Disusun Oleh:
Kelompok II
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan karunia-Nya, kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fibrinolitik”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas presentasi kasus
pelatihan keperawatan kardiologi tingkat dasar. Dengan adanya makalah ini ,
diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para peserta pelatihan serta seluruh
tenaga kesehatan khususnya perawat yang ada di Indonesia. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada bapak dan ibu,
serta teman-teman seperjuangan pelatihan kardiologi tingkat dasar dan semua pihak
yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung pada
penulisan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca
makalah ini, sehingga dapat memperlancar dan mempermudah proses belajar
mengajar. Makalah ini jauh dari kata sempurna, Untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran dalam penyempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu jenis penyakit jantung koroner adalah acute ST Elevation Miocardial
Infarction (acute STEMI). Infark miokard adalah gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mengalami kekurangan oksigen/hipoksia.
Sedangkan acute STEMI adalah rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat
aliran darah koroner oleh proses degenerative yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan
ditandai dengan peningkatan pada enzim jantung dan terdapatnya ST elevasi pada
pemeriksaan EKG. Menurut Kowalak (2011) menyebutkan STEMI adalah cermin dari
pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darah benar-
benar berhenti, otot jantung yang divaskularisasi tidak dapat nutrisi oksigen dan mati.
Penelitian Achari et al (2008) menyebutkan bahwa 435 orang (50,46%)
mortalitas dan tingkat kejadian terjadi pada pasien dengan infark di lokasi anterior.
Mortalitas terjadi dikarenakan salah satu terjadinya komplikasi dari STEMI yang dapat
meningkatkan angka mortalitas adalah aritmia. Aritmia yang mengancam jiwa
merupakan aritmia yang disertai dengan gangguan hemodinamik yang bila tidak segera
dilakukan terapi mengakibatkan ancaman jiwa dengan gejala klinis yang sering
dijumpai kesadaran menurun, cardiac arrest, kejang, decompensation cordis, dan
apnea. Hal ini dipaparkan oleh Anggraini (2016) dalam penelitiannya yang menyatakan
bahwa kejadian aritmia pada pasien STEMI berjumlah 9 responden (81,8%) dari 17
reponden dan hanya 6 responden yang tidak mengalami aritmia, hal ini membuktikan
bahwa komplikasi aritmia banyak terjadi pada pasien yang terdiagnosis STEMI.
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting dilakukan baik dengan
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau farmakologis, direkomendasikan diberikan
dalam 12 jam sejak awitan gejala (PERKI, 2018). Hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan terapi fibrinolitik diantaranya menilai waktu dan resiko, serta menentukan
pilihan antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus elevasi segmen ST.
Kegagalan terapi fibrinolitik (failed trombolitik) ditandai dengan hemodinamik tidak
stabil, gejala nyeri dada yang tidak membaik, dan gambaran EKG tidak dijumpai
penurunan elevasi segmen ST >50%.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik menyusun laporan ilmiah akhir tentang
asuhan keperawatan pada pasien dengan pemberian terapi fibrinolitik di RS Jantung
Jakarta.
2.1 Konsep
2.1.3 Patofisiologi
Mekanisme fibrinolitik
Mekanisme aksi dari fibrinolitik adalah streptokinase berikatan dengan plasminogen
dimana mengubah plasminogen menjadi plasmin. Sedangkan alteplase, urokinase, reteplase
dan tenecteplase bekerja dengan memecah plasminogen untukmenghasilkan plasmin dan
kemudian memecah clot yang kaya akan fibrin menjadi fibrin degradation product.
Sedangkan alfimeprase memecah fibrin secara langsung dan menghasilkan fibrin
degradation product (Baskin et al., 2012).
Fibrinolitik terbagi menjadi 2 yaitu agen yang tidak spesifik fibrin dan agen yang
spesifik fibrin. Dimana agen yang tidak spesifik fibrin adalah streptokinase dan urokinase
sedangkan yang spesifik fibrin adalah alteplase, Tenecteplase, dan reteplase. Fibrinolitik
yang direkomendasikan PERKI untuk STEMI adalah streptokinase, alteplase dan
Tenecteplase (PERKI, 2015).
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru,
hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural kadar troponin pada
pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan
infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya
menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini
dapat menetap hingga 2 minggu. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia,
pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6
jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari
4. Pemeriksaan Laboratorium
Kesatu - Streptokinase
- urokinase
Kedua - Recombinant tissue - Prourokinase (scum-PA)
plasminogen activator (t- - Sk-plasminogen activating
PA) complex (APSAC)
- Alteplase
Ketiga Tenecteplase
- Reteplase
- Monteplase
- Lanoteplase
- Pamiteplase
1. Streptokinase
2. Alteplase
Pemberian awal dilakukan dengan bolus kemudian diikuti dengan infus intravena
lambat karena waktu paruhnya yang sangat singkat. Karena waktu paruh alteplase yang
sangat singkat maka harus digunakan bersama dengan antikoagulan intravena untuk
menghindari reoklusi. Penggunaan tPA dapat menunjukan angka mortalitas 14% lebih
rendah (penurunan absolut 1%) dibandingkan dengan streptokinase. Alteplase lebih banyak
digunkaan pada pasien stroke iskemik dibandingkan pasien STEMI akut (Fox et al., 2013;
Vivek, 2017).
Dosis alteplase yang digunakan adalan infusan dengan dosis 100 mg selama 3 jam,
dimana 60 mg pada jam pertama (6-10 mg diberikan secara bolus), dan 20 mg selama jam
kedua, selanjutnya 20 mg pada jam ketiga. Untuk pasien dengan bobot tubuh lebih kecil
<65 kg maka dosis yang digunakan adalah 1,25 mg/kg adalah Seperti halnya fibrinolitik
lainnya penggunaan aspirin 300 mg harus diberikan sesegera mungkin dan diikuti
clopidogrel 75 mg per hari. Heparin intravena juga harus diberikan setidaknya setidak nya
selama 48 jam. (Foxet al., 2013).
Keuntungan dari tPA adalah dapat meningkatkan kelangsungan hidup, lebih baik
dibandingkan agen fibrinolitik lainnya, seperti streptokinase dan memiliki resiko yang
sedikit lebih tinggi terhadap pendarahan intracerebra. Agen fibrinolitik lainnya yang
merupakan analog dari tPA, seperti tenecteplase dan reteplase, memiliki waktu paruh
plasma lebih lama dari alteplase dan bisa diberikan secara bolus intravena. Tenecteplase
(TNK) sama efektifnya dengan alteplase dalam menurunkan angka kematian (Newby et al.,
2010).
3. Tenecteplase
Tenecteplase telah diuji secara ekstensif dalam uji klinis. Dalam ASSENT1
(assessment of safety and efficacy of a new thrombolytic agent) percobaan pada pasien
dengan infark miokard akut, single bolus dari tenecteplase terbukti bersifat aman sebagai
gold standart terapi trombolitik, dibandingkan rejimen accelerated alteplase (bolus awal
diikuti oleh infus lebih dari 90 menit). Dalam TIMI-10b (Thrombolysis In Myocardial
Infarction) percobaanpemberian dosis bolus tunggal tenectplase 40 mg selama memiliki
rata-rata kekuatan yang sama dengan pemberian accelerated alteplase selama 90 menit.
Dalam ASSENT2 Trial tenecteplase dan alteplase keduanya memiliki angka mortalitas
yang sama setelah 30 hari. Seperti dengan reteplase, tenecteplase dibandingkan dengan
alteplase keduanya memiliki efikasi yang sama dan tenecteplase lebih superior ketika
diberikan dalam dosis bolus tunggal (Thomas & Christoph, 2015)
4. Reteplase
Kasus kematian dengan penggunaan reteplase dan streptokinase bersifat sama atau
mirip begitu pula dengan resiko terjadinya stroke reteplase serupa dengan alteplase (Fox et
al., 2013). Satu-satunya keunggulan reteplase dibandingkan Alteplase adalah duration of
action dari reteplase lebih lama dan pemberiannya juga secara bolus, sehingga tidak
membutuhkan infus intravena. Namun, spesifisitasnya untuk plasminogen terikat fibrin
bersifat mirip dengan alteplase (Vivek, 2017).
Reteplase telah disetujui untuk pengobatan trombolitik infark miokard akut. Dalam
Rapid I (Recombinant Plasminogen Activator Angiographic Phase II international Dose
Finding Study). Pemberian reteplase lebih unggul darialteplase (diberikan lebih dari tiga
jam) dengan patensi reteplase dicapai lebih awal dan lebih sering dibandingkan accelerated
alteplase (lebih dari 1,5 jam).
Namun menurut GUSTO-III menunjukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal
mortalitas setelah 30 hari antara reteplase dengan alteplase. Kesimpulannya reteplase
dibandinkan dengan alteplase keduanya memiliki efikasi yang sama dalam reperfusi dan
retelpase lebih unggul ketika diberikan dalam bolus ganda (Thomas & Christoph, 2015).
1. Nyeri Akut b.d.agen cedera kimiawi (iskemik) (Nyeri dada berhubungan dengan
tidak adekuatnya perfusi otot jantung akibat ketidakseimbangan suplay dan
demand oksigen)
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan efek samping antikoagulan (perubahan
status koagulasi efek terapi fibrinolitik)
3. Pola nafas tidak efektif b.d. fatigue (kelemahan)
4. Penurunan curah jantung
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
6. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
7. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan
2.2.3 Perencanaan
No Diagnosa Perencanaan Implementasi