Oleh:
Adiyatma Putra Mahardika 04084822124138
Havivi Rizky Adinda 04084822124018
M. Bibit Bagus Rama Pasca 04084822124189
Pembimbing:
dr. Nova Kurniati, Sp.PD., K-AI.
Laporan Kasus
Systemic Lupus Erythematous Derajat Sedang dengan
Manifestasi Vaskulitis, Arthritis, dan Mukokutaneus
Oleh:
Adiyatma Putra Mahardika 04084822124138
Havivi Rizky Adinda 04084822124018
M. Bibit Bagus Rama Pasca 04084822124189
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 24 Januari 2022 – 26 Februari
2022.
ii
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Gangren perifer pada SLE sangat jarang, terutama jika melibatkan arteri
besar dan menengah. Terjadi di sekitar 1% pasien SLE, dan paling sering
mempengaruhi ekstremitas, itu dianggap sebagai komplikasi parah yang umumnya
mengarah ke amputasi. Faktor risiko gangren perifer SLE meliputi: durasi penyakit
(≥4 tahun), fenomena Raynaud, dan peningkatan serum C-reactive protein (CRP).
Lebih-lebih lagi, Anti-RNP dapat membantu perkembangan gangren digital sebagai
ditemukan memiliki hubungan dengan fenomena Raynaud dan APS. Penyebab
gangren perifer SLE tidak diketahui dan multifaktorial, dan mekanisme yang
mendasarinya kompleks dan beragam, meskipun dapat diringkas sebagai berikut:
(1) vaskulitis dan gangguan infeksi yang dapat menyebabkan vaskulitis, (2)
gangguan reumatologi, (3) mekanik dan obstruktif gangguan, (4) aterosklerosis
prematur, (5) vasospasme, (6) sindrom tumpang tindih, dan (7) hiperkoagulabilitas
trombosis terkait dengan antibodi antifosfolipid (APL) atau embolus yang berasal
dari jantung sekunder akibat Libmansack endokarditis, yang semuanya dapat
berkontribusi pada perkembangan gangren. Defisiensi komplemen klasik yang
diturunkan dapat dikaitkan dengan SLE karena memiliki beberapa imunologis yang
sama dan gambaran klinis, terutama onset usia dini dari penyakit kulit keterlibatan.6
2
3
BAB II
STATUS PASIEN
2.2 Anamnesis
Tanggal : 2 Februari 2022
Diberikan oleh : Pasien (autoanamnesis)
a. Keluhan Utama : Nyeri sendi seluruh badan sejak ± 2 minggu SMRS
b. Keluhan Tambahan : Demam dan lemas
kakinya terasa nyeri terus menerus dan mulai tampak terlihat kemerahan dan
bengkak. Kemudian pasien berobat ke dokter umum. Pasien lupa nama obat
yang diberikan dan keluhan tidak membaik.
Sejak ± 1 bulan SMRS pasien mengeluh kulit wajah terutama bagian pipi
mulai muncul kemerahan secara tiba-tiba. Keluhan semakin memburuk
terutama saat pasien terpapar sinar matahari. Keluhan disertai bercak-bercak
warna merah berukuran seperti koin dengan bentuk ireguler yang timbul di
wajah, leher, dada, kedua tangan dan kedua kaki. Keluhan timbul perlahan
berawal dari wajah lalu menyebar ke bagian tubuh lainnya. Keluhan bercak
tidak disertai gatal dan nyeri. Pasien mengatakan rambutnya mulai rontok
sebanyak segenggam terutama saat pasien menyisir rambut. Nyeri sendi masih
dirasakan dan terasa hingga ke lutut. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan karena terasa mual sehingga berat badannya turun 10 kilogram dalam
waktu satu bulan.
Sejak ± 2 minggu SMRS pasien mengalami demam naik turun, namun
tidak mengukur suhunya. Keluhan ini mulai terasa saat sore menjelang malam
hari dan disertai menggigil. Demam tidak disertai dengan batuk dan pilek.
Demam membaik dengan pasien beristirahat. Pasien juga mengeluh badan
terasa lemas dan semakin mual. Pasien juga mengalami kesulitan untuk makan
karena merasa tenggorokannya tidak nyaman dan terdapat sariawan pada lidah.
Keluhan nyeri sendi masih dirasakan terutama pada jari-jari kaki, lutut, dan
jari-jari tangan. Nyeri sendi disertai dengan kemerahan dan pasien merasa
sendi terlihat sendikit bengkak. Nyeri sendi dirasakan sampai mengganggu
aktivitas. Keluhan bercak kemerahan pada wajah, leher, dada, kedua tangan,
dan kedua kaki masih ada.
Sejak ± 1 minggu SMRS pasien mengeluh kedua kaki dan kelopak mata
membengkak dan memerah secara tiba-tiba. Keluhan ini diikuti badan terasa
semakin lemas. Keluhan tidak disertai gusi berdarah, mimisan dan lebam-
5
lebam di ekstremitas. Keluhan mual (+), muntah (-), demam (+), nyeri dada
(-), BAK berbusa (-), dan BAB tidak ada keluhan. Pasien kemudian
memutuskan untuk kembali berobat ke dokter dan kembali diberi obat-obatan
yang pasien tidak ingat nama obatnya. Keluhan tidak membaik.
Sejak ± 2 hari SMRS pasien merasakan nyeri pada semua badan disertai
demam yang masih naik turun. Keluhan ini diikuti dengan bercak kemerahan
yang semakin banyak dan memerah pada wajah dan tubuh pasien. Kemudian
pasien kembali berobat ke dokter spesialis penyakit dalam dan dirujuk ke
dokter spesialis kulit kelamin. Menurut penjelasan dokter spesialis kulit
kelamin, pasien dicurigai mengidap lupus. Pasien akhirnya dirujuk ke RSMH
untuk mendapat penatalaksaan lebih lanjut.
b. Riwayat Pengobatan
-
d. Riwayat Kebiasaan
Riwayat kebiasaan merokok tidak ada
Riwayat kebiasaan minum alkohol tidak ada
2. Keadaan Spesifik
a. Kepala
Bentuk : normosefali
Ekspresi : wajar
Rambut : hitam
Alopesia : ada, minimal
Deformitas : tidak ada
Perdarahan temporal : tidak ada
Nyeri tekan : tidak ada
Wajah : malar rash (+), discoid rash (-)
b. Mata
Eksoftalmus : tidak ada
Endoftalmus : tidak ada
Palpebral : edema (+/+)
Konjungtiva palpebral : pucat (+/+)
Sklera : ikterik (-/-)
Kornea : jernih
Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)
c. Hidung
Sekret : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Napas cuping hidung : tidak ada
d. Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-), tragus (-)
8
e. Mulut
Bibir : chelitis (-), pucat (+), stomatitis (-),
ulkus (-)
Gigi-geligi : lengkap normal
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-)
Lidah : atrofi papil (-), stomatitis (+)
f. Leher
Inspeksi : deviasi trakea (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid/struma
(-), pembesaran KGB (-), distensi
vena jugularis (-). Tekanan vena
jugularis: (5-2) cmH2O
g. Toraks
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi
dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-),
- Statis : simetris kanan sama dengan kiri
- Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan kiri, normal,
nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : sonor pada lapangan paru kanan sama dengan kiri,
nyeri ketok (-)
9
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi
dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-),
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan kiri normal,
nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : sonor pada lapangan paru kanan sama dengan kiri,
nyeri ketok (-)
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-) di kedua paru,
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II (+) regular, murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
Inspeksi : simetris, datar, scar (-), venektasi (-), striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+), 4 x/menit, bruit (-)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
ballottement ginjal (-)
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen, shifting dullness
(-)
10
i. Ekstremitas
o Ekstremitas atas: ROM luas, deformitas (-), eutoni
• Look: Pada regio palmar dextra et sinistra, didapatkan lesi
multipel berupa makula eritem ukuran miliar sampai
lentikular berbatas tegas dengan permukaan rata, sianosis (-
), edema (+), ikterik (-).
• Feel: akral hangat, CRT <3 detik,nyeri tekan DIP I-V(+).
• Movement: ROM baik.
o Ekstremitas bawah : ROM luas, deformitas (-), eutoni
• Look: Pada regio pedis dextra et sinistra, didapatkan lesi
multipel berupa makula eritem ukuran lentikular sampai
numular berbatas tegas dengan permukaan rata, sianosis (-),
edema (+), ikterik (-), sianosis (-), edema pretibial (-).
• Feel: akral hangat, CRT <3 detik, edema pretibial (-), nyeri
tekan MTP I-V (+), pulsasi arteri dorsalis pedis (+).
• Movement: ROM baik.
j. Genitalia : tidak ada kelainan
(Pemeriksaan 26/01/2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi (Darah rutin)
Hemoglobin 10,8 g/dL* 11,40-15,00
Eritrosit 3,87.106/mm3* 4,00-5,70
Leukosit 3,20.103/mm3* 4,73 – 10,89
Hematokrit 32%* 35-45%
Trombosit 180.103/µL* 189-436
MCV 82,2 fL* 85-95
MCH 28 pg 28-32
MCHC 34 g/dL 33-35
RDW-CV 14,30% 11-15%
Hitung Jenis
Basofil 0% 0-1
Eosinofil 0%* 1-6
Neutrofil 74%* 50-70
Limfosit 18%* 20-40
Monosit 8% 2-8
FAAL Hemostasis
PT + INR
Kontrol 15,10 detik
Pasien 12,9 detik 12-18 detik
INR 0,90
APTT
Kontrol 32,4 detik
Pasien 30,5 detik 27-42 detik
Fibrinogen
Kontrol 282,0 mg/dL
Pasien 251,0 mg/dL 200-400
D-dimer 2,28 ug/mL* <0,5
Kimia Klinik
Ca 7,2 mg/dL 8,8-10,2
Ca Koreksi 7,8 mg/dL*
Hati
SGOT 66 U/L* 0-32 U/L
12
(Pemeriksaan 28/1/2022)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Imunoserologi
Hormon
Free T4 1,08 ng/dL 0,70-1,48
TSHs 0,4043 uIU/mL 0,3500-4,9400
Keterangan : *= Nilai Abnormal
(Pemeriksaan 03/02/2022)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi (Darah rutin)
Hemoglobin 9,2 g/dL* 11,40-15,00
Eritrosit 3,30.106/mm3* 4,00-5,70
Leukosit 2,52.103/mm3* 4,73 – 10,89
Hematokrit 27%* 35-45%
Trombosit 129.103/µL* 189-436
MCV 81,2 fL * 85-95
MCH 28 pg * 28-32
MCHC 34 g/dL 33-35
RDW-CV 14,90% 11-15%
LED 12 mm/jam* <20
Hitung Jenis
Basofil 0% 0-1
Eosinofil 0%* 1-6
Neutrofil 79%* 50-70
Limfosit 16%* 20-40
Monosit 5% 2-8
Kimia Klinik
Ca 6,4 mg/dL 8,8-10,2
Ca Koreksi 7,7 mg/dL*
Hati
Albumin 2,4 g/dL* 3,5-5,0
Protein Total 4,7 g/dL* 6,4-8,3
Globulin 2,3 g/dL* 2,6-3,6
Ginjal
Ureum 15 mg/dL* 16,6 – 48,5
Kreatinin 0,40 mg/dL* 0,50-0,90
Elektrolit
14
2.7 Tatalaksana
Non Farmakologis
o Istirahat
o Diet NB TKTP
Farmakologis
o Methyl prednisolone 2x16 mg PO
o Ibuprofen 2x400 mg PO
o Sucralfate 3x10 cc PO
o Lansoprazole 2x1 gr IV
o Domperidone 3x10 mg PO
o KSR 1x600 mg PO
o CaCO3 3x500 mg PO
o Hidroxychlorida 1x200 mg IV
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
15
Follow up
Kamis (3/2/2022)
S: Lemas (+), nafsu makan menurun, nyeri sendi berkurang, kemerahan pada
wajah (+), demam (+), kelopak mata bengkak, pusing (+), mual (+), kesemutan
(+).
O: Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: compos mentis
HR: 85x/menit
TD: 70/40 mmHg
T: 37,7oC
RR: 17x/menit
Status Lokalis
Kepala: Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam mudah dicabut, alopesia
(+), malar rash (+)
Mata: Edema palpebra (+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-),
Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
Mulut: Bibir pucat (-),sianosis (-), sariawan (-), ulkus (-), gusi berdarah (-), atrofi
papil lidah (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-) normal, pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks
• Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi: Batas atas jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: Datar
Auskultasi: Bising usus (+) normal
17
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Palmar dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada distal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema (+), darah dan
pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT <2 detik, edema (+), nyeri tekan (+)
Movement: ROM baik
Pedis dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada proksimal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema pretibial (-
), darah dan pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT <2 detik, edema pretibial (-), nyeri tekan (+), pulsasi
arteri dorsalis pedis (+).
Movement: ROM baik
Jumat (4/2/2022)
S: Lemas (+) nafsu makan menurun (+) nyeri sendi dan kemerahan pada wajah
berkurang, pusing (+), mual (+), kesemutan (-)
O: Keadaan umum: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
HR: 75x/menit
TD: 110/75 mm Hg
18
T: 37,0oC
RR: 18x/menit
Status Lokalis
Kepala: Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam mudah dicabut, alopesia
(+), malar rash (+)
Mata: Edema palpebra (+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-),
Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
Mulut: Bibir pucat (-),sianosis (-), sariawan (-), ulkus (-), gusi berdarah (-), atrofi
papil lidah (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher: pembesaran KGB (-) normal, pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks
• Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi: Batas atas jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: Datar
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Palmar dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada distal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema (+), darah dan
pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT <2 detik, edema (+), nyeri tekan (+)
Movement: ROM baik
19
Sabtu (5/2/2022)
S : Lemas (+) nafsu makan menurun (+) nyeri sendi dan kemerahan pada wajah
berkurang, pusing (+), mual (+)
O: Keadaan umum: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
HR:78x/menit
TD: 100/70 mm Hg
T: 37,3oC
RR: 16x/menit
Status Lokalis
Kepala: Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam mudah dicabut, alopesia
(+), malar rash (+)
Mata: Edema palpebra (+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
20
Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-),
Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
Mulut: Bibir pucat (-),sianosis (-), sariawan (-), ulkus (-), gusi berdarah (-), atrofi
papil lidah (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher: pembesaran KGB (-) normal, pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks
• Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi: Batas atas jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: Datar
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Palmar dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada distal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema (+), darah dan
pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (+), nyeri tekan (+)
Movement: ROM baik
Pedis dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada proksimal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema pretibial (-
), darah dan pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT < 2 detik, edema pretibial (-), nyeri tekan (+), pulsasi
arteri dorsalis pedis (+).
Movement: ROM baik
Minggu (6/2/2022)
S : Lemas (+) nafsu makan menurun (+) nyeri sendi dan kemerahan pada wajah
berkurang, pusing (+), mual (+)
O: Keadaan umum: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
HR:78x/menit
TD: 100/70 mm Hg
T: 37,3oC
RR: 16x/menit
Status Lokalis
Kepala: Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam mudah dicabut, alopesia
(+), malar rash (+)
Mata: Edema palpebra (+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-),
Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
Mulut: Bibir pucat (-),sianosis (-), sariawan (-), ulkus (-), gusi berdarah (-), atrofi
papil lidah (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher: pembesaran KGB (-) normal, pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks
• Paru
22
Abdomen
Inspeksi: Datar
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Palmar dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada distal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema (+), darah dan
pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (+), nyeri tekan (+)
Movement: ROM baik
Pedis dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada proksimal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema pretibial (-
), darah dan pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT < 2 detik, edema pretibial (-), nyeri tekan (+), pulsasi
arteri dorsalis pedis (+).
Movement: ROM baik
o Sucralfate 3x10 cc PO
o Lansoprazole 2x1 gr IV
o Domperidone 3x10 mg PO
o KSR 1x600 mg PO
o CaCO3 3x500 mg PO
o Hidroxychloroquine 1x200 mg IV
Senin (7/2/2022)
S : Lemas (+) nafsu makan menurun (+) nyeri sendi dan kemerahan pada wajah
berkurang, pusing (+), mual (-), demam (+), menggigil (+)
O: Keadaan umum: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
HR: 90x/menit
TD: 100/70 mm Hg
T: 38,7oC
RR: 16x/menit
Status Lokalis
Kepala: Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam mudah dicabut, alopesia
(+), malar rash (+)
Mata: Edema palpebra (+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-),
Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
Mulut: Bibir pucat (-),sianosis (-), sariawan (-), ulkus (-), gusi berdarah (-), atrofi
papil lidah (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher: pembesaran KGB (-) normal, pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks
• Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi: Batas atas jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea sternalis dextra
24
Abdomen
Inspeksi: Datar
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Palmar dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada distal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema (+), darah dan
pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT <2 detik, edema (+), nyeri tekan (+)
Movement: ROM baik
Pedis dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada proksimal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema pretibial (-
), darah dan pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT <2 detik, edema pretibial (-), nyeri tekan (+), pulsasi
arteri dorsalis pedis (+).
Movement: ROM baik
Selasa (8/2/2022)
S : Lemas (+) nafsu makan menurun (+) nyeri sendi dan kemerahan pada wajah
berkurang, pusing (+), mual (+), demam (+), menggigil (-)
O: Keadaan umum: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
HR: 90x/menit
TD:100/70 mm Hg
T: 37,9oC
RR: 16x/menit
Status Lokalis
Kepala: Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam mudah dicabut, alopesia
(+), malar rash (+)
Mata: Edema palpebra (+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, refleks cahaya (+/+)
Hidung: Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-),
Telinga: Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
Mulut: Bibir pucat (-),sianosis (-), sariawan (-), ulkus (-), gusi berdarah (-), atrofi
papil lidah (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher: pembesaran KGB (-) normal, pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks
• Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi: Batas atas jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: Datar
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen
26
Ekstremitas :
Palmar dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada distal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema (+), darah dan
pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (+), nyeri tekan (+)
Movement: ROM baik
Pedis dekstra et sinistra
Look: jari tampak kemerahan pada proksimal digiti 1, 2, 3, 4, 5 edema pretibial (-
), darah dan pus (-), bullae (-).
Feel : akral hangat, CRT < 2 detik, edema pretibial (-), nyeri tekan (+), pulsasi
arteri dorsalis pedis (+).
Movement: ROM baik
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 SLE
A. Definisi
Systemic Lupus Eryhtematosus (SLE) adalah kelainan autoimun
multisistem dengan spektrum yang luas dari presentasi klinis yang mencakup
hampir semua organ dan jaringan.1
B. Epidemiologi
Perkiraan kejadian SLE dilaporkan memiliki variabilitas yang tinggi
bahkan di dalam negara atau wilayah geografis yang sama. Berdasarkan studi
yang dilakukan secara global dalam 15 tahun terakhir didapatkan prevalensi
SLE yaitu berkisar 9-241 per 100.000 populasi/tahun dan insidensi SLE
berkisar 0,3-23,2 per 100.000 populasi/tahun. Insidensi SLE dipengaruhi oleh
perbedaan dalam karakteristik pasien seperti usia, jenis kelamin, latar belakang
etnis / ras, status sosial ekonomi, geografis daerah serta keterpaparan
lingkungan Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di
Indonesia. Di AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari
populasi, namun didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan.2,3
1. Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki peran dalam patogenesis SLE. Hal ini
dikarenakan pada keluarga penderita SLE didapatkan peningkatan
frekuensi SLE dibandingkan dengan kontrol sehat, peningkatan prevalensi
SLE pada etnis tertentu, dan kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar
monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%). Banyak
gen yang berpengaruh terhadap kepakaan penyakit ini.
2. Faktor Hormonal
Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah menopause.
Tingkat keparahan penyakit beragam saat hamil dan siklus menstruasi.
Pada studi kohort terhadap 238.308 wanita yang diamati secara prospektif
antara tahun 1976 dan 2003, faktor-faktor seperti menarch dini, pemakaian
kontrasepsi oral, menopause dini, menopause surgikal, dan penggunaan
hormon pasca menopause berkaitan dengan meningkatnya risiko dari
penyakit SLE. Peran dari hormon pada penyakit SLE antara lain:
o Kerentanan terhadap perkembangan SLE
a. Kadar estrogen endogen rendah bersifat protektif
b. Nilai androgen rendah pada laki-laki meningkatkan risiko
c. Pemakaian estrogen eksogen pada wanita meningkatkan risiko
o Profil hormon dan aksis hipotalamus pituitasi pada pasien SLE
a. Meningkatnya metabolisme estrogen menjadi metabolit yang
lebih poten (pada kedua jenis kelamin)
b. Nilai androgen rendah (pada kedua jenis kelamin)
c. Nilai androgen berkorelasi terbalik dengan aktifitas penyakit pada
wanita
d. Bukti awal adanya defek aksis HPA pada pasien SLE wanita yang
tidak diterapi
o Aktifitas hormon dan prognosis SLE
29
D. Patogenesis
Pada autoimun terjadi kerusakan kerusakan sel yang disebabkan oleh
infeksi dan faktor lingkungan terutama sinar UV yang mengaktivasi sistem
kekebalan terhadap antigen diri yang mengarah pada aktivasi sel T dan B yang
salah mempersepsikan sel tubuh menjadi antigen.
30
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi,
dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi
kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan
oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering
ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena
kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan
aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada
lupus dapat menyebabkan 6 cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan
generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ
target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3)
secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan
atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis,
muncul sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang
pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan
homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE.
Karakteristik utama SLE ditandai dengan munculnya respons imun
terhadap antigen endogen nuklear. Kerusakan berbagai organ tubuh pada
penyakit SLE terjadi akibat pembentukan dan deposisi autoantibodi dan
31
kompleks imun. Sel B yang hiperaktif berasal dari stimulasi sel T dan antigen
yang akan meningkatkan produksi antibodi terhadap antigen yang terpapar
pada permukaan sel apoptotik. Antigen menyebabkan stimulasi sel T dan sel B
yang berkontribusi terhadap clearance sel apoptotik yang tidak sempurna.
Selama proses apoptosis, ada potongan-potongan bahan seluler yang terbentuk
pada permukaan sel yang mati. Normalnya, antigen tidak ada pada permukaan
sel akan tetapi pada SLE didapatkan antigen pada permukaan sel. Nukleosom
dan fosfolipid anionik adalah contoh antigen yang ditemukan pada pasien SLE,
antigen tersebut berpotensi memicu respons imun. Clearance sel apoptotik
yang tidak optimal pada pasien SLE disebabkan ketidakseimbangan fungsi sel
fagositik.
Peningkatan produksi autoantigen selama apoptosis (secara spontan
maupun dipicu oleh sinar UV), penurunan clearance dan deregulasi berperan
penting dalam inisiasi respons autoimun. Semua jalur pada SLE menyebabkan
produksi interferon α (IFN-α) yang diperantarai oleh asam nukleat endogen.
Reseptor permukaan sel seperti BCR dan FcRIIa memfasilitasi endositosis
kompleks imun atau material yang mengandung asam nukleat dan terikat pada
reseptor endosomal dari sistem imun innate seperti TLRs (Toll-Like receptor).
Peningkatan jumlah asam nukleat endogen yang berkaitan dengan apoptosis
menstimulasi produksi IFN dan autoimun dengan memecahn self-tolerance
melalui aktivasi dan maturasi sel dentritik konvensional (mieloid). Sel
dendritik imatur menyebabkan sel dendritik matur menjadi otoreaktif.
32
E. Klasifikasi
SLE dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahannya menjadi
ringan, sedang, atau berat sampai mengancam nyawa. Derajat keparahan SLE dapat
diklasifikasikan dengan kriteria sebagai berikut :6
1. SLE dengan derajat keparahan ringan
- Secara klinis tenang.
- Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa.
- Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Sebagai contohnya yaitu SLE dengan manifestasi artritis dan kulit.
33
F. Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 atau lebih
kriteria dibawah ini:7
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan BB.
3. Muskuloskeletal : Arthritis, Atrhalgia, myositis.
34
Pemeriksaan Penunjang
Kriteria Diagnosis
Terdapat kriteria klasifikasi yang dapat digunakan yaitu ACR 1997 dan
SLICC 2012. Kriteria klasifikasi ACR 1997 terdiri dari 11 kriteria klinis dan
laboratoris. Pasien termasuk klasifikasi SLE jika memenuhi 4 dari 11 kriteria.
Sementara itu, kriteria SLICC 2012 terdiri dari 17 kriteria. Pasien termasuk
klasifikasi SLE jika memenuhi 4 dari 17 kriteria dengan minimal 1 kriteria klinis
dan 1 kriteria imunologi. Menurut studi validasi yang dilakukan kriteria klasifikasi
SLICC 2012 memiliki sensitivitas lebih tinggi (97% versus 83%) dan spesifisitas
lebih rendah (84% versus 96%) dibandingkan SCR 1997. 7
Pada tahun 2018 telah diajukan kriteria kalsifikasi barus EULAR/ACR yang
telah divalidasi dengan sensitivitas 96,12% dan spesifitas 93,38%. Kriteria
klasifikasi ini dapat digunakan jika titer ANA-IF positif ³1:80 (atau positif dengan
metode pemeriksaan lain yang ekuivalen) dan tidak ada kemungkinan penyebab
selain SLE. Pasien dimasukan dalam klasifikasi SLE jika memiliki skor total ³10
dengan minimal satu kriteria klinis. 7
36
Malar rash Eritema yang menetap, bisa datar atau menimbul, melewati
jembatan hidung, menyebar ke lipatan nasolabialis. Kadang juga
terdapat di dahi.
Discoid rash Bercak eritema yang sedikit menimbul, membulat, dengan adherent
keratotic scaling, dapat terjadi atrofi pada lesi yang lebih lama.
37
Artritis Radang sendi yang non erosif, pada 2 atau lebih sendi perifer,
dengan tanda merah, bengkak, disertai efusi dan nyeri
Serositis Nyeri pleuritik ATAU terdengar Friction rub ATAU ada bukti efusi
pleura dari pemeriksaan fisik atau rontgen ATAU efusi pericardium
dari echocardiografi
Gangguan Kejang ATAU psikosis (pada saat tidak ada penggunaan obat atau
neurologis kelainan metabolik: uremia, asidosis, imbalans elektrolit, dll)
Kelainan Anti ds DNA (+) ATAU Anti Sm (+) ATAU Anti fosfolipid
imunologi antibody (+)
Tes ana positif Hasil tes ANA positif, tidak terkait dengan obat yang menginduksi
lupus
2. Lupus kutaneus Meliputi ruam diskoid klasik; terlokalisir (di atas leher);
kronik generalisata (di atas dan di bawah leher); lupus hipertrofik
(verukous); lupus panniculitis (profundus); lupus mukosa; lupus
eritematous tumidus; lupus chilblains; lupus discoid/overlap dari
liken planus
3. Ulkus Oral dan Ulkus di palatum, buccal, lidah, atau nasal disingkirkan penyebab
nasofaringeal lain seperti vaskulitis, behcet, herpes, IBD,reaktif artritis, makanan
asam
5. Sinovitis Nyeri 2 sendi atau lebih disertai dengan edema atau efusi disertai
> 2 sendi dengan kekakuan sendi pagi hari.
6. Serositis Pleuritis tipikal selama lebih dari 1 hari atau efusi pleuraatau
pleural rub; nyeri perikardial tipikal (nyeri yang diperberat
dengan duduk membungkuk) selama lebih dari 1 hari atau efusi
perikard atau pericardial rub atau perikarditis oleh gambaran
elektrokardiografi tanpa penyebab lainseperti infeksi, uremia dan
perikarditis Dressler
39
7. Manifestasi ginjal Protein urin/ kreatinin atau protein urin 24 jam (500 mg atau
lebih) atau ada cast eritrosit
dengan metode pemeriksaan lain yang ekuivalen, maka pasien dapat dilanjutkan ke
kriteria tambahan, apabila titer ANA-IF negatif maka jangan diklasifikasikan
sebagai SLE. Pasien dapat diklasifikasikan SLE apabila terdapat minimal 1 kriteria
klinis dan minimal jumlah skor ≥10.8
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari SLE diantaranya yaitu artritis reumatoid,
penyakit Still's, penyakit jaringan ikat, sindrom Sjogren, sindrom
antifosfofolipid antibodi, fibromialgia, trombositopeni purpura idiopatik,
Lupus oleh karena obat-obatan (drug induced lupus) dan penyakit tiroid
autoimun.10
Pada pasien dengan manifestasi demam atau splenomegali dan
limpadenopati maka harus dipikirkan karena infeksi atau limfoma. Pada pasien
dengan keluhan neurologik, infeksi dan cerebrovascular accident maka
penyakit syaraf autoimun seperti multipel sklerosis, penyakit Guillain-Barre
harus dipertimbangkan.10
Pasien dengan keterlibatan sindrom paru - ginjal harus dibedakan dengan
sindrom Goodpasture dan vaskulitis dengan ANCA (anti neutrophilic
cytoplasmic antibody syndrome) positif. Pada pasien lupus dengan manifestasi
glomerulo nefritis diagnosis banding yang harus dipikirkan glomerulonefritis
paska infeksi (streptokokus, stapilokokus, subakut endokarditis bakterialis,
43
H. Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien SLE terdiri dari non-farmakologi dan
farmakologi yang meliputi edukasi, program rehabilitasi dan terapi
medikamentosa. Target penatalaksanaan SLE ditujukan pada remisi atau
aktivitas yang rendah, mencegah kekambuhan, dan pencegaham flare di semua
organ. Jika remisi tidak dapat dicapai maka target pengelolaan adalah mencapai
Lupus Low Disease Activity State (LLDAS) pada seluruh sistem organ. Tujuan
jangka panjang pengelolaan pasien SLE adalah mencegah kerusakan organ,
menghambat komorbiditas, menghindari atau mengurangi risiko toksisitas
obat, dan menjaga kualitas hidup tetap optimal.12
bilirubin, albumin,
alkalin fosfat
CYC pulse 500 mg setiap 2 DPI, kreatinin serum, Lupus derajat
therapy injeksi IV minggu, urinalisis, SGOT atau berat, termasuk
diberikan SGPT setiap 1-2 SLE neuropsikiatri,
sebanyak 6 minggu di awal mencegah
dosis* atau 500- kekambuhan,
1000 mg/m2 sebagai steroid-
setiap bulan sparing agent
dalam 6 bulan**
Rituksimab 375 mg/m2 per DPL Lupus derajat
minggu sedang dan berat
sebanyak 4 kali refrakter, sebagai
steroid-sparing
agent
Belimumab 10 mg/kgBB/4 Riwayat gangguan Lupus derajat
minggu jiwa sebelumnya, sedang dan berat
DPL refrakter,
mencegah
kekambuhan
sebagai steroid-
sparing agent
(bukan pada SLE
neuropsikiatri)
IVIG 400 mg/kgBB/ DPI, kreatinin serum, SLE derajat berat
hari selama 5 BUN refrakter (termasuk
hari setiap bulan sindrom
selama 6-24 antifosfolipid
bulan atau 2x1 katastrofik)
g/kg dilanjutkan
400 mg/kgBB/
bulan selama 6
bulan atau
sampai remisi
UV (termasuk
lupus diskoid dan
subacute cutaneous
lupus)
Keterangan: AZA : azatioprin, CYC : siklofosfamid, CQ : klorokuin, HCQ :
hidroksiklorokuin, MMF : mofetil mikofenolat, MPA : asam mikofenolat, MTX :
metrotreksat, OAINS : obat anti inflamasi non-steroid, IVIG : intravenous
immunoglobulin, IA : intra artikular, IM : intra muskular
*EURO Lupus; **Berdasarkan rekomendasi British Society for Rheumatology
(BSR); *** TPMT : Thiopurine Methyltransferase; **** Berdasarkan protocol
tersinkronasi dari Lupus Plasmapharesis Study Group
I. Pencegahan
Program pengendalian penyakit SLE, meliputi upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif sebagai berikut:12,13
51
J. Komplikasi
Adapun komplikasi pada kasus sebagai berikut:13
1. Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat
defisiensi imun, juga berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan
imunosupresan.
2. Penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping antara lain atrofi
kulit, gangguan hormon, gangguan proses tumbuh kembang, katarak,
hiperglikemia dan lain-lain.
3. Akibat kerterlibatan visera: gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.
K. Prognosis19
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia
53
3.2 Vaskulitis
Vaskulitis adalah reaksi kutaneus maupun sistemik secara mikroskopik
digambarkan sebagai infiltrasi sel-sel inflamatorik pada dinding pembuluh darah,
dengan derajat nekrosis sel endotel dan dinding pembuluh darah yang bervariasi.
Ukuran pembuluh darah yang terkena bervariasi, mulai dari arteri besar (giant cell
arteritis) sampai kapiler dermis dan venula (lekocytoclastic vasculitis). Ukuran
pembuluh yang terlibat, komposisi sel yang menginfiltrasi, gejala dan tanda klinis
yang muncul, serta temuan laboratoris memungkinkan penegakan diagnosis yang
lebih teliti.14
Gejala vaskulitis tergantung dari pembuluh primer yang terkena. Pada
pembuluh darah kecil, manifestasinya sering kali berupa palpable purpura, atau
urtikaria, pustula, vesikel, petekie, atau lesi seperti eritema multiforme. Pada
pembuluh darah ukuran sedang, manifestasi klinisnya bisa berupa ulkus, nodul
subkutan, livedo reticularis, dan nekrosis digital. Hal terpenting dalam
mengevaluasi pasien vaskulitis adalah mengenali gejala dan tanda adanya penyakit
sistemik.14
Hampir semua pembuluh darah di kulit dapat terserang vaskulitis; paling
banyak mengenai venula dan disebut vaskulitis kutaneus. Vaskulitis kutaneus
mempunyai gambaran histopatologi dengan ciri khas infiltrasi neutrofil pada
pembuluh darah, nekrosis fibrinoid, yang dikenal sebagai leukocytoclastic
vasculitis (LCV). Pada LCV, dapat ditemukan juga ekstravasasi eritrosit, debris
granulositik (leukositoklas), inflamasi granuloma atau limfositik, dan deposisi
imunoreaktan pada dinding pembuluh darah.14
Appel et al. mengklarifikasikan vaskulopati SLE termasuk: deposit
kompleks imun vaskular non-komplikasi, vaskulopati nekrotik non-inflamasi,
mikroangiopati trombotik dan vaskulitis lupus sejati. Dari semua kasus lupus
vaskulitis lebih dari 60% melibatkan peradangan leukositoklastik, 30% adalah
vaskulitis dengan cryoglobulinemia, dan vaskulitis sistemik yang menyerupai
54
3.3 Arthritis
Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan sinovitis
dan nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah
deformitas Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun berkurang dan tidak
terbukti secara radiologis menyebabkan destruksi kartilago dan tulang. Kelemahan
otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria, namun
55
myositis dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasanya merupakan
gejala yang tumpang tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur
tendon dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Osteonekrosis
(nekrosisavaskular) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan
gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia,
dan talus. Artralgia dan mialgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat
disebabkan oleh penyakit, efek samping pengobatan, endokrinopati, dan faktor
psikogenik.1,2,3 Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi
jari pada kedua tangan yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai
dengan manifestasi muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non
erosive dan non deforming arthritis.
3.4 Mukokutaneus
Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada kelainan LES,
kejadiannya berkisar antara 80-90 dari kasus, bila diperhatikan dengan seksama 4
dari 11 kriteria diagnosis LES diantaranya merupakan kelainan pada kulit seperti:
foto sensitivitas, ruam malar, lesi diskoid serta lesi mukokutan. Manifestasi kulit
yang pertama yakni ruam malar yang ditandai oleh ruam eritematosa diatas pipi dan
jembatan hidung. Ruam ini didapatkan selama beberapa hari bahkan minggu dan
terasa sakit pada umumnya atau pruritus.
Gejala klinis kulit kedua yakni Fotosensitivitas. Fotosensitivitas dapat
dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang telah ada sebelumnya,
reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exagerrated sunburn), atau gejala
seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar matahari atausumber cahaya
buatan. Fotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua kelompok
ras dan etnis, walaupun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi umum.
Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai
56
malar rash atau butterfly rash. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien.
Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang, bertahan selama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak
eritematosa dengan adherent scale dan telangiektasis umumnya terdapat di wajah,
leher, dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas
dapat dipicu oleh pajanan sinar ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih
sering ditemukan di kulit yang terpajan sinar matahari dalam waktu lama (lengan
depan, daerah V di leher) tanpa pajanan sinar matahari dalam waktu dekat.
Gejala klinis selanjutnya yaitu lesi diskoid. Lesi ini sering juga berkembang
di daerah yang terpapar sinar matahari berupa peradangan dan lesi kulit jaringan
parut. Lesi ini berkembang sebagai pertumbuhan meradang dengan sisik dan
penampilan seperti kutil. Gambaran klinis lainnya yaitu kebotakan dan lesi
berbentuk noduler dengan atau tanpa disertai dengan lesi kulit diatasnya. Nodul ini
sering dijumpai di daerah kulit kepala, muka, tangan, dada, punggung, paha serta
daerah pantat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo reticularis, eritema periungual,
eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau kronik,
panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis.1,2,3
Alopesia dapat timbul akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul
pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid
dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari infeksi
virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh
inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin tumpang
tindih dengan sindrom Sjögren. Umumnya mata dan mulut kering merupakan efek
samping pengobatan.4,5
Mekanisme manifestasi dari mukokutan pada pasien SLE tidak lain berasal
dari adanya deposit komplek antibody yang menetap di kulit sehingga memicu
respon inflamasi. Pada manifestasi fotosensitivitas dan malar rash dipengaruhi oleh
adanya peningkatan paparan dari sinar UV. Hal ini memicu kematian dari sel
57
keratinosit, namun proses fagositik berjalan secara abnormal sehingga terjadi reaksi
inflamasi pada kulit. Hal yang sama terjadi pada alopesia dimana adanya destruksi
dari folikel rambut akibat reaksi inflamasi tersebut.
Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada
pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada
sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar
rash atau butterfly rash) pada bahagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga
ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok terutama
waktu menyisir rambut.
58
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Ny. E, 41 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri sendi seluruh
badan dirasakan terus menerus dan terdapat perubahan warna sejak 2 minggu
SMRS yang semakin memberat. Nyeri pada sendi membuat pasien sulit untuk
berjalan hingga sulit untuk beraktivitas. Nyeri dada (-), demam (+), rambut rontok
(+), BAK berbusa (-), wajah kemerahan (+), bercak kemerahan di tubuh (+), lemas
(+), mual (+), muntah (-), pusing berputar (-).
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dan
tanda vital dalam batas normal: tekanan darah 100/70 mmHg, nadi: 87 denyut per
menit, laju pernapasan adalah 18 kali/menit, dan suhu tubuhnya 38,0oC. Pada
pemeriksaan fisik lokalis ekstremitas didapatkan nyeri tekan pada DIP I-V pada
ekstremitas atas kanan dan kiri serta nyeri tekan MTP I-V pada ekstremitas bawah
kanan dan kiri. Dalam pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil berupa anemia
hipokrom mikrositer, leukopenia, trombositopenia, hiperkoagulasi, hipokalemia,
hipokalsemia, dan dislipidemia. .
Berdasarkan keluhan pasien nyeri sendi dan gejala lain seperti demam serta
lemas, diagnosis banding yang paling mungkin diantaranya adalah SLE dan
rheumatoid arthritis. Pada pasien ditemukan gejala-gejala lain yang lebih mengarah
pada diagnosis SLE, seperti adanya wajah yang memerah saat terkena sinar
matahari, bercak-bercak kemerahan di beberapa bagian tubuh, sariawan di mulut,
serta rambut mudah rontok. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa ruam
pada wajah pasien terdapat pada area malar dan melintasi hidung, gambaran
tersebut dikenal dengan istilah malar rash atau butterfly rash. Pada ekstremitas
didapatkan pula gambaran SLE maculopapular eritematosa. Gambaran malar rash
59
disertai vaskulitis SLE pada ekstremitas merupakan manifestasi dari SLE kutaneus
akut generalisata.
Diagnosis SLE dapat didukung dengan penilaian sistem scoring melalui skor
ARA dan SLICC 2012. Didapatkan skor 6 pada dua kriteria tersebut (pada SLICC
memenuhi minimal kriteria klinis dan kriteria imunologi) menunjukkan diagnosis
SLE dapat ditegakkan. Hasil tes titer ANA yang positf dapat dimasukkan dalam
penilaian system skoring EULAR 2019. Didapatkan skor 13 (>10) yang berarti
pasien ini memenuhi kriteria diagnosis SLE. Penentuan derajat aktivitas SLE
dilakukan menggunakan sistem skoring MEX-SLEDAI. Hasil skor MEX-SLEDAI
pada pasien ini adalah 8. Hasil ini menunjukkan bahwa pasien ini tergolong dalam
SLE aktivitas sedang.
2 Artritis 2
2 Serositis 0
1 Demam 1
Fatigue
1 Leukopenia 1
Limfopenia
Total Skor : 8 (sedang)
Keterangan : Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi
pada saat pemeriksaan atau dalam 10 hari ini.
Pada pemeriksaan fisik telapak tangan dan jari pasien, ditemukan ruam
kemerahan yang muncul ketika terkena sinar matahari atau yang disebut vaskulitis.
Vaskulitis adalah proses klinikopatologi dicirikan oleh peradangan dan kerusakan
pembuluh darah. Vaskulitis ditandai dengan adanya infiltrasi sel inflamasi dan
diikuti oleh nekrosis dinding pembuluh darah merupakan salah satu perjalanan
penyakit SLE. Vaskulitis kutaneus pada SLE dapat muncul dalam bentuk lesi lupus
nonspesifik seperti purpura, urtikaria, dan lesi ekstremitas, berupa lesi limfositik
atau leukocytoclastic. Vaskulitis disebabkan oleh vasospasme dari arteriole dan
vena dermal. Respon inflamasi yang disebabkan oleh SLE memainkan peran
penting dalam menghasilkan kejadian vaskular pada pasien ini. Hasil patogenetik
augmented aterosklerosis dan lingkungan proinflamasi dapat mendorong langkah
awal masalah ini. Di dalam dinding pembuluh darah, pembentukan penyakit
vaskular in situ dapat dipicu oleh produk inflamasi yang disimpan sebagai
kompleks imun. Ada beberapa autoantibodi, yang diproduksi oleh kompleks imun
tersebut, yang membahayakan sel-sel endotel pembuluh darah sebagai efektor
sitotoksik, langkah ini telah terlibat dalam patogenesis beberapa jaringan ikat.
Secara umum, sebagian besar vaskulitis dimediasi setidaknya sebagian oleh
mekanisme immunopathogenik yang terjadi dalam respon terhadap rangsangan
antigen tertentu.
63
Vaskulitis umumnya dianggap dalam kategori yang lebih luas dari penyakit
kompleks imun yang mencakup serum dan beberapa penyakit jaringan ikat, yang
sistemik lupus erythematosus adalah prototipenya. Imun kompleks yang beredar
tidak perlu menghasilkan deposisi kompleks di pembuluh darah dengan vaskulitis
berikutnya, dan banyak pasien dengan vaskulitis aktif tidak memiliki bukti
kompleks imun beredar atau disimpan. Antigen yang sebenarnya terkandung di
kompleks imun tubuh jarang ditemukan pada sindrom vaskulitis. Pengendapan
kompleks imun menghasilkan aktivasi komponen komplemen, khususnya C5a,
yang sangat chemotactic untuk neutrofil. Sel-sel ini kemudian menyusup ke dinding
pembuluh darah, melakukan phagositosis imun kompleks, dan melepaskan enzim
intrasitoplasma mereka, yang merusak dinding pembuluh darah. Karena proses
menjadi subakut atau kronis, sel mononuklear menyusup ke dinding pembuluh
darah. Hal utama pada sindrom ini menghasilkan kompromi dari lumen pembuluh
darah dengan perubahan iskemik pada jaringan yang dipasok oleh pembuluh darah
yang terlibat. Beberapa variabel dapat menjelaskan mengapa hanya beberapa jenis
kompleks imun menyebabkan vaskulitis dan mengapa hanya pembuluh darah
tertentu yang terpengaruh dalam individu pasien. Hal ini termasuk dalam
kemampuan sistem retikuloendotelial untuk menghilangkan kompleks imun yang
beredar dalam darah, ukuran dan sifat fisikokimia kompleks imun, derajat relatif
turbulensi aliran darah, tekanan hidrostatik intravaskuler di pembuluh darah yang
berbeda, dan integritas yang ada sebelumnya dari endotelium pembuluh darah.
Pada kepala leher didapatkan rambut rontok. SLE dapat menyerang semua
organ, dan pada ginjal SLE akan menyebabkan kompleks imun atau autoantibodi
terdampar pada glomerulus sehingga menyebabkan kobocoran dimana albumin dan
protein dikeluarkan secara berlebihan. Penyebab utama edema adalah
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan tekanan onkotik plasma
menurun sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat. Cairan dari ruang
intravaskular akan bergeser ke jaringan interstisial sehingga terjadi edema di
jaringan dan hipovolemia intravaskular. Hipovolemia intravaskular selanjutnya
menyebabkan perfusi ke ginjal menurun. Ginjal akan mengkompensasi keadaan ini
dengan mengaktifkan sistem reninangiotensinaldosteron (RAA). Sistem RAA
bekerja untuk meretensi natrium dan air dengan cara meningkatkan reabsorbsi
natrium dan air. Retensi natrium dan air menyebabkan dilusi (pengenceran) protein
plasma yang justru akan memperburuk keadaan hipoalbuminemia, menurunkan
67
tekanan onkotik plasma dan memperberat edema. Selain itu, penyebab utama
edema adalah defek pada ginjal yang menyebabkan retensi natrium dan air. Retensi
tersebut akan meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler dan transudasi cairan
intravaskuler ke rongga interstisial sehingga terjadi edema.
Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengn sinovitis dan
nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Artralgia dan mialgia merupakan
gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabkan oleh penyakit efek samping
pengobatan glucocorticoid withdrawal syndrom, endokrinopati, dan faktor
psikogenik. Pada kasus ini ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi lutut
yang tidak diserati dengan gangguan pergerakan. Ini sesuai dengan manifestasi
muskuloskletal yang ditemukan pda pasien SLE yaitu non-erosive dan non-
deforming asthritis.
Kadar kalsium dalah darah pada memainkan peran penting dalam proses
penyakit SLE, karena pasien SLE berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
kejadian hipokalsemia. Perubahan spesifik dalam homeostasis vitamin D dan
kalsium pada pasien SLE memiliki hubungan atas tingkat keparahan gejala.
Hipokalsemia turut berhubungan dengan kadar vitamin D dan serum albumin
pasien. Obat yang diresepkan untuk lupus dapat mempengaruhi konversi 25(OH)-
vitamin D menjadi calcitriol serta mempengaruhi penyerapan kalsium usus.
Kortikosteroid dan hidroklorokuin (HCQ) dapat menurunkan kadar kalsium yang
menyebabkan hipokalsemia melalui penurunan penyerapan tanpa secara signifikan
mengubah kadar serum 25(OH)-vitamin D. Disamping hal tersebut, adanya
hipoalbuminemia pada penderita SLE dapat memengaruhi kadar kalsium dalam
darah melalui penurunan jumlah ikatan kalsium-albumin.
diuretik dan kortikosteroid. Adanya asidosis pada tubulus ginjal distal (RTA) juga
turut menimbulkan terjadinya hipokalemia pada penderita SLE.
Dari hasil laboratorium didapatkan anemia hipokrom mikrositer, namun pada
pasien belum dilakukan pemeriksaan status besi berupa kadar ferritin dan TIBC
sehingga pada pasien belum dapat disingkirkan kemungkinan adanya defisiensi
besi. Pada kasus ini, anemia yang ada mengarah pada anemia penyakit kronis.
Kemungkinan patogenesis yang terjadi ialah insufiesiensi pasokan sel hemopoetik
dan respon eritropoetin (EPO) yang terganggu. Gangguan pada EPO diakibatkan
oleh aksi penghambatan sitokin inflamasi seperti IL-1, TNF-a, INF a, β dan TGF-
β. Selain itu, studi terbaru menunjukkan bahwa resistensi terhadap tindakan EPO
dapat dikaitkan dengan autoantibodi terhadap EPO. Sekarang diketahui bahwa
kadar serum sitokin Interleukin IL 61 dan IL102 meningkat pada pasien dengan
SLE, yang tertinggi pada pasien dengan penyakit aktif. Telah diamati bahwa ada
korelasi terbalik antara IL6 dan kadar hemoglobin, yang berpotensi terkait dengan
peningkatan keadaan inflamasi kronis yang ditandai dengan peningkatan serum IL6
dan tidak mungkin karena kekurangan zat besi.
Tatalaksana nonfarmakologi pasien dilakukan tirah baring dan edukasi
mengenai penyakit dan edukasi mengenai pentingnya penggunaan tabir surya serta
menjauhi faktor risiko seperti asap rokok. Tatalaksana farmakologi diberikan
hidroksiklorokuin sebagai lini pertama pengobatan SLE. Menurut rekomendasi
tatalaksana SLE EULAR 2019, hidroksiklorokuin diberikan pada semua pasien
SLE. Metilprednisolon yang merupakan golongan glukokortikoid diberikan pada
pasien dengan dosis 125 mg/hari secara intravena selama 3 hari untuk mengurangi
gejala inflamasi. Pemberian metilprednisolon secara intravena ideal untuk kasus
SLE derajat sedang dengan manifestasi kutaneus akut dan artritis. Berdasarkan
penelitian mengenai restriksi penggunaan glukokortikoid oral yang dilakukan oleh
Ruiz, dkk. pada tahun 2018, penggunaan Metilprednisolon dengan dosis 125 – 250
mg selama 3 hari melalui intravena dapat mengurangi penggunaan prednisone oral
69
dosis tinggi, mempercepat proses tapering off dan mengurangi akumulasi dosis
glukokortikoid sehingga efek jangka pendek dan jangka panjang perdnison oral
akan berkurang. Sebagai terapi pemeliharaan pada pasien ini juga dapat diberikan
agen imunosupresan mycophenolic mofetil 1 gram per hari dibagi dalam 2 dosis
dan siklosporin 2x50 mg per hari, tujuan pemberian terapi pemeliharaan adalah .
Pemberian obat-obat imunosupresan bertujuan untuk mengurangi respon autoimun
yang timbul, sehingga proses inflamasi dapat ditekan. Pemberian Ibuprofen pada
pasien merupakan tatalaksana suportif untuk mengurangi nyeri sendi yang
dirasakan. Pemberian suplementasi kalsium berupa CaCO3 untuk mencegah deficit
kalsium pada tubuh akibat kurangnya jumlah vitamin D pada pasien SLE yang
menggunakan glukokortikoid dan antimalaria karena dapat mempengaruhi
metabolisme vitamin D dan menurunkan fungsi reseptor vitamin D. Pada pasien
ini juga diberikan Asam folat yang bertujuan untuk mengurangi efek resisten EPO.
Pada pasien SLE edukasi juga penting diberikan edukasi mengenai perjalanan
penyakit, dan faktor risiko agar pasien dapat menjauhi faktor risiko yang dapat
memicu flare. Pasien juga perlu diberikan edukasi mengenai kehamilan karena
pasien masih dalam usia reproduktif, berdasarkan rekomendasi IRA, pasien SLE
sebaiknya hamil setidaknya 6 bulan setelah SLE remisi total untuk prognosis yang
lebih baik bagi ibu dan janin.
70
DAFTAR PUSTAKA
20.
3