Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah PTM atau lebih banyak dikenal oleh masyarakat yaitu penyakit

tidak menular adalah salah satu penyebab tertingginya angka kematian di

dunia. Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena penyakit

tidak menular (PTM). Secara global PTM penyebab kematian nomor satu

setiap tahunnya adalah penyakit kardiovaskuler (Infodatin, 2018). Untuk

data di Indonesia prevelensi penyakit jantung di masyarakat semakin hari

semakin meningkat, prevelensi mencapai 7,2% (Kemenkes, 2018).

Salah satu jenis penyakit jantung yang paling banyak ditemui ialah

Acute Coronary Syndrome (ACS). ACS adalah penyakit yang disebabkan

oleh terjadinya arterosklerosis atau pembentukan plak pada pembuluh darah

yang mana akan menghambat proses aliran darah di miokard, ACS meliputi

UAP (Unstable Angina Pectoris), Stemi (Infark miokard dengan elevasi

segment ST) dan Nstemi (Infark miokard tanpa elevasi segment ST)

(Douglas, 2010).

Epidemiologi Infark Miokard Akut (IMA) secara global menunjukkan

insidensi Stemi menurun, sedangkan insidensi Nstemi meningkat. Sekitar 3

juta orang menderita STEMI, dan sekitar 4 juta orang menderita Nstemi

secara global. Setiap tahun, di Amerika Serikat terjadi IMA sekitar 650.000

kasus, sedangkan di Inggris sekitar 180.000 kasus. Di India, epidemiologi

IMA lebih tinggi akibat faktor genetik dan gaya hidup yaitu mencapai

64,37/1.000 orang.

1
2

Belum ada data epidemiologi khusus IMA di Indonesia. Pada laporan

riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung secara

umum di Indonesia berada pada angka 1,5%, termasuk IMA dan sindrom

koroner akut. Mortalitas pasien dalam 12 bulan pertama akibat henti jantung

mendadak setelah kejadian IMA berkisar 5−10%, di mana 50% pasien IMA

membutuhkan perawatan ulang di rumah sakit dalam rentang satu tahun

setelah serangan pertama (Halomoan, 2021).

Penyakit Nstemi disebabkan oleh obstruksi atau sumbatan yang terjadi

dikoroner sehingga akan terjadi penurunan suplai oksigen dan memperberat

kerja jantung (Starry, 2015). Obstruksi pada pasien Nstemi disebakan

karena adanya trombosis akut dan proses vasokonstriksi koroner. Terjadinya

trombosis akut diawali dengan ruptur plak aterom yang tidak stabil. Plak

tersebut akan mnyebabkan proses inflamasi dilihat dari jumlah makrofag

dan limfosit T (Hendriarto, 2014).

Faktor risiko Nstemi meliputi jenis kelamin, usia, riwayat keluarga

dengan kardiovaskuler serta adanya faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, hyperlipidemia,

diabetes melitus, gaya hidup dan merokok (Jeff C, 2010).

Gejala klinis pasien dengan Nstemi yang akan muncul pada

pemeriksaan penunjang ialah terjadinya perubahan hasil rekaman jantung

berupa adanya inversi pada gelombang T, munculnya depresi disegmen ST,

atau adanya elevasi segmen ST yang bersifat sementara. Kadang kadang

akan ditemukan hasil Elektrokardiografi (EKG) normal secara keseluruhan

namun untuk proses lanjut diagnosa yaitu terjadinya peningkatan pada hasil
3

labor berupa tromponin I ataupun tromponin T dimana ini merupakan enzim

yang berada pada jantung. Kemudian pada klien dengan angina tidak

terjadinya peningkatan pada enzim jantung, yang mana ini berbeda pada

pasien Nstemi (Alwi, 2010).

Selain terjadinya kelainan pada hasil EKG, Keluhan yang sering

muncul pada Nstemi adalah perasaan tidak nyaman (nyeri) dada yang

biasanya nyeri ini akan menjalar ke punggung, leher, bahu dan epigastrium

dimana kualitas nyeri ini seperti ditusuk- tusuk, diremas- remas, ditekan

atau bahkan sampai seperti ditindih. Selain perasaan nyeri klien biasanya

akan mengeluh mual, muntah, sesak atau dipsnea, sakit kepala, rasa

berdebar- debar, cemas bahkan sampai keringat dingin (Alwi, 2010).

Penatalaksanaan nyeri dada yang tepat pada pasien dengan Nstemi

sangat menentukan prognosis penyakit. Penatalaksanaan nyeri pada

Nstemidapat dilakukan melalui terapi medikamentosa dan asuhan

keperawatan. Perawat memiliki peran dalam pengelolaan nyeri pada pasien

dengan Nstemi. Intervensi keperawatan meliputi intervensi mandiri maupun

kolaboratif (Tri, 2015).

Rencana keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien Nstemi yaitu

berupa teknik nonfarmakologi, sedangkan intervensi kolaburatif berupa

pemberian farmakologis yaitu pemberian analgesik. Intervensi

nonfarmakologis mencakup terapi agen fisik dan intervensi perilaku

kognitif. Salah satu intervensi keperawatan nonfarmakologi yang digunakan

untuk mengurangi nyeri adalah dengan teknik relaksasi nafas dalam.

Penanganan nyeri bisa di laksanakan secara farmakologis dengan pemberian


4

obat analgesik dan penenang. Sedangkan secara non farmakologis yakni

dengan distraksi, relaksasi, kompres dingin atau panas, tarik nafas dalam

musik, imajinasi terbimbing, reiki, aromaterapi, relaksasi, hypnosis

(Rezkiyah, 2011, Hidayat, 2006).

Penelitian Rosidah (2016) Hasil dari penerapan teknik relaksasi napas

dalam yang diintervensikan selama 3 (tiga) hari didapatkan penurunan

tingkat nyeri yang bertahap yaitu pada hari pertama dari skala nyeri 6 (nyeri

sedang) menjadi skala nyeri 2 (nyeri ringan).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien Nstemi

(Non-ST segmen elevation myocard infarction) dengan intervensi

mengajarkan teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan skala

nyeri di Ruangan Flamboyan RSUD Raja Ahmad Tabib Tanjung

Pinang Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan

penyakit Nstemi

b. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan dari hasil

pengkajian pada pasien dengan penyakit Nstemi.

c. Mahasiswa mampu Menyusun intervensi dari diagnosa keperawatan

yang telah ditentukan pada pasien dengan penyakit Nstemi.


5

C. Manfaat

1. Bagi Profesi Keperawatan

Sebagai bahan masukan kepada Profesi Keperawatan yang dapat

menjadi bahan ajar untuk perbandingan dalam pemberian konsep

asuhan keperawatan secara teori dan praktik.

2. Bagi Pelayanan Kesehatan

Sebagai bahan acuan kepada tenaga kesehatan dalam

meningkatkan pelayanan yang lebih baik dan dapat menjadi rujukan

ilmu dalam menerapkan intervensi mandiri perawat disamping

intervensi medis.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat menjadi

bahan masukan bagi penulis selanjutnya dengan mengambil variable

penelitian yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai