Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh:

Fakih Jerian Ramadhani, S.Ked 04084882326005


Muhammad Fajri Khoirul M, S.Ked 04084822326192
Shauzan Nabella Ramadani, S.Ked 04084822326118

Pembimbing:
dr. M. Silahuddin, Sp.PD

KSM/DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PRABUMULIH PROVINSI SUMATERA SELATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2024
HALAMAN PENGESAHAN

DIABETES MELITUS TIPE 2

Disusun oleh :

Fakih Jerian Ramadhani, S.Ked 04084882326005


Muhammad Fajri Khoirul M, S.Ked 04084822326192
Shauzan Nabella Ramadani, S.Ked 04084822326118

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya di
RSUD Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan dari tanggal 29 Januari – 10
Februari 2024.

Palembang, Februari 2024


Pembimbing

dr. M. Silahuddin, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan topik “DIABETES MELITUS TIPE 2” sebagai salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Penyakit Dalam RSUD Prabumulih
Provinsi Sumatera Selatan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Silahuddin, Sp.PD
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.

Palembang, Februari 2024

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................2
KATA PENGANTAR............................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................4
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................6
BAB 2 LAPORAN KASUS...................................................................................8
2.1. Identitas Pasien...........................................................................................8
2.2. Anamnesis....................................................................................................8
2.3. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................10
2.4. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................15
2.5. Rencana Pemeriksaan..............................................................................18
2.6. Diagnosis Sementara.................................................................................18
2.7. Diagnosis Banding.....................................................................................18
2.8. Tatalaksana...............................................................................................18
2.9. Prognosis....................................................................................................19
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................20
3.1 Diabetes Melitus...................................................................................20
3.1.1 Definisi...............................................................................................20
3.2.2. Epidemiologi......................................................................................20
3.2.3. Klasifikasi..........................................................................................21
3.2.4. Faktor Risiko......................................................................................22
3.2.5. Patofisiologi.......................................................................................28
3.2.6. Diagnosis............................................................................................33
3.2.7. Komplikasi.........................................................................................35
3.2.8. Tatalaksana........................................................................................52
3.2.9. Edukasi...............................................................................................53
3.2.10. SNPPDI..........................................................................................58
BAB 4 ANALISIS KASUS..................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................63

4
BAB 1
PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya. Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme
kronis yang ditandai dengan hiperglikemia persisten. Hal tersebut dapat terjadi
karena gangguan sekresi insulin, resistensi terhadap tindakan perifer insulin, atau
keduanya.1
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh
Departemen Kesehatan, terjadi peningkatan prevalensi DM menjadi 10.9%
lnternational Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2019 menempatkan
Indonesia sebagai negara peringkat ke 6 dalam jumlah penderita DM yang
mencapai 10,3 juta. Prediksi dari IDF menyatakan akan terjadi peningkatan
jumlah pasien DM dari 10,7 juta pada tahun 2019 menjadi 13.7 juta pada tahun
2030.2
Komplikasi yang terjadi akibat penyakit DM dapat berupa gangguan pada
pembuluh darah baik makrovaskular maupun mikrovaskular, serta gangguan pada
sistem saraf atau neuropati. Gangguan ini dapat terjadi pada pasien DM tipe 2
yang
sudah lama menderita penyakit atau DM tipe 2 yang baru terdiagnosis.
Komplikasi makrovaskular umumnya mengenai organ jantung, otak dan
pembuluh darah, sedangkan gangguan mikrovaskular dapat terjadi pada mata dan
ginjal. Keluhan neuropati juga umum dialami oleh pasien DM, baik neuropati
motorik, sensorik ataupun neuropati otonom. Komplikasi DM juga dapat berupa
kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran
kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang
menjadi ulkus/gangren diabetik. Pasien dengan ulkus kaki diabetik memerlukan
asesmen khusus sehingga dapat diberikan penatalaksanaan yang tepat untuk
mengatasi infeksi serta mengendalikan glukosa darah. Selain itu, krisis
hiperglikemia juga merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada DM tipe 2.

5
Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun
pada DM yang terkontrol baik.3
Berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia 2019,
penyakit diabetes melitus termasuk dalam kompetensi 4, dimana seorang dokter
umum diharapkan mampu membuat diagnosis klinik dan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi
DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien
DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030, apabila tidak ditatalaksana dengan baik dapat menimbulkan
berbagai komplikasi lainnya. Sehingga penulisan laporan kasus ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan dalam mendiagnosis dan tatalaksana DM tipe 2.

6
7

BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. VBH
Tanggal Lahir : 23 Desember 1983
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. Dama Gunung Ibul
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : 1 Februari 2024
Pembiayaan : BPJS kelas III
No. RM : 10.34.64

2.2. Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis bersama pasien di Bangsal
Medikal Jaminan RSUD Prabumulih pada tanggal 2 Februari 2024.
Keluhan Utama: Badan lemas yang semakin dirasakan sejak 1 hari
SMRS.
Keluhan Tambahan: Mual dan muntah
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak 4 hari SMRS, pasien mengeluh badan lemas terus menerus.
Keluhan disertai mudah lelah, sering mengantuk, sering merasa lapar,
dan sering merasa haus. Riwayat sering buang air kecil ada lebih dari 5
kali sehari, pasien juga sering terbangun di malam hari karena ingin
buang air kecil. Buang air kecil berwarna merah atau berbusa disangkal.
8

Pasien juga mengeluhkan timbul rasa sesak. Sesak muncul saat


beraktivitas dan membaik dengan istirahat. Nyeri dada menjalar hingga
punggung disangkal. Pusing ada terasa seperti tertekan dan hilang timbul.
Pusing tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Mual ada, muntah ada,
memuntahkan isi yang dimakan. Nafsu makan menurun ada, penurunan
berat badan ada sebanyak 21 kg. Riwayat demam, batuk, pilek, sesak,
dada berdebar, nyeri dada, pingsan, keringat malam hari, tangan bergetar,
pandangan kabur, dan mata berkunang-kunang disangkal. BAB tidak ada
keluhan. Pasien tidak berobat, keluhan tidak membaik.
Sejak 1 hari SMRS, keluhan badan lemas dirasakan semakin
memberat hingga pasien sulit melakukan aktivitas. Keluhan mudah lelah,
sering mengantuk, sering merasa lapar, sering merasa haus, sering buang
air kecil, rasa kesemutan pada kedua tangan dan kaki, serta pusing ada.
Riwayat nafas berbau seperti buah buahan disangkal. Riwayat kejang
disangkal. Pasien kemudian datang berobat ke RSUD Prabumulih untuk
mendapatkan tatalaksana lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan badan lemas, mudah lelah, sering haus, sering lapar
dan sering BAK ada sejak 12 tahun yang lalu dan telah didiagnosis
sebagai kencing manis.
- Riwayat darah tinggi tidak ada
- Riwayat kurang darah tidak ada
- Riayat maag tidak ada
- Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.
Riwayat Penyakit pada Keluarga
- Riwayat kencing manis pada ayah pasien.
- Riwayat keluhan serupa pada keluarga tidak ada.
- Riwayat darah tinggi pada keluarga ada.

Riwayat Kebiasaan
9

- Riwayat merokok tidak ada


- Riwayat suka mengonsumsi makanan dan minuman manis ada.
- Riwayat minum alkohol disangkal.

Riwayat Pengobatan
- Pasien rutin mengonsumsi obat merformin dan glibenclamide
1x/hari sejak 12 tahun lalu.

Riwayat Sosial Ekonomi


- Pasien berobat menggunakan BPJS kelas III.
Kesan: sosial ekonomi menengah kebawah.

2.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum (Tanggal 2 Februari 2024 di Bangsal
Medikal Jaminan RSUD Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan).
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Tekanan Darah : 119/73 mmHg
Nadi : 86 x/menit, reguler, isi dan tegangan
cukup, kualitas baik
Laju Pernapasan : 20 x/menit, reguler, tipe pernapasan
thorakoabdominal
Suhu : 36,5oC
SpO2 : 99% room air
Berat Badan : 41 kg
Tinggi Badan : 166 cm
IMT : 16 kg/m2 (normoweight)

Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normosefali
10

Ekspresi : Wajar
Rambut :Warna hitam sebagian putih, rambut
tidak mudah dicabut, alopesia (-)
Deformitas : Tidak ada
Perdarahan temporal : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak ada
Wajah sembab : Tidak ada

Mata
Eksoftalmus : Tidak ada
Endoftalmus : Tidak ada
Palpebra : Edema (-/-)
Konjungtiva palpebral : Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, ∅ 3mm/3mm, refleks
cahaya (+/+)

Hidung
Deformitas : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Napas cuping hidung : Tidak ada
Deviasi septum : Tidak ada

Telinga
Meatus akustikus eksternus : Lapang
Nyeri tekan : Processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : Tidak ada
Pendengaran : Baik
11

Mulut
Bibir : Cheilitis (-), pucat (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Gigi-geligi : Lengkap normal
Gusi : Hipertrofi (-), pendarahan (-), leukoplakia (-)
Lidah : Coated tongue (+) Oral thrush (-), atrofi papil
(-), stomatitis (-)

Leher
Inspeksi : Simetris, scar (-), trakea deviasi (-)
Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran KGB (-), tekanan vena
jugularis: (5-2) cmH2O

Thoraks
Paru-paru
(Anterior)
Inspeksi : Bentuk dada normal, sela iga melebar (-),
retraksi dinding dada (-), spider naevi (-),
venektasi (-), pectus excavatum (-), pectus
carinatum (-), barrel chest (-).
Statis
Simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis
Simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stem fremitus lapang paru
: kiri dan kanan normal, nyeri tekan (-/-),
: krepitasi (-/-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru kanan
12

dan kiri, nyeri ketok (-/-)


Auskultasi : Vesikuler (+/+) seluruh lapangan paru,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Paru-paru
(Posterior)
Inspeksi : Bentuk dada normal, sela iga melebar (-),
retraksi dinding dada (-), spider naevi
(-), venektasi (-), pectus excavatum (-),
pectus carinatum (-), barrel chest (-).
Statis
Simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis
Simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stem fremitus lapang paru
: kiri dan kanan normal, nyeri tekan (-/-),
: krepitasi (-/-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru kanan
dan kiri, nyeri ketok (-/-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) seluruh lapangan paru,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba, thrill (-),
: ventricular heaving (-), tapping (-)
Perkusi : Batas atas jantung ICS II linea sternalis
sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea
parasternalis dextra
Batas kiri jantung ICS V linea
midclavicularis sinistra
13

Auskultasi : Bunyi jantung I-II (reguler), murmur (-),


gallop (-), splitting (-), ejection click (-),
opening snap (-), friction rub (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, lemas, venektasi (-), striae (-),
spider naevi (-), caput medua (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 10x/ menit normal, bruit
(-)
Palpasi : Nyeri tekan (+) epigastrium, hepar
tidak teraba, lien
tidak teraba, Murphy Sign (-), Mc burney
sign (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-), shifting dullness (-),
nyeri ketok CVA (-/-)

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, palmar pucat (-/-), sianosis
(-), edema (-), CRT <2 detik, tremor (-)
Inferior : Akral hangat, plantar pucat (-/-), sianosis
(-), edema pretibial (-), kulit kering (+/+),
tumit pecah (+/+), CRT <2 detik.

Genitalia : Tidak diperiksa

2.4. Pemeriksaan Penunjang


2.4.1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2.1 Hasil Laboratorium (1 Februari 2024)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
14

Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 16.1 11.7-15.5 g/dL
Eritrosit 5.45 3.8 5.2 x 106/ μL
Leukosit 13.04 3.6-11 x 103/ μL
Trombosit 499 150-450 x 103/ μL
Hematokrit 45.7 40-52%
Hitung Jenis
Basofil 0 0 - 1%
Eosinofil 0 1 - 6%
Neutrofil 89 50 - 70%
Limfosit 7 20 - 40%
Monosit 4 2 - 8%

Kimia klinik
Glukosa sewaktu 920 80 – 120 mg/dL

2.5. Rencana Pemeriksaan


- Pemeriksaan gula darah secara berkala
- Pemeriksaan analisis gas darah
- Pemeriksaan profil lipid
- Pemeriksaan urinalisis

2.6. Diagnosis Sementara


Diabetes Melitus Tipe 2 dengan ketaoasidosis diabetikum

2.7. Diagnosis Banding


- Diabetes Melitus tipe lain
- Diabetes melitus Tipe 2 dengan HHS
15

- Diabetes melitus Tipe 2

2.8. Tatalaksana
Non Farmakologi
- Komunikasi, informasi, edukasi mengenai penyakit
- Terapi nutrisi medis dengan menu seimbang sesuai kebutuhan kalori
dan zat gizi
- Menginformasikan kepada pasien untuk makan tepat waktu, makan
sering dengan porsi kecil dan hindari makanan yang meningkatkan
asam lambung seperti kopi, teh, dan makaan pedas.
- Memberikan edukasi pada pasien untuk melakukan latihan fisik
sebagai salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Program
latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 hari seminggu selama sekitar
30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan fisik yang
dianjurkan berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang.
- Memberikan edukasi kepada pasien bahwa kadar glukosa darah dan
HbA1c perlu dipantau secara berkala.
Farmakologi
- IVFD NS 0,9% 500 ml/4 jam pertama, dilanjutkan dengan RL gtt 20
- Insulin Aspart 20 IU bolus IV, dilanjutkan drip 2,7 IU/jam
- Inj. Omeprazole 2x40 mg
- Inj. Ondansetron 2x4 mg

2.9. Prognosis
Quo Ad Vitam :Dubia ad Bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
16

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus


3.1.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Diabetes melitus (DM) adalah
gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan hiperglikemia
persisten. Hal tersebut dapat terjadi karena gangguan sekresi insulin,
resistensi terhadap tindakan perifer insulin, atau keduanya.12

3.2.2. Epidemiologi
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018
oleh Departemen Kesehatan, terjadi peningkatan prevalensi DM menjadi
10.9% lnternational Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2019
menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat ke 6 dalam jumlah
penderita DM yang mencapai 10,3 juta. Prediksi dari IDF menyatakan
akan terjadi peningkatan jumlah pasien DM dari 10,7 juta pada tahun 2019
menjadi 13.7 juta pada tahun 2030.12
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di
berbagai penjuru dunia. Organisasi WHO memprediksi adanya
peningkatan jumlah pasien DM tipe 2 yang cukup besar pada tahun-tahun
mendatang. Badan kesehatan dunia WHO memprediksi kenaikan jumlah
pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.12
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak
133 juta jiwa, dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan
7,2% pada daerah rural, sehingga diperkirakan pada tahun 2003 didapatkan
17

8,2 juta pasien DM di daerah rural. Berdasarkan pola pertambahan


penduduk, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM
pada urban (14,7%) dan rural (7,2%), maka diperkirakan terdapat 28 juta
pasien diabetes di daerah urban dan 13,9 juta di daerah rural.12
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018
oleh Departemen Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi DM
menjadi 8,5%. Peningkatan tersebut seiring dengan meningkatnya obesitas
yang merupakan salah satu faktor risiko diabetes, yaitu 14,8 % pada data
RISKESDAS tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018. Hal ini seiring
pula dengan peningkatan prevalensi berat badan lebih dari 11,5% menjadi
13,6%, dan untuk obesitas sentral (lingkar pinggang 290cm pada laki-laki
dan 2 80cm pada perempuan) meningkat dari 26,6% menjadi 31%. Data-
data di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien DM di Indonesia sangat
besar dan merupakan beban yang berat untuk dapat ditangani sendiri oleh
dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga
kesehatan.12

3.2.3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, DM dapat diklasifikasikan menjadi 4
kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe
lain12.
18

Gambar 2. 1. Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi


(Soelistijo,2021)

3.2.4. Faktor Risiko


Seperti penyakit tidak menular lainnya, diabetes melitus tipe 2 juga
memiliki faktor risiko atau faktor pencetus yang berkontribusi terhadap
kejadian penyakitnya. Upaya pengendalian faktor risiko dapat mencegah
diabetes melitus dan menurunkan tingkat fatalitas. Faktor risiko diabetes
terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah ras, etnik,
umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat
melahirkan bayi >4.000 gram, riwayat lahir dengan berat badan lahir
rendah (BBLR atau <2.500 gram). Sedangkan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi adalah berat badan berlebih, obesitas abdominal/sentral,
kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan
tidak seimbang (tinggi kalori), kondisi prediabetes yang ditandai dengan
toleransi glukosa terganggu (TGT 140-199 mg/dL) atau gula darah puasa
terganggu (GDPT <140 mg/dL), serta merokok.13
A. Merokok
Merokok diketahui dapat meningkatkan risiko diabetes melitus tipe
2 hingga sebesar 30-40%. Ketika seseorang merokok, kadar nikotin
19

dalam tubuh akan meningkat dan menurunkan asupan glukosa jaringan


otot. Hal tersebut dapat menyebabkan resistensi insulin dan
menyebabkan diabetes tipe 2. Beberapa literatur mengatakan bahwa
terdapat hubungan antara semakin banyaknya bungkus rokok per hari
dengan kemungkinan terkena diabetes pada perokok. Penelitian
menemukan bahwa mantan perokok juga lebih berisiko untuk
mengalami diabetes melitus tipe 2 sebesar 17-60%. Selain itu lamanya
berhenti merokok juga mempengaruhi risiko mantan perokok terkena
diabetes melitus. Seseorang berisiko tinggi terkena diabetes melitus tipe
2 pada 5-10 tahun setelah berhenti merokok. Hubungan tersebut
diketahui lebih mempengaruhi wanita dibandingkan pria.
Merokok baik secara aktif dan pasif sangat dihubungkan dengan
kejadian diabetes tipe 2. Hubungan ini lebih banyak ditemukan pada
pria dibandingkan dengan wanita. Selain itu, hubungan ini tetap
signifikan bahkan pada mantan perokok selama 5-10 tahun pertama
merokok. Setelah 10 tahun berhenti merokok, risiko kejadian diabetes
tipe 2 adalah sama dengan non-perokok. Wanita mantan perokok juga
diketahui memiliki risiko lebih tinggi terkena diabetes dibandingkan
dengan pria mantan perokok.14
B. Penyakit kardiovaskuler
Peningkatan denyut jantung dan penyakit kardiovaskular
meningkatkan tekanan darah di arteri. Kondisi-kondisi tersebut dapat
mengakibatkan turunnya penyerapan glukosa dalam tubuh dan
menimbulkan kondisi resistensi insulin. Akibatnya, seseorang yang
menderita penyakit jantung berisiko lebih tinggi terkena diabetes tipe 2.
Namun, hubungan kedua faktor risiko ini masih diperdebatkan.
Beberapa literatur menyatakan bahwa riwayat penyakit kardiovaskular
merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan diabetes melitus.
Namun, beberapa literatur lain menyatakan sebaliknya, yaitu diabetes
melitus tipe 2 merupakan faktor risiko dari penyakit kardiovaskuler.
Contohnya adalah penyakit jantung koroner. Beberapa literatur
20

menyimpulkan bahwa skor PJK keluarga yang tinggi dikaitkan dengan


kejadian diabetes tipe 2 terutama pada orang yang memiliki riwayat
positif diabetes keluarga.14
C. Dislipidemia
Dislipidemia didefinisikan sebagai tingkat lipid seperti trigliserida
dan kolesterol yang abnormal. Kondisi ini ditandai dengan kadar
trigliserida tinggi, peningkatan kadar low-density lipoprotein (LDL) dan
penurunan kadar high- density lipoprotein (HDL). Peningkatan LDL
dan penurunan HDL menyebabkan disfungsi sel beta yang akan
menghambat sekresi insulin dan menimbulkan diabetes tipe 2.
Lemak yang diperoleh dari makanan dapat meningkatkan kadar
kolesterol total dan LDL. Proses tersebut merupakan mekanisme yang
signifikan dalam perkembangan diabetes tipe 2 pada orang dengan
dislipidemia. Mengganti asam lemak jenuh dengan asam lemak tak
jenuh ganda dan lemak hewani dengan lemak nabati dapat membantu
menurunkan kolesterol darah dan akhirnya membantu mencegah
diabetes tipe 2. Hal ini dikarenakan asam lemak tak jenuh ganda dan
lemak nabati diketahui berbanding terbalik dengan risiko kejadian
diabetes tipe 2. Ironisnya, terapi dan obat-obatan yang digunakan untuk
mengurangi peningkatan kadar LDL justru ditemukan meningkatkan
risiko seseorang untuk terkena diabetes melitus. Individu yang
memiliki hiperkolesterolemia familial yang merupakan salah satu
kelainan genetik yang menghasilkan kadar LDL tinggi, cenderung
memiliki diabetes tipe 2 dibandingkan individu yang memiliki kadar
LDL tinggi karena pola diet.14
D. Hipertensi
Hipertensi merupakan sebuah kondisi medis dimana tekanan
darah di pembuluh arteri secara persisten meningkat. Mekanisme
patofisiologi yang diduga mendasari hal ini masih belum sepenuhnya
diketahui, tapi terdapat beberapa mekanisme yang diajukan. Hipertensi
diketahui dapat meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik. Hal
21

tersebut nantinya akan menurunkan penyerapan glukosa pada tubuh


sehingga nantinya akan menginduksi resistensi insulin dan akhirnya
diabetes melitus tipe 2. Meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik
pada hipertensi juga dapat menyebabkan terganggunya vasodilatasi
pada otot- otot skeletal. Sehingga penyerapan glukosa pada otot juga
akan berkurang.
Mekanisme lain yang diduga mendasari hal ini adalah tingginya
tekanan darah terutama tekanan arteri dapat merangsang terjadinya
disfungsi mikrovaskuler yang berkontribusi pada patofisiologi diabetes.
Karena itu biomarker disfungsi endotel dapat juga digunakan sebagai
prediktor independen dari diabetes tipe 2. Disfungsi mikrovaskuler yang
terjadi dapat ditandai dengan adanya gangguan pada keseimbangan
fisiologis yang kompleks antara substansi-substansi vasokonstriktor
(endotelin dan angiotensin II) dan vasodilator (nitrit oksida dan
prostasiklin), growth factor, dan faktor antikoagulan.
Terganggunya vasodilatasi pembuluh kapiler yang bergantung
pada endotel tersebut diketahui dapat berkontribusi atau bahkan
memperparah resistensi insulin dengan membatasi distribusi glukosa ke
jaringan-jaringan tubuh. Selain itu juga diduga terdapat inflamasi ringan
pada endotel dan jaringan otot halus pada dinding vaskuler akan
merangsang proliferasi, hipertrofi, remodelling, dan apoptosis. Proses-
proses tersebut akan mengganggu keseimbangan antara protein elastin
dan kolagen pembentuk struktur dinding arteri yang menentukan
compliance vaskuler. Mekanisme tersebut akan menyebabkan
pengerasan pembuluh darah dan peningkatan tekanan pulsasi arteri,
sehingga memperparah disfungsi endotel dan penyakit vaskuler.14
E. Usia
Usia lanjut merupakan salah satu faktor risiko dari sindrom
metabolik dan penyakit-penyakit kronik termasuk diabetes tipe 2.
Proses penuaan dapat meningkatkan inflamasi kronik pada pasien
dengan usia lanjut yang juga dapat menyebabkan terjadinya resistensi
22

insulin dan diabetes melitus tipe 2. Selain itu resistensi insulin yang
disebabkan oleh proses penuaan diduga juga disebabkan oleh mulai
terganggunya metabolisme lipid seiring bertambahnya usia. Hal tersebut
akan meningkatkan akumulasi lemak tubuh dan meningkatkan free fatty
acids (FFA). Peningkatan FFA akan merangsang glukoneogenesis dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot. Proses tersebut dikenal
juga dengan lipotoksisitas.14
F. Etnis
Etnis/ras kerap dikaitkan dengan berbagai komplikasi kesehatan,
termasuk diabetes, karena heterogenitas dalam kondisi lingkungan
demografis dan gaya hidup. Etnis merupakan faktor risiko independen
yang cenderung diperburuk oleh kerugian sosial dan cara hidup yang
Makmur. Sebuah penelitian menemukan bahwa diabetes melitus 10 kali
lebih banyak terjadi pada daerah pedesaan India dibandingkan dengan
ras Melanesian dari pedesaan. Selain itu penelitian tersebut juga
mengemukakan bahwa penyakit ini 5 kali lebih mudah untuk terjadi
pada ras Melanesia yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan
yang tinggal di pedesaan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh
penduduk desa yang memiliki tingkat aktivitas fisik sehari-hari lebih
tinggi dibandingkan dari mereka yang tinggal di perkotaan. Hasil
penelitian lain membanding risiko diabetes pada populasi Asia dan non-
Asia, hasilnya didapatkan bahwa diabetes melitus tipe 2 ditemukan lebih
banyak pada populasi Asia terutama populasi yang berasal dari
Bangladesh. Namun, etnis saja masih belum cukup untuk ditetapkan
sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri pada kasus ini karena
penduduk Bangladesh juga diketahui memiliki tingkat merokok lebih
tinggi dan rasio asam lemak tak jenuh dan jenuh yang lebih rendah.
Masih belum terdapat penjelasan yang pasti mengenai etnis
sebagai faktor risiko diabetes melitus tipe 2. Salah satu penjelasan yang
paling mungkin adalah hubungan antara BMI dan lemak tubuh yang
bergantung serta berbeda-beda berdasarkan etnis dan daerah asal.
23

Sebagai contoh, populasi Asia memiliki IMT sekitar 3-4 kg/m2 lebih
rendah dibandingkan populasi Kaukasian untuk persentase lemak tubuh
yang sama. Penelitian lain juga menyatakan bahwa terdapat pengaruh
ras terhadap resistensi insulin, dimana populasi Asia, kulit hitam
(Amerika-Afrika), dan Amerika-Meksiko sedikit lebih tidak sensitif
terhadap insulin dibandingkan populasi kulit putih.14
G. Riwayat diabetes di keluarga
Riwayat keluarga dapat digunakan sebagai alat
prognosis/diagnostik yang cukup berguna. Riwayat diabetes pada
keluarga menggambarkan baik faktor genetik maupun faktor lingkungan
dan dapat memberikan prediksi insidensi diabetes melitus tipe 2 yang
lebih baik dibandingkan hanya faktor genetik dan lingkungan saja.
Penelitian oleh Rodriguez-Moran, et al. melaporkan bahwa riwayat
adanya diabetes pada anggota keluarga kandung (orang tua, anak, atau
saudara kandung) merupakan faktor risiko independen yang kuat untuk
terjadinya kelainan kadar glukosa puasa (prediabetes) baik pada anak
maupun dewasa muda. Karena itu, riwayat keluarga terdekat mengalami
diabetes saat skrining pada anak dan dewasa perlu dipertimbangkan.14
H. Obesitas
Obesitas adalah kondisi kesehatan yang kompleks yang dikaitkan
dengan jumlah lemak tubuh yang berlebihan. Kondisi ini ditentukan
oleh IMT dan dievaluasi lebih lanjut dengan rasio pinggang-pinggul
untuk mengetahui distribusi lemak tubuh. Lemak perut dalam tubuh
dapat meningkatkan peradangan yang menurunkan sensitivitas insulin
dengan mengganggu fungsi sel beta. Kondisi resistensi insulin
kemudian mengarah pada prevalensi diabetes tipe 2. Namun, obesitas
juga merupakan salah satu prediktor diabetes yang signifikan, hubungan
antara obesitas dan diabetes masih dipengaruhi oleh faktor lain seperti
jenis kelamin dan etnis. Wanita dengan IMT tinggi berisiko untuk
terkena diabetes dibandingkan pria. Hubungan tersebut ditemukan lebih
kuat pada populasi Asia dibandingkan pada populasi Australia.14
24

I. Kurang aktivitas fisik


Seseorang dianggap kurang aktivitas fisik apabila tidak
melakukan setidaknya 30-60 menit olahraga yang direkomendasikan
tiga hingga empat kali seminggu. Ketidakaktifan fisik menurunkan
sensitivitas insulin dengan hilangnya sel beta secara progresif. Hal ini
menyebabkan gangguan toleransi glukosa dan pada akhirnya diabetes
tipe 2. Namun, belum terdapat penelitian yang meneliti secara langsung
hubungan antara aktivitas fisik sebagai faktor independen dan
prevalensi diabetes. Salah satu alasan mengapa kurang aktivitas fisik
dapat menyebabkan diabetes tipe 2 adalah karena kurangnya aktivitas
fisik dapat menyebabkan obesitas yang pada gilirannya merupakan
faktor risiko yang signifikan untuk diabetes tipe 2.

3.2.5. Patofisiologi
Patofisiologi utama yang diduga merupakan kerusakan sentral dari
diabetes melitus tipe 2 adalah adanya resistensi insulin pada sel otot dan
hati, serta kegagalan sel beta pankreas. Hasil penelitian terbaru
mengemukakan bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat
dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatknya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan aborbsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi
glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru dari ominous
octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2.
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa saat ini diketahui
dengan sebutan egregious eleven. Konsep tersebut perlu dipahami karena
dasar patofisiologi ini memberikan konsep14:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja
25

obat sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.


3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi pada
pasien gangguan toleransi glukosa.
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh
sebelas hal (egregious eleven), yaitu:

Gambar 4. Egregious Eleven Diabetes Melitus Tipe 2 (Perkeni, 2021)

1. Kegagalan sel beta pankreas


Pada fase awal penyakit ini, penurunan sensitivitas insulin
merangsang hiperfungsi sel beta pankreas sebagai mekanisme
kompensasi dan menyebabkan peningkatan sekresi insulin untuk
mempertahankan normoglikemia. Sehingga kadar insulin di darah juga
akan semakin meningkat. Namun, perlahan-lahan peningkatan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas akan mulai gagal dalam mengkompensasi
penurunan sensitivitas insulin. Lama kelamaan fungsi sel beta pankreas
akan mulai menurun dan disfungsi sel beta pankreas akan
menyebabkan defisiensi insulin. Akibatnya adalah status
normoglikemia tidak lagi dapat dipertahankan dan hiperglikemia
muncul kembali. Pada saat diagnosis diabetes melitus tipe 2 ditegakkan,
26

fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja
melalui jalur ini adalah sulfonylurea, meglitinide, anosi glucagon-like
peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).13
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati
(hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara
bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat
sekresi glucagon atau menghambat reseptor glucagon meliputi GLP-1
receptor agonist (GLP-1 RA), penghambat DPP-4 dan amilin.13
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(free fatty acid/FFA) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang
proses gluconeogenesis dan mencetuskan resistensi insulin di hepar dan
otot, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan
oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja di jalur
ini adalah tiazolidinedion.13
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin
multipel pada intramioseluler yang diakibatkan oleh gangguan
fosforilasi tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam
sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.13
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu glukoneogenesis sehingga produksi gloksa dalam keadaan
basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin yang menekan proses
27

glukoneogenesis.13
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obesitas baik dengan diabetes maupun tidak, didapatkan
hyperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah GLP-1 RA, amylin, dan bromokriptin. 13
7. Kolon/microbiota
Perubahan komposisi microbiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan
DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya
sebagian individu berat badan berlebih yang akan berkembang menjadi
DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk
menangani keadaan hiperglikemia.13
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar
dibanding bila diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like
polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada
pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan
enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah penghambat DPP-4. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja enzim alfa glucosidase yang akan memecah polisakarida
menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus sehingga
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa glucosidase adalah
acarbose.13
28

9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
patogenesis diabetes melitus tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan
diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-transporter-2
(SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya
akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter-1 (SGLT-
1) pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnnya tidak ada
glukosa dalam urin. Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam
tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah.
Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
penghambat SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin, dan canaglifozin
adalah contoh obatnya.13
10. Lambung
Penurunan produksi amylin pada diabetes merupakan
konsekuensi kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin
menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan peningkatan
absorbs glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan
kadar glukosa postprandial.13
11. Sistem imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut
(disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari
aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan
patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti
dislipdemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stress pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin.13
29

3.2.6. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah dan HbA1c, Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti keluhan klasik DM yaitu
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Dan keluhan lain seperti lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulva pada wanita.

Gambar 2. 2. Kriteria diagnosis diabetes mellitus (Soelistijo, 2021)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria


DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2- jam < 140 mg/dL;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
30

plasma 2 - jam setelah TTGO antara 140 - 199 mg/dL dan glukosa
plasma puasa<100 mg/dL
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 -6,4%.

Gambar 2. 3. Kadar tes laboratorium dalam diagnosis diabetes dan


prediabetes (Soelistijo, 2021)

Gambar 2. 4. Cara pelaksanaan TTGO (Soelistijo, 2021)

Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan


penyebab penting timbulnya masalah ini, dan akan terus meningkat pada
tahun-tahun mendatang. Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%)
penyandang diabetes yang belum terdiagnosis di Indonesia. Selain itu
hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan,
baik non farmakologis maupun farmakologis. Dari yang menjalani
pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali dengan baik.
Komplikasi dari DM terutama pada pembuluh darah baik makrovaskular
maupun mikrovaskular, serta pada sistem saral atau neuropati akan
31

menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat dan membawa dampak


pembiayaan terhadap DM menjadi tinggi dan produktivitas pasien DM
menjadi menurun.

3.2.7. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat penyakit DM dapat berupa gangguan
pada pembuluh darah baik makrovaskular maupun mikrovaskular, serta
gangguan pada sistem saraf atau neuropati. Gangguan ini dapat terjadi
pada pasien DM tipe 2 yang sudah lama menderita penyakit atau DM tipe
2 yang baru terdiagnosis. Komplikasi makrovaskular umumnya mengenai
organ jantung, otak dan pembuluh darah, sedangkan gangguan
mikrovaskular dapat terjadi pada mata dan ginjal. Keluhan neuropati juga
umum dialami oleh pasien DM, baik neuropati motorik, sensorik ataupun
neuropati otonom.
Hiperglikemia kronis yang bersinergi dengan kelainan metabolik
lain pada pasien diabetes melitus dapat menyebabkan kerusakan pada
berbagai sistem organ, yang mengarah pada perkembangan komplikasi
kesehatan yang melumpuhkan dan mengancam jiwa, yang paling menonjol
adalah mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan komplikasi
makrovaskular yang menyebabkan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular 2 kali lipat hingga 4 kali lipat.
Diabetes dikaitkan dengan sejumlah komplikasi. Komplikasi
metabolik akut yang terkait dengan kematian termasuk ketoasidosis
diabetik dari konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (hiperglikemia)
dan koma akibat glukosa darah rendah (hipoglikemia). Tinjauan ini akan
fokus pada konsekuensi diabetes yang paling menghancurkan, komplikasi
vaskular jangka panjangnya. Komplikasi ini sangat luas dan sebagian
disebabkan oleh peningkatan kronis kadar glukosa darah, yang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah (angiopati; GAMBAR 1). Pada
diabetes, komplikasi yang diakibatkan dikelompokkan menjadi “penyakit
mikrovaskular” (akibat kerusakan pembuluh darah kecil) dan “penyakit
32

makrovaskular” (akibat kerusakan arteri). Komplikasi mikrovaskular


termasuk penyakit mata atau "retinopati", penyakit ginjal disebut
"nefropati", dan kerusakan saraf atau "neuropati", yang masing-masing
dibahas secara rinci nanti dalam ulasan ini. Komplikasi makrovaskular
utama termasuk penyakit kardiovaskular yang dipercepat yang
mengakibatkan infark miokard dan penyakit serebrovaskular yang
bermanifestasi sebagai stroke. Meskipun etiologi yang mendasari masih
kontroversial, ada juga disfungsi miokard yang terkait dengan diabetes
yang tampaknya tidak tergantung pada aterosklerosis. Komplikasi kronis
diabetes lainnya termasuk depresi, demensia, dan disfungsi seksual.6

Gambar 2. 5. Gambaran skematis dari area utama yang berkontribusi


terhadap komplikasi diabetes.(Forbes, 2013)
3.2. Krisis hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan suatu komplikasi akut dari
diabetes melitus ditandai dengan tingginya kadar gula darah tubuh yang
terdiri dari Ketoasidosis diabetik (KAD) dan status hiperglikemia
hiperosmolar (HHS). Manifestasi utamanya adalah kekurangan insulin dan
hiperglikemia yang berat. Status hiperglikemia hiperosmolar (HHS) terjadi
33

ketika defisiensi insulin yang relatif (terhadap kebutuhan insulin)


menimbulkan dehidrasi dan akhirnya menyebabkan kondisi
hiperosmolaritas. Ketoasidosis diabetik (KAD) terjadi bila kekurangan
insulin yang berat tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi
yang berat tapi juga mengakibatkan produksi keton meningkat serta
asidosis. Diagnosis Ketoasidosis diabetik (KAD) ditegakkan bila
ditemukan hiperglikemia (≥ 250 mg/dL), ketosis darah atau urin, dan
asidemia (pH <7,3). Deteksi keton bisa dalam darah maupun urine.
Asidosis metabolik umumnya disertai peningkatan anion gap. Faktor
pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain:
1. Infeksi: meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan
oleh Infeksi. Infeksinya dapat berupa pneumonia, infeksi traktus
urinarius, abses, sepsis, dll.
2. Penyakit vaskular akut: penyakit serebrovaskuler, infark miokard akut
emboli paru trombosis V. Mesenterika
3. Trauma, luka bakar, hematom subdural
4. Heat stroke
5. Kelainan geastrointestinal: pankreatitis akut, kolesistitis akut,
obstruksi intestinal
6. Obat-obatan (diuretika, steroid, dan lainnya)

Sistem organ Gejala dan tanda


Tanda vital Dapat ditemukan demam, takikardi, takipnea,
hipotensi
Sistemik Poliuria; polidipsia; napas berbau aseton (fruity
odor); penurunan berat badan; dapat terjadi
penurunan kesadaran (somnolen, letargi, koma)
Gejala dehidrasi: penurunan turgor kulit, mukosa
kering, hipotensi ortostatik
Respirasi Dispnea, pernapasan Kussmaul
Gastrointestinal Nyeri abdomen, polifagia, muntah
34

Pemeriksaan penunjang
 Darah perifer lengkap. Dapat ditemukan leukositosis baik
dengan/tanpa Infeksi
 Pemeriksaan glukosa darah umumnya meningkat sampai di atas 250
mg/dl. Namun, pada sekitar 10% kasus dapat ditemukan kadar
glukosa darah normal akibat injeksi insulin eksogen, restriksi kalori,
dan berkurangnya gluconeogenesis
 Pemeriksaan elektrolit. Setiap peningkatan 100 mg/dl glukosa darah
diikuti dengan hiponatremia sebesar 1,6 mmol/l atau 1,6 mEq.
Hiperkalemia dapat terjadi karena defisiensi insulin, hipertonisitas,
dan asidemia.
 Pemeriksaan keton darah dan urin didapatkan peningkatan.
Peemriksaan keton serum darah umumnya dilakukan jika hasil keton
urin positif.
 Pemeriksaan sodium nitroprusside (tes Rothera) menggunakan
spesimen serum darah atau urin. Sodium nitroprusside akan bereaksi
dengan asam asetoasetat dan aseton sehingga menghasilkan cincin
berwarna ungu. Peemriksaan ini dapat mendeteksi paling sedikit 5
mg/dl asam asetoasetat dan 10 mg/dl aseton
 Pemeriksaan 3-beta hidroksi butirat serum bersifat lebih spesifik
dibadingkan peemriksaan dipstick urine.
 Analisis gas darah, anion gap. Anion gap dihitung dengan mengurangi
kadar natrium serum dengan kadar klorida dan bikarbonat.
 Osmolalitas serum menunjukkan kadar partikel yang terlarut dalam
plasma. Osmolalitas serum pada KAD bervariasi, tetapi umumnya
tidak melebihi 320 mOsm/kgBB.

Beberapa pemeriksaan lain perlu dilakukan untuk mencari tahu pemicu


KAD.
35

 Pemeriksaan EKG: tanda iskemia atau infark miokardium dan


evaluasi perubahan irama jantung akibat hipokalemia.
 Pemeriksaan foto toraks guna mendeteksi adanya tanda infeksi pada
paru.
 Pemeriksaan mikrobiologis dengan spesimen urine atau sputum
dan kultur darah untuk mencari penyebab infeksi yang dapat menjadi
pemicu pada KAD.

Tabel 2. 2. Karakteristik KAD dan perbandingannya dengan SHH


Parameter KAD KAD KAD Berat SHH
Ringan Sedang
Glukosa (mg/dL) >250 >250 >250 >600
pH arteri 7,25-7,3 7,0-7,24 <7,0 <7,30
Bikarbonat 15-18 10-15 <10 <18
(mEq/L)
Keton urin Positif Positif Positif Rendah
Keton serum Positif Positif Positif Rendah
Beta Tinggi Tinggi Tinggi Normal/
hidroksibutirat tinggi
Osmolalitas serum Bervariasi Bervariasi Bervariasi >320
mOsm/kg
Anion gap >10 >12 >12 Bervariasi
Kesadaran Sadar Sadar/ Stupor/ Stupor/
mengantuk koma koma

Prinsip tatalaksana KAD dan SHH hampir sama. Tatalaksana suportif


berupa pemantauan tanda vital, oksigen jika PO2 < 80 mmHg, antibiotik
jika ada tanda infeksi, heparin bila terdapat disseminated intravascular
coagulation.
36

 Terapi cairan (rehidrasi) pada pasien tanpa gangguan fungsi jantung


menggunakan cairan isotonik seperti NaCl 0,9% dengan kecepatan
15-20 ml/kgBB per jam 1-1,5 L dalam 1 jam pertama. Pada pasien
gangguan fungsi ginjal dan jantung, pemantauan terhadap kesadaran,
status hidrasi, osmolalitas serum harus dilakukan lebih sering untuk
mencegah overload cairan.
 Insulin dimulai setelah 2 jam terapi cairan. Pemberian insulin
bertujuan untuk mengoreksi hiperglikemia, menekan ketogenesis, dan
mengoreksi gangguan elektrolit. Oleh karena itu, pemberian insulin
tetap dilanjutkan sekalipun glukosa darah telah mencapai normal.
 Koreksi kalium dapat dilakukan bersamaan dengan terapi insulin.
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan
pada saat kadar dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan
output urin cukup. Terapi insulin, terapi asidosis, dan terapi cairan
dapat menurunkan kadar kalium darah. Pada pasien dengan
hipokalemia berat, koreksi kalium dilakukan bersamaan dengan terapi
cairan. Terapi insulin ditunda sampai kadar kalium >3,3 mEq/L untuk
menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot
pernapasan.
 Natrium bikarbonat (HCO3-). Rekomendasi menganjurkan pemberian
HCO3- pada pH <7,0 dengan dosis 100 mEq HCO 3- dalam 400 ml
cairan isotonik dengan 20 mEq KCl. Kecepatan pemberian adalah 200
ml/jam selama 2 jam sampai pH vena >7. Infus dapat diulang setiap 2
jam sampai pH>7.

3.2.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik
37

berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan
sekunder atau tersier.
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan.

Gambar 2. 6. Algoritma pengobatan DM Tipe 2 (Soelistijo, 2021)

Gambar 2. 7.Tata kelola diabetes melitus untuk dokter umum (Soelistijo,


2021)
38

3.2.9. Edukasi
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah
mendapat pelatihan khusus.
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi
terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan yang meliputi:
1. Materi tentang perjalanan penyakit DM.
2. Makna dan perlunya pengendalian dan Pemantauan Primer
3. DM secara berkelanjutan. Penyulit DM dan risikonya.
4. Intervensi non-farmakologi dan farmakologis serta target pengobatan.
5. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
6. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri (hanya jika alat pemantauan glukosa darah mandiri
tidak tersedia)
7. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
8. Pentingnya latihan jasmani yang teratur
9. Pentingnya perawatan kaki.
10. Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan

Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan


Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier, yang meliputi:
1. Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
2. Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
3. Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain. Rencana untuk
39

kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi)


4. Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, kondisi rawat
inap)
5. Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
6. Pemerliharaan/perawatan kaki. (elemen perawatan kaki dapat dilihat
pada Tabel 5)

Tabel 2. 3. Elemen edukasi perawatan kaki (Soelistijo, 2021)

Perilaku hidup sehat bagi pasien DM adalah memenuhi anjuran:


1. Mengikuti pola makan sehat.
2. Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur.
3. Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara
aman dan teratur.
4. Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan
pengobatan.
5. Melakukan perawatan kaki secara berkala.
40

6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit


akut dengan tepat Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang
sederhana, dan mau bergabung dengan kelompok pasien diabetes serta
mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan pasien DM Mampu
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pasien DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada
mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau
terapi insulin itu sendiri.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


1. Karbohidrat
a) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 - 65% total asupan
energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
b) Pembatasan karbohidrat total < 130g/hari tidak dianjurkan.
c) Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
d) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. o
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
2. Lemak
a) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan
tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi
b) Komposisi yang dianjurkan:
- Lemak jenuh (SAFA) < 7% kebutuhan kalori.
- Lemak tidak jenuh ganda (PUFA) < 10%.
- Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak
41

12-15%
- Rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak jenuh
tunggal: lemak tak jenuh ganda = 0.8 : 1.2 : 1.
c) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
- Daging berlemak dan susu fullcream.
d) Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.

3. Protein
a) Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi
b) Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein
menjadi 1 - 1,2 g/kg BB perhari.
c) Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dan tempe. Sumber bahan makanan protein
dengan kandungan saturated fatty acid (SAFA) yang tinggi seperti
daging sapi, daging babi, daging kambing dan produk hewani
olahan sebaiknya dikurangi untuk dikonsumsi.
4. Natrium
a) Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan orang
sehat yaitu <1500 mg per hari.
b) Pasien DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual
c) Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga
memperhatikan bahan makanan yang mengandung tinggi natrium
antara lain adalah garam dapur, monosodium glutamat, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5. Serat
a) Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan,
42

buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.


b) Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 20-35 gram per
hari.
6. Pemanis Alternatif
a) Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif
dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori.
b) Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan
fruktosa.
c) Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol.
d) Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada pasien DM karena
dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan
menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami. potasium, sukrose, neotame.
e) Pemanis tak berkalori termasuk aspartam, sakarin, acesulfame

3.2.10. SNPPDI

Gambar 2. 8. SNPPDI.5

Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan


secara mandiri dan tuntas
43

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan


penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang, serta
mengusulkan penatalaksanaan penyakit atau melakukan penatalaksanaan
penyakit secara mandiri sesuai tugas klinik yang dipercayakan
(entrustable professional activity) pada saat pendidikan dan pada saat
penilaian kemampuan.
Hiperglikemia adalah suatu kondisi medis berupa peningkatan
kadar glukosa darah melebihi normal yang menjadi karakteristik beberapa
penyakit terutama diabetes melitus di samping berbagai kondisi lainnya.
Diabetes melitus (DM) saat ini menjadi salah satu ancaman kesehatan
global.
44

BAB 4
ANALISIS KASUS

Ny. VBH, umur 40 tahun, sejak 1 hari SMRS, pasien mengalami badan
lemas yang dirasakan semakin memberat hingga pasien datang berobat. Keluhan
badan lemas sendiri disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi
energi yang mencukupi untuk aktifitas sehari-hari. Hal tersebut bisa diakibatkan
oleh beberapa hal mulai adanya penyakit kronis, ketidakseimbangan elektrolit
dalam tubuh, ketidakmampuan tubuh untuk menyuplai oksigen secara adekuat
yang dapat diakibatkan oleh permasalahan kardiovaskular dan pernafasan,
ataupun ketidakseimbangan komponen darah seperti pada anemia. Pada
anamnesis didapatkan selain merasa lemas, pasien juga mengalami gejala lain
seperti mudah lelah, sering mengantuk, polifagia, polidipsi, dan polyuria yang
merupakan gejala khas dari DM tipe 2.
Dari anamnesis juga didapatkan pasien sering merasa pusing terasa seperti
ditekan yang dapat disebabkan oleh gula darah yang terlalu tinggi. Keluhan
demam pada pasien ini disangkal sehingga dapat menyingkirkan dugaan etiologi
akibat adanya infeksi, selain itu gejala pada organ pernafasan dan kardiovaskular
seperti nyeri dada, batuk, dan dada berebar disangkal sehigga dapat
menyingkirkan etiologi akibat kurangnya suplai oksigen ke jaringan. Selain itu
tidak terdapatnya riwayat perdarahan juga sementara dapat menyingkirkan dugaan
terkait anemia. Gejala pada organ lain seperti mual dapat terjadi akibat adanya
gastropati diabetik yang merupakan salah satu komplikasi dari kadar gula darah
yang tidak terkontrol. Pasien ini telah terdiagnosis DM tipe 2 sejak 12 tahun yang
lalu, pasien juga memiliki beberapa faktor resiko berupa genetik dan suka
mengkonsumsi makanan dan minuman manis. Pasien melakukan tes gula darah
dan didapatkan hasil 920 mg/dL sehingga menguatkan dugaan diagnosis kearah
krisis hiperglikemi ec DM tipe 2.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 119/73 mmHg. Berat
badan sekarang didapatkan adalah 41 kg dengan tinggi badan 166 cm (IMT:
45

normal). Pada hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan. Keluhan
utama pasien yaitu badan lemas dapat memiliki banyak kemungkinan etiologinya.
Keluhan badan lemas dengan tidak adanya tanda-tanda kompensasi pada syok
seperti takikardi, keringat dingin, jantung berdebar, turgor berkurang, mukosa
yang kering, serta capillary refill time (CRT) yang melebihi 2 detik pada
ekstremitas dapat menyingkirkan kemungkinan badan lemas yang disebabkan
oleh syok. Keluhan tidak disertai tanda-tanda adanya infeksi seperti demam dan
pembesaran KGB, sehingga etiologi penyakit-penyakit infeksi seperti HIV/AIDS
dapat disingkirkan. Sejak 12 tahun yang lalu pasien juga mengeluhkan sering
ingin buang air kecil, sering lapar, serta sering haus. Keluhan tersebut merupakan
trias klasik dari manifestasi klinis diabetes melitus. Pasien juga mengeluhkan
adanya penurunan berat badan dengan penyebab yang belum jelas selama 12
tahun terakhir ini yang mana penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas
juga merupakan salah satu gejala klasik dari diabetes melitus. Penurunan berat
badan tidak disertai dengan demam dan keringat di malam hari. Pasien juga tidak
memiliki riwayat batuk yang lama. Sehingga kemungkinan etiologi penurunan
berat badan akibat keganasan dan TB dapat disingkirkan. Pasien juga memiliki
kebiasaan untuk mengonsumsi makanan ringan dan minum teh manis dengan gula
sebanyak 1 sendok teh setiap pagi yang memperkuat dugaan etiologi berupa
diabetes melitus.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin terjadi peningkatan pada
hemoglobin, eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada hitung jenis terdapat
peningkatan pada neutrofil, dan pada pemeriksaan laboratorium kimia klinik,
didapatkan kenaikan glukosa sewaktu senilai 920 mg/dl. Kondisi hiperglikemia
yang berlangsung lama akan menyebabkan glikasi non-enzimatik Protein
membran sel darah merah, yang akan mempercepat proses penuaan sel darah
merah, yang disebabkan oleh berkurangnya muatan listrik negatif pada permukaan
sel darah merah. Selain itu kondisi hiperinsulin yang berlangsung lama dapat
menganggu proses pembentukan darah merah melalui mekanisme eritorpoesis
yang juga dapat menyebabkan kenaikan kadar eritrosit. Leukositosis terjadi
dikarenakan respon terhadap hiperglikemia melalui ekspansi dan proliferasi sel
46

progenitor sum sum tulang. Pada pasien diabetes, biasanya sering terjadi infeksi,
sehingga dapat terjadi peningkatan neutrofil. Peningkatan kadar hemoglobin pada
pasien diabetes disebabkan oleh kondisi dehidrasi.
Untuk pengobatan krisis hiperglikemi dilakukan pengontrolan kadar gula
darah secara cepat menggunakan insulin kerja cepat seperti insulin Aspart yang
diberikan secara bolus intravena dan dilanjutkan dengan pemberian drip insulin
hingga kadar gula darah mencapai target. Ketika kondisi sudah stabil, dapat
dilanjutkan dengan terapi insulin injeksi pada subkutan dengan menggunakan
kombinasi insulin kerja lambat seperti Insulin Detemir dan insulin kerja cepat
seperti Insulin Glulisin. Selain itu, untuk mengatasi mual akibat gastropati yang
dialami diberikan pengobatan berupa omeprazole dan ondansetron.
47

DAFTAR PUSTAKA

1. Yulisar RN, Kamelia T. Diagnosis dan tata Laksana terkini hemoptisis.


Indonesian Journal of CHEST Critical and Emergency Medicine.
2016;3(2).
2. Bidwell JL, Pachner RW. Hemoptysis: Diagnosis and management.
American Family Physician. 2005;72(7).
3. Lundgren FLC, Costa AM, Figueiredo LC, Borba PC. Hemoptysis in a
referral hospital for pulmonology. Jornal Brasileiro de Pneumologia.
2010;36(3). doi:10.1590/s1806-37132010000300009.
4. Lordan JL, Gascoigne A, Corris PA. The pulmonary physician in critical
care; illustrative case 7: Assessment and management of massive
haemoptysis. Thorax. 2003;58(9). doi:10.1136/thorax.58.9.814.
5. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter
Indonesia. Jakarta: KKI; 2019. In.
6. Zaman K. Tuberculosis: A Global Health Problem. Journal of Health,
Population and Nutrition. 2010 Apr 23;28(2).
7. Heemskerk D, Caws M, B. M. Tuberculosis in Adults and Childern.
London: Springer; 2015.
8. Adigun R, Singh R. Tuberculosis [Internet]. StatPearls. 2023 [cited 2023
Jul 12]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/.
9. Banerjee AD, Pandey P, Ambekar S, Chandramouli BA. Pediatric
intracranial subdural empyema caused by Mycobacterium tuberculosis—a
case report and review of literature. Child’s Nervous System. 2010 Aug
2;26(8):1117–20.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran - Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta: Perdami; 2020.
11. Moroz M, King T. Mycobacterium Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical
48

Findings [Internet]. The Calgary Guide to Understanding Disease. 2021


[cited 2023 Jul 18]. Available from:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/mycobacterium-tuberculosis/.
12. Sapra A, Bhandari P. Diabetes. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
2023. 1-44.
13. Forbes JM, Cooper ME. Mechanisms of diabetic complications. Physiol
Rev. 2013 ;93(1):137–88.
14. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2021. PB. Perkeni; 2021.

Anda mungkin juga menyukai