oleh :
KELOMPOK PEMINATAN JIWA
Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Penanganan
Kedaruratan Psikiatri dan Manajemen PICU Pada Delirium dan Sindroma
Neuroleptika Maligna” oleh mahasiswa Magister Keperawatan Peminatan
Keperawatan Jiwa tahun 2021 ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini,
telah disusun semaksimal dan seoptimal mungkin sesuai dengan point-point
yang diminta dan berdasarkan pada literature atau jurnal yang kami dapatkan.
Namun, kami hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dalam
penulisan maupun tata bahasa.
Dengan segala kerendahan hati, tim penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, tim penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
1.1 Tujuan
1.1.1 Tujuan Umum
Mampu menganalisa konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada
penanganan kedaruratan psikiatri dan manajemen picu pada delirium dan
sindroma neuroleptika maligna berdasarkan jurnal/literature yang didapat.
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Mampu menidentifikasi konsep asuhan keperawatan jiwa
kedaruratan psikiatri pada delirium.
2. Mampu menidentifikasi konsep asuhan keperawatan jiwa
kedaruratan psikiatri pada sindroma neuroleptika maligna.
1.2 Manfaat
1.2.1 Pengembangan Ilmu
Dijadikan bahan referensi untuk studi kasus mengenai konsep asuhan
keperawatan jiwa kedaruratan psikiatri
1.2.2 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan ilmu tentang problem solving yang harus di lakukan di
tatanan pelayanan.
BAB 2
PEMBAHASAN
Upaya promotif yang diberikan pada klien dan keluarga klien dengan
klien penyakit fisik dilakukan agar klien dan keluarga tidak mengalami
ansietas yang berlebih, upaya preventif diberikan agar klien dan keluarga tidak
mengalami peningkatan ansietas dan mampu mengatasi ansietasnya sehingga
mampu mencegah terjadinya gangguan jiwa. Upaya promotif dan preventif ini
sangat tepat jika diterapkan di ruang rawat inap umum salah satunya dengan
mengatasi ansietas yang merupakan salah satu diagnosis keperawatan
psikososial yang paling banyak terjadi di ruang rawat inap umum.
Etika keperawatan adalah pedoman bagi perawat di dalam memberikan asuhan
keperawatan agar segala tindakan yang diambilnya tetap memperhatikan
kebaikan klien. Etika keperawatan mengandung unsur-unsur pengorbanan,
dedikasi, pengabdian, dan hubungan antara perawat dengan klien, dokter,
sejawat perawat, diri sendiri, keluarga klien, dan pengunjung (Asmadi, 2008).
Dimensi etik perawat adalah ukuran atau pusat tinjauan perawat dalam
melakukan pelayanan keperawatan kepada klien. Dimensi etika keperawatan
yang dijadikan pedoman perawat meliputi (Potter, 2010):
1. Autonomy (menghormati otonomi klien)
Klien bebas dan berhak memutuskan apa yang akan dilakukan
terhadapnya setelah mendapatkan informasi yang memadai. Klien berhak
untuk dihormati dan didengarkan pendapatnya, untuk itu perlu adanya
persetujuan tindak medis (informed consent). Perawat tidak boleh
memaksakan suatu tindakan atau pengobatan dan tidak diperbolehkan
melakukan suatu tindakan tanpa adanya persetujuan dari keluarga ataupun
pasien.
2. Non-maleficence (tidak merugikan)
Tindakan dan pengobatan harus berpedoman pada prinsip Primum Non
Nocere (yang paling utama, dan jangan merugikan). Risiko fisik,
psikologis, maupun sosial akibat tindakan dan pengobatan yang akan
dilakukan hendaknya seminimal mungkin.
3. Beneficence (bermanfaat)
Semua tindakan dan pengobatan harus bermanfaat untuk menolong klien.
Perawat harus menyadari bahwa tindakan atau pengobatan yang akan
dilakukan benar-benar bermanfaat bagi kesehatan dan kesembuhan klien.
