Anda di halaman 1dari 31

REFERAT/CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan klinik senior/ GIA 213020


**Pembimbing : dr. Samsirun Halim, SpPD, KIC-FINASIM

SEPSIS
Ananda Ulandari, S.Ked* dr. Samsirun Halim, SpPD, KIC-FINASIM **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANASTESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2015

LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

SEPSIS

Oleh :
Ananda Ulandari, S.Ked
G1A12130

Telah disetujui dosen pembimbing pada Maret 2015


Pembimbing

dr. Samsirun Halim, SpPD, KIC-FINASIM

KATA PENGANTAR
2

Puji syukur atas rahmat yang diberikan Allah SWT, dan atas segala kemudahan yang
diberikannya sehingga laporan refrat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tak lupa
shalawat dan salam kepada junjungan dan teladan kita nabi Muhammad SAW.
Refrat dengan judul Sepsis dibuat sebagai salah satu syarat pada kepaniteraan klinik
senior di bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher. Ucapan terimakasih yang tulus dan
penghargaan yang setingi-tingginya saya berikan kepada dr. Samsirun Halim, SpPD, KICFINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis saat
mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher.
Penulis menyadari bahwa refrat ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dapat diharapakan
untuk kesempurnaan di masa yang akan datang. Saya berharap semoga laporan ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.

Jambi, Maret 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
3

Sepsis didefinisikan sebagai suatu infeksi yang dicurigai adanya tanda-tanda


peradangan sistemik. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis dan disfungsi organ atau
hipoperfusi jaringan. Syok sepsis didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis
meskipun resusitasi cairan yang cukup.1
Sepsis sering terjadi dengan kejadian 751,000 kasus sepsis berat di USA. 2 Sementara
di Eropa, hasil penelitian observasional yang dilakukan oleh Sepsis Occurrence in Acutely Ill
Patients (SOAP) menunjukan sekitar 30% pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU)
mengalami sepsis berat selama dirawat di ICU.3 Padkin et al. dalam penelitiannya
melaporkan hasil yang sama bahwa sekitar 27% pasien dewasa yang dirawat ICU di UK
mengalami sepsis berat dalam 24 jam pertama perawatan. 4 Penelitian lain secara umum
menunjukan kejadian sepsis berat yang lebih rendah, seperti sebanyak 8% di Slovakia dan 17
% di Brazil,5-11 tetapi banyak dari pasien ini termasuk pasien post operasi rutin yang lebih
sedikit mengalami sepsis. Perbandingan langsung kejadian ini sulit ditenstukan karena
perbedaan desain penelitian, definisi, perawatan dan kriteria discharge di semua unit. Sepsis
berhubungan dengan risiko kematian. SOAP3 melaporkan tingkat mortalitas 27% untuk
pasien dengan sepsis dan meningkat 32% pada sepsis berat dan 54% untuk pasein dengan
syok septic. Meskipun beberapa bukti menyatakan tingkat mortalitas pasien dengan sepsis
menurun dalam beberapa tahun terahir, namun insidensi sepsis, dan jumlah sepsis yang
berkaitan dengan kematian justru meningkat.12,13
Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi HIV dan keganasan
merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Beberapa kondisi
tertentu seperti gangguan organ secara progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut
juga berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. Turunnya angka kematian dapat
disebabkan karena adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi
iatrogenik.14,15
Di Indonesia, hasil observasi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Sardjito diperoleh data dari rekam medis bulan Januari sampai awal November tahun 2011
bahwa jumlah pasien paling banyak terdiagnosis sepsis yang mencapai 657 pasien dan 311
pasien diantaranya dirawat di instalasi penyakit dalam dengan rata-rata lama rawat inap 10
hari. Sebanyak 994 kejadian mortalitas, 33% diantaranya disebabkan karena sepsis dan
pneumoni.

Ekspedisi penyelamatan sepsis telah diusahakan untuk meningkatkan kewaspadaan


terhadap sepsis. Ekpedisi juga dilakukan untuk menetapkan pedoman ketetapan praktek
dalam meningkatkan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Sejak
dipublikasikan ulangan terakhir pedoman sepsis pada tahun 2008, beberapa penelitian dengan
implikasi mayor terhadap penilaian awal dan manajemen dari bagian kedaruratan (IGD)
pasien dengan sepsis berat dan syok septik telah dipublikasikan kembali. Hasil dari penelitian
ini adalah publikasi terbaru dari Ekspedisi Pedoman Penyelamatan Sepsis 2012 (The
Surviving Sepsis Campaign Guidelines), yang telah disahkan oleh bagian perawatan kritikal,
penyakit infeksi, dan perawatan serta oleh American College of Emergency Physicians and
Society for Academic Emergency Medicine.
Tujuan dari ulasan ini adalah untuk menyediakan praktisi kedaruratan suatu sinopsis
dari perubahan terkini pada pedoman, dengan penekanan khusus untuk penilaian di ICU atau
tidak ICU dan manajemen awal sepsis.

BAB II
SEPSIS
2.1 Definisi
5

Sepsis telah dikenal sejak Schottmueller pertama kali memperkenalkan hubungan


antara keberadaan kuman pathogen di dalam aliran darah dan berkembang menjadi gejala dan
tanda sistemik.16 Meskipun sering tertukar pengertian dengan istilah infeksi, septikemia,
bacteraemia, sepsis syndrome etc, yang membuat bingung meskipun pada dasarnya, konsep
sepsis harus diahami yaitu respons host terhadap infeksi. Pada tahun 1991 North American
Consensus Conference mengonsepkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS)17
yang sekarang dikenal dengan 4 kriteria klinik yaitu : temperature >38C atau <36C; HR>
90 x/menit; respiratory rate > 20 x/menit or PCO2<32 mmHg; white blood cell <12109/l or
<4.0109/l.
Beberapa definisi yang dikenal saat ini adalah :18
1. Infeksi adalah suatu proses patologik yang disebabkan oleh invasi dari jaringan
normal yang steril atau cairan atau ruang tubuh oleh mikroorganisme pathogen atau
potensial pathogen.
2. SIRS adalah kondisi pasien yang memiliki 2 atau lebih kriteria berikut : Suhu >38 0C
atau <360C, Heart Rate n > 90 denyut/menit, Resprasi >20/menit atau PCO 2<
32mmHg, Hitung leukosit >12.000 atau >10% sel immatur.
3. Sepsis adalah sindrom klinik yang didefinisikan oleh keberadaan infeksi dan SIRS
4. Severe sepsis adalah sepsis berkomplikasi dengan disfungsi organ
5. Septic shock adalah severe sepsis ditambah stadium gagal sirkulasi akut dicirikan oleh
hipotensi arteri persisten (tekanan sistolik arteri < 90 mmHg, mean arterial pressure
<60 mmHg atau reduksi tekanan darah systolic > 40 mmHg) yang tidak dapat
dijelaskan oleh penyebab lain dan meskipun resusitasi volume yang adekuat.

2.2

Epidemiologi

20

2.3

Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan presentase 60-70%

kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang terpacu
untuk melepaskan mediator inflamasi.19
Diagram 1. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis pada anak20

Etiologi sepsis diantaranya dapat disebabkan oleh beberapa jenis mikroorganisme


yaitu :
1. Basil Gram negative biasa terjadi di paru, abdomen, aliran darah, atau saluran kemih
-

Escherichia coli,

Klebsiella species

Pseudomonas aeruginosa)
7

2. Kokus gram positive biasa terjadi pada infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi berkaitan
dengan peralatan intravaskuler, infeksi aliran darah primer, atau infeksi respirasi. Bakteri
gram positif dapat menyebabkan sepsis melalui dua mekanisme yaitu melalui produksi
eksotoksin yang berperan sebagai superantigen dan dengan produksi komponen dari
dinding sel mereka yang menstimulasi sel imun.
-

Staphylococcus aureus

coagulase negative staphylococci

Strep pyogenes,

viridans streptococci

Strep pneumoniae

3. Fungi
-

Candida sekitar 5% dari semua kasus sepsis berat 3

Faktor Risiko
-

Usia > 70 risiko meningkat

Kondisi premorbid seperti DM, COPD, alcohol

Immunocompromised, penggunaan steroid

Malignansi

Chronic liver disease

Chronic renal failure

Operasi besar, trauma, luka bakar

Kateter

Terapi antibiotic sebelumnya

Hospitalisasi lama

Perdarahan

Infark miokar

Anafilaksis

Emboli paru

2.4 Patofisiologi
Syok sepsis dapat terjadi setelah infeksi sistemik massif dan pelepasan mediator
vasoaktif

inflamasi.

Zat-zat

ini

menyebabkan

vasodilatasi

sistemik

dan

edema,

mengakibatkan tekanan darah kolaps. Syok septik juga dapat terjadi pada infeksi oleh bakteri
hematogen atau akibat pengeluaran isi saluran cerna atau pecahnya usus buntu. Sebagian
8

bakteri bertindak sebagai superantigen yang mampu merangsang dengan cepat terjadinya
syok sepsis.21
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke
dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan
disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi.
Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung
luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat
meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik. Manifestasi klinik inflamasi sistemik
disebut systemic inflamation respons syndrome (SIRS), sedangkan sepsis adalah SIRS
ditambah tempat infeksi yang diketahui.
Meskipun sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus
terdapat bakteriemia. Berdasarkan konferensi internasional tahun 2001 memasukkan petanda
procalcitonin (PCT) sebagai langkah awal dalam mendiagnosa sepsis. Purba D (2010) di
Medan, pada penelitian prokalsitonin sebagai petanda sepsis mendapatkan nilai PCT 0,80
ng/ml sesuai untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan kadarnya semakin meningkat
berdasarkan keparahan penyakit. Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi
pelepasan faktor-faktor proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan. Keseimbangan dari
sinyal yang saling berbeda ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan jaringan. Ketika
keseimbangan proses inflamasi ini hilang akan terjadi kerusakan jaringan yang jauh, dan
mediator ini akan menyebabkan efek sistemik yang merugikan tubuh. Proses ini dapat
berlanjut sehingga menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih banyak
faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit.
Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik
yang bersifat proinflamasi maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah
tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interferon- (IFN-) yang bekerja
membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin
antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas
untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6
dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus. Penyebab sepsis paling
banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram
(+). Komponen endotoksin utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein
kompleks dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, bersama
9

dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab).
LPSab yang berada dalam darah penderita dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi
dengan makrofag yang kemudian mengekspresikan imunomudulator. 2,3 Pada sepsis akibat
kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-antigen setelah difagosit oleh monosit
atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell dan kemudian ditampilkan
sebagai antigen presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik
yang berasal dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian berikatan dengan CD4
2 + (limposit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor (TCR). Sebagai usaha tubuh
untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang
berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-, IL-2, dan macrophage colony stimulating
factor (M-CSF0. Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-
meransang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. Pada sepsis IL-2 dan TNF- dapat
merusak endotel pembuluh darah. IL-1 juga berperan dalam pembentukan prostaglandin E2
(PG-E) 2,3 dan meransang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). ICAM-1
berperan pada proses adhesi neutrofil dengan endotel. Neutrofil yang beradhesi dengan
endotel akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga
membawa superoksidan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria.
Akibat proses tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan
menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ multiple.

2.5 Gejala Klinis22


Manifestasi tanda dan gejala selain respons inflamasi sistemik, tumpang tindih dengan
tanda dan gejala penyakit dan infeksi primer yang mendasari.22
Beberapa gejala sepsis
Gejala dan tanda umum23
-

Malang, demam ( kadang-kadang hipotermia)

Takipnea/alkalosis respiratori

Balans cairan positive, edema

Hematologi general / reaksi inflamasi


-

Leukositosis

Peningkatan penanda inflamasi ( CRP, prokalsitonin, interleukin 6)

Perubahan hemodinamik
-

Hipotensi arteri
10

Takikardia yang tidak dapat dijelaskan

Peningkatan CO / resistensi vaskuler sistemik rendah / SvO2 tinggi

Perubahan perfusi kulit

Pernurunan urin output

Hiperlaktatemia yang tidak dapat dijelaskan / peningkatan deficit basa

Gejala disfungsi organ


-

Hipoksemia (acute lung injury)

Perubahan status mental

Perubahan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan

Hiperglikemia

Trombositemia / DIC

Perubahan uji fungsi hepar yang tidak dapat dijelaskan (hiperbilirubinemia)

Intoleransi feeding (perubahan motilitas gastrointestinal)

2.6 Diagnosis
Diagnosis sepsis memerlukan anamnesis cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium
yang sesuai. Mendiagnosis infeksi, dan sepsis, pada pasien yang dirawat di ICU sering sulit
karena sering disertai proses underlying disease yang kompleks.
2.6.1

Anamnesis
Membantu menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas atau nosokomial dan

apakah pasien imunokompromis. Penyebab dapat jelas terlihat pada pasien trauma, luka bakar atau
tindakan pembedahan dan lebih sulit untuk penegakan diagnosa pada pasien dengan infeksi organ dalam
(seperti pankreatitis, sepsis ginekologis) terutama pada pasien yang tidak sadar.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh.
2.6.3 Uji laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitungan diferensial urinalisis,
gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas
darah arteri, EKG dan ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus
dilakukan.
11

Kelainan yang terjadi pada awal respons sepsis mencakup leukositosis dengan trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Leukopenia dapat ditemukan. Ketika respon septik makin berat,
trombositopenia dapat memburuk (seringkali dengan pemanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen
dan peningkatan D-dimer yang menunjukkan suatu keadaan koagulasi intravascular diseminata)
hiperbilirubinemia makin jelas dan dapat ditemukan peningkatan enzim aminotransferase.22
Hiperventilasi pada awal sepsis dapat mencetuskan alkalosis respiratorik. Ketika otot pernapasan
mulai fatique dan akumulasi laktat makin tinggi, maka asidosis metabolik dengan anion gap dapat ditemukan.
Analisa gas darah dapat menjumpai adanya hipoksemia yang pada awalnya dapat dikoreksi dengan
suplementasi oksigen. Foto thoraks mungkin dapat normal atau dapat menunjukkan adanya pneumonia
sebagai penyebab sepsis atau infiltrate difus pada kasus ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). EKG
biasanya menunjukkan sinus takikardia.22
Kebanyakan pasien diabetes dengan sepsis akan mengalami hiperglikemia dan infeksi yang berat
dapat mencetuskan ketoasidosis DM. Albumin akan turun seiring perjalanan penyakit dan derajat sepsis.22
Diagnosis etiologi membutuhkan isolasi mikroorganisme dari darah dan atau dari tempat infeksi
local. Setidaknya 2 sampel darah (masing-masing 10 cc) seharusnya diambil dari punksi vena yang berbeda
untuk kultur. Marker inflamasi seperti C Reaktif Protein dapat membantu menegakkan diagnosis.
Table 1. Kriteria Diagnosis untuk Sepsis dan Sepsis Berat, di Adaptasi dari: Surviving Sepsis
Campaign 20121
Sepsis:

infeksi

yang

ditandai

dengan

beberapa hal berikut ini :

Peningkatan kadar kreatinin > 0,5


mg/dL

Variabel umum

Abnormalitas koagulasi (INR >1.5 atau

Demam (suhu > 38,3C)

PTT > 60 detik)

Hipotermi (suhu < 36C)

Ileus (tanpa bunyi usus)

Nadi > 90x/m atau lebih dari 2 SDs

Trombositopenia

diatas normal dari usia

(hitung

platelet

(total

bilirubin

<100,000 L)

Takipneu

Perubahan status mental

Edema signifikan atau keseimbangan

Hiperbilirubinemia
plasma >4 mg/dL)

cairan positif (>20 mL/kg selama 24 Variabel Perfusi Jaringan


-

jam)

Hiperlaktatemia (>1 mmol/L)

Hiperglisemia (glukosa darah > 140

Penurunan pengisian kapiler

mg/dL atau 7,7 mmol/L) bukan pada


diabetes

Sepsis berat : hipoperfusi jaringan yang


12

Variabel inflamasi

diinduksi sepsis atau disfungsi organ (salah

Leukositosis (WBC >12000 L)

satu berikut terjadi karena infeksi)

Leukopenia (WBC <4000 L)

Hipotensi yang diinduksi sepsis

Jumlah WBC normal dengan > 10%

Kadar laktat diatas batas dari kadar

bentuk immatur
-

laboratorium normal

Protein C-reactif Plasma lebih dari 2

SDs diatas nilai normal

lebih dari 2 jam meskipun resusitasi

Prokalsitonin plasma > 2 SD di atas

cairan adekuat

nilai normal

Variabel Hemodinamik
-

Hipotensi arteri (SBP < 90 mmHg,

infeksi
-

Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2

SBP > 40 mmHg, pada orang dewasa

<200 pada pneumonia sebagai sumber

atau kurang dari 2 SDs dibawah nilai

infeksi

normal dari usia


Variabel Disfungsi Organ
Hipoksemia

Arterial

(PaO2/FiO2

<300)
-

Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2


<250 tanpa pneumonia sebagai sumber

MAP < 70 mmHg, atau penurunan

Output urin <0,5 mL/kg perjam untuk

Kadar kreatinin >2.0 mg/dL

Kadar Bilirubin >2 mg/dL

Hitung trombosit <100,000 L

Koagulopati

(International

Normal

Ratio > 1,5)

Oliguria akut (urin output <0,5 mL/kg


per jam selama sedikitnya 2 jam
meskipun resusitasi cairan adekuat

2.7

Tatalaksana

Terapi Cairan
Cairan kristaloid digunakan sebagai cairan awal dari pilihan dalam resusitasi sepsis
berat dan syok septik (tingkat 1B). Penggunaan HES untuk resusitasi cairan dari sepsis berat
dan syok septik (tingkat 1B) tidak disarankan. Penggunaan albumin dalam resusitasi cairan
sepsis berat dan syok septik ketika pasien membutuhkan jumlah besar kristaloid (tingkat 2C)
juga disarankan. Berikan cairan kristaloid minimal pada 30 mL / kg (sebagian dari ini
mungkin setara albumin). Pemberian yang lebih dan cepat dan jumlah besar cairan mungkin
diperlukan pada beberapa pasien (tingkat 1C).
Teknik tantangan cairan diterapkan ketika pemberian cairan dilanjutkan selama ada
perbaikan hemodinamik berdasarkan baik dinamis (misalnya, perubahan tekanan nadi, variasi
13

stroke volume) atau variabel statis (misalnya, tekanan arteri, denyut nadi) (tidak ditingkatkan
mutunya). Beberapa perubahan dalam hal terhadap resusitasi cairan yang mungkin memiliki
implikasi langsung untuk perawatan IGD yang termasuk dalam pedoman 2012. Percobaan
acak telah gagal untuk menunjukkan setiap manfaat yang jelas dari koloid daripada kristaloid,
dan diberikan beban tambahan koloid, kristaloid tetap dianjurkan sebagai pilihan terapi cairan
awal untuk ekspansi volume. Saran untuk mempertimbangkan albumin sebagai terapi yang
direkomendasikan untuk ekspansi volume pada pasien yang membutuhkan volume besar
kristaloid dengan pedoman baru dan bisa dipertimbangkan oleh dokter IGD. Rekomendasi ini
didasarkan baru-baru ini pada meta-analisis yang diselesaikan oleh Delaney dkk,
menunjukkan manfaat albumin dibandingkan dengan kristaloid, serta dikenal efek merugikan
dari keseimbangan sebagian besar caifran positif selama 4 hari pertama di ICU. Namun,
penentuan apa yang mendefinisikan volume besar cairan tetap tidak terdefinisi. Oleh karena
itu tidak jelas dari pedoman saat pada volume apa dari pemberian cairan oleh dokter harus
diganti dari kristaloid menjadi albumin berdasarkan resusitasi volume. Kekhawatiran barubaru ini tentang keamanan sintetis koloid, penggunaan pati khusus HES yang terkait dengan
peningkatan kejadian gagal ginjal, telah mengungkapkan bahwa tidak pantas untuk
menganalisis pengaruh pengobatan albumin dalam agregat dengan koloid sintetik, mengingat
profil keselamatan mereka berbeda.
Karena Pasien dengan dugaan sepsis berat dengan hipotensi atau tingkat laktat
meningkat lebih besar dari atau sama dengan 4 mmol/L adalah direkomendasikan. Pedoman
tidak memberikan alasan untuk pilihan awal kristaloid 30 mL/kg bolus. Ini adalah titik tidak
konsistensi dokumen internal lain, pada 30 mL / kg kristaloid bolus dalam pengaturan
hipoperfusi yang diinduksi sepsis dengan kecurigaan hipovolemia dianjurkan dalam bagian
terapi cairan dari pedoman yang sebenarnya; Namun, perawatan bundel hanya
merekomendasikan 30 mL / kg kristaloid bolus dalam pengaturan hipoperfusi yang diinduksi
sepsis, dengan tidak menyebutkan kecurigaan hipovolemia. Demikian juga, bagian tujuan
rekomendasi resusitasi dari pencapaian parameter yang terkait denan status volume (tekanan
vena sentral dan output urin) yang hanya berdasarkan identifikasi hipoperfusi yang diinduksi
sepsis, dengan tidak menyebutkan dugaan hipovolemia.
Pengukuran tekanan vena sentral telah dipindahkan dari bagian ini namun masih
direkomendasikan sebagai bagian dari tujuan resusitasi. Pedoman 2012 sekarang
merekomendasikan langkah-langkah tambahan tanggap Volume selain tekanan vena sentral,
termasuk variabel statis, seperti tekanan arteri dan denyut nadi, serta variabel dinamis, seperti
14

perubahan tekanan nadi atau variasi stroke volume. Ini tetap merupakan bukan peningkatan
mutu rekomendasi, dan pembatasan bukti tertentu, pilihan dari metode penilaian respon
cairan untuk bolus diserahkan kepada dokter yang merawat.
Kultur Darah dan Antibiotik
Kultur dilakukan sebelum terapi antimikroba dimulai, jika kultur tersebut tidak
menyebabkan penundaan yang signifikan (>45 menit) di awal pemberian antimikroba
(tingkat 1C). Untuk mengoptimalkan identifikasi organisme penyebab, sebaiknya dilakukan
minimal 2 set kultur darah (kedua botol aerobik dan anaerobik) sebelum terapi antimikroba,
dengan setidaknya 1 diperoleh perkutan dan 1 melalui masing-masing perangkat akses
pembuluh darah. Kultur darah dapat diperoleh pada saat yang sama jika berasal dari lokasi
yang berbeda. Kultur dari situs lain (sebaiknya saat kuantitatif yang tepat), seperti urin, cairan
serebrospinal, luka, sekresi pernapasan, atau cairan tubuh lain yang mungkin menjadi sumber
infeksi, juga harus diperoleh sebelum terapi antimikroba, namun tidak menyebabkan
penundaan dalam pemberian antibiotik (tingkat 1C).
Pemberian antimikroba intravena efektif dalam jam pertama syok septik (kelas 1B)
dan sepsis berat tanpa syok septik (kelas 1C). Terapi empiris anti-infeksi awal 1 atau lebih
obat yang memiliki aktivitas terhadap semua kemungkinan patogen (bakteri atau jamur atau
virus) diberikan agar dapat menembus ke dalam jaringan yang dianggap menjadi sumber
sepsis (tingkat 1B).
Terapi empirik harus memberikan aktivitas antimikroba terhadap patogen yang paling
mungkin menurut masing-masing penyakit pasien dan pola infeksi lokal. Terapi kombinasi
untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat (tingkat 2B) dan untuk pasien dengan sulit
diobati, bakteri patogen multidrugresistant seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp
(tingkat 2B) direkomendasikan. Untuk pasien yang dipilih dengan infeksi berat terkait dengan
kegagalan pernapasan dan syok septik, terapi kombinasi dengan b-laktam spektrum luas dan
baik aminoglikosida atau fluorokuinolon disarankan untuk bakteremia P. aeruginosa (tingkat
2B). Demikian pula, kombinasi dari B-laktam yang lebih kompleks dan sebuah macrolide
disarankan untuk pasien dengan syok septik dari infeksi bakteremik Streptococcus
pneumoniae (tingkat 2B).
Terapi antivirus dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis berat atau syok
septik akibat virus (tingkat 2C). Kami merekomendasikan bahwa agen antimikroba tidak
digunakan pada pasien dengan status inflamasi parah untuk menjadi penyebab non-infeksi
(tidak ditingkatkan mutunya).
15

Mengingat pentingnya waktu pemebrian antimikroba, dan pentingnya kultur, 2


kepentingan ini telah menyebabkan rekomendasi antibiotik spektrum luas diberikan sebelum
kultur darah diperoleh jika lebih lama dari 45 menit. Data pengamatan secara retrospektif
menyarankan bahwa waktu pemberian antibiotik dari awal hipotensi dapat menjadi penentu
hasil pasien pada sepsis berat dan syok septik, dan rekomendasi saat ini menyarankan
pemberian antibiotik spektrum luas untuk semua potensial patogen (termasuk organisme
virus dan jamur) dalam 1 jam sejak diagnosis syok.
Pedoman merekomendasikan pemberian dalam waktu 1 jam sejak diagnosis sepsis
berat dan syok septik. Namun, tujuan bundel perawatan ini adalah pemberian antibiotik
dalam waktu 3 jam dari triase IGD. Pedoman 2012 menyatakan bahwa tidak ada data yang
mendukung dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Pilihan terapi antibiotik harus mencakup semua patogen yanng mungkin. Pedoman
khusus terhadap meningkatnya prevalensi Stafilokokus aureus resistan oksasilin (methicillin)
dan basil gram-negatif dalam beberapa komunitas dan pengaturan perawatan kesehatan
resisten terhadap -laktam spektrum luas dan karbapenems, dan menyarankan cakupan
empiris untuk organisme seperti pada pasien di mana prevalensi organisme adalah signifikan.
Dokter juga harus mempertimbangkan kemungkinan infeksi jamur, terutama pada pasien
dengan faktor risiko kandidemia seperti imunosupresi atau neutropenia, terapi antibiotik
spektrum luas sebelumnya, atau kolonisasi beberapa situs.
Meskipun kultur darah penting untuk keputusan de-eskalasi, sangat penting untuk
memperhatikan pedoman 'fokus pada memastikan cakupan antibiotik awal yang memadai:
"Pasien dengan sepsis berat atau syok septik diberikan terapi spektrum luas sampai organisme
penyebab dan kerentanan antimikroba didapatkan". Terapi kombinasi awal (biasanya
didefinisikan sebagai 2 kelas antibiotik yang berbeda, biasanya -laktam dan baik sebuah
macrolide, fluorokuinolon, atau aminoglikosida) telah dikaitkan dengan hasil klinis yang
unggul dalam analisis kecenderungan kecocokan dari pasien yang sakit parah dengan syok
septik yang berisiko tinggi kematian. Penggunaan terapi kombinasi membawa tambahan
manfaat menjadi lebih mungkin untuk memiliki minimal 1 antibiotik yang efektif terhadap
organisme yang resistan terhadap obat.
Tujuan Resusitasi
Kami merekomendasikan protocol ini untuk resusitasi kuantitatif dari pasien dengan
hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis (disebut sebagai hipotensi persiten setelah
pemberian cairan atau konsentrasi laktat darah 4 mmol/L). Protokol ini harus dimulai
16

segera setelah hipoperfusi dikenali dan tidak menunda admisi ICU. Selama 6 jam resusitasi,
tujuan dari resusitasi awal dari hipoperfusi diinduksi sepsis harus terlibat semua dari beberapa
bagian protokol pengobatan (tingkat 1C):

Tekanan vena sentral 8 - 12 mmHg


Tingkat MAP lebih besar atau sama 65 mmHg
Output urin lebih besar atau sama 0,5 mL/kg per jam
ScvO2 atau campuran Svo2 70% atau 65% masing-masing.
Target resusitasi adalah hingga kadar laktat normal pada pasien dengan elevasi kadar

laktat sebagai tanda dari hipoperfusi jaringan (tingkat 2C). Hasil penelitian menunjukan
manfaat kelangsungan hidup saat resusitasi kuantitatif dimulai lebih awal, tanpa manfaat
yang jelas jika dimulai terlambat. Oleh karena itu, adalah bijaksana untuk memulai langkahlangkah resusitasi saat sepsis berat diakui.
Kampanye Penyelamatan Sepsis merekomendasikan resusitasi berjenjang berdasarkan
konsep dari pertama memaksimalkan preload melalui penggunaan agen pengembangan
volume, memastikan perfusi organ pasien memadai, hipotensi terus-menerus melalui
penggunaan vasopresor, pemantauan urin yang memadai sebagai pengganti untuk perfusi
organ vital, dan akhirnya menjamin suplai oksigen dan pencocokan permintaan. Tujuan
protokol spesifik kuantitatif resusitasi dalam hal tekanan vena sentral, berarti tekanan arteri,
urin, dan ScvO2 atau campuran SvO2 masih tidak berubah.
Ada beberapa inkonsistensi penting dalam pedoman 2012 yang berkaitan dengan
tujuan resusitasi. Pertama, pengukuran tekanan vena sentral sederhana, ScvO 2, dan awal dan
konsentrasi laktat diulang (jika pengukuran laktat awal diangkat) dianjurkan dalam waktu 6
jam dalam bundel perawatan (lihat " Bundle Perawatan Kampanye Penyelamatan Sepsis " di
bawah), tetapi bundel tidak memerlukan pencapaian nilai tertentu dari pengukuran ini seperti
yang terjadi pada versi 2008. Perbedaan ini penting karena pedoman yang sebenarnya
merekomendasikan nilai-nilai parameter tertentu yang dapat dicapai; Namun, bundel tidak.
Kedua, pedoman menyarankan resusitasi yang tujuannya dicapai dalam waktu 6 jam
dari pengakuan hipoperfusi yang diinduksi sepsis (didefinisikan sebagai hipotensi yang terus
berlangsung setelah tantangan cairan awal atau konsentrasi laktat darah 4 mmol/L);
Namun, penyelesaian komponen resusitasi 3 dan 6 jam dimulai dari bendel dimulai saat triase
di IGD. Hal ini tidak jelas persis bagaimana dokter harus mencocokan ketidak konsistensi ini.
Vasopressor
Terapi vasopressor menargetkan tekanan arteri rata-rata 65 mm Hg (tingkat 1C).
Norepinefrin sebagai pilihan pertama vasopressor (tingkat 1B). Kami menyarankan epinefrin
17

(ditambahkan dan berpotensi menggantikan norepinephrine) ketika agen tambahan yang


diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah memadai (tingkat 2B). Vasopresin (hingga
0,03 U / menit) dapat ditambahkan ke norepinefrin dengan maksud meningkatkan tekanan
arteri rata-rata untuk menargetkan atau menurunkan dosis norepinefrin (tidak ditingkatkan
mutunya).
Dosis rendah vasopressin tidak dianjurkan sebagai awal vasopressor tunggal untuk
pengobatan hipotensi yang diinduksi sepsis dan dosis vasopressin lebih tinggi dari 0,03-0,04
U / menit harus disediakan untuk terapi penyelamatan (kegagalan untuk mencapai rata-rata
yang memadai tekanan arteri dengan agen vasopressor lainnya) (tidak ditingkatkan mutunya).
Dopamin sebagai agen vasopressor alternatif norepinephrine digunakan hanya pada
pasien yang sangat terpilih (misalnya, pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan
bradikardia absolut atau relatif) (tingkat 2C). Fenilefrin tidak dianjurkan dalam pengobatan
syok septik kecuali dalam keadaan berikut: (a) norepinefrin berhubungan dengan aritmia
yang serius, (b) curah jantung diketahui tinggi dan tekanan darah yang masih rendah, atau (c)
itu akan digunakan sebagai terapi penyelamatan bila dikombinasikan inotropik/ obat
vasopressor dan vasopressin dosis rendah telah gagal untuk mencapai target tekanan arteri
rata-rata (tingkat 1C).
Dosis rendah dopamin tidak dapat digunakan untuk perlindungan ginjal (tingkat 1A).
Semua pasien yang membutuhkan vasopressor menerima kateter arteri secepat praktis jika
sumber daya yang tersedia (tidak ditingkatkan mutunya). Perubahan besar dalam
rekomendasi khusus untuk dan menentang penggunaan berbagai vasopressor sangat penting
untuk dokter IGD. Tujuan khusus dari tekanan arteri rata-rata dari 65 mm Hg tetap tidak
berubah, rekomendasi berdasarkan data pengamatan. Sebuah uji coba secara acak baru-baru
ini membandingkan dopamin dengan norepinefrin untuk pengobatan syok menemukan bahwa
dopamin dikaitkan dengan peningkatan risiko efek samping, terutama takidisritmia, meskipun
ada perbedaan angka kematian yang jelas antara 2 vasopressor adalah ditemukan secara
keseluruhan; Namun, penelitian ini menemukan bahwa norepinefrin dikaitkan dengan hasil
yang unggul dalam subkelompok jantung. Sebuah ringkasan dari semua bukti yang tersedia
termasuk dalam Kampanye

Pedoman

Penyelamatan

Sepsis 2012, bagaimanapun,

menunjukkan bahwa pada pasien sepsis dopamin memang dikaitkan dengan tingkat
peningkatan tidak hanya supraventricular dan ventrikel takikardia tetapi juga peningkatan
mortalitas jangka pendek dibandingkan dengan norepinefrin. Vasopressin dosis rendah selain
norepinefrin dibandingkan norepinefrin saja menunjukkan tidak ada perbedaan dalam
18

mortalitas percobaan infus Vasopresin Versus Norepinefrin pada pasien dengan syok sepsis.
Meskipun tidak ditingkatkan mutunya oleh pedoman, vasopressin dosis tinggi dapat
digunakan sebagai agen vasopressor tambahan; Namun, hal itu telah dikaitkan dengan
jantung, splanchnic, dan cedera iskemik digital, yang merupakan dasar untuk rekomendasi
dosis maksimum 0,03 U / min. Fenilefrin, agonis -adrenergik murni, dapat mengurangi
stroke volume dan karena itu tidak disarankan untuk digunakan dalam pengobatan syok
septik kecuali dalam keadaan klinis yang sangat spesifik.
Mengingat data ini, norepinephrine direkomendasikan sebagai vasopressor lini
pertama, dan vasopressor lain diindikasikan hanya untuk keadaan klinis spesifik yang
dirangkum di atas. Rekomendasi terhadap penggunaan dopamin dosis rendah untuk
perlindungan ginjal tetap tidak berubah, dan penggunaan kateter arteri untuk pemantauan,
meskipun dianjurkan, tidak ditingkatkan mutunya karena kurangnya bukti.
Terapi Inotropik
Kami menyarankan percobaan infus dobutamin hingga 20mg /kg per menit diberikan
atau ditambahkan ke vasopressor (jika digunakan) pada keadaan (a) disfungsi miokard,
seperti yang disarankan oleh peningkatan tekananpengisian jantung dan curah jantung yang
rendah; atau (b) tanda-tanda hipoperfusi yang sedang berlangsung meskipun pencapaian
volume intravaskular yang memadai dan tekanan arteri rata-rata yang memadai (tingkat 1C).
Rekomendasi penggunaan strategi untuk meningkatkan indeks jantung untuk tingkat
atas normal yang telah ditentukan (tingkat 1B). Rekomendasi tentang penggunaan inotropik
telah diubah minimal dalam Kampanye Pedoman Penyelamatan Sepsis 2012. Dobutamin
direkomendasikan untuk bukti disfungsi jantung, sebagaimana dibuktikan oleh salah satu
pengukuran fungsi fisiologis jantung (tidak berubah dari pedoman 2008) atau hipoperfusi
berlangsung meskipun volume intravaskular memadai dan tekanan arteri berarti.
Produk Darah
Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan dengan tidak adanya keadaan
khusus, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit arteri
koroner iskemik, pemberian transfusi sel darah merah diberikan ketika konsentrasi
hemoglobin menurun menjadi 7,0 g / dL untuk menargetkan konsentrasi hemoglobin 7,0-9,0
g / dL pada orang dewasa (tingkat 1B).
Kami sarankan tidak menggunakan eritropoietin sebagai pengobatan tertentu anemia
yang berhubungan dengan sepsis berat (tingkat 1B). Kami menyarankan agar fresh frozen
19

plasma tidak digunakan untuk memperbaiki nilai laboratorium terhadap kelainan pembekuan
tanpa adanya perdarahan atau prosedur invasif yang direncanakan (tingkat 2D). Kami tidak
merekomendasikan pemberian antitrombin untuk pengobatan sepsis berat dan syok septik
(kelas 1B). Pada pasien dengan sepsis berat, diberikan pemberian profilaksis trombosit ketika
jumlah trombosit kurang dari 10,000/mm3 (10x109/L) tanpa ada pendarahan, atau kurang dari
20,000/mm3 (20x109/L) jika pasien memiliki risiko pendarahan yang signifikan. Diberikan
juga jika jumlah trombosit 50.000/mm3 [50x109/L]), disertai pendarahan aktif, atau
prosedur invasif (tingkat 2D).
Rekomendasi pemberian produk darah tetap sama dalam versi pedoman, meskipun
versi saat ini menjelaskan rekomendasi tampaknya bertentangan tentang ambang transfusi
darah. Secara khusus, ambang transfusi 7,0 g/dL diklarifikasi sebagai tujuan pengobatan
setelah resolusi hipoperfusi jaringan. Batas ini berasal dari data yang menunjukkan bahwa di
ICU, pasien ditransfusikan ketika tingkat hemoglobin menurun di bawah 7,0 g/dL untuk
mempertahankan tingkat antara 7,0 dan 9,0 g/dL tidak lebih buruk dibandingkan pasien yang
ditransfusi ketika tingkat hemoglobin menurun di bawah 10,0 g/dL untuk mempertahankan
tingkat antara 7,0 dan 9,0 g/dL.
Oleh karena itu, dengan tidak adanya keadaan khusus, seperti iskemia berlangsung,
toleransi anemia ke level 7,0-9,0 g/dL diperbolehkan dalam sepenuhnya meresusitasi pasien.
Pedoman tidak menganjurkan pemberian eritropoietin, antitrombin, dan plasma beku segar
tanpa adanya perdarahan atau intervensi yang direncanakan. Dengan tidak adanya
perdarahan, transfusi trombosit tidak direkomendasikan kecuali untuk kasus-kasus di mana
jumlah trombosit kurang dari 10x109/L (meningkat dari <5x109/ L pedoman tahun 2008),
yang meningkat menjadi kurang dari 20x109/L ketika pasien berisiko tinggi perdarahan dan
kurang dari 50x109/ L ketika pasien dengan perdarahan aktif atau sudah direncanakan untuk
prosedur invasif.
Kortikosteroid
Hidrokortison intravena sebagai pengobatan pasien dewasa dengan syok septik jika
resusitasi cairan adekuat dan terapi vasopressor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik
direkomendasikan. Hidrokortison intravena tunggal pada dosis 200 mg / hari (tingkat 2C).
Tidak boleh menggunakan hormon uji stimulasi adrenokortikotropik (ACTH) sebagai
metode menentukan defisiensi steroid untuk mengidentifikasi subset dari orang dewasa
dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison (tingkat 2B). Dokter sebaiknya
menurunkan terapi dosis steroid pada pasien yang ketika vasopressor tidak lagi diperlukan
20

(tingkat 2D). Kortikosteroid tidak diberikan untuk pengobatan sepsis tanpa adanya syok
(tingkat 1D). Ketika hidrokortison dosis rendah diberikan, maka infus kontinu digunakan
bukan injeksi bolus berulang (tingkat 2D).
Penggunaan dosis rendah hidrokortison hanya untuk kasus ketidakstabilan
hemodinamik persisten (pasien gagal menanggapi cairan intravena dan terapi vasopressor).
Penggunaan kortikosteroid empirik tidak lagi direkomendasikan pada semua pasien dengan
syok. Alasan untuk rekomendasi ini adalah bahwa data uji klinis dan meta-analisis yang telah
menemukan hasil campuran pengaruh kortikosteroid dosis rendah terhadap mortalitas untuk
pengobatan syok septik.
Kontrol Sumber
Kontrol sumber darurat misalnya, necrotizing infeksi jaringan lunak, peritonitis,
kolangitis, infark usus. Mencari dan mendiagnosis secepat mungkin dan bahwa intervensi
dilakukan untuk kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis dibuat (tingkat 1C).
Ketika kontrol sumber pada pasien septik berat diperlukan, intervensi yang efektif
paling fisiologis harus digunakan (misalnya, percutaneous daripada drainase bedah dari
abses). Jika perangkat akses intravaskular adalah sumber kemungkinan sepsis berat atau syok
septik, maka harus disingkirkan segera setelah akses pembuluh darah lainnya telah dilakukan.
Ventilasi Mekanik
Dokter menargetkan volume tidal dari 6 mL / kg berat badan diperkirakan pada pasien
dengan sepsis yang disebabkan sindrom gangguan pernapasan akut (kelas 1A versus 12
mL/kg). Tekanan plateau diukur pada pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut dan
awal batas atas tujuannya agar tekanan plateau di paru-paru secara pasif meningkat kurang
dari atau sama dengan 30 cmH2O (tingkat 1B). Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP)
diterapkan untuk menghindari kolaps alveolar pada akhir ekspirasi (atelectotrauma) (tingkat
1B).
Volume tidak lain mungkin diterima pada beberapa pasien ketika memperhitungkan
faktor-faktor seperti sebagai tekanan plateau, tingkat PEEP yang dipilih, kepatuhan
kompartemen thoracoabdominal, upaya bernapas pasien, dan tingkat asidosis.
Pedoman merekomendasikan pengukuran tekanan plateau, yang secara langsung
berhubungan dengan volume tidal, dan memastikan bahwa tidak melebihi 30 cm H2O.
Pengukuran tekanan plateau dapat dilakukan disamping tempat tidur. Pengaturan PEEP
minimum lebih besar dari 5 cmH 2O biasanya diperlukan untuk mencegah kolaps alveolar,
tetapi titrasi PEEP ke tingkat yang lebih tinggi untuk pasien dengan sindrom distress
21

pernapasan akut moderat yang disebabkan sepsis, adalah tambahan baru untuk pedoman versi
ini.
Kontrol Glukosa
Protokol untuk manajemen glukosa darah pada pasien ICU dengan sepsis berat,
dimulai pemberian dosis insulin ketika 2 kali kadar glukosa darah berturut-turut adalah > 180
mg/dL. Target kadar glukosa darah kurang dari 180 mg/dL di atas kurang dari 110 mg/dL
(tingkat 1A). Nilai-nilai glukosa darah dipantau setiap 1 sampai 2 jam sampai nilai glukosa
dan tingkat infus insulin stabil dan setiap 4 jam sesudahnya (tingkat 1C). Kadar glukosa yang
diperoleh dari darah kapiler ditafsirkan hati-hati karena pengukuran seperti ini tidak akurat
memperkirakan nilai glukosa darah arteri atau plasma (tidak ditingkatkan mutunya).
Terapi Bikarbonat
Penggunaan terapi natrium bikarbonat untuk meningkatkan hemodinamik atau
mengurangi kebutuhan vasopressor pada pasien dengan asidemia laktat yang diinduksi
hipoperfusi dengan pH yang lebih rendah dari atau sama dengan 7.15 (tingkat 2B). Meskipun
jumlah pasien dengan pH kurang dari 7.15 rendah dan pengaruh terapi saat ini tidak
diketahui.
Profilaksis Deep vein thrombosis
Pasien dengan sepsis berat menerima farmakoprofilaksis harian mengobati
tromboemboli vena (grade 1B). Pengobatan yang dapat diberikan adalah subcutaneous
lowmolecular weight heparin (LMWH) harian (grade 1B versus 2 kali sehari UFH, grade 2C
versus 3 kali sehari UFH). Jika kreatinin klirens < 30 mL/min, gunakan Dalteparin (grade
1A) atau bentuk lain dari LMWH yang memiliki derajat yang rendah metabolism ginjal
(grade 2C) atau UFH (grade 1A).
Pasien dengan sepsis berat diterapi dengan kombinasi terapi farmakologi dan alat
kompresi pneumatic intermittent kapanpun memungkinkan (grade 2C). Pasien septik yang
kontraindikasi penggunaan heparin (seperti, trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan
aktif, recent intracerebral hemorrhage) tidak mendapat farmakoprofilaksis (grade 1B), tetapi
mendapat terapi profilaksis mekanik, seperti graduated compression stockings atau
intermittent compression devices (grade 2C), kecuali jika dikontraindikasikan. Ketika risiko
sudah menurun mulai gunakan farmakoprofilaksis (grade 2C).
Profilaksis Stres ulcer
Profilaksis Stres ulcer menggunakan H2 blocker atau proton pump inhibitor (PPI)
diberikan kepada pasien dengan sepsis berat/syok septik yang memiliki faktor risiko
22

perdarahan (grade 1B). PPI lebih baik daripada H 2RA (grade 2D). Pasien tanpa faktor risiko
tidak menerima profilaksis (grade 2B).
Nutrisi
Pemberian nutrisi dapat diberikan secara oral atau enteral (jika dibutuhkan).
Pemberian glukosa intravena dalam 48 jam pertama setelah diagnosis sepsis berat/syok septik
(kelas 2C). Hindari makan makanan berkalori penuh pada minggu pertama, makan dosis
rendah (misalnya, hingga 500 kalori perhari), makan dilanjutkan hanya jika dapat ditoleransi
(kelas 2B). Gunakan nutrisi tanpa imunomodulasi tertentu pada pasien dengan sepsis berat
(kelas 2C).
Singkatnya, Kampanye Penyelamatan Sepsis menyediakan daftar intervensi yang
akan dilakukan dalam 3 dan 6 jam dari triase (bernama bundel perawatan sepsis;
digambarkan gambar 2). Bundel perawatan 2012 telah berubah sejak tahun 2008.
Table 2. Bundel Kampanye Penyelamatan Sepsis. Diadaptasi dari Kampanye Pedoman
Penyelamatan Sepsis 2012.
Untuk Komplit dalam 3 Jam
Pengukuran kadar laktat
Perolehan kultur darah sebelum pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik spektrum luas
Pemberian 30 mL/kg kristaloid untuk hipoperfusi atau laktat 4 mmol/L
Untuk Komplit dalam 6 Jam
Aplikasi vasopressor (untuk hipotensi yang tidak respon terhadap cairan resusitasi) untuk
memperbaiki MAP 65 mmHg
Pada kejadian hipotensi arterial persisten disamping volume resusitasi(syok septik) atau laktat
awal 4 mmol/L:
-

Pengukuran CVP*
Pengukuran ScvO2 pusat*

Pengukuran ulang laktat jika kadar laktat awal tinggi


*target resusitasi kuantitif termasuk pada pedoman CVP 8 mmHg, ScvO 2 dari 70%, dan
normalisasi laktat
Protokol resusitasi kuantitatif

23

Gambar 3: Protokol resusitasi kuantitatif di adaptasi dari : Bundles Surviving Sepsis


Campaign .

Cateter vena sentral (CVC) memiliki beberapa kegunaan :


1. Memungkinkan mengetahui CVP
2. Jalur cepat infus cairan langsung kedalam jantung.
3. Jalur pemberian obat-obat yang mengiritasi vena atau yang menyebabkan
vasokonstriksi berat (misalnya natrium bikarbonat, kalsium, kalium, noreepineprine,
dopamine, dll
4. Jalur pemberian obat-obatan yang durasinya sangat pendek (misalnya adenosine,
dopamine, dll)
5. Jalur pemberian obat-obat resusitasi dan obat-obat kardiovascular lain.
6. Jalur infus cairan-cairan dengan osmolalitas yang tinggi, termasuk cairan nutrisi
parenteral.
24

7. Memudahkan aspirasi emboli udara.


8. Memudahkan pengambilan sampel darah.
Indikasi pemasangan kateter vena sentral :
1. Pasien memerlukan pemantauan CVP, misalnya yang menjalani operasi-operasi besar
2.
3.
4.
5.

dan lama atau pasien critically ill di ICU.


Pasien memerlukan pemberian obat-obat kardiovascular.
Pasien tidak lagi mempunyai akses vena perifer.
Pasien memerlukan nutrisi parenteral.
Pasien yang menjalani kraniotomi dengan nafas spontan (memungkinkan terjadinya
emboli udara).

Indikasi kontra pemasangan kateter vena sentral :


1.
2.
3.
4.

Tumor didalam atrium kanan


Vegetasi dikatub tricuspid
Pascabedah carotid endarterectomy ipsilateral.
Diathesis perdarahan atau dalam terapi antikoagulan.

Tempat insersi kateter vena sentral :


1.
2.
3.
4.
5.

Vena jugularis interna


Vena jugularis eksterna
Vena subklavia
Vena-vena antekubiti
Vena aksilaris

Komplikasi pemasangan kateter vena sentral


1.
2.
3.
4.
5.

Perdarahan
Pneumotoraks
False route (salah masuk) ke arteri
Cedera saraf
Punksi trakea

25

2.8

Komplikasi24

1. MODS (Multi Organ Disfunction)


Penyebab kerusakan multiple organ disebabkan karena adanya gangguan perfusi
jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan gangguan fungsi ginjal
dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam patogenesis ini.24
2. DIC (Diseminated Intravaskular Coagulation)
Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata yang disebabkan
oleh faktor komplemen yang berperan penting seperti yang sudah dijelaskan pada patogenesis
sepsis diatas.
3. Disfungsi hati, jantung, dan ginjal
4. ARDS
Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran darah
kapiler dan perubahan permeabilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan edema interstitial dan
alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi paru menyebabkan kerusakan pada
membran kapiler alveoli. Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu hipoxia arteri sehingga
akhirnya akan menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome.
5. Gastrointestinal :
Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan terpasang intubasi
dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam saluran pencernaan dan
mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia nosokomial akibat aspirasi. Abnormalitas
sirkulasi pada sepsis dapat menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan
menyebabkan bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran
limfe).
6. Gagal ginjal akut
Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal. vaskular dan sel
endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang menyebabkan gangguan
fungsi organ ginjal.
7. Syok septik
26

Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah dilakukan terapi
cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah karena adanya vasodilatasi perifer
sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan
sehingga terjadi hipovelemia relatif.
Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya IL-1, IFN-, dan TNF) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang menginduksi influx kalsium ke dalam
sitoplasma sel endotel, kemudian berinteraksi dengan kalmodulin membentuk NO dan
melepaskan Endothelium Derived Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang meyebabkan
hiperpolarisasi, relaksasi dan vasodilatasi otot polos yang diduga menyebabkan hipotensi.
2.9

Prognosis
Dubia ad malam

27

BAB III
KESIMPULAN
Sepsis didefinisikan sebagai suatu infeksi yang dicurigai adanya tanda-tanda
peradangan sistemik. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis dan disfungsi organ atau
hipoperfusi jaringan . Syok sepsis didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis
meskipun resusitasi cairan yang cukup.
Dampak dari sepsis berat sangat banyak, namun kemajuan ilmu kesehatan dibuat
dalam diagnosis dini, klasifikasi dan terapi. Dokter harus sangat menyadari kemungkinan
sepsis sebagai
diagnosis dan waspada terhadap berbagai tanda dan gejala indikatif. Diagnosis dini akan
menjadi lebih mudah karena penanda biokimia dan genetik sehingga diagnosis menjadi lebih
jelas. Strategi pengendalian infeksi yang tepat, protokol stabilisasi hemodinamik dan strategi
imunomodulator yang tepat dapat meningkatkan hasil terapi.
Kampanye Penyelamatan Sepsis tahun 2012 memperkenalkan beberapa perubahan
penting pada rekomendasi pengobatan sepsis berat dan syok septik. Menggunakan protokol
resusitasi kuantitatif dengan target fisiologik spesifik, penggunaan kristaloid (dengan atau
tanpa albumin) untuk volume resusitasi, penggunaan norepinefrin, penambahan bersihan
laktat sebagai penanda suatu hipoperfusi jaringan, penurunan perhatian pada penggunaan
kortikosteroid, dan penghapusan pemeriksaan aktivasi protein C adalah beberapa protocol
yang tertera di dalam Kampanye Penyelamatan Sepsis tahun 2012 yang paling relevan untuk
dokter dalam pengelolaan sepsis.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Jones AE,MD, Puskarich MA,MD. The Surviving sepsis Guidelines 2012: Update for
Emergency Physicians.Annals of Emergency Medicine.2014:63(1):35-47
2. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR (2001)
Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome,
and associated costs of care. Crit Care Med 29:1303131
3. Vincent JL, Sakr Y, Sprung CL, Ranieri VM, Reinhart K, Gerlach H, Moreno R,
Carlet J, Le Gall JR, Payen D (2006) Sepsis in European intensive care units: results
of the SOAP study. Crit Care Med 34:344353
4. Padkin A, Goldfrad C, Brady AR, Young D, Black N, Rowan K (2003) Epidemiology
of severe sepsis occurring in the first 24hrs in intensive care units in England, Wales,
and Northern Ireland. Crit Care Med 31:23322338
5. Cheng B, Xie G, Yao S, Wu X, Guo Q, Gu M, Fang Q, Xu Q, Wang D, Jin Y, Yuan S,
Wang J, Du Z, Sun Y, Fang X (2007) Epidemiology of severe sepsis in critically ill
surgical patients in ten university hospitals in China. Crit Care Med 35:2538 2546
6. Zahorec R, Firment J, Strakova J, Mikula J, Malik P, Novak I, Zeman J, Chlebo P
(2005) Epidemiology of severe sepsis in intensive care units in the Slovak Republic.
Infection 33:122128
7. Finfer S, Bellomo R, Lipman J, French C, Dobb G, Myburgh J (2004) Adultpopulation incidence of severe sepsis in Australian and New Zealand intensive care
units. Intensive Care Med 30: 589596
8. Brun-Buisson C, Meshaka P, Pinton P, Vallet B (2004) EPISEPSIS: a reappraisal of
the epidemiology and outcome of severe sepsis in French intensive care units.
Intensive Care Med 30:580588
9. Engel C, Brunkhorst FM, Bone HG, Brunkhorst R, Gerlach H, Grond S, Gruendling
M, Huhle G, Jaschinski U, John S, Mayer K, Oppert M, Olthoff D, Quintel M,
Ragaller M, Rossaint R, Stuber F, Weiler N, Welte T, Bogatsch H, Hartog C, Loeffler
29

M, Reinhart K (2007) Epidemiology of sepsis in Germany: results from a national


prospective multicenter study. Intensive Care Med 33:606618
10. Silva E, Pedro MA, Sogayar AC, Mohovic T, Silva CL, Janiszewski M, Cal RG, de
Sousa EF, Abe TP, de Andrade J, de Matos JD, Rezende E, Assuncao M, Avezum A,
Rocha PC, de Matos GF, Bento AM, Correa AD, Vieira PC, Knobel E (2004)
Brazilian Sepsis Epidemiological Study (BASES study). Crit Care 8:R251R260
11. Karlsson S, Varpula M, Ruokonen E, Pettila V, Parviainen I, Ala-Kokko TI, Kolho E,
Rintala EM (2007) Incidence, treatment, and outcome of severe sepsis in ICU-treated
adults in Finland: the Finnsepsis study. Intensive Care Med 33:435443
12. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M (2003) The epidemiology of sepsis in the
United States from 1979 through 2000. N Engl J Med 348:15461554
13. Harrison DA, Welch CA, Eddleston JM (2006) The epidemiology of severe sepsis in
England, Wales and Northern Ireland, 1996 to 2004: secondary analysis of a high
quality clinical database, the ICNARC Case Mix Programme Database. Crit Care
10:R42
14. Hurtado FJ, Buroni M, Tenzi J. Sepsis: Clinical approach, evidence-based at the
bedside. In: Gallo A, et al, editors. Intensive and Cri! cal Care Medicine. SpringerVerlag Italia, 2009; p. 299-309.
15. Nguyen B, et al. Severe sepsis and septic shock: Review of the literature and
emergency. Department management guidelines. Annals of Emergency Medicine.
2006; 48(1): 28-54.
16. Schottmueller H (1914) Wesen und Behandlung der Sepsis. Inn Med 31:257280
17. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA, Schein RM,
Sibbald WJ (1992) Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use
of innovative therapies in sepsis. Chest 101:16441655.
18. Jean-Louis Vincent. 2008. Clinical sepsis and septic shockdefinition, diagnosis and
management principles . Langenbecks Arch Surg 393:817824.
19. Michael

Pinsky,

MD,

CM,

FCCP,

FCCM.

http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview#a0156.

Shock

Septic.

Diunduh

Maret

2015.
20. Adugna Negussie, Gebru Mulugeta, Ahmed Bedru, Ibrahim Ali, Damte Shimeles,
Tsehaynesh Lema, Abraham Aseffa. 2013. Bacteriological profile and antimicrobial

30

sensitivity pattern of blood culture isolates among septicemia-suspected. Critical


Care; P11;
21. Corwin Elizabeth J. Syok Sepsis dalam Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. 2009.
Hal 519.
22. Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto AY, Abdullah M. Syok Sepsis dalam
Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency in Internal Medicine) EIMED PAPDI.
Jakarta: Internal Publishing. 2012. Hal 338-340.
23. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, Cohen J, Opal SM,
Vincent JL, Ramsay G (2003) 2001 SCCM/ ESICM/ACCP/ATS/SIS international
sepsis definitions conference. Intensive Care Med 29:530538
24. Disease and Condition Sepsis. Diakses tanggal 25 Maret 2015. Di Unduh dari URL :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/sepsis/basics/treatment/con-20031900.
Diunduh 25 Maret 2015.

31

Anda mungkin juga menyukai