Oleh Kelompok 6 :
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas dari mata kuliah keperawatan
komunitas 2.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan karena adanya
pandemi covid-19 yang menyebabkan keharusan untuk menjaga jarak sehingga minim
informasi yang kami dapat dari masyarakat dan minimnya observasi, namun berkat bimbingan,
petunjuk, serta dorongan dari pihak terkait, maka laporan ini dapat diselesaikan dengan baik,
untuk ini kami menyampaikan terimakasih kepada:
Demikian semoga setiap bantuan yang telah diberikan dapat menjadi ladang kebaikan
serta balasan pahala dari ALLAH SWT atas segala amal yang telah diberikan dan semoga
laporan ini berguna baik bagi diri kami sendiri maupun pihak lain yang memanfaatkannya.
Penyusun
DAFTAR ISI
i
HALAMAN
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR......................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
I.1 Latar Belakang...................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
I.3 Tujuan Penelitian................................................................................................3
I.4. Manfaat Penelitian.............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................5
II.1 Asuhan Keperawatan Agregat Komunitas........................................................5
II.1.1 Pengertian Asuhan Keperawatan Agregat (kelompok khusus) Komunitas
II.1.2 Aspek-aspek Asuhan Keperawatan Agregat Komunitas...................5
II.1.3 Dampak Asuhan Keperawatan Agregat Komuntias..........................5
II.2 Lansia Dengan Demensia.................................................................................6
II.2.1 Pengertian Lansia Dengan Demensia................................................6
II.2.2 Perubahan aspek-aspek kognitif pada penuaan..................................7
II.2.3 Macam-macam Demensia................. ................................................10
II.2.4 Dampak Demensia..............................................................................11
II.3 Lansia Dengan Inkontensia Urin......................................................................11
II.3.1 Pengertian Lansia Dengan Inkontensia Urin.....................................11
II.3.2 Pengelompokan Inkontensia Urin......................................................11
II.3.3 Etiologi Inkontinensia Urin ...............................................................12
II.3.4 Fisiologi dan Patofisiologi Berkemih................................................13
II.3.5 Diagnosis Inkontinensia Urin............................................................14
II.3.6 Dampak Inkontensia Urin.................................................................15
ii
BAB IV Penutup..................................................................................................................31
IV.1 Kesimpulan......................................................................................................31
IV.2 Saran................................................................................................................31
Daftar Pustaka......................................................................................................................33
iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Lansia merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No
13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang
bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang
Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan
usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak
diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut
usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa
(Kholifah,2016).
WHO mengatakan di kawasan Asia Tenggara populasi Lansia sebesar 8% atau sekitar
142 juta jiwa. Pada tahun 2050 diperkirakan populasi Lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun
ini. Pada tahun 2000 jumlah Lansia sekitar 5,300,000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan pada
tahun 2010 jumlah Lansia 24,000,000 (9,77%) dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan
jumlah Lansia mencapai 28,800,000 (11,34%) dari total populasi. Sedangkan di Indonesia
sendiri pada tahun 2020 diperkirakan jumlah Lansia sekitar 80.000.000 (Kemenkes RI, 2020).
Di abad ke-21 tantangan khusus bidang kesehatan dari terus meningkatnya jumlah Lansia
yaitu timbulnya masalah degeneratif dan Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti diabetes,
hipertensi, dan gangguan-gangguan kesehatan jiwa yaitu depresi, demensia, gangguan cemas,
sulit tidur. Penyakit-penyakit tersebut, akan menimbulkan permasalahan jika tidak diatasi atau
tidak dilakukan pencegahan, karena ini akan menjadi penyakit yang bersifat kronis dan multi
patologis (Kemenkes RI, 2020).
Tahap usia lanjut merupakan tahap di mana terjadi penurunan fungsi tubuh. Penuaan
yaitu perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,
yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan
dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
1
dan jaringan tubuh lainya. Kemampuan regeneratif pada lansia terbatas, mereka lebih
rentan terhadap berbagai penyakit (Kholifah, 2016). Penyakit pada lansia menyebabkan
kemunduran dari segi fisik dan juga segi kognitif. Salah satu penyakit yang diderita pada lansia
dalam segi kognitif dan fisik yaitu demensia dan inkontensia urin.
Demensia merupakan kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya, sehingga
mengganggu aktivitas sosial dan pekerjaannya. Pada demensia juga terdapat gangguan kognisi
lain seperti bahasa, orientasi, kemampuan membuat keputusan, berpikir abstrak, gangguan emosi
dan perilaku (Sigalingging et.al, 2020 ). Selain demensia penyakit inkontensia urin juga salah
satu penyakit degeneratif yang juga diderita pada lansia. Menurut Juananda, et al (2017).
Inkontinensia urin (IU) adalah salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada lansia.
Hal tersebut jarang disampaikan oleh pasien maupun keluarga karena dianggap memalukan
(tabu) atau wajar terjadi pada lansia sehingga tidak perlu diobati. IU diketahui bukan sebagai
penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sosial,
psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup. IU merupakan keluarnya urin tidak disadari
dan pada waktu yang tidak diinginkan (tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang
mengakibatkan masalah sosial dan higienisitas penderitanya
Asuhan keperawatan merupakan tindakan perawat dalam memberikan pelayanan
kesehatan secara kolaboratif yaitu bekerjasama dengan tim medis lainnya. Hal ini dilakukan
untuk mewujudkan asuhan keperawatan yang Holistic dan menyeluruh serta menjadi tanggung
jawab perawat dalam tatanan pelayanan. Asuhan keperawatan terdiri dari beberapa tahap. Yang
pertama di lakukan yaitu pengkajian yang berguna untuk mengumpulkan data baik secara
subjektif maupun objektif. Setelah di lakukan pengkajian, tahap selanjutnya adalah menentukan
diagnosa keperawatan (Berutu.R.J.B, 2020). Tujuan asuhan keperawatan ini ditujukan khususnya
untuk memberikan pelayanan keperawatan kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga
dalam lanjut usia (lansia) yang mengalami masalah kesehatan akibat proses penuaan (proses
degeneratif) menggunakan pendekatan asuhan keperawatan pada gerontik serta melakukan
asuhan keperawatan komunitas dengan berbagai agregat (berdasarkan setting tempat, penyakit,
usia) dengan pendekatan komunitas sebagai mitra (community as partner).
2
I.2 Rumusan Masalah
Asuhan keperawatan yang seperti apa saja yang lebih tepat diaplikasikan seorang perawat
terhadap lansia dengan demensia dan inkontensia urin?
I.3 Tujuan Penelitian
Berikut ini merupakan tujuan dalam penelitian, yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang asuhan keperawatan pada agregat komunitas lansia dengan
demensia .
2. Untuk mengetahui tentang asuhan keperawatan pada agregat komunitas lansia dengan
inkontensia urin.
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat Praktis
Bagi masyarakat:
1. Memberikan pengetahuan dan wawasan pada mahasiswa IKBIS mengenai asuhan
keperawatan pada agregat komunitas lansia dengan demensia dan inkontensia urin.
2. Mahasiswa memiliki kemampuan menyusun rencana asuhan keperawatan komunitas yang
berfokus pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit minimal pada area sekolah
dan kesehatan kerja tersebut dengan menggunakan langkah proses keperawatan komunitas
dan pelaksanaannya menggunakan pembelajaran berbasis projek Pengabdian Masyarakat.
3
Salah satu persoalan yang paling sering dijumpai para lansia adalah Inkontinensia Urin.
Inkontinensia urin merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh defek spingter kandung kemih
atau disfungsi neurologis yang menyebabkan hlangnya control terhadap buang air kecil (Yu B
et.al, 2015 ;. Silay K et.al, 2016). Masalah inkontinensia urin ini bukan saja menimbulkan
persoalan fisik melainkan menyebabkan masalah psikologis, social dan
ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas hidup lansia7,3.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berikut merupakan beberapa aspek dari Asuhan Keperawatan Agregat Komunitas, yaitu:
1. Model self-care
Menurut Dorothy Orem dalam Kholifah dan Widagdo (2016) Self-care kemandirian
untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan komunitas dalam
keadaan, baik sehat maupun sakit.
2. Model health-care
Menurut Neuman dalam Kholifah dan Widagdo (2016) model health-care merupakan
model konsep yang menggambarkan aktifitas keperawatan yang ditujukan kepada
penekanan penurunan stress dengan memperkuat garis pertahanan diri secara fleksibel
atau normal maupun resisten dengan sasaran pelayanan adalah komunitas.
5
1. Terdapat pengaruh positif dan signifikan pengkajian terhadap kepuasan pasien rawat
inap Puskesmas Takalala Kabupaten Soppeng. Sehingga bila pengkajian baik maka akan
memberikan atau meningkatkan kepuasan pasien rawat inap puskesmas Takalala
kabupaten
Soppeng.
2. Terdapat pengaruh negatif dan signifikan diagnosa terhadap kepuasan pasien rawat
inap Puskesmas Takalala Kabupaten Soppeng. Sehingga bila tahap diagnosa terkait
masalah kesehatan pasien dijelaskan secara terperinci kepada pasien maka akan
menurunkan kepuasan pasien rawat inap puskesmas Takalala kabupaten Soppeng karena
tingkat stress pasien semakin bertambah jika mengetahui masalah kesehatannya.
3. Terdapat pengaruh positif dan signifikan Intervensi terhadap kepuasan pasien rawat
inap Puskesmas Takalala Kabupaten Soppeng. Sehingga bila intervensi diterapkan
dengan baik maka akan memberikan atau meningkatkan kepuasan pasien rawat inap
puskesmas Takalala kabupaten Soppeng.
4. Terdapat pengaruh positif dan signifikan implementasi terhadap kepuasan pasien rawat
inap Puskesmas Takalala Kabupaten Soppeng. Sehingga bila pelaksanaan implementasi
diterapkan dengan baik maka akan memberikan atau meningkatkan kepuasan pasien
rawat inap puskesmas Takalala kabupaten Soppeng.
5. Terdapat pengaruh positif dan signifikan evaluasi terhadap kepuasan pasien rawat inap
Puskesmas Takalala Kabupaten Soppeng. Sehingga bila evaluasi diterapkan dengan baik
maka akan memberikan atau meningkatkan kepuasan pasien rawat inap puskesmas
Takalala kabupaten Soppeng.
6
sedemikian beratnya, sehingga mengganggu aktivitas sosial dan pekerjaannya. Pada
demensia juga terdapat gangguan kognisi lain seperti bahasa, orientasi, kemampuan
membuat keputusan, berpikir abstrak, gangguan emosi dan perilaku (Sigalingging et.al,
2020 ).
7
c.Penurunan aliran darah ke otak
Aliran darah ini berfungsi sangat vital sekali membawa oksigen dan nutrisi yang
mengaliri otak.
d.Kehilangan dan penyusutan neuron atau saraf
Neuron berfungsi untuk menghantarkan impuls listrik dari satu tempat ke tempat
lainnya.
8
e.Penurunan neurotransmitter
Neuritransmitter yaitu suatu zat kimia yang berfungsi untuk menghubungkan antara
otak ke seluruh jaringan saaf dan mengendalikan beberapa fungsi tubuh. Jika
neuritransmitter ini mengalami penurunan maka infomasi tidak akan terserap
seluruhnya dan mengalami penurunan informasi.
f.Akumulasi lipofuscin di sel saraf
9
Memori sistem adalah untuk menyimpan informasi otak.
Memori dibagi menjadi 2, yaitu:
1.Primary Memory : Ingatan jangka pendek
2.Secondary Memory : Ingatan jangka panjang
Pada lansia yang mengalami penurunan kognitif adalah di bagian memori jangka
pendek sedangkan di memori jangka panjang beberapa masih bagus. Hal ini diartikan
masih mudah mengingat peristiwa namun tidak mengingat tempat peristiwa tersebut.
3. Psycological development (Perkembangan psikologi)
Secara psycological development juga terjadi penurunan kognitif . Kemampuan
kognitif berhubungan dengan kemampuan dalam mengambil keputusan dan
memecahkan masalah setiap hari. Hal ini dalam asuhan keperawatan agregat komunitas
perawat dapat melibatkan keluarga atau lansia untuk mengambil suatu keputusan terkait
perawatan dirinya.
10
80% penyakit parkinson dialami oleh pemilik syndrom demensia
Gejala sama dengan Demensia Lewy-body, gangguan kognitif dan
psikiatrik timbul lebih lambat.
Demensia Koteks Posterior
Lebih muda (50-60 tahun)
Visual agnosia (sukar mengenali wajah, obyek, apraksia, akalkulia, dan
alexia)
Hanya mengingat “Early on memory”
Lain-lain yang jarang :
Demensia alkoholi,
HIV dengan gangguan kognitif
Multiple sclerosis
Hidrosefalus,dll.
11
kelainan mendasar yang melatarbelakangi Inkontinensia urin kronik ( persisten ) yaitu :
menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena kegagalan
pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor. Inkontinensia urin
kronik ini dikelompokkan lagi menjadi 4 tipe (stress, urge, overflow, fungsional).
Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tipe Inkontinensia urin kronik atau
persisten :
i. Inkontinensia urin tipe stress : Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak
terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar
panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk,
mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga
perut. Pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi ( misalnya dengan Kegel exercises, dan
beberapa jenis obatobatan ), maupun dengan operasi.
ii. Inkontinensia urin tipe urge : timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang
tidak stabil, yang mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai
dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul.
Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin kencing yang mendadak ( urge ), kencing
berulang kali ( frekuensi ) dan kencing di malam hari ( nokturia ).
iii. Inkontinensia urin tipe overflow : pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya
yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor
kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat
penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang
tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing ( merasa urin masih tersisa
di dalam kandung kemih ), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
iv. Inkontinensia urin tipe fungsional : terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi
fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal
ini terjadi pada demensia berat, gangguan mobilitas, gangguan neurologik dan psikologik
( Setiati et al, 2007 ; Iglesias et al, 2000 ).
II.3.3 Etiologi Inkontinensia Urin
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain disebabkan melemahnya otot dasar panggul, kebiasaan
mengejan yang salah ataupun karena penurunan estrogen. Kelemahan otot dasar panggul
12
dapat terjadi karena kehamilan, setelah melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause,
usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otototot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya Inkontinensia urin.
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih
(uretra), sehingga menyebabkan terjadinya Inkontinensia urin. Faktor risiko yang lain
adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan Inkontinensia urin. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami Inkontinensia urin, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu,
adanya kontraksi ( gerakan ) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Resiko Inkontinensia urin meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa
tubuh yang lebih besar, riwayat histerektomi, infeksi urin, dan trauma perineal. Penyebab
Inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah,
efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan /
keinginan ke toilet ( Martin dan Frey, 2005 ; Setiati dan pramantara 2007 ). Menurut
Setiati dan Pramantara ( 2007 ) pada usia lanjut di masyarakat, penyebab Inkontinensia
urin dikaitkan dengan depresi, transient ischaemic attacks dan stroke, gagal jantung
kongestif, konstipasi, Inkontinensia feses, obesitas, penyakit paru obstruktif kronik, dan
gangguan mobilitas. Empat penyebab pokok Inkontinensia urin yang perlu dibedakan
yaitu : gangguan urologi, neurologis, fungsional / psikologis, dan iatrogenik/lingkungan.
Mengetahui penyebab Inkontinensia urin penting dalam menentukan penatalaksanaan
yang tepat.
13
bawah kontrol sistem saraf otonom. Ketika otot detrusor berelaksasi maka akan terjadi
proses pengisian kandung kemih sebaliknya jika otot ini berkontraksi maka proses
berkemih ( pengosongan kandung kemih ) akan berlangsung. Kontraksi otot detrusor
kandung kemih disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis, dimana aktivitas ini dapat
terjadi karena dipicu oleh asetilkoline. Jika terjadi perubahan-perubahan pada mekanisme
normal ini maka akan menyebabkan proses berkemih terganggu.
Pada usia lanjut baik wanita maupun pria terjadi perubahan anatomis dan
fisiologis dari sistem urogenital bagian bawah. Perubahan tersebut berkaitan dengan
menurunnya kadar estrogen pada wanita dan hormon androgen pada pria. Perubahan
yang terjadi ini dapat berupa peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen pada dinding
kandung kemih yang mengakibatkan fungsi kontraktil dari kandung kemih tidak efektif
lagi. Pada otot uretra terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa, atrofi
mukosa dan penipisan otot uretra. Keadaan ini menyebabkan tekanan penutupan uretra
berkurang. Otot dasar panggul juga mengalami perubahan berupa melemahnya fungsi
dan kekuatan otot. Secara keseluruhan perubahan yang terjadi pada sistem urogenital
bagian bawah akibat proses menua merupakan faktor kontributor terjadinya Inkontinensia
urin ( Setiati dan Pramantara, 2007 ).
II.3.5 Diagnosis Inkontinensia Urin
Diagnosis Inkontinensia urin bertujuan untuk :
1) Menentukan kemungkinan Inkontinensia urin tersebut reversibel.
2) Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus
3) Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku
Menurut Setiati dan Pramantara ( 2007 ) diagnosis Inkontinensia urin dilakukan
lewat observasi langsung serta mengajukan pertanyaan penapis. Pertanyaan penapis
diagnosis Inkontinensia urin ini berisi riwayat obstreti dan ginekologi, gejala dan keluhan
utama gangguan berkemih serta riwayat penyakit. Sandvix Severity Index ( SSI ) dan The
Three Incontinence Questions ( 3IQ ) merupakan salah satu contoh alat ukur yang berisi
pertanyaan penapis diagnosis Inkontinensia urin. Derajat / tingkatan Inkontinensia urin
dapat diketahui dengan menggunakan skala SSI sedangkan tipe Inkontinensia urin dapat
diketahui dengan menggunakan 3IQ. Alat ukur 3IQ ini terdiri dari tiga pertanyaan dengan
pilihan jawaban dimana dari masing-masing pilihan jawaban tersebut merupakan
14
petunjuk dari gejala ( symptom ) tipe Inkontinensia urin yang terjadi. SSI terdiri dari dua
pertanyaan dimana hasil penilaian sehubungan dengan Inkontinensia urin yang terjadi
didapatkan dengan mengalikan skor jawaban pertanyaan pertama dengan skor pertanyaan
kedua.
Hasil pengelompokkannya adalah sebagai berikut :
1) Skor 1-2 : Slight incontinence
2) Skor 3-5 : moderate incontinence
3) Skor 6-8 : severe incontinence ( Brown et al, 2006 )
Dari pemeriksaan dengan menggunakan kuesioner diagnosis Inkontinesia urin
idealnya kita sudah dapat menentukan jenis dan tingkat Inkontinensia urin yang terjadi.
Sedangkan untuk mencapai tujuan diagnosis yang lebih komprehensif pemeriksaan
Inkontinensia urin dapat dilakukan lewat beberapa aspek seperti : riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik terarah, urinalisis, volume residu, urin pasca berkemih dan
pemeriksaan penunjang khusus ( Setiati dan Pramantara, 2007 ; Sandvix et al, 1995 ).
Menurut Martin dan Frey ( 2005 ) tahapan diagnostik Inkontinensia urin meliputi :
1) Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama. Hal-hal yang perlu
ditanyakan dalam anamnesis antara lain pola berkemih ( voiding ), frekuensi dan volume
urin, riwayat medis.
2) Pemeriksaan fisik meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi daerah genital dan
punggung
3) Pemeriksaan penunjang baik laboratorik maupun pencitraan, urinalisis, biakan urin dan
pemeriksaan kimia darah.
II.3.6 Dampak Inkontensia Urin
Dampak negatif dari inkontinensia urin yaitu penderita dijauhi orang lain karena berbau
pesing, minder, tidak percaya diri, timbul infeksi di daerah kemaluan, tidak nyaman dalam
beraktifitas termasuk dalam hubungan seksual yang akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup
(Soetojo,2009).
II.4 Asuhan Keperawatan dengan Pasien Demensia dan Inkontensia Urin
II.4.1. Pengertian Asuhan Keperawatan pada Pasien Lansia dengan Demensia dan
Inkontensia Urin
Asuhan keperawatan pada pasein lansia dengan emensia dan inkontensia merupakan
tindakan pemeberian pelayanan keperawtan berupa pengkajian, diagnosa, intervensi,
15
implementasi, sampai dengan evaluasi terhadap pasien lansia dengan penyakit demensia dan
inkontensia urin.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
16
III.1 Asuhan Keperawatan Lansia dengan Demensia
Tn.A umur 85 tahun dibawa oleh keluarganya ke psikogeriatrik ia dirawat karena
adanya gangguan kognitif, gejala yang muncul mudah lupa akan peristiwa yang baru saja
terjadi, keluarga mengatakan tidak mampu mengenali orang, tempat dan waktu Tn A sudah
menduda selama beberapa tahun dan memiliki 2 orang anak perempuan byang masing-
masing sudah mempunyai keluarga tetapi anaknya masih mengunjungi Tn. A selama
dirawat di psikogeriatrik 1 minggu 1 kali. Hasil pemeriksaan didapatkan TD ; 130/90
mmHg, S : 37°C, N : 80x/menit, RR : 22x/menit.
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 85 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Suku Bangsa : Indonesia
Status Perkawinan : Duda
Alamat : Ds. Ngudi, Peterongan, Jombang
Tanggal MRS : 12 Januari 2021
Orang terdekat yang dapat dihubungi
Nama : Ny. S
Hubungan dengan pasien : Anak
Alamat : Ds. Ngudi, Peterongan, Jombang
2. Riwayat Keluarga
Istri
Nama : Ny. D
Umur : 80 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Ds. Ngudi, Peterongan, Jombang
Status Kesehatan : Meninggal
Penyebab Kematian : Hipertensi
17
3. Riwayat Lingkungan
Tipe tempat tinggal : rumah sendiri
Jumlah penghuni rumah : 4 orang
Kondisi rumah : Bersih
4. Status Kesehatan
Status kesehatan yang lalu : tidak ada
Keluhan utama : Pasien mengatakan mudah llupa akan peristiwa yang baru saja
terjadi
Penyakit yang diderita : tidak ada
5. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Tingkat kesadaran : Composmentis
TTV
TD ; 130/90 mmHg
N : 88x/menit
S : 37x/menit
RR : 22x/menit
Kepala
- Inspeksi : tidak ada benjolan
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Rambut
- Inspeksi : beruban, bersih
- Palpasi : rambut kasar
Mata
- Inspeksi : simetris, konjungtiva merah muda, sklera tidak icterus, penglihatan
pandangan kabur.
Hidung
- Inspeksi : simetris, tidak ada secret
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Mulut
- Inspeksi : simetris, mukosa bibir lembab, tidak ada stomartitis.
18
Leher
- Inspeksi : simetris
- Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada bendungan vena
jugularis
Dada
- Inspeksi : simetris
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada tarikan intercostae
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : tidak ada suara tambahan (wheezing, ronchi)
Abdomen
- Inspeksi : simetris
- Palpasi : tidak ada pembesaran hepar, tidak ada nyeri tekan
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising, usus normal
Genetalia dan anus
- Inspeksi : bersih, tidak ada lesi, tidak ada hemoroid, tidak ada benjolan
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Ekstermitas
- Inspeksi ; simetris, tidak odem
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan
B. Analisa Data
19
- Pasien kehilangan kemampuannya
untuk mengenali wajah, tempat dan
objek yang sudah dikenalnya dan
kehilangan suasana keluarganya
- Pasien sering mengulang-ngulang
cerita yang sama karena lupa telah
menceritakannya
TTV ;
- TD : 130/90 mmHg
- S : 37°C
- N : 88x/menit
-
RR : 22x/menit
C. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan proses pikir sehubungan dengan degenerasi neuronal dan demensia
progresif
D. Intervensi Keperawatan
20
bingung dan membantu pasien
- Menunjukkan menyenangkan untuk mengingat
respons yang sesuai - Pertahankan
untuk stimuli visual jadwal sehari-hari
dan auditori. yang terartur
- Menunjukkan - Alat bantu
orientasi optimal mengingat sesuai
terhadap waktu, yang diperlukan
tempat dan orang 2. Tingkatkan isyarat Isyarat lingkungan
lingkungan akan meningkatkan
- Perkenalkan diri orientasi terhadap
perawat ketika waktu, tempat dan
berinteraksi orang, dan individu
dengan pasien. akan mengisi
- Panggil pasien kesenjangan ingatan
dengan dan berfungsi
menyebutkan sebagai pengingat
namanya
- Berikan isyarat
lingkungan untuk
orientasi waktu,
tempat dan orang.
E. Implementasi
21
degenerasi menyenangkan
neuronal - Mempertahankan jadwal sehari-hari yang
dan teratur
demensia - Memberikan alat bantu mengingat sesuai
progrsif yang diperlukan.
2. Meningkatkan isyarat lingkungan Pasien kooperatif
- Memperkenalkan diri perawat ketika
berinteraksi dengan pasien.
- Memanggil pasien dengan menyebutkan
namanya
- Memberikan isyarat lingkungan untuk
orientasi waktu, tempat dan orang
22
A. Pengkajian
1. Identitas klien dan penanggung jawab
a. Identitas klien
Nama : Ny. W
Tempat/Tanggal lahir : Solo, 12 Mei 1956
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Jalan Merdeka No. 5
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengatakan BAK terus-menerus, tidak bisa menahannya sehingga
mengompol.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus dengan
frekuensi lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien tidak bisa menahan kencingnya
untuk pergi ke toilet sampai klien mengompol. Klien mengaku mengurangi
minum dan menahan rasa haus.
c. Riwayat penyakit keluarga
Anak klien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang mengalami
penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
d. Riwayat psikologi
Klien merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan bau
kencingnya sangat menyengat.
e. Riwayat kehamilan
Klien memiliki 2 orang anak dan tidal pernah mengalami keguguran.
23
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit seperti ini.
2) Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan
Klien mengatakan belum berobat kemanapun saat mengalami penyakit ini.
3) Faktor-faktor resiko sehubungan dengan kesehatan
Klien mengatakan tidak tahu penyebab penyakit ini.
b. Pola aktivitas dan latihan
1) Sebelum sakit
Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi di tempat tidur √
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √
2) Saat sakit
Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi di tempat √
tidur
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √
Keterangan :
1 : Mandiri
2 : Dibantu sebagian
3 : Dibantu orang lain
4 : Dibantu orang lain dan peralatan
5 : Ketergantungan / tidak mampu
c. Pola istirahat dan tidur
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00 WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00 WIB
2) Saat sakit
24
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00 WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00 WIB
d. Pola nutrisi dan metabolik
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan lauk,
habis 1 porsi
b) Klien mengatakan minum 7 – 8 gelas sehari
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan lauk,
habis 1 porsi
b) Klien mengatakan minum 4 – 5 gelas sehari
e. Pola eliminasi
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat, bau khas
dan warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 2 – 6 kali sehari, warnanya kuning bening
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat, bau khas
dan warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 9 – 10 kali sehari, warnanya kuning keruh
dan bau urin menyengat.
f. Pola toleransi - koping
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan dapat melakukan aktivitas sehari-hari (menjahit).
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu jika keluar rumah karena sering
mengompol dan bau kencingnya sangat menyengat.
g. Pola hubungan peran
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan bisa berkumpul berbincang dengan keluarga dan
tetangganya dan menjahit.
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu untuk berkumpul berbincang dengan
tetanggannya dan sudah tidak bisa menjahit lagi.
h. Pola nilai dan keyakinan
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan bahwa ia beribadah 5 waktu sehari.
2) Saat sakit
Klien mengatakan dapat beribadah 5 waktu sehari dan berdoa meminta
kesembuhan oleh ALLAH untuk sabar dan pasrah akan kesembuhannya
4. Pengkajian fisik
25
a. Penampakan umum
Keadaan umum Klien tampak sakit sedang, klien tampak
lemas.
Kesadaran Composmentis
BB 71 kg TB : 155 cm
TD:160/90mmHg Suhu:370C RR:19x/me Nadi:90x/
nit menit
b. Kepala dan leher
1) Rambut
a) Inspeksi
Rambut klien tampak bersih, berwarna hitam dan putih dan potongan
rambut pendek.
b) Palpasi
Rambut klien tampak bersih, lembut dan tidak ada nyeri tekan.
2) Mata
a) Inspeksi
Bentuk mata simetris antara kanan dan kiri dan konjungtiva pucat
pandangan kabur dan berkunang-kunang.
b) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada mata.
3) Telinga
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi telinga simetris, tidak ada cairan yang keluar seperti
nanah atau darah.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada telinga.
4) Hidung
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi hidung simetris, tidak ada pendarahan dan tanda –
tanda infeksi.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada hidung.
5) Mulut
a) Inspeksi
Bentuk mulut simetris, lidahnya berwarna putih dan mukosa bibir
kering.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada bagian bibir.
6) Leher
a) Inspeksi
Pada leher terlihat normal dengan gerakan ke kanan dan ke kiri.
26
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada leher.
7) Dada
a) Inspeksi
Bentuk dada simetris antara kanan dan kiri.
b) Palpasi
Tidak ada benjolan dan nyeri tekan.
c) Perkusi
Tidak ada masalah.
d) Auskultrasi
Bunyi jantung normal.
8) Jantung
a) Inspeksi
Jantung tidak nampak dari luar.
b) Palpasi
Terjadi palpitasi jantung.
c) Perkusi
Tidak dilakukan pemeriksaan.
d) Aukultrasi
Detak jantung takikardi 90x/menit.
9) Abdomen
a) Inspeksi
Tampak simetris, tidak nampak lesi, bersih.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak ada pembesaran hepar.
c) Perkusi
Tidak flatulen.
d) Auskultrasi
Terdengar suara bising usus.
10) Inguinal dan genetalia
a) Inspeksi
Tidak tampak adanya pembengkakan.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan.
11) Ekstrimitas
a) Inspeksi
Bagian atas dan bawah tampak simetris, tidak ada deformitas,
pergerakan normal.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada ekstrimitas atas dan bawah.
c) Kekuatan otot
27
5 5
5 5
Keterangan :
0 : otot tak mampu bergerak.
1 : jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi.
2 : dapat menggerakan otot/bagian yang lemah sesuai perintah.
3 : dapat menggerakan otot dengan tahanan.
4 : dapat bergerak dengan melawan hambatan yang ringan.
5 : bebas bergerak dan dapat melawan hambatan.
B. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
.
1. DS : Gangguan fungsi kognisi Inkontinensia
- Klien mengatakan urinarius fungsional
kencing sebanyak
lebih dari 10 kali
dalam sehari.
- Klien mengatakan
bahwa dirinya
tidak bisa menahan
kencing untuk
sampai ke toilet.
DO :
- Klien sering
mengompol.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia urinarius fungsional berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif.
D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
. keperawatan
1. Inkontinensia Setelah dilakukan asuhan Jaga privasi klien saat
urinarius keperawatan selama 1x24 berkemih.
fungsional jam klien mampu
28
berhubungan mengontrol pola Modifikasi pakaian dan
dengan berkemih, dengan kriteria lingkungan untuk
gangguan : mempermudah akses ke
fungsi 1. Klien dapat toilet.
kognitif. merespon saat
kandung kemih Batasi intake cairan 2-3
penuh dengan jam sebelum tidur.
tepat waktu.
29
terlihat mengompol Intervensi dilanjutkan :
tetapi dalam jumlah - Memodifikasi
yang sedikit/jarang. pakaian dan
4. Menginstruksikan klien lingkungan untuk
untuk minum minimal mempermudah
1500 cc air per hari. akses ke toilet.
- Respon : Klien - Membatasi intake
mengatakan/tampak cairan 2-3 jam
tidak mengalami sebelum tidur.
dehidrasi karena output
berlebih.
BAB IV
Penutup
IV.1 Kesimpulan
30
bahasa, orientasi, kemampuan membuat keputusan, berpikir abstrak, gangguan emosi dan
perilaku (Sigalingging et.al, 2020 ). Selain demensia penyakit inkontensia urin juga salah satu
penyakit degeneratif yang juga diderita pada lansia. Menurut Juananda, et al (2017).
Inkontinensia urin (IU) adalah salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada lansia.
Hal tersebut jarang disampaikan oleh pasien maupun keluarga karena dianggap memalukan
(tabu) atau wajar terjadi pada lansia sehingga tidak perlu diobati. IU diketahui bukan sebagai
penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sosial,
psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup. IU merupakan keluarnya urin tidak disadari
dan pada waktu yang tidak diinginkan (tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang
mengakibatkan masalah sosial dan higienisitas penderitanya
Simpulan yang dapat ditarik dari serangkaian proses penyusunan makalah asuhan
keperawatan agregat komunitas lansia dengan demensia dan inkontensia urin yang merupakan
salah satu media mahasiswa untuk belajar memecahkan masalah yang ada di masyarakat dengan
melalui berbagai proses diagnosa dan analisis langsung dari permasalahan yang ada di tengah
masyarakat. Makalah ini juga sebagai salah satu prasarana yang paling tepat bagi mahasiswa
dalam menerapkan disiplin ilmu yang telah diterima selama proses perkuliahan di kampus.
Dengan adanya tugas makalah mahasiswa dapat memperoleh berbagai pengalaman terkait
dengan cara membantu memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
IV.2 Saran
Berakhirnya kegiatan pembuatan makalah ini, kami berharap banyak manfaat yang dapat
diambil bagi masyarakat dan khususnya mahasiswa IKBIS Surabaya. Dalam penulisan makalah
penelitian ini juga tak terlepas dari banyaknya kekurangan dikarenakan oleh berbagai macam
faktor keterbatasan waktu, pemikiran dan pengetahuan kami yang terbatas, oleh karena itu untuk
kesempurnaan makalah ini kami sangat membutuhkan saran-saran dan masukan yang bersifat
membangun kepada semua pembaca.
31
DAFTAR PUSTAKA
Astar. F. Tamsah. H, Kadir. I (2018). The influence of nursing care services on patient
satisfaction in Takalala community health service center district Soppeng. Vol. 1 no.2
Brown J.J., Bradley, C.S., Subak, L.L., Richter, H.E., Kraus, S.R. The Sensitivity and Specificity
of a Simple Test to Distinguish Between Urge and Stress Urinary Incontinence. 2006. 144 :
715-23.
32
Dyah Nastiti. 2015. Pengaruh Terapi Puzzle terhadap Tingkat Demensia Lansia di Wilayah
Caturharjo Bantul. http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t53521.pdf (diakses tanggal 18
Oktober 2016).
Erwanto. R, 2020. Asuhan Keperawatan lansia dengan Demensia (Pendekatan teori konsekuensi
Fungsional-Nanda-NOC-NIC). From : https://youtu.be/r5XJct_aLas
Ichwan. J (2019). Peran Internis Pada Tatalaksana Demensia. From :
https://www.papdi.or.id/pdfs/698/JUSRI%20ICHWANI_PERAN%20INTERNIS%20PADA
%20TATA%20LAKSANA%20DEMENSIA.pdf
Iglesias G.F.J., Caridad J.M, Martin J.P, Perez M.L. 2000. Prevalence and
Psychosocial Impact of Urinary Incontinence in Older People of Spanish Rural
Population. pp : 204-14.
Martin P.F. dan Frey R. J. 2005. Urinary Incontinence. http://www.healthline.com. ( 30 Januari
2009 )
Juananda, D. , Febriantara, D.(2017). Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Panti Werdha
Provinsi Riau Urinary Incontinence among Institutionalized Elderly in Riau Provinc.
Jurnal Kesehatan Melayu pISSN: 2597-6532.
Kemenkes R.I. (2020), Populasi lansia diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2020.
Retrieved from http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/aceh/populasi-lansia-
diperkirakan-terus-meningkat-hingga-tahun-2020
Kholifah, S.N., Widagdo, N. W. (2016). Keperawatan Gerontik Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Novalia. I dan M. Agustina, 2019. Modul pembelajaran keperawatan komunitas II
Sandvix H. et al .1995. Diagnostic Classification of Female Urinary Incontinence an
Epidemiological Survey Corrected for Validity. 48 : 339-43.
Setiati S., Kuntjoro H., Aryo G.R. 2007. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya.
Dalam : Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti
setiati. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta : FK UI. pp: 1335-39.
Setiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif.
Dalam : Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti setiati. Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta : FK UI.pp: 1392-95.
Sigalingging, G., Nasution, Z.,and Pasaribu, R. (2020) Harga diri (self esteem) lansia yang
mengalami demensia. Vol 14 no.1
33
Silay K, Akinci S, Ulas A, Yalcin A, Silay YS, Akinci MB, et al. Occult urinary incontinence in
elderly women. 2016;447–51.
Soetojo.(2009). Inkontinensia urin perlu penanganan multi disiplin. Diunduh dari
file://C:/Users/ok/DocumentsBlog Unair featuring Soetojo Fakultas
Kedokteran »INKONTINENSIA URIN PERLU PENANGANAN
MULTI DISIPLIN.htm) pada tanggal 22 februari 2014
Yu B, Xu H, Chen X, Liu L. ScienceDirect Analysis of coping styles of elderly women patients
with stress urinary incontinence. Int J Nurs Sci [Internet]. 2016;3(2):153–7.Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnss.2015.10.009
34