Disusun Oleh :
Khairunnisa Nurul Huda G99152007
Annisa Pertiwi G99152017
Ajeng Apsari Utami G99162056
Novy Wahyunengsi Lowa G99152001
Abdurahman Baharudin W G99152004
Martina Dwi Ariandini G99152019
Farah Amani G99162058
Taqwatin Marifah G99162059
Pembimbing :
dr. Habibi, Sp.JP, FIHA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARAta
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup
spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut,
diakibatkan karena ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan
kebutuhannya (Dipiro et al., 2009). ACS dapat diklasifikasikan menurut
perubahan electrocardiographic (ECG) yaitu mulai dari Non ST-Elevasi
Miocard Infraction (NSTEMI), ST-Elevasi Miocard Infraction (STEMI)
sampai ke unstable angina (UA). ACS merupakan salah satu subset akut
dari penyakit jantung koroner (PJK) dan saat ini telah menempati angka
prevalensi 7,2% pada tahun 2007 di Indonesia. Walaupun angka prevalensi
PJK tidak setinggi penyakit lain seperti penyakit infeksi, PJK masih
dianggap sebagai penyumbang angka kematian tertinggi di Indonesia
(Kementrian Kesehatan, 2008).
Menurut laporan Rumah Sakit di Yogyakarta pada tahun 2009,
penyakit jantung dan pembuluh darah yang merupakan penyakit
kardiovaskular menunjukan dominasi kematian mencapai 80%. Penyakit
kardiovaskular menempati urutan teratas dari penyebab kematian dan
jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Hal ini
dapat disebabkan karena peningkatan status ekonomi, perubahan gaya
hidup dan efek samping modernisasi (Anonim, 2012).
Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita
Acute Coronary Syndrome (ACS). Faktor risiko Acute Coronary
Syndrome (ACS) meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi
risikonya), usia (pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun), riwayat keluarga
dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor risiko yang dimodifikasi.
Faktor risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes melitus, gaya hidup, dan kebiasaan merokok (Huffman et al.,
2010).
Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk
penatalaksanaan penderita ACS. Perlu adanya suatu sistem yang secara
terus menerus memonitor terapi yang diterima pasien agar pengobatan
serta penatalaksanaan pasien ACS berlangsung secara optimal, efektif, dan
efisien sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan
(Muchid et al., 2006).
Kebutuhan pasien akan terapi obat meliputi ketepatan indikasi,
keefektifan, keamanan, dan kesesuaian. Apabila kebutuhan akan
pengobatan atau drug related needs tersebut tidak tercapai, maka hal
tersebut didefinisikan sebagai drug related problems (DRPs). DRPs
merupakan kejadian atau pengalaman tidak menyenangkan yang dialami
pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan
secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien
(Cipolle et al., 1998).
Pelaksanaan secara optimal Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical
Care) dalam penatalaksanaan pasien PJK, yang meliputi manajemen DRPs
adalah pilihan yang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang tenaga
kesehatan bekerjasama untuk mencapai dan menjamin proses terapi medis
yang optimal. Proses pengobatan juga diharapakan dapat berjalan sesuai
dengan standar pelayanan profesi dan kode etik yang telah ditetapkan
(Muchid et al., 2006).
Suatu penelitian menunjukan bahwa pasien dengan penyakit
kardiovaskular mendapatkan sejumlah besar kejadian DRPs yang
sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi farmasis. DRPs lebih sering
terjadi pada pasien hipertensi, penyakit jantung koroner dan gagal jantung
kongestif. Review pengobatan yang dilakukan farmasis menghasilkan
rekomendasi untuk meningkatkan hasil pengobatan pasien dengan penyakit
kardiovaskular (Abraham, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Abraham (2013) ditemukan
kejadian DRPs yang tinggi pada penggunaan obat kardiovaskular yaitu
kategori obat antihipertensi, antiplatelet, antikoagulan, antihiperlipidemia,
dan antiulcer. DRPs yang sering terjadi antara lain; interaksi obat
(46,19%), dosis obat terlalu tinggi (17,26%), duplikasi obat (11,17%) dan
dosis obat terlalu rendah (10,41%). DRPs ditemukan sebanyak 71 kejadian
(18,02%) pada pasien penyakit jantung koroner.
Manajemen DRPs merupakan proses yang menjamin terapi obat
kepada pasien yang aman, efektif dan ekonomis. Manajemen DRPs
meliputi identifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan DRPs baik
yang potensial maupun aktual, mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah
terjadinya DRPs yang potensial. Implikasi dari manajemen DRPs terjadi
optimalisasi peran apoteker dan terciptanya komunikasi bersama antara
apoteker, pasien, dan tenaga kesehatan lain dengan tujuan yang sama yaitu
untuk kesembuhan pasien (Muchid et al., 2006
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
g. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia
segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan
menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis
banding seperti stenosisaorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi
aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi Transtorakal saat
istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara
rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA.
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya
dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif
pada pasien-pasien tanparasa nyeri, EKG istirahat normal dan marka
jantung yang negatif. Multislice cardiac CT (MSCT) dapat digunakan
untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan
kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan
troponin dan EKG tidak meyakinkan (PERKI, 2015).
h. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)
Angiografi coroner memberikan informasi mengenai keberadaan
dan tingkat keparahan PJK,sehingga dianjurkan segera dilakukan
untuk tujuan diagnostik pada pasiendengan risiko tinggi dan diagnosis
banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya
pada arteri sirkum fleksa, sangat penting pada pasien yang sedang
mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan
perubahan EKG diagnostik.
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai
perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler,
ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.
i. Diagnosis Banding
Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup
jantung (stenosis dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri
dada disertai perubahan EKG dan peningkatan marka jantung
menyerupai yang terjadi pada pasien NSTEMI. Miokarditis dan
perikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada,perubahan EKG,
peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung
menyerupai NSTEMI. Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG,
peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung.
Diagnosis banding non kardiak yang mengancam jiwa dan selalu
harus disingkirkan adalah emboli paru dan diseksi aorta.
Gambar 2.Tabel 3. Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi
(dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50:e1-157)
j. Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko bertujuan menentukan strategi penanganan
selanjutnya (konservatif atau intervensi segera). Beberapa stratifikasi
risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial
Infarction), GRACE (Global Registry of Acute CoronaryEvents),
CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable Angina patients
Suppress ADverse outcomes with Early implementation ofthe
ACC/AHA guidelines), dan Killip. Killip dapat digunakan untuk
mengevaluasi hemodinamik dan prognosis SKA untuk memperkirakan
tingakt mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi Killip juga digunakan
sebagai salah satu variabel dalam GRACE(PERKI,2015).
k. Penatalaksanaan
Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan
EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen
utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI
yaitu:
1. Terapi antiiskemia
2. Terapi antiplatelet atau antikoagulan
3. Terapi invasive (kateterisasi/ revaskularisasi)
4. Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan
RS (Harun dan Alwi, 2009)
h. Penatalaksanaan
Terapi lama
a) Farmakologi (Alwi, 2006).
1) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri. Dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek
samping : konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis,
sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri.
2) Penyekat beta
Tujuan pemberian penyekat beta adalah memperbaiki keseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnya infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia
vebtrikel yang serius.
3) Antitrombotik
Tujuan primer pengobatan adalah untuk mendapatkan
danmempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark.
Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi
trombosis.
4) Inhibitor ACE
Obat-obatan ini menurunkan tekanan darah dan mengurangi cedera
pada otot jantung. Obat ini juga dapat digunakan untuk
memperlambat kelemahan pada otot jantung.
c) Tindakan
1) Rekanalisasi : CABG
2) Transplantasi jantung dan terapi gen.
Tidak mudah untuk menghasilkan efek samping dan
kelangsungan hidup allograft jantung setelah jantung
ditransplantasikan untuk menggantikan jantung yang rusak, tapi
kekurangan donor, faktor imunosupresif, yang juga membuat
transplantasi jantung dibatasi. Terapi gen dapat meningkatkan
kontraksi sel miokard, tetapi karena sel-sel fungsional miokard
menurun jumlahnya, sehingga terapi gen tidak dapat memperoleh
hasil yang memuaskan.
Terapi baru
a) Transplantasi Stem Sel
Stem cell adalah sel yang terdiferensiasi memiliki potensi multi-
diferensiasi dan mereplikasi diri fungsi awal dalam kondisi tertentu,
dapat dibedakan ke dalam sel fungsional yang berbeda untuk
membentuk berbagai jaringan dan organ. Stem sel dalam karakteristik
dasar memiliki (Wollert KC, 2005) :
1) Stem cell memiliki kemampuan pembaruan diri dan
mempertahankan diri.
2) Memiliki potensi lebih untuk membedakan.
3) Kemampuan memisahkan diri pada stem cell dapat dipertahankan
dalam waktu yang lama.
4) Keduanya memiliki kapasitas fisiologis yang diperbarui, juga
memiliki reaksi terhadap cedera atau penyakit dan kemampuan
untuk memperbaiki diri.
5) Pembaruan diri dan diferensiasi stem cell memerlukan lingkungan
yang spesifik.
Transplantasi stem cell merupakan terapi pengobatan baru yang
efektif dari infark miokard dengan transplantasi stem cell untuk
regenerasi sel miokard, dan mencegah pembentukan kembali ventrikel
dan meningkatkan fungsi jantung. Saat ini sejumlah negara telah
berusaha menerapkan berbagai jenis transplantasi stem cell dalam
pengobatan infark miokard, termasuk stem cell otot rangka, stem cell
embrionik dan sel-sel sumsum tulang batang.
1) Transplantasi stem sel embrionik dalam pengobatan infark
miokard .
Stem cell embrio adalah sel awal embrio atau sel germinal
primordial terisolasi. Memiliki karakteristik biologis blastokista
awal dengan ICM atau PGCs yang mirip, dari luar dapat
melanjutkan keadaan dibeda-bedakan dapat dipertahankan in vitro
dan bagaimana potensi diferensiasi. Dalam kondisi yang tepat,
stem cell embrio dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi
berbagai sel, jaringan, juga dapat dilengkapi dengan embrio
reseptor chimera. Apakah stem cell embrio in vitro atau in vivo
dapat dibedakan ke dalam sel otot jantung, efek yang signifikan
meningkatkan fungsi jantung.
2) Transplantasi stem cell sumsum tulang dalam pengobatan infark
miokard
Stem cell sumsum tulang, termasuk CD34+stem cell, CD34-
stem cell, sel batang mesenchymal dan fungsi stem cell lainnya
tidak diketahui. CD34-stem cell dapat berdiferensiasi menjadi sel-
sel miokard dan sel endotel, yang membentuk jaringan miokard
dan pembuluh darah pada pasien dengan infark miokard. Stem
cell sumsum tulang untuk mengobati infark miokard dapat
mengurangi kematian sebesar 68% dan pengurangan 40% dalam
ukuran infark, ventrikel rongga yang luas mengalami penurunan
sebanyak 26%, dengan pembentukan sel baru lahir miokard,
fraksi ejeksi hemodinamik mengalami perbaikan yang signifikan.
A. Anamnesis
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. T
Umur : 48 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Kendal sari 2/3 Kwarasan Grogol Sukoharjo
Tanggal masuk : 22 Mei 2016
Tanggal periksa : 22 Mei 2016
No. RM : 01379877
2. Keluhan Utama
Sesak napas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas sejak 2 hari SMRS. Sesak muncul
saat pasien sedang tidak beraktifitas dan tidak hilang dengan keluhan
ampeg, berdebar disangkal. Pasien juga mengeluh mual, mutah, pandangan
kabur disangkal, pingsan disangkal, kaki bengkak disangkal. Pasien
merasa lebih nyaman posisi duduk dibanding tidur terlentang. Buang air
besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit jantung : riwayat jantung bengkak (+) namun tidak
control rutin, dirawat di Rumah Sakit UNS 9 hari yang lalu selama 5
hari, karena jantung lemah, kemudian pulang seteleh mendapat
perawatan 5 hari dan perbaikin klinis. Setelah pulang pasien rutin
minum obat tiap hari namun asupan cairan tidak dikontrol.
- Riwayat hipertensi : (+) lebih dari 3 tahun yang lalu, namun
tidak rutin kontrol.
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat dislipidemia : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat gastritis : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat dislipidemia : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat olah raga : tidak olahraga
- Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
6. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien saat ini tidak bekerja dan menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan BPJS.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Compos mentis (E4V5M6), tampak sakit berat, tampak gizi lebih (berat
badan: 80 kg, tinggi badan: 160 cm, BMI: 31.2 kg/m2 obesitas).
2. Tanda vital
Tensi : 140/80 mmHg
Laju napas : 30 x/menit
Denyut nadi : 120 x/menit
Detak jantung : 120 x/menit
Suhu : 37 C
Saturasi O2pulse : 85 % dengan O2 10 lpm NRM
3. Keadaan Sistemik
Kulit : sawo matang, ikterik (-), anemis (-), sianosis (-)
Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, mata
cekung tidak ada, edema palpebra tidak ada
Telinga : sekret tidak ada
Hidung : nafas cuping hidung, sekret, dan epistaksis tidak ada
Mulut : mukosa basah, sianosis tidak ada
Leher : JVP meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : bentuk normochest, simetris, tidak retraksi
Cor
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi :ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan melebar caudolateral
Auskultasi : bunyi jantung SI-SII intensitas normal, reguler, bising
tidak ada
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah halus (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi :supel, nyeri tekan disangkal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Oedem Akral dingin
C. Pemeriksaan penunjang
1. EKG
2. Rontgen Thorax PA
Cor : Membesar dengan CTR>50%
Pulmo : Tampak cephalisasi
Trachea berada di tengah
Sudut costophrenicus kanan lancip, kiri tertutup cor.
Hemidiafragma kanan normal, kiri tidak dapat dievaluasi.
Kesimpulan : Kardiomegali dengan oedem pulmo grade I
3. Echocardiografi
Didapatkan hasil berupa:
1. Abnormalitas segmental wall motion (EF 34-39%)
2. MR mild
3. Disfungsi diastolik pseudonormal
D. Diagnosis
A(x) : Hipertensi Heart Disease
F(x) : ADHF
E(x) : Hipertensi
P : Hiperglikemia
E. Terapi
Terapi IGD :
1. Inj Furosemid 40 mg bolus iv
2. Inj isorbid 10 mg/50 ml dosis 15 mg/jam
3. Inj furosemide 100 mg/50 ml on SP 5 mg/jam
Rawat ICVCU
Terapi :
1. Bedrest total
2. O2 3 lpm nasal kanul k/p
3. DJ II 1700 kkal
4. IVFD RL 20cc/jam
5. Inj Furosemid 100 mg/50 ml on SP 5 mg/ jam iv
6. Inj Isorbid 10 mg/50 ml on SP 1,5 mg/jam iv
Plan :
1. EKG / pagi
2. Cek lab melengkapi
3. Rontgen thoraks cito on bed
4. Echocardiography
B. Follow Up
Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan
22/05/17 Sesak(+), nyeri Px Fisik Terapi
DPH 0 Mata 1. Bedrest total
dada (-), berdebar
ICVCU Anemis (-/-), ikterik (-/-) 2. O2 3 lpm nasal kanul 3-
(-) Leher
4 lpm
TD:129/75mmHg JVP 5+4 cm
3. Diet jantung II 1700
HR : 106x/menit Cor
RR : 24x/menit I: IC tak tampak kkal
Nadi: 106x/menit P:IC tak kuat angkat 4. Infus NaCl 20cc /jam
SiO2: 99% P: Batas jantung kesan 5. Inj Dobutamin
GDS:238 6. Clopidogrel 75 mg/
melebar caudolateral
BC: I: 192,5
A: BJ I-II (N) reguler, 24jam
O: 720
7. Aspilet 8mg/ 24jam
:-527,5 bising negatif
8. Atorvastatin 40mg/ 24
Pulmo
SDV (+/+), RBH (-/-) jam
Abdomen
Supel, nyeri tekan (-),
Plan
bising usus (+)
1. EKG/hari
Ekstremitas
Oedema tidak ada, akral
dingin tidak ada
Diagnosis :
A(x) : NSTEMI pada
OMI inferoposterior
F(x) : KILLIP III
E(x) : Penyakit Jantung
Koroner (PJK)
P :
1.Hipertensi stage II
2. Leukositosi (13.600)
3. Anemia (10.7)
4. Azotemia (Cr:1.8, CCR
36,6 ml/mm)
5. Hiperglikemia susp
DM tipe II dd reaktif.
TIMI 2/7
GRACE
CRUSADE
EKG 1
Hasil : Sinus
EKG 1
Hasil :
24/11/16 Sesak (-), nyeri PxFisik Terapi
DPH II Mata 1. Bedrest total
dada (-), berdebar
ICVCU Anemis (-/-), ikterik (-/-) 2. O2 3 lpm nasal kanul
(-) Leher 3. Diet jantung I 1700 kkal
JVP 5+2 cm
67200 ml + DM
TD:164/86mmHg Cor
4. IVFDRL 20 ml/jam
HR : 130x/menit I: IC tak tampak
5. Inj Furosemid 20 mg/8jam
RR : 20x/menit P:IC tak kuat angkat
Nadi:130 x/menit P: Batas jantung kesan iv
SiO2: 97% 6. Inj Arixtra 2.5 mg/24 jam
melebar caudolateral
GDS 146
A: BJ I-II (N) reguler, SC (III)
7. Captopril 3x12.5 mg
bising negatif
8. Clopidogrel 75 mg/ 24jam
Pulmo
9. Aspilet 8mg/ 24jam
SDV (+/+), RBH (-/-)
10. Atorvastatin 20mg/ 24
Abdomen
Supel, nyeritekan (-), jam
11. Citicholine 250 mg/12
bisingusus (+)
Ekstremitas jam iv (TS Neuro)
Oedematidakada, 12. Paracetamol 1000 mg iv
akraldingintidakada k/p
13. Inj omeprazole 40 mg/12
Diagnosis :
jam (TS interna)
A(x) : NSTEMI pada 14. Inj humalog mix 20-0-18
OMI inferoposterior unit SC (TS interna)
F(x) : KILLIP III
(perbaikan) EF 40-45% Plan
1. EKG/pagi
E(x) : Coronary
2. GDS/pagi
Artery Disease 3. Cek DR3, Ur, Cr,
P : Hipertensi Elektrolit
4. Pro DCA
stage II, Leukositosis
(13.600), Anemia (10.7),
Azotemia (Cr 1.8, CCT
36.6 ml/min),
Hiperglikemia ec DM
(HbA1c 8.5), susp
stroke hemoragik dd
emboli, observasi febris,
hematemesis
EKG
Hasil : Sinus Takikardi 120 bpm, normoaxis, Q patologis di lead II, III, aVF, T inverted di
lead V1-V4
BAB IV
ANALISIS KASUS
15
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar
Ferri F. 2011. Practical Guide to The Care of The Medical Patient. Philadelphia:
Mosby Elsevier.
Guyton AC. 2010. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC
Harun, Sjaharuddin, Idrus Alwi. 2000. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST.
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Hal: 1626.
Res;vol46:290298
Kumar, Abbas, Fausto, dan Mitchell. 2010. Robbins: Basic Pathology. 8th ed.
Nafrialdi and Suyatna FD. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Hal 589-590.
Rilantono, Lily, Ismudiati, et al. 2014. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Fakultas
Wollert KC, Drexler H. Clinical applications of stem cells for the heart.