekuatan keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang sakit. Sebuah studi menunjukkan penurunan
depresi sebesar 8,46% setelah diberikan terapi acceptence dan
commitment (ACT) dan FPE. pengenalan psikoedukasi kepada keluarga
yakni menginformasikan keluarga tentang kondisi dan gejala, keadaan
emosi, program perawatan tentang suatu penyakit, Menurut Vilardaga et
al, ACT adalah terapi perilaku yang dapat digunakan untuk mengobati
masalah klinis yang kompleks, seperti depresi dan gangguan kepribadian.
ACT menggunakan beberapa teknik yang bertujuan untuk mengajarkan
psikologis positif keterampilan kepada klien. Logoterapi dapat digunakan
oleh perawat untuk mengatasi masalah persepsi negatif tentang efek dari
penyakit dan pengobatan. Logoterapi adalah psikoterapi eksistensial yang
berfokus pada kesadaran arti hidup seseorang sebagai cara untuk mencapai
kesehatan mental (Sri Suyanti, Anna Keliat, & Catharina Daulima,
2018).Terapi psikoedukasi keluarga (family psychoeducation) yaitu
memberikan informasi atau menambah pengetahuan keluarga mengenai
penyakit yang dialami keluarga (Townsend, 2018). Family psycoeducation
terapy (FPE) bertujuan untuk mengurangi tingkat kekambuhan dengan
mengurangi stres yang timbul dari respons kritis dan perilaku yang terlalu
terlibat melalui penyediaan pendidikan dan pelatihan keterampilan
(Harvey, C., 2017).Intervensi yang dapat diterapkan kepada pasien dengan
deficit perawatan diri salah satunya adalah terapi psikoedukasi keluarga
(family psychoeducation) dimana pelaksanaan terapi ini terdiri dari 5 sesi
yang setiapsesinya dilakukab sebanyak 45-60 menit.
Sesi 1 dilakukan pengkajian pada sesi pertama ini terapis dan
keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga
karena memiliki klien gangguan jiwa. Terapi ini mengikutsertakan seluruh
anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien,
terutama caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan
jiwa bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung,
dan pasangan. Pengkajian dibuat terpisah antara masalah yang dirasakan
oleh caregiver dan anggota keluarga yang lain. Pengkajian berfokus pada
masalah dalam merawat klien sakit dan masalah yang muncul pada diri
karena merawat klien.
Sesi 2, Perawatan Klien Gangguan Jiwa, sesi II ini berfokus pada
edukasi mengenai masalah yang dialami oleh klien. Edukasi yang
diberikan kepada keluarga terkait dengan diagnosa medis dan diagnosa
keperawatan yang dialami klien. Edukasi pada sesi II ini disesuaikan
dengan SAK keluarga yang telah dikembangkan pada untuk intervensi
generalis. Intervensi yang diberikan pada sesi II ini didasarkan dengan
diagnosa keperawatan yang muncul pada klien. Townsend (2009)
menyatakan dampak positif program psikoedukasional secara tidak
langsung pada klien yaitu bahwa dengan memberikan informasi mengenai
penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran mengenai koping
yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan
menurunkan kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap
anggota keluarga yang lain.
Sesi 3, Manajemen Stress Keluarga. Stress adalah kondisi
ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu
dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk
menghadapi keinginan-keinginan tersebut (Townsend, 2009). Stressor
adalah keinginan dari lingkungan internal atau eksternal individu yang
meningkatkan respon fisiologis dan/atau psikologis seseorang. Kondisi
klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor tersendiri bagi
keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan
koping yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik,
diperlukan manajemen stress yang tepat. Manajemen stress adalah
berbagai metode yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi
tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup; termasuk
latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik
lain yang berhasil pada individu tersebut. Sesi III dari FPE adalah sesi
untuk membantu mengatasi masalah masing-masing individu keluarga
yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada
caregiver yang setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini,
terapis mengajarkan cara-cara memanajemen stress pada seluruh anggota
keluarga, terutama caregiver.
Sesi 4, Manajemen Beban Keluarga, pada sesi IV ini terapis
bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan mengenai
masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah
bersama-sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari seluruh
anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga.
Family psychoeducation telah terbukti dapat memperbaiki gejala umum
penyakit dan mengatasi penolakan dan beban yang dirasakan keluarga.
Pengaruh dari adanya anggota keluarga dengan gangguan mental sering
disebut dengan beban keluarga (Stuart, 2016). Sebuah survey mengenai
caregiver di keluarga menunjukkan bahwa beban yang paling besar
dirasakan adalah mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya
konsentrasi, terganggunya rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena
merasa apa yang dilakukan tidak cukup baik, merasa terperangkap di
rumah, dan merasa sedih karena perubahan pada anggota keluarga (Rose et
al., 2006 dalam Stuart, 2016).
Sesi V yaitu pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga.
Pada sesi V akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar
keluarga, yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga
dengan klien gangguan jiwa. Keluarga yang merawat klien dengan
gangguan jiwa seringkali merasa malu, merasa dikucilkan dan merasa
sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya ada
dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota
keluarga dengan gangguan jiwa.

6. Psikoterapi pada kelompok


Terapi Suportif merupakan sekumpulan orang-orang yang
berencana, mengatur dan berespon secara langsung terhadap issue-issue
dan tekanan yang khusus maupun keadaan yang merugikan. Terapi ini
bertujuan untuk memberikan support terhadap keluarga sehingga mampu
menyelesaikan krisis yang dihadapinya dengan cara membangun
hubungan yang bersifat suportif antara klien-terapis, meningkatkan
kekuatan keluarga, meningkatkan keterampilan koping keluarga,
meningkatkan kemampuan keluarga menggunakan sumber kopingnya,
meningkatkan otonomi keluarga dalam keputusan tentang pengobatan,
meningkatkan kemampuan keluarga mencapai kemandirian seoptimal
mungkin, serta meningkatkan kemampuan mengurangi distres subyektif
dan respons koping yang maladaptive.

7. Interpersonal Therapy (IPT)


ITP ini adalah terapi fokus singkat kepada hubungan personal
pasien dan interaksinya dengan yang lain. Pasien dan terapis bersama-
sama menemukan masalah interpersonal yang akan menjadi focus utama
pengobatan. IPT terdiri dari 3 fase yaitu fase inisiasi yaitu menyediakan
fokus untuk mengatasi masalah interpersonal yang terjadi. Fase menengah
yaitu tugas utama untuk memperbaiki masalah interpersonal. Fase akhir
yaitu diskusi langsung dan mengakhiri. IPT membantu pasien
menyelesaikan masalah interpersonal yang terjadi pada dirinya sendiri
(Ariani, 2016).

8. Psychodynamic therapy
Menurut Wade dan Tavris (2015), terapi psikodinamika adalah suatu jenis
psikoterapi dengan tujuan mirip dengan tujuan psikoanalisis, yaitu
mempelajari dinamika ketidaksadaran pada kepribadian; meskipun dalam
berbagai hal. Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy
yang terdiri dari 3 fase yaitu Fase 1 (sesi 1-4) Melibatkan pasien dalam
perawatan adalah fokus pertama dari fase awal. Pasien biasanya datang
menolak penjelasan psikologis untuk kondisinya dan memiliki riwayat
negative dengan para profesional kesehatan. Satu-satunya cara bagi terapis
untuk melakukannya melawan perasaan ini adalah dengan validasi empati
dan perasaan kuat dari pembatalan pasien, dalam kombinasi dengan
mengakui realitas penderitaan mereka. sebagian dicapai oleh terapis dan
pasien memutuskan bersama pada focus terapi yang akan dijalankan.
mengacu pada pola hubungan atau kelekatan afektif kognitif berulang
yang berhubungan dengan timbulnya dan lamanya gejala pasien. Fase 2
(sesi 5-12) terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah disusun di
sesi awal dan memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan
proses bersama dimana pasien dibantu untuk mengenali pola perlekatan
interpersonal tipikal dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus pada
kapasitas pasien untuk merenungkan dampak dari pola ini pada diri yang
diwujudkan, orang lain, dan hubungan diri dengan orang lain. Di dinamyc
interpersonal terapi, terapis secara aktif mendorong dan mendukung
perubahan. Di fase tengah terapis menggunakan rangkuman penuh
intervensi psikodinamik: (1) mendukung intervensi (jaminan, dukungan,
dan empati); (2) intervensi yang menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi
ekspresif seperti pandangan teoritis, yang termasuk terbatas fokus pada
hubungan transferensi saat yang tepat, (4) teknik pengarahan (mis.,
mendorong pasien untuk mengubah cara dia berinteraksi dengan orang
lain). Fase 3 (sesi 13-16) Berfokus pada pemberdayaan pasien untuk
melanjutkan proses perubahan terapi sendiri. Ini dimulai dengan berbagi
draft "selamat tinggal" surat yang ditulis oleh terapis. Surat ini
memberikan gambaran umum tentang (1) masalah yang muncul, (2) focus
terapi, (3) apa yang telah dicapai dalam hal berubah, dan (4) apa yang
belum tercapai. Surat ini sering memancing reaksi emosional yang sangat
kuat pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, ermawati,dkk. 2009. Asuhan keperawatan jiwa dengan masalah


psikososial. Jakarta. Trans info media

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,


Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Stuart, G. W. 2013. Principles and practice of psychiatric nursing, Missouri,


Elsevier mosby.

Summers, R. F., & Barber, J. P. (2015).Practicing psychodynamic therapy: A


casebook. New York: The guilford press.

Townsend, M. C. (2018). Psychiatric mental health nursing: Concepts of care in


evidence-based practice, Philadelphia, F.A. Davis company.

Videback, S. L. 2011. Psychiatric-mental health nursing, Philadelphia, Lippincott


Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai