Anda di halaman 1dari 42

RESPONSI

SEORANG PASIEN 48 TAHUN DENGAN NSTEMI PADA OMI


INFEROPOSTERIOR

Disusun Oleh :
Khairunnisa Nurul Huda G99152007
Annisa Pertiwi G99152017
Ajeng Apsari Utami G99162056
Novy Wahyunengsi Lowa G99152001
Abdurahman Baharudin W G99152004
Martina Dwi Ariandini G99152019
Farah Amani G99162058
Taqwatin Marifah G99162059
Pembimbing :
dr. Habibi, Sp.JP, FIHA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARAta
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup
spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut,
diakibatkan karena ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan
kebutuhannya (Dipiro et al., 2009). ACS dapat diklasifikasikan menurut
perubahan electrocardiographic (ECG) yaitu mulai dari Non ST-Elevasi
Miocard Infraction (NSTEMI), ST-Elevasi Miocard Infraction (STEMI)
sampai ke unstable angina (UA). ACS merupakan salah satu subset akut
dari penyakit jantung koroner (PJK) dan saat ini telah menempati angka
prevalensi 7,2% pada tahun 2007 di Indonesia. Walaupun angka prevalensi
PJK tidak setinggi penyakit lain seperti penyakit infeksi, PJK masih
dianggap sebagai penyumbang angka kematian tertinggi di Indonesia
(Kementrian Kesehatan, 2008).
Menurut laporan Rumah Sakit di Yogyakarta pada tahun 2009,
penyakit jantung dan pembuluh darah yang merupakan penyakit
kardiovaskular menunjukan dominasi kematian mencapai 80%. Penyakit
kardiovaskular menempati urutan teratas dari penyebab kematian dan
jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Hal ini
dapat disebabkan karena peningkatan status ekonomi, perubahan gaya
hidup dan efek samping modernisasi (Anonim, 2012).
Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita
Acute Coronary Syndrome (ACS). Faktor risiko Acute Coronary
Syndrome (ACS) meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi
risikonya), usia (pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun), riwayat keluarga
dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor risiko yang dimodifikasi.
Faktor risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes melitus, gaya hidup, dan kebiasaan merokok (Huffman et al.,
2010).
Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk
penatalaksanaan penderita ACS. Perlu adanya suatu sistem yang secara
terus menerus memonitor terapi yang diterima pasien agar pengobatan
serta penatalaksanaan pasien ACS berlangsung secara optimal, efektif, dan
efisien sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan
(Muchid et al., 2006).
Kebutuhan pasien akan terapi obat meliputi ketepatan indikasi,
keefektifan, keamanan, dan kesesuaian. Apabila kebutuhan akan
pengobatan atau drug related needs tersebut tidak tercapai, maka hal
tersebut didefinisikan sebagai drug related problems (DRPs). DRPs
merupakan kejadian atau pengalaman tidak menyenangkan yang dialami
pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan
secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien
(Cipolle et al., 1998).
Pelaksanaan secara optimal Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical
Care) dalam penatalaksanaan pasien PJK, yang meliputi manajemen DRPs
adalah pilihan yang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang tenaga
kesehatan bekerjasama untuk mencapai dan menjamin proses terapi medis
yang optimal. Proses pengobatan juga diharapakan dapat berjalan sesuai
dengan standar pelayanan profesi dan kode etik yang telah ditetapkan
(Muchid et al., 2006).
Suatu penelitian menunjukan bahwa pasien dengan penyakit
kardiovaskular mendapatkan sejumlah besar kejadian DRPs yang
sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi farmasis. DRPs lebih sering
terjadi pada pasien hipertensi, penyakit jantung koroner dan gagal jantung
kongestif. Review pengobatan yang dilakukan farmasis menghasilkan
rekomendasi untuk meningkatkan hasil pengobatan pasien dengan penyakit
kardiovaskular (Abraham, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Abraham (2013) ditemukan
kejadian DRPs yang tinggi pada penggunaan obat kardiovaskular yaitu
kategori obat antihipertensi, antiplatelet, antikoagulan, antihiperlipidemia,
dan antiulcer. DRPs yang sering terjadi antara lain; interaksi obat
(46,19%), dosis obat terlalu tinggi (17,26%), duplikasi obat (11,17%) dan
dosis obat terlalu rendah (10,41%). DRPs ditemukan sebanyak 71 kejadian
(18,02%) pada pasien penyakit jantung koroner.
Manajemen DRPs merupakan proses yang menjamin terapi obat
kepada pasien yang aman, efektif dan ekonomis. Manajemen DRPs
meliputi identifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan DRPs baik
yang potensial maupun aktual, mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah
terjadinya DRPs yang potensial. Implikasi dari manajemen DRPs terjadi
optimalisasi peran apoteker dan terciptanya komunikasi bersama antara
apoteker, pasien, dan tenaga kesehatan lain dengan tujuan yang sama yaitu
untuk kesembuhan pasien (Muchid et al., 2006
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT JANTUNG KORONER


Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan kondisi yang disebabkan oleh
suplai darah dan oksigen ke miokardium yang tidak adekuat yang
mengakibatkan ketidak seimbangan kebutuhan dan suplai darah. Penyebab
utama PJK adalah sumbatan plak aterom pada atreri koroner. Manifestasi
klinis PJK bervariasi, mulai dari angina pectoris stabil, angina tidak stabil,
angina Prinzmetal, serta infark miokard akut. Namun, PJK juga dapat terjadi
tanpa nyeri dada (asimtomatik) atau nyeri dada yang tidak menonjol seperti
gagal jantung, aritmia, hingga kematian mendadak (Tanto et al., 2014).

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ST ELEVASI


a. Pendahuluan
Angina pectoris tak stabil (UA) dan infark miokard akut tanpa
ST elevasi diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga penatalaksanaan
keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan apabila
pasien UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan kardiak marker jantung.Sebagian besar pasienNSTEMI
akan mengalami evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombangQ.
Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih
tinggi, dimana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut dan
memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal
NSTEMI lebih rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan,
mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas
NSTEMI lebih tinggi. Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien
dengan NSTEMI dan UAP adalah perawatan dalam Coronary Care
Units, mengurangi iskemia yang sedang terjadi beserta gejala yang
dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.
b. Patofisiologi
NSTEMI dapat disebabkan oleh karena penurunan suplai
oksigen atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat
dengan obstruksi coroner. NSTEMI terjadi karena proses thrombosis
akut atau vasokonstriksi coroner. Thrombosis akut pada arteri koronen
diawali dengan adanya rupture plak yang tidak stabil. Plak yang tidak
stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos
yang rndah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan
yang tinggi. Inti lemak yang mudah rupture ini memiliki konsentrasi
ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi.
Pada lokasi rupture plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T
yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan
mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF-alfa dan IL-6.
Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati (Harun
dan Alwi, 2009).
c. Evaluasi Klinis
Presentasi klinik NSTEMI pada umumnya berupa:
1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit.
Dialami olehsebagian besar pasien (80%)
2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif
ataukresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi
makin berat; minimal kelas III klasifikasi CCS.
4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2
minggu setelahinfark miokard
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina
ekuivalen, terutama pada wanita dan kaum lanjut usia. Keluhan yang
paling sering dijumpai adalah awitan baru atau perburukan sesak
napas saat aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan
tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan,riwayat PJK, jenis
kelamin, umur, dan jumlah faktor risiko tradisional. Angina atipikal
yang berulang pada seorang yang mempunyai riwayat PJK,terutama
infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi dari
SKA.Keluhan yang sama pada seorang pria berumur lanjut (>70
tahun) dan menderita diabetes berpeluang menengah suatu SKA.
Angina equivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada seseorang
tanpa karakteristik tersebut diatas berpeluang kecil merupakan
presentasi dari SKA (PERKI, 2015).
d. Pemeriksaan fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk
menegakkan diagnosis banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain
itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan angina
(anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri
dada sebagai representasi SKA.
e. Elektrokardiogram
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menitsejak kontak
medis pertama.Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG
sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman
EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG
serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai
pada pasien NSTEMI antara lain:
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai
dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Nondiagnostik
4. Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya
akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkum fleks atau keterlibatan
ventrikel kanan, oleh karena itu padahasil EKG normal perlu
dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan. Depresi segmen ST
=0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur
depresi segmen ST yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan
dengan depresi segmen ST =1 mm. Depresi segmen ST =1 mm
dan/atau inverse gelombang T=2 mm di beberapa sadapan prekordial
sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat
peluang tinggi). Gelombang Q=0,04 detik tanpa disertai depresi
segmen ST dan/atau inversi gelombangT menunjukkan tingkat
persangkaan terhadap SKA tidak tinggi.
Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan
nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan
diulang 10 20 menit kemudian (rekam juga V7-V9).Pada keadaan di
mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan
marka jantung negative sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama12-24 jam untuk dilakukan EKG
ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang. Bila dalam masa
pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresisegmen ST
dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis
UAPatau NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi
segmen ST yangkecil (0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan
mengalami normalisasisaat nyeri dada hilang sangat sugestif diagnosis
UAP atau NSTEMI.
Stress test dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam
masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap
nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal
jantung.Hasil stress test yang positif meyakinkandiagnosis atau
menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau NSTEMI. Hasil stresstest
negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan dilanjutkan
dengan rawat jalan.
f. Marka jantung
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung
tersebutakan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan
troponin I/T untukdiagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan
kriteria lain yaitu keluhanangina dan perubahan EKG. Diagnosis
NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui
nilai normal atas (upper limit of normal, ULN). Dalam menentukan
kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya mempertimbangkan
ketidak pastian dalam menentukan awitan angina.
Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar
troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam
darahperifer 3 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2
minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang
dalam 2 hingga 3hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini
dapat menetap hingga 2 minggu (Gambar 1).
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang
sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit
di atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat. Perlu
diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar
troponin juga dapat terjadi akibat:
1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat
2. Miokarditis
3. Dissecting aneurysm
4. Emboli paru
5. Gangguan ginjal akut atau kronik
6. Stroke atau perdarahan subarachnoid
7. Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan
CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4
hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2
hari.
Gambar 1. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung

g. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia
segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan
menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis
banding seperti stenosisaorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi
aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi Transtorakal saat
istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara
rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA.
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya
dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif
pada pasien-pasien tanparasa nyeri, EKG istirahat normal dan marka
jantung yang negatif. Multislice cardiac CT (MSCT) dapat digunakan
untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan
kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan
troponin dan EKG tidak meyakinkan (PERKI, 2015).
h. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)
Angiografi coroner memberikan informasi mengenai keberadaan
dan tingkat keparahan PJK,sehingga dianjurkan segera dilakukan
untuk tujuan diagnostik pada pasiendengan risiko tinggi dan diagnosis
banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya
pada arteri sirkum fleksa, sangat penting pada pasien yang sedang
mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan
perubahan EKG diagnostik.
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai
perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler,
ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.
i. Diagnosis Banding
Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup
jantung (stenosis dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri
dada disertai perubahan EKG dan peningkatan marka jantung
menyerupai yang terjadi pada pasien NSTEMI. Miokarditis dan
perikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada,perubahan EKG,
peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung
menyerupai NSTEMI. Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG,
peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung.
Diagnosis banding non kardiak yang mengancam jiwa dan selalu
harus disingkirkan adalah emboli paru dan diseksi aorta.
Gambar 2.Tabel 3. Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi
(dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50:e1-157)

j. Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko bertujuan menentukan strategi penanganan
selanjutnya (konservatif atau intervensi segera). Beberapa stratifikasi
risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial
Infarction), GRACE (Global Registry of Acute CoronaryEvents),
CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable Angina patients
Suppress ADverse outcomes with Early implementation ofthe
ACC/AHA guidelines), dan Killip. Killip dapat digunakan untuk
mengevaluasi hemodinamik dan prognosis SKA untuk memperkirakan
tingakt mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi Killip juga digunakan
sebagai salah satu variabel dalam GRACE(PERKI,2015).
k. Penatalaksanaan
Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan
EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen
utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI
yaitu:
1. Terapi antiiskemia
2. Terapi antiplatelet atau antikoagulan
3. Terapi invasive (kateterisasi/ revaskularisasi)
4. Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan
RS (Harun dan Alwi, 2009)

Tata laksana awal NSTEMI dan APTS


Terapi anti iskemia: nitrogliserin sublingual 0,4 mg atau
ISDN 5 mg tiap 5 menit. Nitrogliserin IV dipertimbangkan
bila angina tidak membaik, dosis awal 5ug/menit dengan
dosis maksimal 400ug/menit. Pemberian jenis nitrat harus
dihindari pada tekanan sistolik <= 90 mmHg. Penurunan
>30mmHg dicurigai terdapat infark miokard ventrikel kanan,
dalam pengaruh obat penghambat disterasi, kardiomiopati
hipertropik, dan stenosis aorta berat.
Penggunaan morfin IV dapat dipertimbangkan untuk
megatasi nyeri dada dan ansietas. Dosis awal 2-4 mg, dosis
maksimal 8 mg dan diulang tiap 5-15 menit. Waspada efek
depresi napas
B-Blocker berguna untuk mengurangi kebutuh O2 jantung
serta mencegah iskemik berulang, aritmia ventricular, dan
memperbaiki prognosis
Inisiasi terapi antitrombotik(antiplatelet dan antikoagulan)
untuk mencegah thrombosis baru dan embolisasi dari plak
yan rupture/erosi. Insiasi terapi antiplatelet penghambat
COX-1 dikombinasikan dengan penghambat reseptor P2Y12.
- Penghambat COX-1: aspirin loading dose 162-325 mg PO,
maintenance 75-162 mg PO
- Penghambat reseptop P2Y12: clopidogrel loading dose 300-
600 mg PO/ prasugrel loading dose 60 mg PO/ ticagelor
loading dose 180 mg diberikan secepatnya. Terapi dilanjutkan
selama minimal 12 bulan dengan dosis: clopidogrel 75mg/
hari PO, prasugrel 10mg/hari PO, ticagelor 90 mg/12 jam PO.
Beberapa pilihan antikoaguan yang dapat digunakan adalah:
- Penghambat thrombin indirek (UFH atau LMWH): bolus IV
60-70 U/kgBB, maksimal 5000 U. Dilanjutkan infuse 12- 15
U/kgBB/jam (dosis awal maksimal 1000 U/jam) yang dititrasi
hingga aPTT 50-70 detik.
- Penghambat faktor Xa indirek (fondaparinux): 2,5 mg/ hari
SC
- Penghambat Xa direk (bivalirudin): bolus IV 0,1 mg/kgBB
dilanjut infuse 0,25 mg/kgBB/jam. Sebekum PCI dapat
ditambahkan bolus IV 0,5 mg/kgBB yang dilanjut infuse 1,
75 mg/kgBB/jam
Tata laksana jangka panjang SKA
Modifikasi gaya hidup: berhenti merokokm olahraga,
menutunkan berat badan
Kontrol tekanan dara dan diabetes
Manajemen lipid: statin direkomendasikan pada semua pasien
SKA untuk menstabilkan dinding plak aterosklerosis
Meneruskan medikamentosa: antiplatelet sesuai indikasi, B-
blocker diberikan dosis titrasi naik pada semua pasien sedini
mungkin, ACEi/ ARB untuk semua pasien dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri <= 40% dan pada pasien
DM/hipertensi/CKD, antagonis aldosteron dipertimbangkan
pada pasien pascainfark miokard yang telah mendapat ACEi
dan B-blocker dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri<=40%
dengan DM/HF tanpa disfungsi renal/hiperkalemia.
Rehabilitasi dan aktivitas fisik yang sesuai(Tanto et al.,
2014).
B. Old Miokard Infark
a. Definisi
Old Miokard Infark adalah oklusi koroner akut disertai iskemia yang
berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan sel dan
kematian (infark) miokard. Iskemia sendiri merupakan suatu keadaan
transisi dan reversible pada miokard akibat ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan miokard yang menyebabkan hipoksia miokard
(Alwi, 2006).
b. Etiologi
Penyakit Jantung Koroner terjadi akibat penyumbatan sebagian atau
total, satu atau lebih pembuluh darah koroner. Akibat adanya penyumbatan
ini, terjadi gangguan pasokan suplai energi kimiawi ke otot jantung
(miokard), sehingga terjadilah gangguan keseimbangan antara pasokan dan
kebutuhan.
Faktor penyebab :
a) Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3
faktor :
Faktor pembuluh darah :
1. Aterosklerosis.
2. Spasme
3. Arteritis
Faktor sirkulasi :
1. Hipotensi
2. Stenosos aorta
3. Insufisiensi
Faktor darah :
1) Anemia
2) Hipoksemia
3) Polisitemia
b) Curah jantung yang meningkat :
1) Aktifitas berlebihan
2) Emosi
3) Makan terlalu banyak
4) Hypertiroidisme
c) Kebutuhan oksigen miokard meningkat pada :
1) Kerusakan miokard
2) Hipertrofimiokard
3) Hipertensi diastolik
Faktor predisposisi :
a) Faktor risiko biologis yang tidak dapat diubah :
1) Usia lebih dari 40 tahun
2) Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada
wanita meningkat setelah menopause
3) Hereditas
4) Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
b. Faktor resiko yang dapat diubah :
Mayor :
1) Hiperlipidemia
2) Hipertensi
3) Merokok
4) Diabetes
5) Obesitas
6) Diet tinggi lemak jenuh, kalori
Minor:
1) Inaktifitas fisik
2) Stress psikologis berlebihan.
c. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya Old Miokard Infark
hampir sama dengan infark miokard akut, antara lain merokok, hipertensi,
obesitas, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus. Faktor resiko yang
menjadi pencetus terjadinya infark miokard adalah (Rilantono et al., 2014):
1. Faktor resiko yang dapat diubah
a. Faktor mayor seperti merokok, hipertensi, obesitas, hiperlipidemia,
hiperkolesterolimia dan pola makan (diit tinggi lemak dan tinggi
kalori).
b. Faktor minor seperti stress, kepribadian tipe A (emosional, agresif,
dan ambivalen) dan inaktifitas fisik.
2. Faktor resiko yang tidak dapat diubah
a. Hereditas/keturunan
b. Usia lebih dari 40 tahun
c. Ras, insidensi lebih tinggi orang berkulit hitam.
d. Jenis kelamin, insidensi pria lebih sering daripada wanita.
d. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala utama yang bisa dijumpai pada penderita infark
miokard (Ferri, 2011) adalah :
1. Nyeri dada substernal, retrosternal, maupun prekordial yang menjalar
ke lengan kiri, leher kiri, punggung.
2. Nyeri dada seperti ditekan atau ditindih
3. Nyeri dada persisten lebih dari tiga puluh menit
4. Nyeri dada tidak membaik saat istirahat maupun pemberian
nitrogliserin
5. Takikardi dan palpitasi (apabila infark terjadi di anterior)
6. Memiliki riwayat infark miokard akut sebelumnya
7. Memiliki berbagai faktor risiko seperti hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, penyakit jantung coroner, aktivitas fisik, dan stress.
e. Penegakan Diagnosis
a) Anamnesis
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien infark
miokard.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut : (Alwi, 2006).
1) Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
2) Sifat nyeri : rasa sakit,seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih
bendaberat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3) Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher,
rahangbawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga
ke lengankanan.
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
5) Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin,
dansesudah makan.
6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat
dingin,cemas dan lemas.
b) Pemeriksaan Fisik
1) Tampak cemas
2) Tidak dapat istirahat (gelisah)
3) Ekstremitas pucat disertai keringat dingin
4) Takikardia dan/atau hipotensi
5) Brakikardia dan/atau hipotensi
6) S4 dan S3 gallop
7) Penurunan intensitas bunyi jantung pertama
8) Split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
9) Peningkatan suhu sampai 38oC dalam minggu pertama.
c) Elektrokardiogram
Gambaran khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi
segmen ST dan inversi gelombang T. Walaupun mekanisme pasti dari
perubahan EKG ini belum diketahui, diduga perubahan gelombang Q
disebabkan oleh jaringan yang mati, kelainan segmen St disebabkan
oleh injuri otot dan kelainan gelombang T karena iskemia(Alwi,
2006).
d) Laboratorium
1) CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard
danmencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam
2-4 hari.
2) cTn : ada dua jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini
meningkatsetelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah
5-14 hari, sedangkancTn I setelah 5-10 hari.
3) Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan
mencapaipuncak dalam 4-8 jam.
4) Ceratinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada
infarkmiokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali
normaldalam 3-4 hari.
5) Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila
ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali
normaldalam 8-14 hari
(Alwi, 2006).
f. Patogenesis

Patogenesis Infark Miokard (Price, 2005).


g. Patofisiologi

Patofisiologi Infark Miokard Kronik (Price, 2005).

h. Penatalaksanaan
Terapi lama
a) Farmakologi (Alwi, 2006).
1) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri. Dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek
samping : konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis,
sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri.
2) Penyekat beta
Tujuan pemberian penyekat beta adalah memperbaiki keseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnya infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia
vebtrikel yang serius.
3) Antitrombotik
Tujuan primer pengobatan adalah untuk mendapatkan
danmempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark.
Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi
trombosis.
4) Inhibitor ACE
Obat-obatan ini menurunkan tekanan darah dan mengurangi cedera
pada otot jantung. Obat ini juga dapat digunakan untuk
memperlambat kelemahan pada otot jantung.

b) Non Farmakologis(Alwi, 2006).


1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulutdalam
4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori total
dankandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya
denganmakanan yang kaya serat, kalium, magnesium dan rendah
natrium.

c) Tindakan
1) Rekanalisasi : CABG
2) Transplantasi jantung dan terapi gen.
Tidak mudah untuk menghasilkan efek samping dan
kelangsungan hidup allograft jantung setelah jantung
ditransplantasikan untuk menggantikan jantung yang rusak, tapi
kekurangan donor, faktor imunosupresif, yang juga membuat
transplantasi jantung dibatasi. Terapi gen dapat meningkatkan
kontraksi sel miokard, tetapi karena sel-sel fungsional miokard
menurun jumlahnya, sehingga terapi gen tidak dapat memperoleh
hasil yang memuaskan.

Terapi baru
a) Transplantasi Stem Sel
Stem cell adalah sel yang terdiferensiasi memiliki potensi multi-
diferensiasi dan mereplikasi diri fungsi awal dalam kondisi tertentu,
dapat dibedakan ke dalam sel fungsional yang berbeda untuk
membentuk berbagai jaringan dan organ. Stem sel dalam karakteristik
dasar memiliki (Wollert KC, 2005) :
1) Stem cell memiliki kemampuan pembaruan diri dan
mempertahankan diri.
2) Memiliki potensi lebih untuk membedakan.
3) Kemampuan memisahkan diri pada stem cell dapat dipertahankan
dalam waktu yang lama.
4) Keduanya memiliki kapasitas fisiologis yang diperbarui, juga
memiliki reaksi terhadap cedera atau penyakit dan kemampuan
untuk memperbaiki diri.
5) Pembaruan diri dan diferensiasi stem cell memerlukan lingkungan
yang spesifik.
Transplantasi stem cell merupakan terapi pengobatan baru yang
efektif dari infark miokard dengan transplantasi stem cell untuk
regenerasi sel miokard, dan mencegah pembentukan kembali ventrikel
dan meningkatkan fungsi jantung. Saat ini sejumlah negara telah
berusaha menerapkan berbagai jenis transplantasi stem cell dalam
pengobatan infark miokard, termasuk stem cell otot rangka, stem cell
embrionik dan sel-sel sumsum tulang batang.
1) Transplantasi stem sel embrionik dalam pengobatan infark
miokard .
Stem cell embrio adalah sel awal embrio atau sel germinal
primordial terisolasi. Memiliki karakteristik biologis blastokista
awal dengan ICM atau PGCs yang mirip, dari luar dapat
melanjutkan keadaan dibeda-bedakan dapat dipertahankan in vitro
dan bagaimana potensi diferensiasi. Dalam kondisi yang tepat,
stem cell embrio dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi
berbagai sel, jaringan, juga dapat dilengkapi dengan embrio
reseptor chimera. Apakah stem cell embrio in vitro atau in vivo
dapat dibedakan ke dalam sel otot jantung, efek yang signifikan
meningkatkan fungsi jantung.
2) Transplantasi stem cell sumsum tulang dalam pengobatan infark
miokard
Stem cell sumsum tulang, termasuk CD34+stem cell, CD34-
stem cell, sel batang mesenchymal dan fungsi stem cell lainnya
tidak diketahui. CD34-stem cell dapat berdiferensiasi menjadi sel-
sel miokard dan sel endotel, yang membentuk jaringan miokard
dan pembuluh darah pada pasien dengan infark miokard. Stem
cell sumsum tulang untuk mengobati infark miokard dapat
mengurangi kematian sebesar 68% dan pengurangan 40% dalam
ukuran infark, ventrikel rongga yang luas mengalami penurunan
sebanyak 26%, dengan pembentukan sel baru lahir miokard,
fraksi ejeksi hemodinamik mengalami perbaikan yang signifikan.

3) Transplantasi stem cell otot rangka dalam pengobatan infark


miokard.
Sel otot rangka induk berdiferensiasi menjadi sel-sel miokard.
Stem cell otot rangka ditransplantasikan ke jantung infark
miokard, ventrikel diastolik dan fungsi sistolik bisa untuk
mendapatkan perbaikan.
Metode aplikasi stem cell yang umum digunakan ialah
melalui pendekatan transvaskuler yang cocok untuk terapi infark
yang akan mengantarkan jumlah sel dalam jumlah besar menuju
area jejas. Sel diantarkan menuju lumen sentral melalui inflasi
balon kateter dalam memaksimalkan waktu kontak antara sel
dengan sistem mikrosirkulasi arteri yang terkait area infark.
Teknik itu mudah dilakukan dalam waktu kurang dari sejam dan
dapat membuat sel bertahan di area infark. Metode aplikasi stem
cell dengan injeksi langsung ke area infark sulit dilakukan karena
memerlukan operasi terbuka di dada. Metode aplikasi intravena
lebih efektif karena dapat mencapai jaringan dan pembuluh di
sekitar area infark. Sel tidak hanya mencapai area infark saja,
namun menjangkau area yang mengalami jejas sebelumnya dan
tidak terdeteksi radiografi, sehingga dapat mencegah masalah
yang mungkin timbul di masa depan di area tersebut (Wollert KC,
2005).
i. Komplikasi
1. Gagal ginjal kongestif
Merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Infark
miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan
pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang
abnormal dan mengubah daya kembang ruang jantung tersebut. Dengan
berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri,
maka besar curah sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel
meningkat. Akibatnya tekanan jantung sebelah kiri meningkat.
Kenaikkan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonalis. Bila
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik
vaskuler maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstitial. Bila
tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi udema paru-paru akibat
perembesan cairan ke dalam alveolis sampai terjadi gagal jantung kiri.
Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan
akibat meningkatnya tekanan vaskuler paru-paru sehingga membebani
ventrikel kanan (Guyton, 2010).
2. Syok kardiogenik
Diakibatkan karena disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah mengalami
infark yang masif, biasanya mengenai lebif dari 40% ventrikel kiri.
Timbul lingkaran setan hemodinamik progresif hebat yang
irreversibel, yaitu (Guyton, 2010) :
a. Penurunan perfusi perifer
b. Penurunan perfusi koroner
c. Peningkatan kongesti paru-paru
3. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrosis otot papilaris akan
mengganggu fungsi katup mitralis, memungkinkan eversi daun katup ke
dalam atrium selama sistolik. Inkompentensi katup mengakibatkan
aliran retrograd dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua
akibat pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada
atrium kiri dan vena pulmonalis. Volume aliran regugitasi tergantung
dari derajat gangguan pada otot papilaris bersangkutan (Guyton, 2010).
4. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikularis dapat menyebabkan ruptur
dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel. Karena septum
mendapatkan aliran darah ganda yaitu dari arteri yang berjalan turun pada
permukaan anterior dan posterior sulkus interventrikularis, maka ruptur
septum menunjukkan adanya penyakit arteri koronaria yang cukup berat
yang mengenai lebih dari satu arteri. Ruptur membentuk saluran keluar
kedua dari ventrikel kiri. Pada tiap kontraksi ventrikel maka aliran
terpecah dua yaitu melalui aorta dan melalui defek septum ventrikel.
Karena tekanan jantung kiri lebih besar dari jantung kanan, maka darah
akan mengalami pirau melalui defek dari kiri ke kanan, dari daerah
yang lebih besar tekanannya menuju daerah yang lebih kecil
tekanannya. Darah yang dapat dipindahakan ke kanan jantung cukup
besar jumlahnya sehingga jumlah darah yang dikeluarkan aorta menjadi
berkurang. Akibatnya curah jantung sangat berkurang disertai
peningkatan kerja ventrikel kanan dan kongesti (Guyton, 2010).
5. Ruptur jantung
Ruptur dinding ventrikel jantung yang bebas dapat terjadi pada awal
perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum
pembentukkan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah sehingga terjadi
perdarahan masif ke dalam kantong perikardium yang relatif tidak
elastis tak dapat berkembang. Kantong perikardium yang terisi oleh
darah menekan jantung ini akan menimbulkan tamponade jantung.
Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah
jantung (Guyton, 2010).
6. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel
menjadi kasar yang merupakan predisposisi pembentukkan trombus.
Pecahan trombus mural intrakardia dapat terlepas dan terjadi embolisasi
sistemik. Daerah kedua yang mempunyai potensi membentuk trombus
adalah sistem vena sistenik. Embolisasi vena akan menyebabkan
embolisme pada paru-paru (Guyton, 2010).
7. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dengan perikardium menjadi besar sehingga merangsang
permukaan perikardium dan menimbulkan reaksi peradangan, kadang-
kadang terjadi efusi perikardial atau penimbunan cairan antara kedua
lapisan (Guyton, 2010).
8. Sindrom Dressler
Sindrom pasca infark miokardium ini merupakan respon peradangan
jinak yang disertai nyeri pada pleuroperikardial. Diperkirakan sindrom
ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas terhadap miokardium yang
mengalami nekrosis (Guyton, 2010).
9. Aritmia
Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologis sel-sel
miokardium. Perubahan elektrofiiologis ini bermanifestasi sebagai
perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik
sel (Guyton, 2010).
j. Prognosis
Prognosis infark miokard didasarkan pada tiga indeks pengukuran:
1. Proses terjadinya aritmia yang gawat
2. Potensi serangan iskemia yang lebih jauh
3. Potensi memburuknya gangguan hemodinamik
Prognosis dapat menjadi lebih buruk dengan adanya pertambahan usia,
peningkatkan disfungsi ventrikel, disritmia ventrikel dan infark berulang,
selain itu keterlambatan dalam reperfusi, remodelling ventrikel kiri, infark
anterior, EKG menunjukkan elevasi ST, blok cabang berkas dan tekanan
darah sistolik kurang dari 100 mm dengan takikardia lebih besar dari 100
per menit (Guyton, 2010)
BAB III
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. T
Umur : 48 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Kendal sari 2/3 Kwarasan Grogol Sukoharjo
Tanggal masuk : 22 Mei 2016
Tanggal periksa : 22 Mei 2016
No. RM : 01379877
2. Keluhan Utama
Sesak napas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas sejak 2 hari SMRS. Sesak muncul
saat pasien sedang tidak beraktifitas dan tidak hilang dengan keluhan
ampeg, berdebar disangkal. Pasien juga mengeluh mual, mutah, pandangan
kabur disangkal, pingsan disangkal, kaki bengkak disangkal. Pasien
merasa lebih nyaman posisi duduk dibanding tidur terlentang. Buang air
besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit jantung : riwayat jantung bengkak (+) namun tidak
control rutin, dirawat di Rumah Sakit UNS 9 hari yang lalu selama 5
hari, karena jantung lemah, kemudian pulang seteleh mendapat
perawatan 5 hari dan perbaikin klinis. Setelah pulang pasien rutin
minum obat tiap hari namun asupan cairan tidak dikontrol.
- Riwayat hipertensi : (+) lebih dari 3 tahun yang lalu, namun
tidak rutin kontrol.
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat dislipidemia : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat gastritis : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat dislipidemia : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat olah raga : tidak olahraga
- Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
6. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien saat ini tidak bekerja dan menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan BPJS.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Compos mentis (E4V5M6), tampak sakit berat, tampak gizi lebih (berat
badan: 80 kg, tinggi badan: 160 cm, BMI: 31.2 kg/m2 obesitas).
2. Tanda vital
Tensi : 140/80 mmHg
Laju napas : 30 x/menit
Denyut nadi : 120 x/menit
Detak jantung : 120 x/menit
Suhu : 37 C
Saturasi O2pulse : 85 % dengan O2 10 lpm NRM
3. Keadaan Sistemik
Kulit : sawo matang, ikterik (-), anemis (-), sianosis (-)
Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, mata
cekung tidak ada, edema palpebra tidak ada
Telinga : sekret tidak ada
Hidung : nafas cuping hidung, sekret, dan epistaksis tidak ada
Mulut : mukosa basah, sianosis tidak ada
Leher : JVP meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : bentuk normochest, simetris, tidak retraksi
Cor
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi :ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan melebar caudolateral
Auskultasi : bunyi jantung SI-SII intensitas normal, reguler, bising
tidak ada
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah halus (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi :supel, nyeri tekan disangkal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Oedem Akral dingin

negatif negatif Positif Positif


negatif negatif Positif Positif

C. Pemeriksaan penunjang
1. EKG

Hasil : Sinus takikardi, HR 120 x/m normoaksis, LVH sokolov


lyon

2. Rontgen Thorax PA
Cor : Membesar dengan CTR>50%
Pulmo : Tampak cephalisasi
Trachea berada di tengah
Sudut costophrenicus kanan lancip, kiri tertutup cor.
Hemidiafragma kanan normal, kiri tidak dapat dievaluasi.
Kesimpulan : Kardiomegali dengan oedem pulmo grade I

3. Echocardiografi
Didapatkan hasil berupa:
1. Abnormalitas segmental wall motion (EF 34-39%)
2. MR mild
3. Disfungsi diastolik pseudonormal

4. Laboratorium darah (22 Mei 2017)


Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 10.7 g/dl 13.5 17.5
Hematokrit 34 % 33 45
Leukosit 13.6 ribu/ul 4.5 11.0
Trombosit 363 ribu/ul 150 450
Eritrosit 3.88 juta/ul 4.50 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 86.4 /um 80.0 96.0
MCH 27.6 Pg 28.0 33.0
MCHC 31.9 g/dl 33.0 36.0
RDW 10.9 % 11.6 14.6
MPV 11.7 Fl 7.2 11.1
PDW 17 % 25 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.50 % 0.00 4.00
Basofil 0.30 % 0.00 0.200
Netrofil 88.80 % 55.00 80.00
Limfosit 8.00 % 22.00 44.00
Monosit 2.40 % 0.00 7.00
HEMOSTASIS
PT 13.6 Detik 10.0 15.0
APTT 29.9 Detik 20.0 40.0
INR 1.110 -
KIMIA KLINIK
GulaDarah
362 mg/dl 60 140
Sewaktu
SGOT 24 u/l < 35
SGPT 32 u/l < 45
Albumin 3.4 g/dl 3.5-5.2
Creatinine 1.8 mg/dl 0.8 1.3
Ureum 38 mg/dl < 50
ELEKTROLIT
Natrium darah 131 mmol/L 136 145
Kalium darah 3.9 mmol/L 3.7 5.4
Klorida darah 103 mmol/L 98 106
SEROLOGI
Non
HBsAg Non reactive
reactive
Troponin I 1.30 ug/L 0.00 0.01
CKMB 5.04 ng/mL < 4.9
Analisa Gas Darah (22 Mei 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Ph 7.522 7.350 - 7.450
BE -4.0 mmol/L -2 - +3
PCO2 23.0 MmHg 27.0 41.0
PO2 54.6 mmHg 83.0 108.0
Hematokrit 37 % 37 50
HCO3 19.0 mmol/L 21.0 28.0
Total CO2 19.7 mmol/L 19.0 24.0
O2 Saturasi 91.5 % 94.0 98.0
LAKTAT
Arteri 3.80 ng/mL 0.36 0.75
Kesan: Asidosis metabolik tidak terkompensasi

D. Diagnosis
A(x) : Hipertensi Heart Disease
F(x) : ADHF
E(x) : Hipertensi
P : Hiperglikemia
E. Terapi
Terapi IGD :
1. Inj Furosemid 40 mg bolus iv
2. Inj isorbid 10 mg/50 ml dosis 15 mg/jam
3. Inj furosemide 100 mg/50 ml on SP 5 mg/jam
Rawat ICVCU
Terapi :
1. Bedrest total
2. O2 3 lpm nasal kanul k/p
3. DJ II 1700 kkal
4. IVFD RL 20cc/jam
5. Inj Furosemid 100 mg/50 ml on SP 5 mg/ jam iv
6. Inj Isorbid 10 mg/50 ml on SP 1,5 mg/jam iv
Plan :
1. EKG / pagi
2. Cek lab melengkapi
3. Rontgen thoraks cito on bed
4. Echocardiography
B. Follow Up
Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan
22/05/17 Sesak(+), nyeri Px Fisik Terapi
DPH 0 Mata 1. Bedrest total
dada (-), berdebar
ICVCU Anemis (-/-), ikterik (-/-) 2. O2 3 lpm nasal kanul 3-
(-) Leher
4 lpm
TD:129/75mmHg JVP 5+4 cm
3. Diet jantung II 1700
HR : 106x/menit Cor
RR : 24x/menit I: IC tak tampak kkal
Nadi: 106x/menit P:IC tak kuat angkat 4. Infus NaCl 20cc /jam
SiO2: 99% P: Batas jantung kesan 5. Inj Dobutamin
GDS:238 6. Clopidogrel 75 mg/
melebar caudolateral
BC: I: 192,5
A: BJ I-II (N) reguler, 24jam
O: 720
7. Aspilet 8mg/ 24jam
:-527,5 bising negatif
8. Atorvastatin 40mg/ 24
Pulmo
SDV (+/+), RBH (-/-) jam
Abdomen
Supel, nyeri tekan (-),
Plan
bising usus (+)
1. EKG/hari
Ekstremitas
Oedema tidak ada, akral
dingin tidak ada

Diagnosis :
A(x) : NSTEMI pada
OMI inferoposterior
F(x) : KILLIP III
E(x) : Penyakit Jantung
Koroner (PJK)
P :
1.Hipertensi stage II
2. Leukositosi (13.600)
3. Anemia (10.7)
4. Azotemia (Cr:1.8, CCR
36,6 ml/mm)
5. Hiperglikemia susp
DM tipe II dd reaktif.
TIMI 2/7
GRACE
CRUSADE

EKG 1

Hasil : Sinus

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan


23/05/17 Sesak (-), nyeri PxFisik Terapi
DPH I Mata 1. Bedrest total
dada (-), berdebar
ICVCU Anemis (-/-), ikterik (-/-) 2. O2 3 lpm nasal kanul
(-) Leher 3. Diet jantung II 20 ml/jam
Kesadaran: apatis JVP 5+2 cm 4. Infus RL 20 ml/jam
TD:120/60mmHg Cor 5. Inj Furosemid 100 mg/50
HR : 104x/menit I: IC tak tampak
ml NaCl 0.9% on SP 10
RR : 16x/menit P:IC tak kuat angkat
Nadi: 104x/menit P: Batas jantung kesan mg/jam
SiO2: 99% 6. Inj Isorbid 10 mg/50 ml
melebar caudolateral
GDS 224
A: BJ I-II (N) reguler, NaCl 0.9% on SP 0.5
bising negatif mg/jam
Pulmo 7. Inj Arixtra 2.5 mg/24 jam
SDV (+/+), RBH (-/-)
SC (II)
Abdomen
8. Captopril 3x12.5 mg
Supel, nyeritekan (-),
9. Atorvastatin 1x20 mg
bisingusus (+) 10. Inj Insulin 50 unit/50 ml
Ekstremitas
NaCl 0.9% on SP (TS
Oedematidakada, akral
Interna)
dingin tidak ada
Plan
1. EKG/pagi
Diagnosis :
2. Echocardiography
A(x) : NSTEMI pada 3. GDS/pagi
4. Cek elektrolit ulang
OMI inferoposterior
5. AGD pagi
F(x) : KILLIP III
(perbaikan)
E(x) : Coronary
Artery Disease
P : Hipertensi
stage II, Leukositosis
(13.600), Anemia (10.7),
Azotemia (Cr 1.8, CCT
36.6 ml/min),
Hiperglikemia susp DM
tipe II dd reaktif

EKG 1
Hasil :
24/11/16 Sesak (-), nyeri PxFisik Terapi
DPH II Mata 1. Bedrest total
dada (-), berdebar
ICVCU Anemis (-/-), ikterik (-/-) 2. O2 3 lpm nasal kanul
(-) Leher 3. Diet jantung I 1700 kkal
JVP 5+2 cm
67200 ml + DM
TD:164/86mmHg Cor
4. IVFDRL 20 ml/jam
HR : 130x/menit I: IC tak tampak
5. Inj Furosemid 20 mg/8jam
RR : 20x/menit P:IC tak kuat angkat
Nadi:130 x/menit P: Batas jantung kesan iv
SiO2: 97% 6. Inj Arixtra 2.5 mg/24 jam
melebar caudolateral
GDS 146
A: BJ I-II (N) reguler, SC (III)
7. Captopril 3x12.5 mg
bising negatif
8. Clopidogrel 75 mg/ 24jam
Pulmo
9. Aspilet 8mg/ 24jam
SDV (+/+), RBH (-/-)
10. Atorvastatin 20mg/ 24
Abdomen
Supel, nyeritekan (-), jam
11. Citicholine 250 mg/12
bisingusus (+)
Ekstremitas jam iv (TS Neuro)
Oedematidakada, 12. Paracetamol 1000 mg iv
akraldingintidakada k/p
13. Inj omeprazole 40 mg/12
Diagnosis :
jam (TS interna)
A(x) : NSTEMI pada 14. Inj humalog mix 20-0-18
OMI inferoposterior unit SC (TS interna)
F(x) : KILLIP III
(perbaikan) EF 40-45% Plan
1. EKG/pagi
E(x) : Coronary
2. GDS/pagi
Artery Disease 3. Cek DR3, Ur, Cr,
P : Hipertensi Elektrolit
4. Pro DCA
stage II, Leukositosis
(13.600), Anemia (10.7),
Azotemia (Cr 1.8, CCT
36.6 ml/min),
Hiperglikemia ec DM
(HbA1c 8.5), susp
stroke hemoragik dd
emboli, observasi febris,
hematemesis
EKG
Hasil : Sinus Takikardi 120 bpm, normoaxis, Q patologis di lead II, III, aVF, T inverted di
lead V1-V4

BAB IV
ANALISIS KASUS
15

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Hal: 1616.

Brown, Carol T. 2005. Penyakit Aterosklerotik Koroner. dalam

PatofisiologiKonsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1.

Jakarta: EGC. Hal 589-599.

Choi BW. 2010. Differentiation of Acute Myocardial Infarction from Chronic

Myocardial Scar with MRI. Korean J Radiol 7(1).

Davey P. 2010. At A Glance Medicine. Jakarta. Erlangga Medical Series.

Departemen Patologi Anatomi FK UNDIP. 2013. Patologi Anatomi

Kardiovaskular. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Ferri F. 2011. Practical Guide to The Care of The Medical Patient. Philadelphia:

Mosby Elsevier.

Guyton AC. 2010. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC

Penerbit Buku Kedokteran

Harun, Sjaharuddin, Idrus Alwi. 2000. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST.

dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Hal: 1626.

Horstick G, Bierbach B. et al. 2009. Critical Single Proximal Left Arterial

Descending Coronary Artery Stenosis to Mimic Chronic Myocardial

Ischemia: A New Model Induced by Minimal Invasive Technology. J Vasc

Res;vol46:290298

Kumar, Abbas, Fausto, dan Mitchell. 2010. Robbins: Basic Pathology. 8th ed.

Philadelphia: Saunders Elsevier.


16

Nafrialdi and Suyatna FD. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), (2015).

Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam

Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.

Hal 589-590.

Rilantono, Lily, Ismudiati, et al. 2014. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. hal 173-181.

Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. (2014). Kapita Selekta Kedokteran

Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius

Udjianti WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

Wollert KC, Drexler H. Clinical applications of stem cells for the heart.

Circulation Research. 2005;96(2):151-63.

Anda mungkin juga menyukai