Kesehatan klien senantiasa harus diutamakan oleh perawat. Risiko yang
mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin dan
memaksimalkan manfaat bagi klien.
4. Justice (keadilan)
Perawat harus berlaku adil dan tidak berat sebelah. Adil dalam pemberian
pelayanan kesehatan tanpa memandang berbedaan.
5. Veracity (kejujuran)
Perawat hendaknya mengatakan secara jujur dan jelas apa yang akan
dilakukan, serta akibat yang dapat terjadi. Informasi yang diberikan
hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan klien.
6. Fidelity (menepati janji)
Perawat harus menghormati privasi (privacy) dan kerahasiaan klien,
meskipun klien telah meninggal perawat tetap menjaga kerahasiaan.
7. Accountability (akuntabilitas)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali. Perawat memiliki tanggungjawab dalam setiap tindakan yang
dilakukannya
8. Confidentiality (kerahasiaan)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privesi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.
2.3 Model Pelayanan Manajemen Keperawatan Jiwa di Psychiatric Intensive
Care Unit
Pola penanganan di PICU menggunakan pendekatan MPKP yang terdiri dari
empat pilar yaitu:
1. Pendekatan manajemen
2. Compensatory reward
3. Hubungan profesional
4. Manajemen asuhan keperawatan
Pada ruangan PICU keempat pilar ini dilebur menjadi 2 pilar sebagai berikut:
1. Manajemen pelayanan keperawatan (pilar I-III)
2. Manajemen asuhan keperawatan (pilar IV) (Keliat, 2009).
1. Psikiater konsultan
2. Perawat terampil
3. Pekerja sosial
4. Occupation terapist
5. Instruktur teknis
6. Psikolog
2.6.2 Etiologi
Bila membicarakan etiologi delirium, maka faktor predisposisi dibedakan
dengan faktor presipitasi. Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan
mengalami delirium, sedangkan faktor presipitasi merupakan faktor penyebab
somatik delirium.
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan mengalami delirium.
Faktor predisposisi gangguan otak organik: seperti demensia, umur lanjut,
kecelakaan otak seperti stroke, penyakit parkinson, gangguan penglihatan dan
pendengaran, ketidakmampuan fungsional, hidup dalam institusi,
ketergantungan alkohol, isolasi sosial, depresi, gangguan sensorik dan
gangguan multiple lainnya, dan riwayat delirium post-operative sebelumnya.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan faktor penyebab somatik delirium. Termasuk
perubahan lingkungan (perpindahan ruangan), pneumonia, infeksi, dehidrasi,
hipoglikemia, imobilisasi, malagizi, dan pemakaian kateter buli-buli.
Penggunaan anestesia juga meningkatkan resiko delirium, terutama pada
pembedahan yang lama. Demikian pula pasien lanjut usia yang dirawat di
bagian ICU beresiko lebih tinggi Aggraini, (2014).
Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif
dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi
otak memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan
terhadap lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek utama: tingkat dan isi
kesadaran. Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun,
tidur, atau koma. Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai
kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun
dan sadar baik. Isi kesadaran dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek
minimal memiliki tingkat kesadaran tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011;
Martins dan Fernandes, 2012 dalam Septian, 2015).
Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling
awal, yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi
lingkungan berada pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi
pada yang paling ekstrim untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan
tanda yang lebih ringan seperti mengantuk atau gangguan tingkat perhatian.
Faktanya, pasien dapat tampak benar benar mengantuk, letargi, atau bahkan
semi-koma pada kasus yang lebih berat (Ware et al, 2018).
2.6.4 Peranan Proses Penuaan pada Delirium
Proses penuaan yang disertai perubahan fisiologis pada penuaan merupakan
faktor risiko terjadinya delirium. Proses penuaan berhubungan perubahan pada
otak misalnya pengaturaran neurotransmiter yang berkaitan dengan stress
metabolik, penurunan aliran darah otak , penurunan densitas vaskuler,
kehilangan sel saraf (terutama pada locus cereleus dan substantia nigra) dan
penurunan transduksi intraseluler. Proses-proses ini yang menjelaskan mengapa
proses penuaan berkaitan dengan beberapa gangguan defisist kognitif dan
peningkatan risiko dementia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada
hubungan resiprokal antara delirium dan penurunan fungsi kognitif. Dementia
merupakan faktor risiko utama delirium pada pasien-pasien usia lanjut dan
kelanjutan proses delirium itu sendiri tampaknya meningkatkan risiko
penurunan fungsi kognisi, termasuk dementia (Thom et al, 2019).
Penuaan itu sendiri menunjukkan peningkatan jumlah mediator inflamasi di
dalam sirkulasi yang menunjukkan bahwa proses neurodegenerasi kronik yang
disebakan oleh respon inflamasi mengaktivasi sel mikroglia SSP. Sel mikroglia
ini menghasilkan respon inflamasi yang berlebihan terhadap perubahan
imunologi. Perubahan pada sistem imun yang berkaitan dengan penuaan
(immunosenescence) menyebabkan peningkatan sekresi sitokin oleh jaringan
adiposit. Hal ini merupakan penyebab utama inflamasi kronik, yang lebih
dikenal sebagai “inflammaging”. Proses inflamasi ini mungkin berkontribusi
terhadap progresifitas penyakit melalui produksi mediator inflamasi. Proses
penuaan berhubungan dengan peningkatan nilai baseline dua sampai empat kali
mediator inflamasi termasuk sitokin dan protein fase akut. Faktor-faktor lain
yang berpengaruh terhadap delirium pada pasien usia lanjut adalah lower
cognitive reserves, kapasitas metabolik yang rendah, peningkatan sensitivitas
terhadap obat-obatan dan rendahnya threshold terhadap efek obat-obat
antikoloinergik.
Beberapa mekanisme utama yang berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya delirium pada usai lanjut:
1. Kehilangan sel saraf terutama pada lokus coereleus dan substantia nigra.
2. Perubahan pada berbagai sistem neurotransmitter.
3. Penurunan intergritas white matter yang berhubungan dengan usia.
4. Penurunan aliran darah otak, terutama pada gyrus cingulate anterior, basal
ganglia bilateral, bagian prefrontal kiri, bagian frontal lateral kiri dan bagian
temporal superior kiri, dan korteks insular.
5. Penurunan metabolisme oksigen pada otak.
6. Berkurangnya suplai oksigen (misalnya hipoksia).
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) adalah bangsal rumah sakit yang
didedikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek orang-orang dalam fase akut
yang terganggu dari gangguan mental serius yang tidak dapat dikelola dengan
aman di bangsal psikiatri umum. Pasien biasanya dirawat Psychiatric Intensive
Care Unit sering dirawat karena risiko mengalami agresi. Secara umum ada tiga
fase tindakan intensif bagi pasien yaitu fase intensif I, fase insentif II, dan fase
insentif III. Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kedaruratan
pasien adalah skala GAF (General Adaptive Function) dengan rentang skor 1 –
30 skala GAF.
Salah satu masalah kedaruratan psikiatri yaitu delirium atau suatu gangguan
organik global akut dan sementara dari fungsi sistem saraf pusat yang
menyebabkan gangguan kesadaran dan perhatianProses penuaan yang disertai
perubahan fisiologis pada penuaan merupakan faktor risiko terjadinya delirium.
Proses penuaan berhubungan perubahan pada otak misalnya pengaturaran
neurotransmiter yang berkaitan dengan stress metabolik, penurunan aliran darah
otak , penurunan densitas vaskuler, kehilangan sel saraf (terutama pada locus
cereleus dan substantia nigra) dan penurunan transduksi intraseluler.
3.2 Saran
Arumugam, S., El-Menyar, A., Al-Hassani, A., Strandvik, G., Asim, M.,
Mekkodithal, A., ... & Al-Thani, H. (2017). Delirium in the intensive care
unit. Journal of emergencies, trauma, and shock, 10(1), 37.
Asmadi. (2008). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC.
Elvira, S. Hadi Sukanto. (2017). Buku Ajar Psikiatri (edisi 3). Jakarta: FK UI
Jelita, M. I., & Hutasoit, H. B. K. (2021). Laki–laki 30 Tahun dengan Skizofrenia
Paranoid. Medical Profession Journal of Lampung, 10(4), 588-593.
Hayhurst, C. J., Pandharipande, P. P., & Hughes, C. G. (2016). Intensive care unit
delirium: a review of diagnosis, prevention, and
treatment. Anesthesiology, 125(6), 1229-1241.
Huntercombe (2020) diakses pada tanggal 25 OKtober 2021
https://huntercombe.com/support-and-advice/adult-mental-health/psychiatric-
intensive-care-unit-picu/
Katus, L. E., & Frucht, S. J. (2016). Management of serotonin syndrome and
neuroleptic malignant syndrome. Current treatment options in neurology,
18(9), 1-8.
Kelliat, Budi Ana (2009). Model Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Kembuan, M. A. (2016). Sidroma neuroleptik maligna patofisiologi, diagnosis, dan
terapi. JURNAL BIOMEDIK: JBM, 8(2).
Knorr, R., Schöllkopf, J., & Haen, E. (2018). Neuroleptic malignant syndrome. Der
Nervenarzt, 89(3), 300-310.
Marie Hélène Goulet, dkk (2013). Profiles of Patients Admitted to a Psychiatric
Intensive Care Unit: Secluded With or Without Restraint. CanJPsychiatry ;
58(9):546–550
Marrye, L. (2010), A psychiatric intensive care unit in a general hospital setting,
Canadian Journal of Psychiatry, vol. 31(9): 834-837.
Modi, S., Dharaiya, D., Schultz, L., & Varelas, P. (2016). Neuroleptic malignant
syndrome: complications, outcomes, and mortality. Neurocritical care, 24(1),
97-103.
Mori, S., Takeda, J. R. T., Carrara, F. S. A., Cohrs, C. R., Zanei, S. S. V., & Whitaker,
I. Y. (2016). Incidence and factors related to delirium in an intensive care
unit. Revista da Escola de Enfermagem da USP, 50, 0587-0593.
Potter, Perry. (2010). Fundamental keperawatan (edisi 7). Jakarta: Salemba Medika.
Rollesby (2009), Characteristics of inpatients transferred to a locked ward in a
Scottish psychiatric hospital, Health Bulletin, vol. 55, pp. 77-82.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2016). Buku ajar psikiatri klinis. 2nd ed Indonesia.
Jakarta: EGC
Setters, B., & Solberg, L. M. (2017). Delirium. Primary Care: Clinics in Office
Practice, 44(3), 541-559.
Stuart, G. W., Budi, A.K., Jesika, P. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan
Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi Indonesia: Elsevier.
Thom, R. P., Levy-Carrick, N. C., Bui, M., & Silbersweig, D. (2019).
Delirium. American Journal of Psychiatry, 176(10), 785-793.
van Rensburg, R., & Decloedt, E. H. (2019). An approach to the pharmacotherapy of
neuroleptic malignant syndrome. Psychopharmacology bulletin, 49(1), 84.
Ware, M. R., Feller, D. B., & Hall, K. L. (2018). Neuroleptic malignant syndrome:
diagnosis and management. The primary care companion for CNS
disorders, 20(1), 0-0.
Wilson, J. E., Mart, M. F., Cunningham, C., Shehabi, Y., Girard, T. D., MacLullich,
A. M., ... & Ely, E. W. (2020). Delirium. Nature Reviews Disease
Primers, 6(1), 1-26.
Wuryaningsih, E W., Windarwati, HD., Dewi, EI., Deviantony, F., Hadi, E. (2018).
Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember: UPT Percetakaan & penerbitan
Universitas Jember.
Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.