Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN FIBRINOLITIK


PELATIHAN KEPERAWATAN KARDIOLOGI TINGKAT DASAR
BAGI PERAWAT DI JHC

Disusun Oleh:
Kelompok II

Hajidah Nur Afifah (Pertamedika IHC)


M. Ibnu W (Pertamedika IHC)
Khafid Fanani (PT NMU)

IKATAN NERS KARDIOVASKULER (INKAVIN)


JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan karunia-Nya, kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fibrinolitik”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas presentasi kasus
pelatihan keperawatan kardiologi tingkat dasar. Dengan adanya makalah ini ,
diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para peserta pelatihan serta seluruh
tenaga kesehatan khususnya perawat yang ada di Indonesia. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada bapak dan ibu,
serta teman-teman seperjuangan pelatihan kardiologi tingkat dasar dan semua pihak
yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung pada
penulisan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca
makalah ini, sehingga dapat memperlancar dan mempermudah proses belajar
mengajar. Makalah ini jauh dari kata sempurna, Untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran dalam penyempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih.

Jakarta, 23 Oktober 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut WHO, kematian akibat penyakit tidak menular (PTM)
diperkirakan akan meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di
negara-negara berkembang. Lebih dari dua pertiga (75%) dari populasi global akan
meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke, dan
diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa
kematian per tahun karena penyakit tidak menular (Kemenkes, 2015).
Setiap tahunnya sebanyak 36 juta orang meninggal karena penyakit tidak menular
(PTM) (63% dari seluruh kematian). Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan oleh
penyakit tidak menular terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian usia
muda tersebut terjadi dinegara berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut info
datin (2017) menyebutkan secara global PTM penyebab kematian nomor satu setiap
tahunnya adalah penyakit kardiovaskuler. Salah satu penyakit kardiovaskuler adalah
hipertensi.
Komplikasi hipertensi menyebabkan sekitar 9,4 juta kematian di seluruh dunia
setiap tahunnya. Hipertensi menyebabkan setidaknya 48% kematian karena penyakit
jantung. Kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit
jantung koroner diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada
tahun 2030. Penyakit jantung koroner juga dikenal dengan istilah penyakit jantung dan
termasuk salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Berdasarkan diagnosis
dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2017 sebesar 1,9% atau
sekitar 896.447 orang. (infodatin jantung, 2017).

Salah satu jenis penyakit jantung koroner adalah acute ST Elevation Miocardial
Infarction (acute STEMI). Infark miokard adalah gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mengalami kekurangan oksigen/hipoksia.
Sedangkan acute STEMI adalah rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat
aliran darah koroner oleh proses degenerative yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan
ditandai dengan peningkatan pada enzim jantung dan terdapatnya ST elevasi pada
pemeriksaan EKG. Menurut Kowalak (2011) menyebutkan STEMI adalah cermin dari
pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darah benar-
benar berhenti, otot jantung yang divaskularisasi tidak dapat nutrisi oksigen dan mati.
Penelitian Achari et al (2008) menyebutkan bahwa 435 orang (50,46%)
mortalitas dan tingkat kejadian terjadi pada pasien dengan infark di lokasi anterior.
Mortalitas terjadi dikarenakan salah satu terjadinya komplikasi dari STEMI yang dapat
meningkatkan angka mortalitas adalah aritmia. Aritmia yang mengancam jiwa
merupakan aritmia yang disertai dengan gangguan hemodinamik yang bila tidak segera
dilakukan terapi mengakibatkan ancaman jiwa dengan gejala klinis yang sering
dijumpai kesadaran menurun, cardiac arrest, kejang, decompensation cordis, dan
apnea. Hal ini dipaparkan oleh Anggraini (2016) dalam penelitiannya yang menyatakan
bahwa kejadian aritmia pada pasien STEMI berjumlah 9 responden (81,8%) dari 17
reponden dan hanya 6 responden yang tidak mengalami aritmia, hal ini membuktikan
bahwa komplikasi aritmia banyak terjadi pada pasien yang terdiagnosis STEMI.
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting dilakukan baik dengan
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau farmakologis, direkomendasikan diberikan
dalam 12 jam sejak awitan gejala (PERKI, 2018). Hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan terapi fibrinolitik diantaranya menilai waktu dan resiko, serta menentukan
pilihan antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus elevasi segmen ST.
Kegagalan terapi fibrinolitik (failed trombolitik) ditandai dengan hemodinamik tidak
stabil, gejala nyeri dada yang tidak membaik, dan gambaran EKG tidak dijumpai
penurunan elevasi segmen ST >50%.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik menyusun laporan ilmiah akhir tentang
asuhan keperawatan pada pasien dengan pemberian terapi fibrinolitik di RS Jantung
Jakarta.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan pemberian terapi fibrinolitik di
RS Jantung Jakarta?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan pemberian terapi
fibrinolitik di RS Jantung Jakarta
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memaparkan hasil pengkajian pada pasien dengan pemberian terapi
fibrinolitik di RS Jantung Jakarta
2. Menjelaskan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan
pemberian terapi fibrinolitik di RS Jantung Jakarta
3. Menjelaskan perencanaan berbasis bukti pada pasien dengan
pemberian terapi fibrinolitik di RS Jantung Jakarta
4. Menjelaskan implementasi pada pasien dengan pemberian terapi
fibrinolitik di RS Jantung Jakarta
5. Mengevaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan pemberian terapi
fibrinolitik di RS Jantung Jakarta

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Profesi Keperawatan
Hasil dari penulisan asuhan keperawatan ini diharapkan dapat menjadi
pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan pemberian terapi fibrinolitik
1.4.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Hasil dari penulisan asuhan keperawatan ini dapat menjadi alternative
dalam pemberian asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan pemberian
terapi fibrinolitik.

1.5 Bagi Instansi Pendidikan


Penulisan asuhan keperawatan ini diharapkan dapat memberikan referensi
dan masukan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan pemberian terapi
fibrinolitik.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep

2.1.1 Pengertian Terapi Fibrinolitik


Terapi Fibrinolitik adalah terapi yang ditujukan untuk memperbaik aliran pembuluh
darah koroner. Hal ini disebabkan oleh trombus sehingga terjadi perfusi dengan cara
melarutkan trombus tersebut. Terapi fibrinolitik adalah terapi yang digunakan untuk
mengatasi masalah yang timbul karena adanya bekuan darah atau thrombus seperti
thrombosis vena, emboli paru, infark miokard (STEMI), stroke iskemik, dan tromboemboli
arteri (Ali et al.,2014).
Terapi fibrinolitik merupakan strategi reperfusi penting dalam terapi STEMI ketika
PCI primer tidak dapat dilakukan secara tepat waktu. Tujuan utama dari terapi fibrinolysis
adalah pemulihan cepat dari patensi penuh arteri koroner (Newby et al., 2010).
Terapi fibrinolitik direkomendasikan dalam 12 jam dari onset gejala jika PCI primer
tidak dapat dilakukan dalam 120 menit dari diagnosis STEMI dan tidak terdapat
kontraindikasi (Ibanez et al., 2018).
Pemberian fibrinolitik memberikan keuntungan yang baik dengan level evidence A
jika onset gejala <30 menit. Manfaat fibrinolitik sebesar 5% pada pasien dengan elevasi ST
yang dirawat dalam 6 jam dan 4% pada pasien dirawat antara 7 dan 12 jam setelah
timbulnya gejala. Manfaatnya paling besar terlihat pada pasien yang dirawat dalam 2 jam
pertama. Manfaat fibrinolitik lebihsedikit atau bahkan berbahaya ketika diberikan kepada
pasien dengan onset gejala lebih dari 12 jam atau pada pasien yang mengalami depresi
EKG atau segmen ST normal. (Newby et al., 2010). Hal ini disebabkan karena fibrinolitik
memiliki efek samping perdarahan.
Beberapa kondisi dapat dikontraindikasikan dengan penggunaan fibrinolitik, antara
lain stroke hemoragik, stroke iskemik dalam 6 bulen terakhir, trauma operatif atau trauma
kepala yang berat dalam 3 bulan terakhir, perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan terakhir
karena dapat meningkatkan resiko perdarahan setelah penggunaan fibrinolitik (PERKI,
2015). Ketika terapi fibrinolitik dikontraindikasikan, maka terapi PCI untuk keadaan
darurat harus dipertimbangkan (Newby et al., 2010).
Waktu ideal pemberian fibrinolitik adalah 30 menit setelah onset gejala dengan
level evidence A (PERKI, 2015). Terapi fibrinolitik terbukti dapat mencegah 30 kematian
dini per 1000 pasien yang dirawat dalam waktu 6 jam setelah onset gejala (Ibanez et al.,
2018; PERKI, 2015). Menurut ACCF/AHA tahun 2013 penggunaan fibrinolitik diberikan
dalam onset gejala kurang dari 12 jam (O’Gara et al., 2013), namun sebaiknya untuk hasil
terbaik dapat diberikan dalam onset gejala iskemik 3 jam (Gulati & Gersh, 2009).
Fibrinolitik menunjukan manfaat yang lebih sedikit ketika diberikan kepada pasien dengan
onset gejala lebih dari 12 jam karena plak yang terbentuk bersifat mature sehingga sulit
untuk dilisiskan (Newby et al., 2010). Setiap menit dalam penundaan reperfusi pasti akan
menghasilkan nekrosis yang lebih luas dan outcome yang buruk (Werf, 2012).
Penggunaan terapi fibrinolitik yang tepat dapat mengurangi angka kematian di
rumah sakit sebesar 25-50%. Manfaat terbesar terlihat ketika fibrinolitik diberikan kurang
dari 2 jam setelah onset gejala dan pada pasien dengan risiko tertinggi, seperti lansia.
Berdasarkan Myocardial Infarction Triage and Intervention (MITI) Randomized trial
pemberian fibrinolitik pada pasien STEMI pada 70 menit pertama dapat menurunkan angka
kematian sebesar dari 8,7% menjadi 1,2% dan mengurangi ukuran infark dari 11,2%
menjadi 4,9% dibandingkan jika digunakan lebih lama hingga 180 menit (Fox et al., 2013).
Menurut penelitian meta-analisis menyebutkan jika penggunaan fibrinolitik dapat
mengurangi angka mortalitas (Jinatongthai et al., 2017)
Pemberian fibrinolitik harus melihat 3 hal yaitu onset gejala, ketersediaan obatnya
dan faktor klinis pasien (Pandie et al., 2016). Pada saat pemberian fibrinolitik, pertamatama
harus melihat riwayat kesehatan pasien, seperti operasi, trauma, alergi, penggunaan obat
sebelumnya untuk mengetahui apakah pasien memiliki kontraindikasi terhadap fibrinolitik
atau tidak. Jika tidak terdapat kontraindikasi, maka fibrinolitik dapat dilakukan. Pada saat
pemberian fibrinolitik sangat disarankan untuk memantau tandatanda vital dan gejala-gejala
perdarahan setiap 15 menit dalam 1 jam pertama dan setiap 30 menit 2 jam selanjutnya,
kemudian diamati setiap jam hingga pemberian fibrinolitik selesai. Setelah pemberian
fibrinolitik pemantauan terhadap tanda-tanda vital ataupun resiko efek samping masih terus
dilakukan, selain itu melihat respon dari terapi seperti chest pain yang dialami pasien,
merekam jantung (EKG) satu jam setelah fibrinolitik, dan timbulnya aritmia reperfusi, serta
pasien harus tetap istirahat selama 6 jam (Ali et al., 2014).
Efektifitas fibrinolitik pada STEMI dilihat dari keberhasilan reperfusi yang terjadi.
Keberhasilan reperfusi ditandai dengan hilangnya nyeri dada yang dialami pasien, terjadi
resolusi EKG ≥ 50%, adanya aritmia reperfusi (Bendary et al., 2017; Churchhouse &
Ormerod, 2017). Pembukaan infark yang cepat di arteri berhubungan dengan berkurangnya
ukuran infark, perbaikan fungsi left ventrikel dan outcome klinis yang baik. Penurunan
nyeri dada setelah trombolisis menunjukan korelasi dengan angiografi. Resolusi segmen ST
setelah STEMI dipengaruhi oleh status arteri koroner (Varma et al., 2016).
Menurut Global Utilisation of Streptokinase and T-PA for Occluded coronary
arteries-1 (GUSTO-1) diketahui bahwa pemberian fibrinolitik menunjukan efektifitas
dalam reperfusi sekitar 50-60% (The GUSTO, 1993). Sedangkan penelitian Ghaffari,
Kazemi and Golzari (Ghaffari et al., 2013) menunjukan keberhasilan reperfusi dari
fibrinolitik sebesar 59%. Serta penelitian Bendary et al (Bendary et al., 2017). Keberhasilan
penggunaan fibrinolitik adalah sebesar 62%.
Menurut EARLY-MYO Trial (Early Routine Catheterization After Alteplase
Fibrinolysis Versus Primary PCI in Acute STSegment–Elevation Myocardial Infarction)
oleh Pu et al, 2017 (Pu et al., 2017) yang merupakan uji Randomized Clinical Trial (RCT)
yang pertama yang membandingkan Pharmaco-Invasive (PhI) strategy with halfdose
alteplase fibrinolysis dengan Primary PCI (PPCI) pada pasien STEMI, menunjukan bahwa
pada pasien STEMI yang memiliki resiko kecil dengan onset gejala ≤6 jam dengan rencana
PCI ≥ 60 menit, memperlihatkan hasil bahwa Strategi PhI dengan half-dose alteplase dan
PCI yang tepat waktu menawarkan reperfusi epikardial dan miokardial yang lebih lengkap
di bandingkan terapi PPCI saja.

2.1.2 Etiologi Pemberian Fibrinolitik


Pemberian Fibrinolitik dilakukan pada pasien STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat
sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-
lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil.
Anamnesis keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
a. Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar
kelengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini
dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
b. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion ), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal inilebih
sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75tahun),
wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai
sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada
pasiendengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis sindrom koroner akut.
Diagnosis menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik sebagai berikut :
 Pria
 Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer/
karotis)
 Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedahpintas koroner, atau IKP
 Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetesmellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko
tinggi,risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol
Education Program)
Indikasi Fibrinolitik
 Sakit dada khas IMA ≤ 12 jam • EKG : ≥ 1 mm elevasi seg ST pada ≥ 2 sandapan
yg ektremitas yang berhubungan ≥ 2 mm elevasi seg ST pada ≥ 2 sandapan
prekordial Bundle branch block yg baru • Syok kardiogenik pd IMA ( bila
kateterisasi dan revaskularisasi tdk dapat dilakukan )
 Trombolisis door to needle time < 30 menit !! • PCI pada IMA lebih unggul bila dpt
dilakukan dlm 90 ± 30 menit
Indikasi Kontra Absolut
 Riwayat stroke hemoragik, kapanpun terjadinya
 Riwayat stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali stroke iskemik dengan onset < 3 jam
• Neoplasma intracranial
 Perdarahan internal aktif(tidak termasuk menstruasi)
 Kecurigaan suatu diseksi aorta • Luka kepala tertutup yg signifikan atau trauma
facial dalam 3 bulan
 Kelainan struktural atau pembuluh darah cerebral
 (ACC/AHA guideline of STEMI 2004)

Indikasi Kontra Relatif Hipertensi Berat


 Saat datang ke UGD yaitu BP> 180 / 110 mmHg
 Fungsi vaskuler yg tak dapat dikompresi
 Perdarahan internal 2–4 minggu sebelumnya
 Konsumsi antikoagulan oral prolonged CPR (>10 minutes)
 operasi mayor dlm jangka waktu 2 -4 minggu
 Untuk Streptokinase : pemberian sebelumnya ( 5 hari-2 tahun)
 riwayat reaksi alergi Kehamilan
 Active peptic ulcer
 Riwayat hipertensi kronis yg tak terkontrol
 Riwayat stroke iskemik lebih dari 3 bulan
 Demensia
Tabel 4. Indikasi kontra terapi fibrinolitik

2.1.3 Patofisiologi
Mekanisme fibrinolitik
Mekanisme aksi dari fibrinolitik adalah streptokinase berikatan dengan plasminogen
dimana mengubah plasminogen menjadi plasmin. Sedangkan alteplase, urokinase, reteplase
dan tenecteplase bekerja dengan memecah plasminogen untukmenghasilkan plasmin dan
kemudian memecah clot yang kaya akan fibrin menjadi fibrin degradation product.
Sedangkan alfimeprase memecah fibrin secara langsung dan menghasilkan fibrin
degradation product (Baskin et al., 2012).
Fibrinolitik terbagi menjadi 2 yaitu agen yang tidak spesifik fibrin dan agen yang
spesifik fibrin. Dimana agen yang tidak spesifik fibrin adalah streptokinase dan urokinase
sedangkan yang spesifik fibrin adalah alteplase, Tenecteplase, dan reteplase. Fibrinolitik
yang direkomendasikan PERKI untuk STEMI adalah streptokinase, alteplase dan
Tenecteplase (PERKI, 2015).

2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasiiskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi
katupmitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya
selaludiperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap sindrom koroner
akut. Pericardial friction rubkarena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibatdiseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara
napas yang tidak seimbangperlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding
SKA.
2. Pemeriksaan elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepadaiskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya diruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-
V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada
iskemiadinding inferior.
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasienangina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10
menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien
dengan keluhan angina dengan STEMI adalah ditemukan gamaran elevasi segmen ST.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada Jpoint dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen STuntuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang
untuk diagnostik beragam, bergantung padausia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40
tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia,adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST
di sadapan V3Rdan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1
mV dianggaplebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen
ST yangresiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi,
dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di
V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia

Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG


Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, Avl Lateral
II, III, Avf Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

3. Pemeriksaan Marka Jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner).

Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru,
hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T


menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam).

Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural kadar troponin pada
pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan
infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya
menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini
dapat menetap hingga 2 minggu. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia,
pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6
jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari

Gambar 1. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung (Dikutip dari


Bertrand ME, et al. Eur Heart J 2002;23:1809–1840)

4. Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di


ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.

5. Pemeriksaan Foto Polos Dada


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat
dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta

Gambar 2. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA


(Dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50)
Tabel. Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip

2.1.5 Penatalaksanaan Medis

Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala


pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim
yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I- A ). Pada
pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar
dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara
kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit ( Kelas IIa-B).
Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.Agen yang spesifik terhadap fibrin
(tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak
spesifik terhadap fibrin (streptokinase) ( Kelas I- B ). Aspirin oral atau intravena harus
diberikan (Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk
aspirin (Kelas I-A ).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan
fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit
hingga 5 hari (Kelas I-A ). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
- Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi) ( Kelas I-A ).
- Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan
infus selama 3 hari ( Kelas I-C ).
- Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena secara
bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian ( Kelas IIa-B).
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP
setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien ( Kelas I-A). IKP
“rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang
dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada (Kelas I-A ). IKP
emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi
setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-B ). Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi
segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial
(Kelas I-A). Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis
yang berhasil (Kelas I-A ). Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis
yang berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A ).

Tabel 3. Rekomendasi terapi fibrinolitik

Rekomendasi Kelas Level


Terapi fibrinolitik sebaiknya diberikan dalam 12 jam sejak I A
awitan gejala pada pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP
primer tidak dapat dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama
Fibrinolisis perlu dipertimbangkan untuk pasien yang datang IIa B
awal (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark luas dan risiko
perdarahan rendah apabila waktu dari kontak medis pertama
hingga balloon inflation >90 menit
Bila memungkinkan, fibrinolisis sebaiknya dimulai di rumah IIa A
Sakit
Agen spesifik fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase lebih I B
disarankan dibanding dengan agen yang tidak spesifik terhadap
fibrin
Aspirin oral harus diberikan I B
Clopidogrel disarankan untuk diberikan bersama dengan aspirin I A
Antikoagulasi disarankan untuk pasien STEMI yang diberikan I A
agen fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau
selama pasien dirawat di rumah sakit hingga hari ke 8. Pilhan
antikoagulan:
Enoksaparin i.v. diikuti s.c. I A
Heparin tidak terfraksi, diberikan secara bolus intravena sesuai I C
berat badan dan infus
Pada pasien yang diberikan streptokinase, berikan IIa B
fondaparinuks bolus i.v. diikuti dengan dosis s.c. 24 jam
kemudian
Setelah diberikan fibrinolisis, semua pasien perlu dirujuk ke I A
rumah sakit yang dapat menyediakan IKP
PCI “ rescue ” diindikasikan segera bila fibrinolisis gagal I A
(<50% perbaikan segmen ST setelah 60 menit)
PCI emergensi diindikasikan apabila terjadi iskemia rekuran I B
atau bukti reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil
Angiografi darurat dengan tujuan revaskularisasi diindikasikan I A
untuk pasien gagal jantung/syok
Angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi I A
(pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah
fibrinolisis yang berhasil
Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang IIa A
berhasil adalah 3-24 jam
Gambar 2. Langkah-langkah reperfusi
Tabel. 1 Jenis Fibrinolitik (Ali et al., 2014)

Generasi fibrinolitik Spesifik Fibrin Non-spesifik Fibrin

Kesatu - Streptokinase
- urokinase
Kedua - Recombinant tissue - Prourokinase (scum-PA)
plasminogen activator (t- - Sk-plasminogen activating
PA) complex (APSAC)
- Alteplase
Ketiga Tenecteplase
- Reteplase
- Monteplase
- Lanoteplase
- Pamiteplase

Adapun macam-macam dari fibrinolitik yang digunakan pada STEMI adalah :

1. Streptokinase

Streptokinase merupakan agen nonspesific fibrin yang berasal dari kelompok


streptokokus yaitu β-hemolytic group-C streptococci. Streptokinase bergabung dengan
plasminogen bebas disirkulasi untuk membentuk kompleks aktivator yang menghasilkan
plasmin dan akan memecah thrombus (Vivek, 2017; Sekhar et al., 2017). Streptokinase
merupakan original thrombolytic agent yang bekerja dengan mengikat plasminogen untuk
membentuk kompleks enzim yang mengubah plasminogen menjadi plasmin.

Selain itu, streptokinase juga meningkatkan kadar protein-C di sirkulasi sehingga


meningkatkan pemecahan bekuan atau gumpalan darah. Dosis infus dari streptokinase
adalah 1,5 juta IU dalam 100 mL larutan salin selama 30-60 menit. Adapun efek samping
yang sering terjadi dari penggunaan streptokinase dibandingkan dengan alteplase adalah
hipotensi, alergi dan pendarahan mayor (Fox et al., 2013).

Berdasarkan penelitian Gruppo Italiano Per Lo Studio Della Sopravvivenza


Nell’Infarti Miocardico-2 (GISSI-2) tahun 1990 (GISSI-2, 1990) menunjukan bahwa tidak
ada efek yang berbeda secara signifikan antara alteplase dan streptokinase. Namun pada
penelitian GUSTO-1, 1993 (The GUSTO, 1993) alteplase lebih bersifat superior dari pada
streptokinase.

2. Alteplase

Alteplase merupakan enzim alami (plasminogen spesifik) yang diproduksi oleh


teknologi DNA rekombinan dari kultur jaringan manusia. Altelase bersifat “clot selective,”.
Alteplase berikatan dengan fibrin pada permukaan clot yang mengaktifkan plasminogen
yang terikat pada fibrin. Plasmin di bentuk dari plasminogen yang terikat fibrin. Molekul
fibrin dipecah menjadi plasmin dan gumpalan yang larut (Vivek, 2017).

Pemberian awal dilakukan dengan bolus kemudian diikuti dengan infus intravena
lambat karena waktu paruhnya yang sangat singkat. Karena waktu paruh alteplase yang
sangat singkat maka harus digunakan bersama dengan antikoagulan intravena untuk
menghindari reoklusi. Penggunaan tPA dapat menunjukan angka mortalitas 14% lebih
rendah (penurunan absolut 1%) dibandingkan dengan streptokinase. Alteplase lebih banyak
digunkaan pada pasien stroke iskemik dibandingkan pasien STEMI akut (Fox et al., 2013;
Vivek, 2017).

Dosis alteplase yang digunakan adalan infusan dengan dosis 100 mg selama 3 jam,
dimana 60 mg pada jam pertama (6-10 mg diberikan secara bolus), dan 20 mg selama jam
kedua, selanjutnya 20 mg pada jam ketiga. Untuk pasien dengan bobot tubuh lebih kecil
<65 kg maka dosis yang digunakan adalah 1,25 mg/kg adalah Seperti halnya fibrinolitik
lainnya penggunaan aspirin 300 mg harus diberikan sesegera mungkin dan diikuti
clopidogrel 75 mg per hari. Heparin intravena juga harus diberikan setidaknya setidak nya
selama 48 jam. (Foxet al., 2013).

Keuntungan dari tPA adalah dapat meningkatkan kelangsungan hidup, lebih baik
dibandingkan agen fibrinolitik lainnya, seperti streptokinase dan memiliki resiko yang
sedikit lebih tinggi terhadap pendarahan intracerebra. Agen fibrinolitik lainnya yang
merupakan analog dari tPA, seperti tenecteplase dan reteplase, memiliki waktu paruh
plasma lebih lama dari alteplase dan bisa diberikan secara bolus intravena. Tenecteplase
(TNK) sama efektifnya dengan alteplase dalam menurunkan angka kematian (Newby et al.,
2010).

Berdasarkan hasil metaanalisis oleh Jinatongthai et al (Jinatongthai et al.,


2017),menunjukan bahwa rejimen accelerated alteplase plus antikoagulan parenteral dapat
mengurangi resiko moratlitas dibandingkan dengan streptokinase dan antikoagulan
parenteral.

3. Tenecteplase

Tenecteplase (TNK) merupakan rekayasa genetika dari alteplase dengan subtansi


asam amino di tiga site. Hal ini menyebabkan penurunan waktu eliminasi dan waktu paruh
menjadi lebih panjang atau lama, sehingga menyebabkan peningkatan spesifisitas fibrin,
dan resistensi terhadap PAI-1. Bolus tunggal tenecteplase dalam dosis yang disesuaikan
dengan berat badan yaitu 0,5 mg/kg dibandingkan denga accelerated alteplase menunjukan
angka mortalitas yang sama. Namun resiko pendarahan tenecteplase dan kebutuhan
transfusi darah lebih rendah dibandingkan alteplase, selain itu manfaat praktis dari
pemberian bolus dapat menjadikan tenecteplase menjadi pilihan di ruang emergensi untuk
mengatasi STEMI. (Fox et al., 2013; Vivek, 2017; Thomas & Christoph, 2015).

Tenecteplase telah diuji secara ekstensif dalam uji klinis. Dalam ASSENT1
(assessment of safety and efficacy of a new thrombolytic agent) percobaan pada pasien
dengan infark miokard akut, single bolus dari tenecteplase terbukti bersifat aman sebagai
gold standart terapi trombolitik, dibandingkan rejimen accelerated alteplase (bolus awal
diikuti oleh infus lebih dari 90 menit). Dalam TIMI-10b (Thrombolysis In Myocardial
Infarction) percobaanpemberian dosis bolus tunggal tenectplase 40 mg selama memiliki
rata-rata kekuatan yang sama dengan pemberian accelerated alteplase selama 90 menit.
Dalam ASSENT2 Trial tenecteplase dan alteplase keduanya memiliki angka mortalitas
yang sama setelah 30 hari. Seperti dengan reteplase, tenecteplase dibandingkan dengan
alteplase keduanya memiliki efikasi yang sama dan tenecteplase lebih superior ketika
diberikan dalam dosis bolus tunggal (Thomas & Christoph, 2015)
4. Reteplase

Reteplase (rPA) adalah deletion mutan dari alteplase dengan menghilangkan


beberapa hal seperti kringle-1, finger, and faktor pertumbuhan domain dan juga beberapa
rantai samping dari karbohidrat. Reteplase dapat memperpanjang waktu eliminasi, sehingga
regimen yang digunakan merupakan double-bolus dengan dosis 10 U+10 U secara
intravena, dimana pemberiannya dilakukan masing-masing lebih dari 10 menit dan 30
menit secara terpisah. Heparin tidak boleh diberikan melalui jalur intravena yang sama
karena bersifat incompatibility.

Kasus kematian dengan penggunaan reteplase dan streptokinase bersifat sama atau
mirip begitu pula dengan resiko terjadinya stroke reteplase serupa dengan alteplase (Fox et
al., 2013). Satu-satunya keunggulan reteplase dibandingkan Alteplase adalah duration of
action dari reteplase lebih lama dan pemberiannya juga secara bolus, sehingga tidak
membutuhkan infus intravena. Namun, spesifisitasnya untuk plasminogen terikat fibrin
bersifat mirip dengan alteplase (Vivek, 2017).

Reteplase telah disetujui untuk pengobatan trombolitik infark miokard akut. Dalam
Rapid I (Recombinant Plasminogen Activator Angiographic Phase II international Dose
Finding Study). Pemberian reteplase lebih unggul darialteplase (diberikan lebih dari tiga
jam) dengan patensi reteplase dicapai lebih awal dan lebih sering dibandingkan accelerated
alteplase (lebih dari 1,5 jam).

Namun menurut GUSTO-III menunjukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal
mortalitas setelah 30 hari antara reteplase dengan alteplase. Kesimpulannya reteplase
dibandinkan dengan alteplase keduanya memiliki efikasi yang sama dalam reperfusi dan
retelpase lebih unggul ketika diberikan dalam bolus ganda (Thomas & Christoph, 2015).

Adapun Beberapa perbedaan karakteristik dari fibrinolitik yang sering digunakan di


ditampilkan pada tabel 2
Tabel 2. Karakteristik Fibrinolitik (Fox et al., 2013; Vivek, 2017)

Keterangan Streptokinase Alteplase Reteplase (rPA) Tenecteplase


(tPA) (TNK)
Selektif fibrin Tidak ++ + +++
Ikatan Tidak langsung Langsung Langsung Langsung
Plasminogen
Lama infuse 60 90 10+10 5-10 detik
(menit)
Waktu paruh 23 <5 13-16 20
Pemecah 4+ 1-2+ Tidak diketahui >tPA
fibrinogen
Heparin dini Kemungkinan Ya Ya Ya
Hipotensi Ya Tidak Tidak Tidak
Reaksi alergi Ya Tidak Tidak Tidak
T1/2 Plasma 23-29 4-8 15 20
(min)
Dosis 1,5 MIU/60 menit 100 mg/90 2x10 IU bolus 0,5 mg/kg
menit 30 bolus
menit apart

CARA PEMBERIAN FIBRINOLITIK

• Streptokinase ( Streptase ) 1. 5 million Unit in 100 ml D 5 W or 0. 9% saline selama 30


-60 mnt without heparin : Inferior MCI with heparin : anterior MCI
• t. PA 15 mg IV bolus kemudian 0. 75 mg/Kg selama 30 mnt, dilanjutkan 0. 5 mg/Kg
selama 60 mnt berikutnya
Tabel 5. Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut

Efek Samping Fibrinolitik

Berdasarkan mekanisme aksi dari fibrinolitik yang mengubah plasminogen menajdi


plasmin dan kemudian plasmin akan memecah clot yang kaya akan fibrin menjadi fibrin
degradation product (Baskin et al., 2012). Selain itu plasmin yang di hasilkan dari
fibrinolitik dapat menyebabkan deplesi fibrinogen, deplesi factor V dan VIII dan disfungsi
platelet, serta dapat meningkatkan fibrin degradation product. Hal tersebut dapat
menyebabkan resiko pendarahan (Candelise et al., 1996).

Selain itu streptokinase dapat menyebabkan penurunan plasminogen disirkulasi


sehingga dapat meningkatkan resiko pendarahan (Vivek, 2017). Streptokinase juga
merupakan protein asing sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi yang diperantarai
immunoglobulin E (IgE), dan dapat menimbulkan gejala urtikaria, bronkospasme dan
hipotensi (Nazari et al., 1987).
Adapun efek samping lainnya dari penggnaan fibrinolitik sebagai berikut:
1. Pendarahan
Sejauh ini komplikasi paling umum dari terapi trombolitik adalah perdarahan.
Karena tujuan terapi agen trombolitik adalah pemecahan bekuan darah, diharapkan
gumpalan dengan atau tanpa fungsi aktif hemostatik dapat dilisiskan oleh obat-obatan.
Semua agen fibrinolitik yang tersedia saat ini akan menghasilkan derajat fibrinolisis
sistemik dan menghasilkan gangguan pasca- statis yang dapat menyebabkan
perdarahan. Selain itu, antikoagulan diberikan secara rutin setelah trombolisis
menambah risiko komplikasi perdarahan (Nazari et al., 1987).
Resiko perdarahan terjadi berkisar antara 0,5% dan 1%. Oleh karena itu,
perawatan harus dihentikan jika terdapat risiko pedarahan yang signifikan seperti
pendarahan serius, pendarahan internal aktif, pasien sebelumnya memiiki riwayat
perdarahan subarachnoid atau intraserebral, hipertensi yang tidak terkontrol,
melakukan operasi dalam 1 bulan sebelumnya, trauma terbaru (termasuk resusitasi
traumatis), tukak lambung aktif, dan kehamilan. (Newby et al., 2010).
Menurut Vivek (Vivek, 2017) mengemukakan bahwa streptokinase dapat
menyebabkan penurunan plasminogen disirkulasi sehingga dapat meningkatkan resiko
perdarahan. Sedangkan berdasarkan hasil meta-analisis jinatongthai et al (Jinatongthai
et al., 2017) diketahui bahwa resiko pendarahan mayor lebih rendah terjadi pada
penggunaan streptokinase dibandingkan accelerated alteplase. Resiko perdarahan juga
semakin meningkat ketika ditambahkan antikoagulan parenteral.
2. Allergic and Immunological Reactions
Reaksi alergi berhubungan dengan pemberian streptokinase, karena satu-
satunya agen yang merupakan protein asing. Reaksi alergi langsung diperantarai oleh
IgE termasuk urtikaria, bronkospasme dan hipotensi. Delayed reaction dimediasi oleh
IgG termasuk serum sickness dan demam. Beberapa reaksi yang dilaporkan sebagai
reaksi alergi meliputi respons demam. Reaksi alergi pada penggunaan streptokinase
jarang terjadi namun potensi reaksi anafilaksis, yang bisa sangat parah, tidak boleh
diremehkan. Skin test dengan dosis kecil streptokinase intradermal merupakan
prediktor yang baik untuk respons alergi langsung dari jenis anafilaksis, meskipun
tidak dapat memprediksi reaksi yang tertunda. Delayed reactions biasanya bersifat
ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya (Nazari et al., 1987).
3. Hipotensi
Hipotensi merupakan efek samping yang paling sering ditemukan pada
penggunaan streptokinase. Namun hipotensi ini berbeda dengan yang ditemui pada saat
reperfusi. Gejala ini terjadi segera setelah pemberian infus, dapat disertai dengan
flushing and anxiety, dan dapat diatasi dengan pemberian cairan dan penghentian infus
untuk sementara waktu. Komplikasi ini bersifat sementara dan jinak. Ketika hipotensi
telah membaik dan infus diberikan kembali maka efek hipotensi ini tidak akan terjadi
kembali. Mortalitas belum dikaitkan dengan hipotensi yang terjadi dengan infus
streptokinase (Nazari et al., 1987). Hipotensi pada peggunaan fibrinolitik dapat
disebabkan oleh aktivasi sistem bradikinin-kallikrein, vasodilasi langsung dan
penurunan viskositas darah (Chang & Yeh, 2014).
4. Aritmia Reperfusi
Aritmia yang terjadi selama terapi trombolitik pada infark miokard akut akut
digunakan sebagai salah satu dari beberapa marker reperfusi non-angiografi, tetapi
sensitivitas dan spesifisitasnya belum didefinisikan secara jelas. Selain respon
bradikardi, ritme yang paling umum diamati adalah percepatan irama idioventrikular
dan takikardia ventrikel. Aritmia terjadi pada 70 hingga 100% pasien dengan
rekanalisasi. Selain idioventricular rhythm dan ventricular tachycardia fibrilasi
ventrikel juga telah dilaporkan, meskipun sulit untuk membedakan antara kejadian nya
disebabkan oleh infark miokard atau komlikasi dari reperfusi. Kejadian fibrilasi
ventrikel sangat bervariasi, dilaporkan pada 0 hingga 17% kasus (Nazari et al., 1987).
5. Guillain-Barre Syndrome
Ada beberapa laporan kasus yang menggambarkan hubungan antara sindrom
Guillain-Barre dan terapi streptokinase. Meskipun hubungan kausal belum ditetapkan,
insidennya lebih tinggi dari yang ditentukan oleh coincidental association.
Streptokinase dapat menginduksi respons imunologis yang dapat memicu sindrom
Guillain-Barre (Nazari et al., 1987).
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
a. Identitas pasien, meliputi nama, umur, tempat dan tanggal lahir
b. Riwayat kesehatan saat ini : keluhan nyeri dada, lokasi, penyebaran, kualitas
nyeri, faktor pencetus, lamanya nyeri, faktor yang meringankan seperti
perubahan posisi, istirahat atau pemberian obat
c. Riwayat kesehatan dahulu pasien (untuk mengetahui kontraindikasi pemberian
fibrinolitik) : operasi, trauma, alergi, riwayat penggunaan obat sebelumnya
d. Pengkajian pola Gordon
 Persepsi kesehatan – pola manajemen kesehatan
 Persepsi klien terhadap status kesehatan di masa lalu
 Persepsi klien terhadap status kesehatannya saat ini
 Pengetahuan tentang penyakit dan perilaku pencegahan
 Pola nutrisi – metabolisme
 Intake makanan
 Intake cairan
 Pola eliminasi
 Kandung kemih
 Bowel
 Pola aktivitas – latihan
 Aktivitas sehari-hari
 Kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari :
- Ambulating :
- Mandi :
- Dressing/grooming:
- Mengurus diri (oral hygiene):
- Toileting :
(0 : mandiri; 1 : alat bantu; 2 : dibantu orang lain; 3 : dibantu orang
lain dan alat; 4 : tergantung total)
 Keluhan saat aktivitas:
 Pola tidur – Istirahat
 Bagaimana pola tidur klien biasanya
 Masalah dalam tidur
 Pola persepsi- Kognitif
 Adakah defisit dalam persepsi sensori
 Adakah keluhan
 Pola persepsi diri
 Pola hubungan peran
 Pola fungsional seksual
 Pola manajemen – Stress koping
 Koping saat stress :
 Sistem kepercayaan nilai
 Praktek keagamaan klien sehari-hari (tipe, frekuensi):
 Apakah ada orang-orang atau prayek religious (diet, buku, ritual)
yang anda inginkan selama hospitalisasi :
e. Faktor resiko
f. Pemeriksaan Fisik
 Penampilan umum
 Tanda-tanda vital
 Pemeriksaan Fisik dari kepala, mata, hidung, mulut-tenggorokan,
pernapasan, sirkulasi, reproduksi, neurosis, musculoskeletal, dan kulit
 Inspeksi, Perkusi, Palpasi dan Auskultasi paru - jantung
g. Pemeriksaan penunjang : EKG, Ro Thorax, Laboratorium, Echocardiografi

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Akut b.d.agen cedera kimiawi (iskemik) (Nyeri dada berhubungan dengan
tidak adekuatnya perfusi otot jantung akibat ketidakseimbangan suplay dan
demand oksigen)
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan efek samping antikoagulan (perubahan
status koagulasi efek terapi fibrinolitik)
3. Pola nafas tidak efektif b.d. fatigue (kelemahan)
4. Penurunan curah jantung
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
6. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
7. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan
2.2.3 Perencanaan
No Diagnosa Perencanaan Implementasi

1 Nyeri Akut Kontrol nyeri Manajemen nyeri


Tingkat kenyamanan - Lakukan pengkajian komprehensif terhadap
Setelah dilakukan intervensi keperawatan klien dapat nyeri (PQRST), observasi tanda nonverbal
mengontrol nyeri dan mencapai tingkat kenyamanan, adanya ketidaknyamanan
ditandai dengan: - Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
- Klien mengenali faktor penyebab nyeri mengetahui pengalaman nyeri
- Klien mengenali lamanya (onset) nyeri - Kaji lstsr belakang budaya yang mempengaruhi
- Klien mampu menggunakan metode respon nyeri
nonfarmakologik untuk mengurangi nyeri - Tentukan dampak nyeri terhadap kualitas hidup
- Klien menggunakan analgetik sesuai kebutuhan (ex: tidur, selera makan, aktivitas, kognisi,
- Klien melaporkan nyeri terkontrol mood, dll)
- Klien melaporkan skala nyeri berkurang - Sediakan informasi tentang nyeri, misalnya
- Klien melaporkan frekuensi nyeri berkurang penyebab, onset dan durasi nyeri, antisipasi
- Ekspresi wajah postur tubuh rilek ketidaknyamanan karena prosedur tertentu
- Klien melaporkan kenyamanan - Kontrol factor lingkungan yang dapat
- Klien mengekpresikan kepuasan dengan mempengaruhi respon klien terhadap
kontrol nyeri ketidaknyamanan (ex: suhu ruang, kebisingan,
cahaya)
- Ajarkan teknik nonfarmakologi (ex:
biofeedback, TENS, hypnosis, relaksasi, guided
imagery, terapi music, distraksi, terapi bermain,
terapi aktivitas, acupressure, aplikasi
panas/dingin, dan massase).
- Tingkatkan istirahat dan tidur.
- Monitor kepuasan pasien dengan manajemen
nyeri yang dilakukan
- Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
- Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
- Evaluasi efektivitas intervensi
- Kolaborasikan pemberian analgetik (anti angina
seperti nitrogliserin dan analgetik seperti
morphin dan pethidine)
2 Resiko perdarahan Koagulasi Darah Pencegahan Perdarahan
berhubungan - PTT - Monitor tanda perdarahan
dengan efek - APTT - Kaji adanya tanda-tanda perdarahan pada
samping - Perdarahan gusi, hidung, bekas tusukan, hematuri dan
antikoagulan - Hematuria selaput lendir lainnya
(perubahan status - Beritahukan klien bila ada tanda-tanda
koagulasi efek terapi perdarahan untuk segera melaporkan kepada
fibrinolitik) dokter / ners
- Bila ada perdarahan, hentikan pemberian
fibrinolitik dan laporkan kepada dokter
- Monitor hasil lab seperti PTT, APTT,
Fibrinogen
- Berikan obat untuk mengatasi perdarahan
sesuai program
- Lindungi pasien dari trauma

2 Pola nafas tidak Status pernafasan Respiratory monitoring


efektif b.d. fatigue - Frekwensi pernafasan dalam batas yang - Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha
(kelemahan) diharapkan respirasi
- Irama pernafasan dalam batas yang diharapkan - Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
- Kedalaman inspirasi penggunaan otot tambahan, retraksi otot
- Ekspansi dada supraclavicular dan intercostal
- Kemudahan bernafas - Monitor suara nafas, seperti dengkur
- Keadekuatan secara verbal - Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
- Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
- Tidak ada suara nafas tambahan - Auskultasi suara nafas, catat area penurunan /
- Tidak ada pursed lip breathing tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
- Tidak ada dispnea saat istirahat dan saat - Monitor saturasi
aktivitas - Monitor keletihan otot diafragma
- Suara perkusi dalam batas yang diharapkan - Berikan bantuan terapi napas jika dibutuhkan
- Suara auskultasi dalam batas yang diharapkan (nebulizer)
- Posisikan pasien miring ke samping sesuai
Skala: indikasi untuk mencegah aspirasi, lakukan
1: sangat bermasalah teknik logroll jika pasien curiga cidera leher
2: bermasalah - Berikan bantuan resusitasi jika diperlukan
3: sedang
Terapi oksigen :
4: sedikit bermasalah
- Membersihkan secret oral, nasal, dan trakeal.
5: tidak bermasalah
- Menjaga kepatenan jalan napas.
- Menyiapkan alat pemberian terapi oksigen.
Vital Sign Status
- Memonitor volume oksigen yang mengalir.
- Tanda tanda vital dalam rentang normal
- Memonitor posisi selang oksigen.
- Meyakinkan bahwa masker oksigen/canula
terpasang dengan benar.
- Memonitor kemampuan klien untuk
mentoleransi pelepasan oksigen saat makan.
- Memonitor kecemasan klien berhubungan
dengan kebutuhan akan terapi oksigen.
- Tetap menyediakan oksigen ketika
memindahkan klien
3 Penurunan curah Keefektifan pompa jantung Perawatan jantung
jantung 1. Denyut jantung apical 1. Monitor EKG
2. Suara jantung 2. Nilai sirkulasi perifer (nadi perifer, edema,
3. Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam pengisian kapiler, warna dan suhu ekstremitas)
4. Sianosis 3. Lakukan terapi relaksasi untuk meningkatkan
B. Status sirkulasi kenyamanan pasien
1. Tekanan nadi 4. Monitor TTV secara rutin
2. Saturasi oksigen 5. Monitor status pernafasan terkait dengan adanya
3. Capillary refill gejala gagal jantung
4. Wajah pucat 6. Monitor keseimbangan cairan
7. Monitor sesak napas, takipnea, ortopnea
8. Edukasi keluarga agar dapat menenangkan bayi
saat menangis atau agar bayi merasa tenang
9. Edukasi keluarga untuk pembatasan aktivitas
seperti saat menyusui, harus memantau jika bayi
terlihat kelelahan
10. Kolaborasi pemberian terapi jantung
Pengaturan Hemodinamik
1. Lakukan penilaian komprehensif terhadap status
hemodinamik
2. Eduksai keluarga untuk menurunkan kecemasan
3. Lakukan auskultasi paru
4. Berikan obat inotropic
5. Tinggikan kepala tempat tidur
6. Tinggikan kaki tempat tidur
7. Monitor urine output
4 Ketidakefektifan Perfusi jaringan: Perifer Pengaturan hemodinamik
perfusi jaringan 1. Pengisian kapiler jari 1. Lakukan pemeriksaan hemodinamik (denyut
perifer 2. Pengisian kapiler jari kaki nadi, tekanan darah) dengan tepat
3. Kekuatan denyut nadi brakialis kiri 2. Identifikasi adanya tanda dan gejala peringatan
4. Kekuatan denyut nadi brakialis kanan dini sistem hemodinamik yang dikompromikan
5. Rubor (dipsneu, orthopneu, palpitasi, edema, perubahan
6. Edema perifer berat badan tiba-tiba)
3. Pertimbangkan status volume (apakah
hipervolemi/hipovolemi atau cairan seimbang)
4. Kolaborasi obat inotropik positif, obat
kontraktilitas, vasodilator dan kontriktor
5. Tinggikan kepala tempat tidur
6. Berkolaborasi dengan dokter sesuai indikasi
7. Edukasi keluarga untuk memantau status
hemodinamik
8. Tinggikan kaki tempat tidu
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M.R. et al., (2014). Aspect of thrombolytic therapy: A review. Scientific World
Journal, (1).
Antman E, Loscalzo J. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In D LK, editor.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th ed. New York: McGraw- Hill
Education; 2015. p. 1599-1611.
Antmann, E., Braunwald, E. & Loscalzo, J., (2010). ST Segment Eelevation Myocardial
Infarction. In Harisson’s Cardiovascular Medicine. New york: Mc Graw Hill Inc.
Baskin, J. et al., (2012). Thrombolytic therapy for central venous catheter occlusion.
Haematologica, 97(5), pp.641- 50.
Bendary, A., Tawfik, W., Mahrous, M. & Salem, M., (2017). Fibrinolytic therapy in
patients with ST-segment elevation myocardial infarction: Accelerated versus
standard Streptokinase infusion regimen. Journal of Cardiovascular and Thoracic
Research, 9(4).
Candelise, L. et al., (1996). Thrombolytic therapy From myocardial to cerebral
infarction. Ital. J. Neurol. Sci, 17, pp.5-21.
Chang, L. & Yeh, R., (2014). Evaluation and Management of ST-elevation Myocardial
Infarction and Shock. European Cardiology Review, 9(2), pp.88-91.
Churchhouse, A. & Ormerod, J., (2017). Infark Miokard Akut. In H. Kalim, ed.
Kardiologi dan Kelainan Vaskular. 1st ed. Singapore: Elsevier. pp.177-93.
Daga, L.C., Kaul, U. & Mansoor, A., (2011). Approach to STEMI and NSTEMI.
SUPPLEMENT TO JAPI • decem ber 2011 • VOL. 59, 59, pp.19-25.
Dipiro, J. et al., (2009). Acute Coronary Syndrome. In Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. 8th ed. United States: McGraw-Hill Education.
pp.642-575.
Fox, K., White, H.D., Gersh, B. & Opie, L.H., (2013). Antithrombotic Agents: Platelet
Inhibitors, Acute Anticoagulants, Fibrinolytics, and Chronic
Anticoagulants. In Drugs For The Heart. Eighth Edition ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier Inc. pp.378-87.
Ghaffari, S., Kazemi, B. & Golzari, I.G., (2013). Efficacy of a New Accelerated
Streptokinase Regime in Acute Myocardial Infarction: A Double Blind
Randomized Clinical Trial. Cardiovascular Therapeutics, 31(1).
GISSI-2, (1990). GISSI-2: A factorial randomised trial of alteplase versus streptokinase
and heparin versus no heparin among 12 490 patients with acute myocardial
infarction. THE LANCET, 336.
Gulati, R. & Gersh, B.J., (2009). Antithrombotic Therapy for the Prevention of
Reinfarction After Reperfusion Therapy: The Price of Success. Revista Española
de Cardiología (English Edition), 62(5).
Hendersoni, M., Carberry, J. & Colin, B., (2019). Targeting an Ischemic Time Journal
of the American Heart Association, 8, pp.1-4.
Hermanides, R.S., Kilic, S. & Van’t Hof, A.W.J., (2018). Optimal pharmacological
therapy in ST-elevation myocardial infarction—a review: A review of
antithrombotic therapies in STEMI. Neth Heart Journal, 26(6).
Ibanez, B. et al., (2018). 2017 ESC
Guidelines for themanagement of acutemyocardial infarction in patients presenting with
ST-segment elevation. European Heart Journal, 39, pp.119-77.
Jinatongthai, P. et al., (2017). Comparative efficacy and safety of reperfusion therapy
with fibrinolytic agents in patients with ST-segment elevation myocardial
infarction: a systematic review and network meta- analysis. Lancet, 390(10096).
Kasper, D.L. et al., (2016). ST-Segmen Elevation Miocardial Infarction. In Harrison's
Manual Of Medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill Education. pp.658-67.
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan:
Penyakit Tidak Menular. Jakarta:Kementrian Kesehatan RI
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI:
Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta:Kementrian Kesehatan RI
Kowalak , Jennifer .2011.Buku Ajar Patofisiologi.Jakarta:EGC
Laksono, B.B., (2015). Literatur Review Efektifitas Terapi Dan PPCI (Primary
Percutaneus Corornary Intervention) Sebagai Alternative Terpi Revaskulerisasi
Pada Acute Coronary Syndrome (ACS). Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, 3(3).
Nazari, J., Davidson, R., Kaplan, K. & Fintel, D., (1987). Adverse Reactions to
Thrombolytic Agents Implicationsfor Coronary Reperfusion Following
Myocardia lInfarction. Medica lToxicology, 2, p.27286.
Newby, D.E., Grubb, N.R. & Bradbury, A., (2010). Cardiovascular Disease. In
N.R. Colledge, B.R. Walker & B.H. Ralston, eds. Davidson's Principle and Practice of
Medicine. 21st ed. Edinburgh: Elsevier. pp.577-98.
O’Gara, P.T. et al., (2013).2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary.
Circulation, 127(4).
Pandie, S., Hellenberg, D., Hellig, F. & Ntsekhe, M., (2016). Approach to chest pain
and acute myocardial infarction. South African Medical Journal, 106(3).
PERKI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia., (2015). Pedoman
Penatalaksanaan SIndrom Koroner Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia.
PERKI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia., (2018). Pedoman
Penatalaksanaan SIndrom Koroner Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia.
https://inaheart.org/wp-content/uploads/2021/07/Buku-ACS-2018.pdf
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik (1st ed.). DPP PPNI.
PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan.
Pu, J. et al., (2017). Efficacy and Safety of a Pharmaco-Invasive Strategy With Half-
Dose Alteplase Versus Primary Angioplasty in ST-Segment–Elevation
Myocardial Infarction. Circulation, 136.
Rathore, .V., Singh, N. & Mahat, R.K., (2018). Risk Factors for Acute Myocardial
Infarction: A Review. EJMI, 2(1), pp.1-7.
Sampson, A.J., Paul, T. & Stouffer, G.A., (2015). Pharmacological Therapy in The
Management of Acute Coronary Syndromes. In H. Wang & C. Patterson, eds.
Atherosclerosis: Risks, Mechanisms, and Therapies. First Edition ed. NC, USA:
John Wiley & Sons, Inc. pp.517-31.
Sekhar, G.R. et al., (2017). A Review on Thrombolytic Therapy used in Myocardial
Infarction (Streptokinase vs Tenecteplase). Int. J. Pharm. Sci. Rev. Res,
45(2), pp.29-32.
The GUSTO, I., (1993). An international randomized trial comparing four thrombolytic
strategies for acute myocardial infarction. N Eng J Med, 329(10), pp.673– 682.
Thomas, K.N. & Christoph, B., (2015). Thrombolytic Agents And Their Role In
Clinical Medicine. BMJ
Tumade B, Jim EL, Joseph VF., (2016) Prevalensi sindrom koroner akut di RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014. Jurnal
e-Clinic (eCl); 4(1): p. 223-230.
Varma, A., Chillawar, S., Kamble, T. & Acharya, S., (2016). Clinical Markers of
Reperfusion in Patients with Acute Myocardial Infarction and Its Prognostic
Significance. Int J Recent Surg Med Sci 2016;2(2):90-95., 02(02).
Vivek, L., (2017). Fibrinolytic Drug Therapy in the Management of Intravascular
Thrombosis, Especially Acute Myocardial Infarction - A Review. J of Pharmacol
& Clin Res, 2(4), pp.001- 05.
Werf, V.d., (2012). Recommendations for an efficient and safe use of fibrinolytic
agents. The Bangkok Medical Journal, 3, pp.68-78.

Anda mungkin juga menyukai