Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KELOMPOK

PENANGANAN KEDARURATAN PSIKIATRI DAN MANAJEMEN


PICU PADA DELIRIUM DAN SINDROMA NEUROLEPTIKA
MALIGNA

oleh :
KELOMPOK PEMINATAN JIWA

Alifia Dian Sukmaningtyas 196070300111016


Ridwan Sofian 206070300111024

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Penanganan
Kedaruratan Psikiatri dan Manajemen PICU Pada Delirium dan Sindroma
Neuroleptika Maligna” oleh mahasiswa Magister Keperawatan Peminatan
Keperawatan Jiwa tahun 2021 ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini,
telah disusun semaksimal dan seoptimal mungkin sesuai dengan point-point
yang diminta dan berdasarkan pada literature atau jurnal yang kami dapatkan.
Namun, kami hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dalam
penulisan maupun tata bahasa.
Dengan segala kerendahan hati, tim penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, tim penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 27 Oktober 2021

Kelompok Peminatan Jiwa


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegawatdaruratan psikiatri telah menjadi subspesialisasi psikiatri umum yang
memerlukan keterampilan khusus untuk menghadapi situasi yang sering
memerlukan intervensi terapeutik segera (Elvira, 2017). Kegawatdaruratan
psikiatri terjadi karena adanya kondisi gangguan akut pada pikiran, perasaan,
perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera.
Tindakan seperti percobaan bunuh diri atau risiko bunuh diri, kekerasan dan
penyalahgunaan zat merupakan masalah-masalah serius yang memang sangat
perlu untuk ditindaklanjuti (Sadock, 2016).
Kedaruratan psikiatri merupakan sebuah keadaan yang sering diabaikan
tetapi keadaa ini meningkatkan masalah bagian kedaruratan di dunia. Dijumpai
hingga 12% dari bagian kedaruratan pasien datang dengan keluhan psikiatrik.
Dari kedaruratan tingkah laku ini, gangguan psikotik akut, episode manik,
depres mayor, gangguan bipolar, dan penyalahgunaan obat mencapai 6% dari
keseluruhan kasus di bagian kedaruratan.Tindak kekerasan atau agresif
merupakan alasan umum untuk datang pada bagian kedaruratan, dengan
perilaku menyerang yang terlihat pada 3-10 % pasien psikiatrik (Jelita, 2021).
Salah satu kondisi kegawatdaruratan psikiatri yang sering terjadi yaitu
kondisi delirium. Delirium terjadi ketika otak secara tiba-tiba mengalami
gangguan akibat penyakit mental atau fisik tertentu yang biasanya disebabkan
akibat sistem pengiriman dan penerimaan sinyal otak terganggu (Elvira, 2017).
Delirium merupakan suatu gangguan kognitif serius yang timbul karena
penyebab organic ataupun emosional (fungsional) dan yang menunjukkan
gangguan pada kemampuan berpikir, bereaksi secara emosional, berkomunikasi,
dan sedemikian rupa sehingga kemampuan untuk memenuhi tuntutan hidup
menjadi terganggu (Wilson et al, 2020).
Kondisi psikiatri lain yang merupakan bagian dari kegawatdaruratan psikiatri
yaitu sindroma neuroleptika maligna. Sindroma neuroleptik maligna (SNM)
merupakan suatu sindroma yang jarang terjadi namun termasuk sindroma
kegawatdaruratan neurologi yang berpotensi mengancam nyawa dan berkaitan
dengan penggunaan obat-obatan neuroleptik (antipsikotik). Munculnya sindroma
ini dihubungkan dengan penggunaan segala obat neuroleptik, baik tipikal maupun
atipikal (Ware et al, 2018). Umumnya sindroma ini memberkan gejala demam,
kekakuan otot, perubahan status mental, dan gangguan otonom. Sindroma ini
mempunyai onset dalam waktu beberapa jam setelah pemakaian obat neuroleptik,
namun sebagian besar timbul dalam kurun waktu 4-14 hari setelah terapi dimulai
(Kembuan, 2016).
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik membahas dan
menganalisis khususnya pada bidang asuhan keperawatan kedaruratan psikiatri
pada kondisi delirium dan Sindroma neuroleptik maligna. Kondisi ini akan
dibahas dalam sebuah makalah yang akan disusun sebagaimana mestinya.

1.1 Tujuan
1.1.1 Tujuan Umum
Mampu menganalisa konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada
penanganan kedaruratan psikiatri dan manajemen picu pada delirium dan
sindroma neuroleptika maligna berdasarkan jurnal/literature yang didapat.
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Mampu menidentifikasi konsep asuhan keperawatan jiwa
kedaruratan psikiatri pada delirium.
2. Mampu menidentifikasi konsep asuhan keperawatan jiwa
kedaruratan psikiatri pada sindroma neuroleptika maligna.
1.2 Manfaat
1.2.1 Pengembangan Ilmu
Dijadikan bahan referensi untuk studi kasus mengenai konsep asuhan
keperawatan jiwa kedaruratan psikiatri
1.2.2 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan ilmu tentang problem solving yang harus di lakukan di
tatanan pelayanan.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Manajemen Keperawatan Jiwa di Psychiatric Intensive Care


Unit
Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) adalah bangsal spesialis yang
menyediakan perawatan kesehatan mental rawat inap, penilaian, dan
perawatan komprehensif bagi individu yang mengalami fase gangguan mental
serius yang paling parah (huntercombe, 2020). Psychiatric Intensive Care Unit
(PICU) adalah bangsal rumah sakit yang didedikasikan untuk penatalaksanaan
jangka pendek orang-orang dalam fase akut yang terganggu dari gangguan
mental serius yang tidak dapat dikelola dengan aman di bangsal psikiatri
umum. Pasien biasanya dirawat Psychiatric Intensive Care Unit sering dirawat
karena risiko mengalami agresi (Marie Hélène Goulet, dkk 2013).
Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan pelayanan yang
ditujukan untuk klien gangguan jiwa dalam kondisi krisis psikiatri (Keliat,
2009). Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan gabungan
pelayanan gawat darurat psikiatri dan pelayanan intensif, yang dapat
diselenggarakan di rumah sakit jiwa atau unit psikiatri rumah sakit umum
(Keliat, 2009). Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) adalah suatu unit yang
memberikan perawatan khusus kepada klien-klien psikiatri yang berada dalam
kondisi membutuhkan pengawasan ketat (Maryree, 2010).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa PICU
adalah suatu unit gabungan pelayanan gawat darurat psikiatri dan pelayanan
intensif, yang ditujukan untuk klien gangguan jiwa yang dalam kondisi krisis
psikiatri dan berada dalam kondisi yang membutuhkan pengawasan ketat,
dimana dapat diselenggarakan di rumah sakit jiwa atau psikiatri rumah sakit
umum.
2.2 Prinsip Legal Etik Manajemen Keperawatan Jiwa di Psychiatric
Intensive Care Unit
Peran dan fungsi perawat jiwa telah berkembang secara kompleks dari
elemen historis aslinya (Stuart, 2016). Peran perawat jiwa sekarang mencakup
parameter kompetensi klinik, advokasi pasien, tanggung jawab fiskal
(keuangan), kolaborasi profesional, akuntabilitas (tanggung gugat) sosial, serta
kewajiban etik dan legal. Dengan demikian, dalam memberikan asuhan
keperawatan jiwa perawat dituntut melakukan aktivitas pada tiga area utama
yaitu: aktivitas asuhan langsung, komunikasi, dan pengelolaan atau
penatalaksanaan manajemen keperawatan (Yusuf, 2015).
Standar praktik klinik keperawatan jiwa menguraikan tingkat
kompetensi dan kinerja perawat yang terlibat di tiap tatanan praktik
keperawatan kesehatan jiwa. Standar ini ditujukan kepada perawat yang
memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman praktik baik pada tingkat
dasar atau tingkat lanjut keperawatan kesehatan jiwa (Stuart, 2016). Tindakan
keperawatan yang dapat dilakukan perawat berkaitan dengan proses
keperawatan jiwa yaitu: pengkajian, penegakan diagnosis keperawatan,
mengidentifikasi hasil, melakukan perencanaan asuhan keperawatan,
mengimplementasikan intervensi yang telah disusun, Melakukan konseling,
terapi lingkungan, Aktivitas asuhan mandiri, Intervensi psikologis, penyuluhan
kesehatan, manajemen kasus, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan,
psikoterapi, preskripsi agen farmakologis, konsltasi, dan evaluasi (Yusuf,
2015).
Perawat merupakan tenaga kesehtaan yang memiliki standart etik yang
harus dipatuhi selama menjalankan profesinya (Wuryaningsih dkk, 2018).
Etika berasal dari Bahasa Yunani ethos yang berarti karakter, watak
kesusilaan, atau adat kebiasaan yang etika tersebut berhubungan erat dengan
konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi
terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Penerapan aspek etik dalam
keperawatan jiwa sangat terkait dengan pemberian diagnosis, perlakuan atau
cara merawat, hak pasien, stigma masyarakat, serta peraturan atau hukum
yang berlaku (Yusuf, 2015).
Penegakan diagnosis pada pasien gangguan jiwa berdasarkan etika yang
benar yaitu golongan gangguan jiwa ringan dan berat. Gangguan jiwa ringan
merupakan adanya masalah pada aspek psikososial (cemas dan gangguan
respons kehilangan atau berduka). Setiap orang mengalami masalah
psikososial karena merupakan tantangan dalam kehidupan agar manusia lebih
maju dan berkembang. Gangguan jiwa berat merupakan gangguan perilaku
kronis yang telah lama diabaikan. Di sinilah pelanggaran etika terjadi,
bergantung pada diagnosis yang dialami pasien. Olah karenanya, untuk
mendiagnosis gangguan jiwa berat (skizofrenia) harus menggunakan kriteria
waktu bahwa gangguan yang dialami pasien telah terjadi dalam waktu yang
lama (seperti pada PPDGJ). perlu diperhatikan hak pasien sebagai warga
negara setelah pasien menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Hak pasien
sangat bergantung pada peraturan perundangan. Menurut Undang-Undang
Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin setiap orang dapat menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan
lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Beberapa hak pasien yang telah
diadopsi oleh banyak Negara Bagian di Amerika antara lain sebagai berikut:
hak untuk berkomunikasi dengan orang lain diluar rumah sakit, hak terdapat
barang pribadi, menjalankan keinginan, hak terhadap “habeas corpus”, hak
terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri, hak terhadap keleluasaan
pribadi, hak persetujuan tindakan, hak pengobatan, hak untuk menolak
pengobatan (Yusuf, 2015).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan jika dalam melakukan
perawatan dan tindakan keperawatan kepada pasien perlu memperhatikan
aspek legal dan etik. Sehingga dapat dikatakan jika merawat pasien gangguan
jiwa juga sangat erat dengan pelanggaran etika. Beberapa keluarga pasien
malah melakukan “pasung” terhadap pasien. Jika di rumah sakit, diikat harus
menggunakan seragam khusus dengan berbagai ketentuan khusus. Keadaan ini
membuat pasien diperlakukan berbeda dengan pasien fisik umumnya. Secara
teoretis dan filosofis, perawatan pasien gangguan jiwa harus tetap
memperhatikan aspek etika sesuai diagnosis yang muncul dan falsafah dalam
keperawatan kesehatan jiwa (Yusuf, 2015).
Aspek legal dan etik dalam perawatan sangat penting untuk melindungi hak-
hak pasien dan mempengaruhi standart perawatan pasien. Perawat juga
diharapkan memahami perundang-undangan yang mengatur praktik pelayanan
keperawatan. Hal ini bertujuan untuk melindungi perawat dan pasien dari
pelanggaran HAM, etik dan hukum yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan (Wuryaningsih dkk, 2018). Berikut beberapa kebijakan terkait
degan praktik pelayanan kesehatan/keperawatan jiwa:
1. UU No. 36 Th 2009 Tentang Kesehatan
2. UU No. 19 Th 2011 Konvensi Mengeai Hak-hak Penyandang Disabilitas
3. UU No. 38 Th 2014 Keperawatan
4. UU No. 36 Th 2014 Tenaga Kesehatan
5. PKM No. 5 Th 2014 Panduan praktik klinis bagi dokter di Faskes Primer
6. PKM No. 75 Th 2014 Puskesmas
7. PKM No. 39 Th 2016 Pedoman penyelenggaraan program Indonesia Sehat
dengan pendekatan keluarga pasal 3: Penderita Gangguan jiwa
mendapatkan pengobatan dan tidak diterlantarkan.
8. PKM No. 43 Th 2016 tentang standart pelayanan minimal untuk gangguan
jiwa puskesmas
9. UU No. 18 Th 2014 Kesehatan Jiwa, “Pelayanan keperawatan jiwa di
Indonesia meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative”

Upaya promotif yang diberikan pada klien dan keluarga klien dengan
klien penyakit fisik dilakukan agar klien dan keluarga tidak mengalami
ansietas yang berlebih, upaya preventif diberikan agar klien dan keluarga tidak
mengalami peningkatan ansietas dan mampu mengatasi ansietasnya sehingga
mampu mencegah terjadinya gangguan jiwa. Upaya promotif dan preventif ini
sangat tepat jika diterapkan di ruang rawat inap umum salah satunya dengan
mengatasi ansietas yang merupakan salah satu diagnosis keperawatan
psikososial yang paling banyak terjadi di ruang rawat inap umum.
Etika keperawatan adalah pedoman bagi perawat di dalam memberikan asuhan
keperawatan agar segala tindakan yang diambilnya tetap memperhatikan
kebaikan klien. Etika keperawatan mengandung unsur-unsur pengorbanan,
dedikasi, pengabdian, dan hubungan antara perawat dengan klien, dokter,
sejawat perawat, diri sendiri, keluarga klien, dan pengunjung (Asmadi, 2008).
Dimensi etik perawat adalah ukuran atau pusat tinjauan perawat dalam
melakukan pelayanan keperawatan kepada klien. Dimensi etika keperawatan
yang dijadikan pedoman perawat meliputi (Potter, 2010):
1. Autonomy (menghormati otonomi klien)
Klien bebas dan berhak memutuskan apa yang akan dilakukan
terhadapnya setelah mendapatkan informasi yang memadai. Klien berhak
untuk dihormati dan didengarkan pendapatnya, untuk itu perlu adanya
persetujuan tindak medis (informed consent). Perawat tidak boleh
memaksakan suatu tindakan atau pengobatan dan tidak diperbolehkan
melakukan suatu tindakan tanpa adanya persetujuan dari keluarga ataupun
pasien.
2. Non-maleficence (tidak merugikan)
Tindakan dan pengobatan harus berpedoman pada prinsip Primum Non
Nocere (yang paling utama, dan jangan merugikan). Risiko fisik,
psikologis, maupun sosial akibat tindakan dan pengobatan yang akan
dilakukan hendaknya seminimal mungkin.
3. Beneficence (bermanfaat)
Semua tindakan dan pengobatan harus bermanfaat untuk menolong klien.
Perawat harus menyadari bahwa tindakan atau pengobatan yang akan
dilakukan benar-benar bermanfaat bagi kesehatan dan kesembuhan klien.
Kesehatan klien senantiasa harus diutamakan oleh perawat. Risiko yang
mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin dan
memaksimalkan manfaat bagi klien.
4. Justice (keadilan)
Perawat harus berlaku adil dan tidak berat sebelah. Adil dalam pemberian
pelayanan kesehatan tanpa memandang berbedaan.
5. Veracity (kejujuran)
Perawat hendaknya mengatakan secara jujur dan jelas apa yang akan
dilakukan, serta akibat yang dapat terjadi. Informasi yang diberikan
hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan klien.
6. Fidelity (menepati janji)
Perawat harus menghormati privasi (privacy) dan kerahasiaan klien,
meskipun klien telah meninggal perawat tetap menjaga kerahasiaan.
7. Accountability (akuntabilitas)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali. Perawat memiliki tanggungjawab dalam setiap tindakan yang
dilakukannya
8. Confidentiality (kerahasiaan)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privesi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.
2.3 Model Pelayanan Manajemen Keperawatan Jiwa di Psychiatric Intensive
Care Unit
Pola penanganan di PICU menggunakan pendekatan MPKP yang terdiri dari
empat pilar yaitu:
1. Pendekatan manajemen
2. Compensatory reward
3. Hubungan profesional
4. Manajemen asuhan keperawatan
Pada ruangan PICU keempat pilar ini dilebur menjadi 2 pilar sebagai berikut:
1. Manajemen pelayanan keperawatan (pilar I-III)
2. Manajemen asuhan keperawatan (pilar IV) (Keliat, 2009).

2.4 Manajemen Perawatan dan Pelayanan Keperawatan Jiwa di Psychiatric


Intensive Care Unit
Secara umum pasien yang dirawat di PICU adalah pasien dengan kriteria
(Marie Hélène Goulet, dkk, 2013):
1. Risiko bunuh diri yang berhubungan dengan kejadian akut dan atau
suatu perubahan alam perasaan atau perilaku yang menetap
2. Penyalahgunaan NAPZA atau kedaruratan yang berhubungan yang
berlangsung relatif singkat
3. Kondisi lain yang akan mengalami peningkatan yang bermakna dalam
waktu singkat dan pasien tampak mampu kembali ke komunitas segera
bila peningkatan tersebut terjadi.
Sedangkan berdasarkan masalah keperawatan maka pasien yang perlu dirawat
di unit perawatan intensif psikiatri adalah pasien dengan masalah keperawatan
sebagai berikut (Rollesby, 2009):
1. Perilaku Kekerasan
2. Perilaku Bunuh diri
3. Perubahan sensori persepsi: halusinasi (fase IV)
4. Perubahan proses pikir: waham curiga
5. Masalah-masalah keperawatan yang berkaitan dengan kondisi pasien
putus zat dan over dosis, seperti:
a. Perubahan kenyamanan: nyeri
b. Gangguan pola tidur
c. Gangguan pemenuhan nutrisi
d. Gangguan eliminasi bowel
e. Defisit perawatan diri

Menurut Rollesby (2009), adapun ketenagaan yang terlibat di ruang PICU


adalah sebagai berikut:

1. Psikiater konsultan
2. Perawat terampil
3. Pekerja sosial
4. Occupation terapist
5. Instruktur teknis
6. Psikolog

2.5 Penerapan Manajemen Perawatan dan Pelayanan Keperawatan Jiwa di


Psychiatric Intensive Care Unit
Secara umum ada tiga fase tindakan intensif bagi pasien yaitu : fase intensif I,
fase insentif II, dan fase insentif III (Keliat, 2009).
1. Fase intensif I (24 jam pertama)
Prinsip tindakan : life saving, Mencegah cedera pada pasien, orang lain
dan lingkungan
Indikasi: Pasien dengan skor 1-10 RUFA
Intervensi: observasi ketat, KDM (Kebutuhan Dasar Manusia), Terapi
modalitas : terapi musik.
2. Fase intensif II (24-72 jam pertama)
Prinsip tindakan: observasi lanjutan dari fase krisis (intensif I),
mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain dan
lingkungan
Indikasi : Pasien dengan skor 11-20 RUFA
Intervensi: observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari
fase intensif I, terapi modalitas : terapi music dan olah raga
3. Fase intensif III (72 jam-10 hari)
Prinsip tindakan: observasi lanjutan dari fase akut (intensif II),
memfasilitasi perawatan mandiri pasien
Indikasi: Pasien dengan skor 21-30 RUFA
Intervensi: observasi dilakukan secara minimal, pasien lebih banyak
melakukan aktivitas secara mandiri, terapi modalitas : terapi music,
terapi olah raga, life skill therapy.

Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kedaruratan pasien


adalah skala GAF (General Adaptive Function) dengan rentang skor 1 – 30
skala GAF. Kondisi klien dikaji setiap shift dengan menggunakan skor GAF.
Katagori klien yang berada dalam rentang skor 1-30 GAF adalah:

1. Skor 21 - 30: perilaku dipengaruhi oleh waham atau halusinasi atau


gangguan serius pada komunikasi atau pertimbangan (misalnya
kadang-kadang inkoheren, tindakan jelas tidak sesuai preokupasi
bunuh diri) atau ketidakmampuan untuk berfungsi hampir pada semua
bidang (misalnya tinggal ditempat tidur) sepanjang hari, tidak memiliki
pekerjaan.
2. Skor 11 – 20: terdapat bahaya melukai diri sendiri atau orang lain
(misalnya usaha bunuh diri tanpa harapan yang jelas akan kematian,
sering melakukan kekerasan, kegembiraan manik) atau kadang-kadang
gagal untuk mempertahankan perawatan diri yang minimal (misalnya
mengusap feses) atau gangguan yang jelas dalam komunikasi
(sebagian besar inkoheren atau membisu)
3. Skor 1 – 10: Bahaya melukai diri sendiri atau orang lain persisten dan
parah (misalnya kekerasan rekuren) atau ketidakmampuan persisten
untuk mempertahankan hiegene pribadi yang minimal atau tindakan
bunuh diri yang serius tanpa harapan bunuh diri yang jelas (Yusuf,
2015).

2.6 Penanganan Kedaruratan Psikiatri dan Manajemen PICU pada


Delirium
2.6.1 Definisi Delirium
Delirium adalah suatu gangguan organik global akut dan sementara dari fungsi
sistem saraf pusat yang menyebabkan gangguan kesadaran dan perhatian (Allison
dkk, 2004 dalam Septian, 2015). Istilah delirium sama dengan keadaan bingung
akut, secara tegas, hal ini menjelaskan berbagai keadaan bingung akut yang
terpisah secara klinis ditandai oleh periode gelisah, aktivitas mental yang
meninggi, mudah terbangun, ketidaksiapan yang jelas dalam memberikan respons
terhadap stimuli tertentu (seperti suara bising yang tiba-tiba), halusinasi visual
yang mengganggu, hiperaktivitas motorik, dan stimulasi autonom. Gangguan
perhatian, penting pada keadaan bingung akut, terjadi meskipun kebingungan
yang tampak. Agitasi delirium secara khas berfluktuasi dan dapat berubah atau
berlanjut menjadi keadaan bingung yang redup. Gambaran klinis ditunjukkan
oleh adanya halusinasi yang gembira dari delirium tremens yang menyertai
berhentinya minum alkohol. Akan tetapi delirium mungkin tampak pada keadaan
bingung akut dari setiap penyebab (Isselbacher dkk, 1999 dalam Aggraini, 2014).

Delirium adalah suatu sindrom yang mencakup gangguan kesadaran yang


disertaidengan perubahan kognisi. Delirium biasanya terjadi dalam waktu
singkat, kadang kadangtidak lebih dari beberapa jam, dan berfluktuasi atau
berubah sepanjang hari. Klien sulitmemberikan perhatian, mudah terdistraksi,
disorientasi, dan dapat mengalami gangguansensori seperti ilusi, salah
interpretasi atau halusinasi. Suara keras dari kereta cucian dilorong
dapat disalahartikan sebagai suara tembak (salah interpretasi), kabel listrik yang
terletak di lantai dapat terlihat seperti ular (ilusi) atau individu dapat melihat
“malaikat”melayang layang di udara ketika tidak ada sesuatu di sana
( halusinasi ). Kadang kadangindividu juga mengalamai gangguan siklus tidur-
bangun, perubahan aktivitas psikomotor dangangguan emosionalseperti ansietas,
takut,iritabilitas, euforia, atau apati (DSM-IV-TR,2000 dalam Septian, 2015).

2.6.2 Etiologi
Bila membicarakan etiologi delirium, maka faktor predisposisi dibedakan
dengan faktor presipitasi. Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan
mengalami delirium, sedangkan faktor presipitasi merupakan faktor penyebab
somatik delirium.
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan mengalami delirium.
Faktor predisposisi gangguan otak organik: seperti demensia, umur lanjut,
kecelakaan otak seperti stroke, penyakit parkinson, gangguan penglihatan dan
pendengaran, ketidakmampuan fungsional, hidup dalam institusi,
ketergantungan alkohol, isolasi sosial, depresi, gangguan sensorik dan
gangguan multiple lainnya, dan riwayat delirium post-operative sebelumnya.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan faktor penyebab somatik delirium. Termasuk
perubahan lingkungan (perpindahan ruangan), pneumonia, infeksi, dehidrasi,
hipoglikemia, imobilisasi, malagizi, dan pemakaian kateter buli-buli.
Penggunaan anestesia juga meningkatkan resiko delirium, terutama pada
pembedahan yang lama. Demikian pula pasien lanjut usia yang dirawat di
bagian ICU beresiko lebih tinggi Aggraini, (2014).

2.6.3 Gambaran Klinis


Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala yang mulainya
sangat cepat (biasanya dalam beberapa jam sampai hari) dan cenderung
berfluktuasi, dengan perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan berfokus,
perhatian yang bertahan atau teralih, dan perubahan kognitif (seperti gangguan
memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau terjadinya gangguan perseptual
hanya dapat dijelaskan oleh demensia. Lebih lanjut, terdapat bukti dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut
disebabkan oleh konsekuensi fisiologis langsung dari suatu kondisi medis
umum, atau intoksikasi/withdrawal senyawa, atau karena berbagai penyebab
(Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012 dalam Aggraini, 2014).

Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif
dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi
otak memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan
terhadap lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek utama: tingkat dan isi
kesadaran. Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun,
tidur, atau koma. Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai
kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun
dan sadar baik. Isi kesadaran dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek
minimal memiliki tingkat kesadaran tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011;
Martins dan Fernandes, 2012 dalam Septian, 2015).
Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling
awal, yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi
lingkungan berada pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi
pada yang paling ekstrim untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan
tanda yang lebih ringan seperti mengantuk atau gangguan tingkat perhatian.
Faktanya, pasien dapat tampak benar benar mengantuk, letargi, atau bahkan
semi-koma pada kasus yang lebih berat (Ware et al, 2018).
2.6.4 Peranan Proses Penuaan pada Delirium
Proses penuaan yang disertai perubahan fisiologis pada penuaan merupakan
faktor risiko terjadinya delirium. Proses penuaan berhubungan perubahan pada
otak misalnya pengaturaran neurotransmiter yang berkaitan dengan stress
metabolik, penurunan aliran darah otak , penurunan densitas vaskuler,
kehilangan sel saraf (terutama pada locus cereleus dan substantia nigra) dan
penurunan transduksi intraseluler. Proses-proses ini yang menjelaskan mengapa
proses penuaan berkaitan dengan beberapa gangguan defisist kognitif dan
peningkatan risiko dementia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada
hubungan resiprokal antara delirium dan penurunan fungsi kognitif. Dementia
merupakan faktor risiko utama delirium pada pasien-pasien usia lanjut dan
kelanjutan proses delirium itu sendiri tampaknya meningkatkan risiko
penurunan fungsi kognisi, termasuk dementia (Thom et al, 2019).
Penuaan itu sendiri menunjukkan peningkatan jumlah mediator inflamasi di
dalam sirkulasi yang menunjukkan bahwa proses neurodegenerasi kronik yang
disebakan oleh respon inflamasi mengaktivasi sel mikroglia SSP. Sel mikroglia
ini menghasilkan respon inflamasi yang berlebihan terhadap perubahan
imunologi. Perubahan pada sistem imun yang berkaitan dengan penuaan
(immunosenescence) menyebabkan peningkatan sekresi sitokin oleh jaringan
adiposit. Hal ini merupakan penyebab utama inflamasi kronik, yang lebih
dikenal sebagai “inflammaging”. Proses inflamasi ini mungkin berkontribusi
terhadap progresifitas penyakit melalui produksi mediator inflamasi. Proses
penuaan berhubungan dengan peningkatan nilai baseline dua sampai empat kali
mediator inflamasi termasuk sitokin dan protein fase akut. Faktor-faktor lain
yang berpengaruh terhadap delirium pada pasien usia lanjut adalah lower
cognitive reserves, kapasitas metabolik yang rendah, peningkatan sensitivitas
terhadap obat-obatan dan rendahnya threshold terhadap efek obat-obat
antikoloinergik.
Beberapa mekanisme utama yang berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya delirium pada usai lanjut:
1. Kehilangan sel saraf terutama pada lokus coereleus dan substantia nigra.
2. Perubahan pada berbagai sistem neurotransmitter.
3. Penurunan intergritas white matter yang berhubungan dengan usia.
4. Penurunan aliran darah otak, terutama pada gyrus cingulate anterior, basal
ganglia bilateral, bagian prefrontal kiri, bagian frontal lateral kiri dan bagian
temporal superior kiri, dan korteks insular.
5. Penurunan metabolisme oksigen pada otak.
6. Berkurangnya suplai oksigen (misalnya hipoksia).

7. Berkurangnya metabolism oksidatif otak (Rara, 2016).

2.6.5 Penatalaksaan Kegawadaruratan Delirium


Tujuan utama pengobatan adalah menentukan dan mengatasi pencetus serta
factor predisposisi. Keselamatan pasien dan keluarga harus diperhatikan.
Comprehensive geriatric assessment (pengkajian geriatric paripurna) sangat
bermanfaat karena akan memberikan gambaran lebih jelas tentang beberapa
faktor resiko yang dimiliki pasien. Pemeriksaan tak hanya terhadap factor fisik,
namun juga psikiatrik, status fungsional, riwayat penggunaan obat, dan riwayat
perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta asupan nutrisi dan cairan sebelum
sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang meningeal, tekanan
darah, frekuensi napas dan denyut jantung serta suhu rectal) sangat penting, selain
untuk diagnosis namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas
darah, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto
toraks dan kultur darah harus segera dilaksanakan. Pengobatan/penanganan yang
diberikan tidak saja menyangkut aspek fisik, namun juga psikologik/psikiatrik,
kognitif, lingkungan, serta pemberian obat. Untuk mencegah agar pasien tidak
membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (pasien yang hiperaktif, gaduh,
gelisah bias menendang-nendang, sangat agitatif, agresif, bias terjatuh dari tempat
tidur atau bias menciderai diri sendiri) maka sebaiknya pasien ditemani
pedamping atau yang biasa mendampingi pasien. Mengikat pasien ke tepian
tempat tidur bukanlah tanpa resiko, misalnya trauma atau thrombosis. Data
empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom delirium masih terbatas
(Setters, 2017).
Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan berbagai
gejala hiperaktif dan hipoaktif dari sindrom delirium; menjadi obat pilihan utama
pada fase akut (agitasi hebat, perilaku agresif, hostility, halusinasi, atau gejala
lain yang membahayakan dirinya). Untuk kondisi di atas haloperidol masih
merupakan pilihan utama. Dosis juga dapat ditingkatkan sesuai tanggapan pasien.
Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazine dan droperidol,
haloperidol meiliki metabolic dan efek antikolinergik, sedasi serta efek hipotensi
yang lebih kecil sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada umumnya dapat
diterima dengan baik, namun jika pasien tak mampu menelan maka dapat
diberikan intramuscular maupun intravena. Olanzapin dapat Beberapa laporan
kasus menunjukkan manfaat antipsikotik generasi kedua seperti risperidon dan
penghambat asetilkolin-esterase; masih diperlukan penelitian intervensional lebih
lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik harus dimulai dengan dosis
rendah dan ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walau resiko efek
samping yang mungkin muncul rendah namun beberapa efek serius seperti
perpanjangan PT dan torsades de pointes, gejala ekstrapiramidal dan diskinesia
putus obat dapat terjadi. Secara umum penanganan yang bersifat suportif amat
penting dalam pengelolaan pasien dengan sindrom delirium, baik untuk
pengobatan maupun dalam konteks pencegahan. Asupan nutrisi, keseimbangan
cairan dan elektrolit, kenyamanan pasien harus diupayakan seoptimal mungkin
(Arumugam et al, 2017).
Keberadaan anggota keluarga atau yang selama ini biasanya merawat akan
sangat berperan dalam memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien
haruslah tenang dan cukup penerangan. Masih dalam konteks orientasi, dokter
dan perawat harus mengetahui apakah sehari-hari pasien mengenakan kacamata
untuk melihat atau alat bantu dengar untuk berkomunikasi dan mengusahakan
agar pasien dapat mengenakan manakala diperlukan setiap saat. Hal umum lain
yang perlu diperhatikan adalah ketidak mampuan menelan dengan baik sehingga
asupan per oral tidak boleh diberikan selama belum terdapat kepastian mengenai
kemampuan menelan. Setelah yakin bahwa kesadaran pasien komposmentis dan
tidak terdapat kelumpuhan otot menelan barulah diizinkan memberikan asupan
per oral. Selama perawatan, tanda vital harus lebih sering dievaluasi, setidaknya
setiap empat jam, jika diperlukan dapat dinilai setiap dua atau bahkansetiap satu
jam tergantung kondisi pasien. Penilaian yang lebih sering dengan kewaspadaan
yang tinggi ini diperlukan karena gejala dan tanda klinik yang sangat
berfluktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi urin dan cairan yang masuk
harus diukur dengan cermat setiap empat jam dan dilaporkan kepada yang
merawat agar perubahan instruksi yang diperlukan dapat segera dilaksanakan
tanpa menunggu laporan keesokan harinya (akan terlambat) (Mori et al, 2016).
Sehubungan dengan hal diatas, maka keluarga pasien atau pelaku rawat yang
menunggu harus diberi informasi tentang bahaya aspirasi jika memberikan
makanan atau minuman dalam keadaan kondisi yang tidak komposmentis atau
terdapat kelumpuhan otot menelan. Diberitahukan pula perlunya kerja sama yang
baik antara perawat dengan penunggu pasien terutama perihal pemantauan urin
dan asupan cairan. Perlu dicatat bahwa pasien sindrom delirium sering merasa
apa yang baru dialami saat delirium sebagai mimpi. Pada saat kondisi pasien
membaik maka harus menjelaskan/mendidik pasien tentang keadaan yang baru
dialaminya untuk mengantisipasi atau mencegah episode cemas(edukasi).
Penatalaksanaan spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi pencetus dan
predisposisi. Segera setelah factor pencetus diketahui maka dapat dilakukan
tindakan yang lebih definitive sesuai factor pencetusnya. Memperbaiki factor
predisposisi harus dikerjakan tanpa menunggu selesainya masalah terkait faktor
pencetus (Hayhurst et al, 2016).

2.7 Penanganan Kedaruratan Psikiatri dan Manajemen PICU pada


Sindroma Neuroleptika Maligna
2.7.1 Definisi
Neuroleptic malignant syndrome ( NMS ) adalah reaksi yang mengancam
jiwa yang dapat terjadi sebagai respons terhadap pengobatan neuroleptik atau
antipsikotik . Gejalanya meliputi demam tinggi , kebingungan, otot kaku, tekanan
darah bervariasi, berkeringat, dan detak jantung yang cepat. Komplikasi mungkin
termasuk rhabdomyolysis , kalium darah tinggi , gagal ginjal , atau kejang .
Sindrom ganas neuroleptic (Knorr et al, 2018).
2.7.2 Etiologi
NMS biasanya disebabkan oleh penggunaan obat antipsikotik, dan berbagai
macam obat dapat menyebabkan NMS. Individu yang menggunakan
butyrophenone (seperti haloperidol dan droperidol ) atau phenothiazine (seperti
promethazine dan chlorpromazine ) dilaporkan memiliki risiko terbesar. Namun,
berbagai antipsikotik atipikal seperti clozapine , olanzapine , risperidone ,
quetiapine , dan ziprasidone juga terlibat dalam beberapa kasus. NMS juga dapat
terjadi pada orang yang menggunakan obat dopaminergik (seperti levodopa )
untuk penyakit Parkinson, paling sering ketika dosis obat berkurang secara tiba-
tiba. Selain itu, obat lain dengan aktivitas anti-dopaminergik, seperti
metoclopramide antiemetik , dapat menginduksi NMS. Tetrasiklik dengan
aktivitas anti-dopaminergik telah dikaitkan dengan NMS dalam laporan kasus,
seperti amoxapine . Selain itu, desipramine , dothiepin , phenelzine ,
tetrabenazine , dan reserpin telah diketahui memicu NMS. Apakah lithium dapat
menyebabkan NMS tidak jelas. Pada tingkat molekuler, NMS disebabkan oleh
penurunan aktivitas dopamin secara tibatiba yang ditandai, baik dari penarikan
agen dopaminergik atau dari blokade reseptor dopamine (Modi et al, 2016).
2.7.3 Patofisiologi
Mekanisme ini biasanya dianggap tergantung pada penurunan kadar aktivitas
dopamin karena: Blokade reseptor dopamin Fungsi genetik dari reseptor dopamin
D 2 Telah diusulkan bahwa blokade reseptor seperti D2 (D2, D3 dan D4)
menginduksi pelepasan glutamat besar-besaran, menghasilkan katatonia,
neurotoksisitas, dan mikotoksisitas. Selain itu, blokade beragam reseptor
serotonin oleh antipsikotik atipikal dan aktivasi reseptor 5HT1 oleh mereka
tertentu mengurangi pelepasan GABA dan secara tidak langsung menginduksi
pelepasan glutamat, memperburuk sindrom ini. Gejala-gejala otot kemungkinan
besar disebabkan oleh blokade reseptor dopamin D2 , yang menyebabkan fungsi
abnormal dari ganglia basal mirip dengan yang terlihat pada penyakit Parkinson .
Namun, kegagalan antagonisme reseptor dopamin D2, atau disfungsi reseptor
dopamin, tidak sepenuhnya menjelaskan gejala dan tanda-tanda NMS, serta
kejadian NMS dengan obat antipsikotik atipikal dengan aktivitas dopamin D2
yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan hipotesis hiperaktivitas simpatoadrenal
(hasil dari menghilangkan penghambatan tonik dari sistem saraf simpatis )
sebagai mekanisme untuk NMS. Pelepasan kalsium meningkat dari retikulum
sarkoplasma dengan penggunaan antipsikotik. Ini dapat mengakibatkan
peningkatan kontraktilitas otot, yang dapat berperan dalam pemecahan otot,
kekakuan otot, dan hipertermia. Beberapa obat antipsikotik, seperti neuroleptik
tipikal , diketahui menghambat reseptor dopamin; penelitian lain menunjukkan
bahwa ketika obat-obatan yang memasok dopamin ditarik, gejala yang mirip
dengan NMS muncul dengan sendirinya (Elvira, 2017).
Ada juga yang diduga tumpang tindih antara katatonia ganas dan NMS dalam
patofisiologi mereka, yang pertama bersifat idiopatik dan yang terakhir
merupakan bentuk obat dari sindrom yang sama. Peningkatan jumlah sel darah
putih dan konsentrasi plasma creatine phosphokinase (CPK) yang terlihat pada
mereka dengan NMS adalah karena peningkatan aktivitas otot dan
rhabdomyolysis (penghancuran jaringan otot). Pasien mungkin mengalami krisis
hipertensi dan asidosis metabolik . Perlambatan EEG yang tidak
digeneralisasikan dilaporkan pada sekitar 50% kasus. Demam terlihat dengan
NMS diyakini disebabkan oleh blokade reseptor dopamin hipotalamus. Masalah
perifer (tingginya sel darah putih dan jumlah CPK) disebabkan oleh obat
antipsikotik. Mereka menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma sel otot yang dapat mengakibatkan kekakuan dan akhirnya
kerusakan sel. Tidak ada penelitian besar yang melaporkan penjelasan untuk EEG
abnormal, tetapi kemungkinan juga disebabkan penyumbatan dopamin yang
mengarah ke perubahan jalur neuron (Sadock, 2016).
2.7.4 Klasifikasi
Rigiditas, tremor Rigiditas, mutism, stupor Rigiditas ringan katatonia atau
kebingungan suhu ≤38 C, nadi ≤100 x/menit Rigiditas sedang; katatonia atau
kebingungan; suhu 38-  40 C, nadi 100-120 x/menit Rigiditas berat; katatonia
atau koma; suhu ≥40 C, nadi ≥  120 x/menit.
2.7.5 Manifestasi Klinik
Sindrom neuroleptik maligna merupakan reaksi idiosinkratik yang tidak
tergantung pada kadar awali obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi
pada dosis tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal
atipikal), biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya
pengobatan dengan neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72
jam setelah pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena
peningkatan). Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis
yang luas dari ringan sampai dengan berat. Gejala disregulasi otonom mencakup
demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil..
Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur,
distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat
mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan
delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran.
2.7.6 Pemeriksaan Diagnostik
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan
nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan: Peningkatan
kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/ L Pengingkatan
kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk SNM, Peningkatan
Aminotransferases (aspartate aminotransferase [AST], alanine aminotransferase
[ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ), Pemeriksaan laboratorium lain
terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/ mm3), trombositosis dan dehidrasi.
Protein serebrospinal dapat meningkat. Konsentrasi serum besi dapat menurun
(Katus, 2016).
2.7.7 Penatalaksanaan Medis
- Terapi suportif Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan
semua anti psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan
mereda dalam 1-2 minggu. SNM yang dipercepat dengan depot injeksi anti
psikotik long action dapat bertahan selama sebulan. Terapi suportif bertujuan
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memelihara fungsi organ yaitu:
Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri1. Manajemen
sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik. Untuk
mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik1 Skrening infeksi dengan
cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan serebrospinal, kultur urin
dan darah (Van et al, 2019).
-Terapi farmakologik Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis
dopamin seperti bromocriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk
mengobati SNM berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai
untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Beberapa
ahli melaporkan bahwa agonis dopamin, clantralene maupun kombinasi keduanya
dapat mengurangi mortalitas atau memperpendek durasi sakit. Peneliti lain
melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan
komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat tersebut. Terapi
tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa kasus.
Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan
SNM dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari (Elvira, 2017).
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) adalah bangsal rumah sakit yang
didedikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek orang-orang dalam fase akut
yang terganggu dari gangguan mental serius yang tidak dapat dikelola dengan
aman di bangsal psikiatri umum. Pasien biasanya dirawat Psychiatric Intensive
Care Unit sering dirawat karena risiko mengalami agresi. Secara umum ada tiga
fase tindakan intensif bagi pasien yaitu fase intensif I, fase insentif II, dan fase
insentif III. Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kedaruratan
pasien adalah skala GAF (General Adaptive Function) dengan rentang skor 1 –
30 skala GAF.

Salah satu masalah kedaruratan psikiatri yaitu delirium atau suatu gangguan
organik global akut dan sementara dari fungsi sistem saraf pusat yang
menyebabkan gangguan kesadaran dan perhatianProses penuaan yang disertai
perubahan fisiologis pada penuaan merupakan faktor risiko terjadinya delirium.
Proses penuaan berhubungan perubahan pada otak misalnya pengaturaran
neurotransmiter yang berkaitan dengan stress metabolik, penurunan aliran darah
otak , penurunan densitas vaskuler, kehilangan sel saraf (terutama pada locus
cereleus dan substantia nigra) dan penurunan transduksi intraseluler.

Neuroleptic malignant syndrome ( NMS ) adalah reaksi yang mengancam


jiwa yang dapat terjadi sebagai respons terhadap pengobatan neuroleptik atau
antipsikotik. Terapi suportif Penatalaksaan yang paling penting adalah
menghentikan semua anti psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus,
gejala akan mereda dalam 1-2 minggu. SNM yang dipercepat dengan depot
injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan.

3.2 Saran

Makalah ini memberikan pengetahuan terkait kegwatdaruratan yang terjadi, oleh


karena itu, diharapkan kedepannya semakin banyak penelitian-penelitian terkait
psikoterapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kedaruratan psikiatri.
DAFTAR PUSTAKA

Arumugam, S., El-Menyar, A., Al-Hassani, A., Strandvik, G., Asim, M.,
Mekkodithal, A., ... & Al-Thani, H. (2017). Delirium in the intensive care
unit. Journal of emergencies, trauma, and shock, 10(1), 37.
Asmadi. (2008). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC.
Elvira, S. Hadi Sukanto. (2017). Buku Ajar Psikiatri (edisi 3). Jakarta: FK UI
Jelita, M. I., & Hutasoit, H. B. K. (2021). Laki–laki 30 Tahun dengan Skizofrenia
Paranoid. Medical Profession Journal of Lampung, 10(4), 588-593.
Hayhurst, C. J., Pandharipande, P. P., & Hughes, C. G. (2016). Intensive care unit
delirium: a review of diagnosis, prevention, and
treatment. Anesthesiology, 125(6), 1229-1241.
Huntercombe (2020) diakses pada tanggal 25 OKtober 2021
https://huntercombe.com/support-and-advice/adult-mental-health/psychiatric-
intensive-care-unit-picu/
Katus, L. E., & Frucht, S. J. (2016). Management of serotonin syndrome and
neuroleptic malignant syndrome. Current treatment options in neurology,
18(9), 1-8.
Kelliat, Budi Ana (2009). Model Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Kembuan, M. A. (2016). Sidroma neuroleptik maligna patofisiologi, diagnosis, dan
terapi. JURNAL BIOMEDIK: JBM, 8(2).
Knorr, R., Schöllkopf, J., & Haen, E. (2018). Neuroleptic malignant syndrome. Der
Nervenarzt, 89(3), 300-310.
Marie Hélène Goulet, dkk (2013). Profiles of Patients Admitted to a Psychiatric
Intensive Care Unit: Secluded With or Without Restraint. CanJPsychiatry ;
58(9):546–550
Marrye, L. (2010), A psychiatric intensive care unit in a general hospital setting,
Canadian Journal of Psychiatry, vol. 31(9): 834-837.
Modi, S., Dharaiya, D., Schultz, L., & Varelas, P. (2016). Neuroleptic malignant
syndrome: complications, outcomes, and mortality. Neurocritical care, 24(1),
97-103.
Mori, S., Takeda, J. R. T., Carrara, F. S. A., Cohrs, C. R., Zanei, S. S. V., & Whitaker,
I. Y. (2016). Incidence and factors related to delirium in an intensive care
unit. Revista da Escola de Enfermagem da USP, 50, 0587-0593.
Potter, Perry. (2010). Fundamental keperawatan (edisi 7). Jakarta: Salemba Medika.
Rollesby (2009), Characteristics of inpatients transferred to a locked ward in a
Scottish psychiatric hospital, Health Bulletin, vol. 55, pp. 77-82.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2016). Buku ajar psikiatri klinis. 2nd ed Indonesia.
Jakarta: EGC
Setters, B., & Solberg, L. M. (2017). Delirium. Primary Care: Clinics in Office
Practice, 44(3), 541-559.
Stuart, G. W., Budi, A.K., Jesika, P. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan
Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi Indonesia: Elsevier.
Thom, R. P., Levy-Carrick, N. C., Bui, M., & Silbersweig, D. (2019).
Delirium. American Journal of Psychiatry, 176(10), 785-793.
van Rensburg, R., & Decloedt, E. H. (2019). An approach to the pharmacotherapy of
neuroleptic malignant syndrome. Psychopharmacology bulletin, 49(1), 84.
Ware, M. R., Feller, D. B., & Hall, K. L. (2018). Neuroleptic malignant syndrome:
diagnosis and management. The primary care companion for CNS
disorders, 20(1), 0-0.
Wilson, J. E., Mart, M. F., Cunningham, C., Shehabi, Y., Girard, T. D., MacLullich,
A. M., ... & Ely, E. W. (2020). Delirium. Nature Reviews Disease
Primers, 6(1), 1-26.
Wuryaningsih, E W., Windarwati, HD., Dewi, EI., Deviantony, F., Hadi, E. (2018).
Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember: UPT Percetakaan & penerbitan
Universitas Jember.
Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai