Oleh:
Pembimbing:
dr. M. Silahuddin, Sp.PD
Disusun oleh :
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya di
RSUD Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan dari tanggal 29 Januari – 10
Februari 2024.
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan topik “DIABETES MELITUS TIPE 2” sebagai salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Penyakit Dalam RSUD Prabumulih
Provinsi Sumatera Selatan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Silahuddin, Sp.PD
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................2
KATA PENGANTAR............................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................4
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................6
BAB 2 LAPORAN KASUS...................................................................................8
2.1. Identitas Pasien...........................................................................................8
2.2. Anamnesis....................................................................................................8
2.3. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................10
2.4. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................15
2.5. Rencana Pemeriksaan..............................................................................18
2.6. Diagnosis Sementara.................................................................................18
2.7. Diagnosis Banding.....................................................................................18
2.8. Tatalaksana...............................................................................................18
2.9. Prognosis....................................................................................................19
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................20
3.1 Diabetes Melitus...................................................................................20
3.1.1 Definisi...............................................................................................20
3.2.2. Epidemiologi......................................................................................20
3.2.3. Klasifikasi..........................................................................................21
3.2.4. Faktor Risiko......................................................................................22
3.2.5. Patofisiologi.......................................................................................28
3.2.6. Diagnosis............................................................................................33
3.2.7. Komplikasi.........................................................................................35
3.2.8. Tatalaksana........................................................................................52
3.2.9. Edukasi...............................................................................................53
3.2.10. SNPPDI..........................................................................................58
BAB 4 ANALISIS KASUS..................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................63
4
BAB 1
PENDAHULUAN
5
Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun
pada DM yang terkontrol baik.3
Berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia 2019,
penyakit diabetes melitus termasuk dalam kompetensi 4, dimana seorang dokter
umum diharapkan mampu membuat diagnosis klinik dan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi
DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien
DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030, apabila tidak ditatalaksana dengan baik dapat menimbulkan
berbagai komplikasi lainnya. Sehingga penulisan laporan kasus ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan dalam mendiagnosis dan tatalaksana DM tipe 2.
6
7
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.2. Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis bersama pasien di Bangsal
Medikal Jaminan RSUD Prabumulih pada tanggal 2 Februari 2024.
Keluhan Utama: Badan lemas yang semakin dirasakan sejak 1 hari
SMRS.
Keluhan Tambahan: Mual dan muntah
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak 4 hari SMRS, pasien mengeluh badan lemas terus menerus.
Keluhan disertai mudah lelah, sering mengantuk, sering merasa lapar,
dan sering merasa haus. Riwayat sering buang air kecil ada lebih dari 5
kali sehari, pasien juga sering terbangun di malam hari karena ingin
buang air kecil. Buang air kecil berwarna merah atau berbusa disangkal.
8
Riwayat Kebiasaan
9
Riwayat Pengobatan
- Pasien rutin mengonsumsi obat merformin dan glibenclamide
1x/hari sejak 12 tahun lalu.
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normosefali
10
Ekspresi : Wajar
Rambut :Warna hitam sebagian putih, rambut
tidak mudah dicabut, alopesia (-)
Deformitas : Tidak ada
Perdarahan temporal : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak ada
Wajah sembab : Tidak ada
Mata
Eksoftalmus : Tidak ada
Endoftalmus : Tidak ada
Palpebra : Edema (-/-)
Konjungtiva palpebral : Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, ∅ 3mm/3mm, refleks
cahaya (+/+)
Hidung
Deformitas : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Napas cuping hidung : Tidak ada
Deviasi septum : Tidak ada
Telinga
Meatus akustikus eksternus : Lapang
Nyeri tekan : Processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : Tidak ada
Pendengaran : Baik
11
Mulut
Bibir : Cheilitis (-), pucat (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Gigi-geligi : Lengkap normal
Gusi : Hipertrofi (-), pendarahan (-), leukoplakia (-)
Lidah : Coated tongue (+) Oral thrush (-), atrofi papil
(-), stomatitis (-)
Leher
Inspeksi : Simetris, scar (-), trakea deviasi (-)
Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran KGB (-), tekanan vena
jugularis: (5-2) cmH2O
Thoraks
Paru-paru
(Anterior)
Inspeksi : Bentuk dada normal, sela iga melebar (-),
retraksi dinding dada (-), spider naevi (-),
venektasi (-), pectus excavatum (-), pectus
carinatum (-), barrel chest (-).
Statis
Simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis
Simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stem fremitus lapang paru
: kiri dan kanan normal, nyeri tekan (-/-),
: krepitasi (-/-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru kanan
12
Paru-paru
(Posterior)
Inspeksi : Bentuk dada normal, sela iga melebar (-),
retraksi dinding dada (-), spider naevi
(-), venektasi (-), pectus excavatum (-),
pectus carinatum (-), barrel chest (-).
Statis
Simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis
Simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stem fremitus lapang paru
: kiri dan kanan normal, nyeri tekan (-/-),
: krepitasi (-/-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru kanan
dan kiri, nyeri ketok (-/-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) seluruh lapangan paru,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba, thrill (-),
: ventricular heaving (-), tapping (-)
Perkusi : Batas atas jantung ICS II linea sternalis
sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea
parasternalis dextra
Batas kiri jantung ICS V linea
midclavicularis sinistra
13
Abdomen
Inspeksi : Datar, lemas, venektasi (-), striae (-),
spider naevi (-), caput medua (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 10x/ menit normal, bruit
(-)
Palpasi : Nyeri tekan (+) epigastrium, hepar
tidak teraba, lien
tidak teraba, Murphy Sign (-), Mc burney
sign (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-), shifting dullness (-),
nyeri ketok CVA (-/-)
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, palmar pucat (-/-), sianosis
(-), edema (-), CRT <2 detik, tremor (-)
Inferior : Akral hangat, plantar pucat (-/-), sianosis
(-), edema pretibial (-), kulit kering (+/+),
tumit pecah (+/+), CRT <2 detik.
Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 16.1 11.7-15.5 g/dL
Eritrosit 5.45 3.8 5.2 x 106/ μL
Leukosit 13.04 3.6-11 x 103/ μL
Trombosit 499 150-450 x 103/ μL
Hematokrit 45.7 40-52%
Hitung Jenis
Basofil 0 0 - 1%
Eosinofil 0 1 - 6%
Neutrofil 89 50 - 70%
Limfosit 7 20 - 40%
Monosit 4 2 - 8%
Kimia klinik
Glukosa sewaktu 920 80 – 120 mg/dL
2.8. Tatalaksana
Non Farmakologi
- Komunikasi, informasi, edukasi mengenai penyakit
- Terapi nutrisi medis dengan menu seimbang sesuai kebutuhan kalori
dan zat gizi
- Menginformasikan kepada pasien untuk makan tepat waktu, makan
sering dengan porsi kecil dan hindari makanan yang meningkatkan
asam lambung seperti kopi, teh, dan makaan pedas.
- Memberikan edukasi pada pasien untuk melakukan latihan fisik
sebagai salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Program
latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 hari seminggu selama sekitar
30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan fisik yang
dianjurkan berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang.
- Memberikan edukasi kepada pasien bahwa kadar glukosa darah dan
HbA1c perlu dipantau secara berkala.
Farmakologi
- IVFD NS 0,9% 500 ml/4 jam pertama, dilanjutkan dengan RL gtt 20
- Insulin Aspart 20 IU bolus IV, dilanjutkan drip 2,7 IU/jam
- Inj. Omeprazole 2x40 mg
- Inj. Ondansetron 2x4 mg
2.9. Prognosis
Quo Ad Vitam :Dubia ad Bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
16
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.2.2. Epidemiologi
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018
oleh Departemen Kesehatan, terjadi peningkatan prevalensi DM menjadi
10.9% lnternational Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2019
menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat ke 6 dalam jumlah
penderita DM yang mencapai 10,3 juta. Prediksi dari IDF menyatakan
akan terjadi peningkatan jumlah pasien DM dari 10,7 juta pada tahun 2019
menjadi 13.7 juta pada tahun 2030.12
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di
berbagai penjuru dunia. Organisasi WHO memprediksi adanya
peningkatan jumlah pasien DM tipe 2 yang cukup besar pada tahun-tahun
mendatang. Badan kesehatan dunia WHO memprediksi kenaikan jumlah
pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.12
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak
133 juta jiwa, dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan
7,2% pada daerah rural, sehingga diperkirakan pada tahun 2003 didapatkan
17
3.2.3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, DM dapat diklasifikasikan menjadi 4
kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe
lain12.
18
insulin dan diabetes melitus tipe 2. Selain itu resistensi insulin yang
disebabkan oleh proses penuaan diduga juga disebabkan oleh mulai
terganggunya metabolisme lipid seiring bertambahnya usia. Hal tersebut
akan meningkatkan akumulasi lemak tubuh dan meningkatkan free fatty
acids (FFA). Peningkatan FFA akan merangsang glukoneogenesis dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot. Proses tersebut dikenal
juga dengan lipotoksisitas.14
F. Etnis
Etnis/ras kerap dikaitkan dengan berbagai komplikasi kesehatan,
termasuk diabetes, karena heterogenitas dalam kondisi lingkungan
demografis dan gaya hidup. Etnis merupakan faktor risiko independen
yang cenderung diperburuk oleh kerugian sosial dan cara hidup yang
Makmur. Sebuah penelitian menemukan bahwa diabetes melitus 10 kali
lebih banyak terjadi pada daerah pedesaan India dibandingkan dengan
ras Melanesian dari pedesaan. Selain itu penelitian tersebut juga
mengemukakan bahwa penyakit ini 5 kali lebih mudah untuk terjadi
pada ras Melanesia yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan
yang tinggal di pedesaan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh
penduduk desa yang memiliki tingkat aktivitas fisik sehari-hari lebih
tinggi dibandingkan dari mereka yang tinggal di perkotaan. Hasil
penelitian lain membanding risiko diabetes pada populasi Asia dan non-
Asia, hasilnya didapatkan bahwa diabetes melitus tipe 2 ditemukan lebih
banyak pada populasi Asia terutama populasi yang berasal dari
Bangladesh. Namun, etnis saja masih belum cukup untuk ditetapkan
sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri pada kasus ini karena
penduduk Bangladesh juga diketahui memiliki tingkat merokok lebih
tinggi dan rasio asam lemak tak jenuh dan jenuh yang lebih rendah.
Masih belum terdapat penjelasan yang pasti mengenai etnis
sebagai faktor risiko diabetes melitus tipe 2. Salah satu penjelasan yang
paling mungkin adalah hubungan antara BMI dan lemak tubuh yang
bergantung serta berbeda-beda berdasarkan etnis dan daerah asal.
23
Sebagai contoh, populasi Asia memiliki IMT sekitar 3-4 kg/m2 lebih
rendah dibandingkan populasi Kaukasian untuk persentase lemak tubuh
yang sama. Penelitian lain juga menyatakan bahwa terdapat pengaruh
ras terhadap resistensi insulin, dimana populasi Asia, kulit hitam
(Amerika-Afrika), dan Amerika-Meksiko sedikit lebih tidak sensitif
terhadap insulin dibandingkan populasi kulit putih.14
G. Riwayat diabetes di keluarga
Riwayat keluarga dapat digunakan sebagai alat
prognosis/diagnostik yang cukup berguna. Riwayat diabetes pada
keluarga menggambarkan baik faktor genetik maupun faktor lingkungan
dan dapat memberikan prediksi insidensi diabetes melitus tipe 2 yang
lebih baik dibandingkan hanya faktor genetik dan lingkungan saja.
Penelitian oleh Rodriguez-Moran, et al. melaporkan bahwa riwayat
adanya diabetes pada anggota keluarga kandung (orang tua, anak, atau
saudara kandung) merupakan faktor risiko independen yang kuat untuk
terjadinya kelainan kadar glukosa puasa (prediabetes) baik pada anak
maupun dewasa muda. Karena itu, riwayat keluarga terdekat mengalami
diabetes saat skrining pada anak dan dewasa perlu dipertimbangkan.14
H. Obesitas
Obesitas adalah kondisi kesehatan yang kompleks yang dikaitkan
dengan jumlah lemak tubuh yang berlebihan. Kondisi ini ditentukan
oleh IMT dan dievaluasi lebih lanjut dengan rasio pinggang-pinggul
untuk mengetahui distribusi lemak tubuh. Lemak perut dalam tubuh
dapat meningkatkan peradangan yang menurunkan sensitivitas insulin
dengan mengganggu fungsi sel beta. Kondisi resistensi insulin
kemudian mengarah pada prevalensi diabetes tipe 2. Namun, obesitas
juga merupakan salah satu prediktor diabetes yang signifikan, hubungan
antara obesitas dan diabetes masih dipengaruhi oleh faktor lain seperti
jenis kelamin dan etnis. Wanita dengan IMT tinggi berisiko untuk
terkena diabetes dibandingkan pria. Hubungan tersebut ditemukan lebih
kuat pada populasi Asia dibandingkan pada populasi Australia.14
24
3.2.5. Patofisiologi
Patofisiologi utama yang diduga merupakan kerusakan sentral dari
diabetes melitus tipe 2 adalah adanya resistensi insulin pada sel otot dan
hati, serta kegagalan sel beta pankreas. Hasil penelitian terbaru
mengemukakan bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat
dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatknya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan aborbsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi
glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru dari ominous
octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2.
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa saat ini diketahui
dengan sebutan egregious eleven. Konsep tersebut perlu dipahami karena
dasar patofisiologi ini memberikan konsep14:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja
25
fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja
melalui jalur ini adalah sulfonylurea, meglitinide, anosi glucagon-like
peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).13
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati
(hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara
bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat
sekresi glucagon atau menghambat reseptor glucagon meliputi GLP-1
receptor agonist (GLP-1 RA), penghambat DPP-4 dan amilin.13
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(free fatty acid/FFA) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang
proses gluconeogenesis dan mencetuskan resistensi insulin di hepar dan
otot, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan
oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja di jalur
ini adalah tiazolidinedion.13
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin
multipel pada intramioseluler yang diakibatkan oleh gangguan
fosforilasi tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam
sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.13
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu glukoneogenesis sehingga produksi gloksa dalam keadaan
basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin yang menekan proses
27
glukoneogenesis.13
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obesitas baik dengan diabetes maupun tidak, didapatkan
hyperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah GLP-1 RA, amylin, dan bromokriptin. 13
7. Kolon/microbiota
Perubahan komposisi microbiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan
DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya
sebagian individu berat badan berlebih yang akan berkembang menjadi
DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk
menangani keadaan hiperglikemia.13
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar
dibanding bila diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like
polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada
pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan
enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah penghambat DPP-4. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja enzim alfa glucosidase yang akan memecah polisakarida
menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus sehingga
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa glucosidase adalah
acarbose.13
28
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
patogenesis diabetes melitus tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan
diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-transporter-2
(SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya
akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter-1 (SGLT-
1) pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnnya tidak ada
glukosa dalam urin. Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam
tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah.
Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
penghambat SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin, dan canaglifozin
adalah contoh obatnya.13
10. Lambung
Penurunan produksi amylin pada diabetes merupakan
konsekuensi kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin
menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan peningkatan
absorbs glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan
kadar glukosa postprandial.13
11. Sistem imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut
(disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari
aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan
patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti
dislipdemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stress pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin.13
29
3.2.6. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah dan HbA1c, Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti keluhan klasik DM yaitu
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Dan keluhan lain seperti lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulva pada wanita.
plasma 2 - jam setelah TTGO antara 140 - 199 mg/dL dan glukosa
plasma puasa<100 mg/dL
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 -6,4%.
3.2.7. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat penyakit DM dapat berupa gangguan
pada pembuluh darah baik makrovaskular maupun mikrovaskular, serta
gangguan pada sistem saraf atau neuropati. Gangguan ini dapat terjadi
pada pasien DM tipe 2 yang sudah lama menderita penyakit atau DM tipe
2 yang baru terdiagnosis. Komplikasi makrovaskular umumnya mengenai
organ jantung, otak dan pembuluh darah, sedangkan gangguan
mikrovaskular dapat terjadi pada mata dan ginjal. Keluhan neuropati juga
umum dialami oleh pasien DM, baik neuropati motorik, sensorik ataupun
neuropati otonom.
Hiperglikemia kronis yang bersinergi dengan kelainan metabolik
lain pada pasien diabetes melitus dapat menyebabkan kerusakan pada
berbagai sistem organ, yang mengarah pada perkembangan komplikasi
kesehatan yang melumpuhkan dan mengancam jiwa, yang paling menonjol
adalah mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan komplikasi
makrovaskular yang menyebabkan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular 2 kali lipat hingga 4 kali lipat.
Diabetes dikaitkan dengan sejumlah komplikasi. Komplikasi
metabolik akut yang terkait dengan kematian termasuk ketoasidosis
diabetik dari konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (hiperglikemia)
dan koma akibat glukosa darah rendah (hipoglikemia). Tinjauan ini akan
fokus pada konsekuensi diabetes yang paling menghancurkan, komplikasi
vaskular jangka panjangnya. Komplikasi ini sangat luas dan sebagian
disebabkan oleh peningkatan kronis kadar glukosa darah, yang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah (angiopati; GAMBAR 1). Pada
diabetes, komplikasi yang diakibatkan dikelompokkan menjadi “penyakit
mikrovaskular” (akibat kerusakan pembuluh darah kecil) dan “penyakit
32
Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap. Dapat ditemukan leukositosis baik
dengan/tanpa Infeksi
Pemeriksaan glukosa darah umumnya meningkat sampai di atas 250
mg/dl. Namun, pada sekitar 10% kasus dapat ditemukan kadar
glukosa darah normal akibat injeksi insulin eksogen, restriksi kalori,
dan berkurangnya gluconeogenesis
Pemeriksaan elektrolit. Setiap peningkatan 100 mg/dl glukosa darah
diikuti dengan hiponatremia sebesar 1,6 mmol/l atau 1,6 mEq.
Hiperkalemia dapat terjadi karena defisiensi insulin, hipertonisitas,
dan asidemia.
Pemeriksaan keton darah dan urin didapatkan peningkatan.
Peemriksaan keton serum darah umumnya dilakukan jika hasil keton
urin positif.
Pemeriksaan sodium nitroprusside (tes Rothera) menggunakan
spesimen serum darah atau urin. Sodium nitroprusside akan bereaksi
dengan asam asetoasetat dan aseton sehingga menghasilkan cincin
berwarna ungu. Peemriksaan ini dapat mendeteksi paling sedikit 5
mg/dl asam asetoasetat dan 10 mg/dl aseton
Pemeriksaan 3-beta hidroksi butirat serum bersifat lebih spesifik
dibadingkan peemriksaan dipstick urine.
Analisis gas darah, anion gap. Anion gap dihitung dengan mengurangi
kadar natrium serum dengan kadar klorida dan bikarbonat.
Osmolalitas serum menunjukkan kadar partikel yang terlarut dalam
plasma. Osmolalitas serum pada KAD bervariasi, tetapi umumnya
tidak melebihi 320 mOsm/kgBB.
3.2.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik
37
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan
sekunder atau tersier.
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan.
3.2.9. Edukasi
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah
mendapat pelatihan khusus.
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi
terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan yang meliputi:
1. Materi tentang perjalanan penyakit DM.
2. Makna dan perlunya pengendalian dan Pemantauan Primer
3. DM secara berkelanjutan. Penyulit DM dan risikonya.
4. Intervensi non-farmakologi dan farmakologis serta target pengobatan.
5. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
6. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri (hanya jika alat pemantauan glukosa darah mandiri
tidak tersedia)
7. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
8. Pentingnya latihan jasmani yang teratur
9. Pentingnya perawatan kaki.
10. Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
12-15%
- Rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak jenuh
tunggal: lemak tak jenuh ganda = 0.8 : 1.2 : 1.
c) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
- Daging berlemak dan susu fullcream.
d) Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.
3. Protein
a) Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi
b) Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein
menjadi 1 - 1,2 g/kg BB perhari.
c) Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dan tempe. Sumber bahan makanan protein
dengan kandungan saturated fatty acid (SAFA) yang tinggi seperti
daging sapi, daging babi, daging kambing dan produk hewani
olahan sebaiknya dikurangi untuk dikonsumsi.
4. Natrium
a) Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan orang
sehat yaitu <1500 mg per hari.
b) Pasien DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual
c) Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga
memperhatikan bahan makanan yang mengandung tinggi natrium
antara lain adalah garam dapur, monosodium glutamat, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5. Serat
a) Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan,
42
3.2.10. SNPPDI
Gambar 2. 8. SNPPDI.5
BAB 4
ANALISIS KASUS
Ny. VBH, umur 40 tahun, sejak 1 hari SMRS, pasien mengalami badan
lemas yang dirasakan semakin memberat hingga pasien datang berobat. Keluhan
badan lemas sendiri disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi
energi yang mencukupi untuk aktifitas sehari-hari. Hal tersebut bisa diakibatkan
oleh beberapa hal mulai adanya penyakit kronis, ketidakseimbangan elektrolit
dalam tubuh, ketidakmampuan tubuh untuk menyuplai oksigen secara adekuat
yang dapat diakibatkan oleh permasalahan kardiovaskular dan pernafasan,
ataupun ketidakseimbangan komponen darah seperti pada anemia. Pada
anamnesis didapatkan selain merasa lemas, pasien juga mengalami gejala lain
seperti mudah lelah, sering mengantuk, polifagia, polidipsi, dan polyuria yang
merupakan gejala khas dari DM tipe 2.
Dari anamnesis juga didapatkan pasien sering merasa pusing terasa seperti
ditekan yang dapat disebabkan oleh gula darah yang terlalu tinggi. Keluhan
demam pada pasien ini disangkal sehingga dapat menyingkirkan dugaan etiologi
akibat adanya infeksi, selain itu gejala pada organ pernafasan dan kardiovaskular
seperti nyeri dada, batuk, dan dada berebar disangkal sehigga dapat
menyingkirkan etiologi akibat kurangnya suplai oksigen ke jaringan. Selain itu
tidak terdapatnya riwayat perdarahan juga sementara dapat menyingkirkan dugaan
terkait anemia. Gejala pada organ lain seperti mual dapat terjadi akibat adanya
gastropati diabetik yang merupakan salah satu komplikasi dari kadar gula darah
yang tidak terkontrol. Pasien ini telah terdiagnosis DM tipe 2 sejak 12 tahun yang
lalu, pasien juga memiliki beberapa faktor resiko berupa genetik dan suka
mengkonsumsi makanan dan minuman manis. Pasien melakukan tes gula darah
dan didapatkan hasil 920 mg/dL sehingga menguatkan dugaan diagnosis kearah
krisis hiperglikemi ec DM tipe 2.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 119/73 mmHg. Berat
badan sekarang didapatkan adalah 41 kg dengan tinggi badan 166 cm (IMT:
45
normal). Pada hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan. Keluhan
utama pasien yaitu badan lemas dapat memiliki banyak kemungkinan etiologinya.
Keluhan badan lemas dengan tidak adanya tanda-tanda kompensasi pada syok
seperti takikardi, keringat dingin, jantung berdebar, turgor berkurang, mukosa
yang kering, serta capillary refill time (CRT) yang melebihi 2 detik pada
ekstremitas dapat menyingkirkan kemungkinan badan lemas yang disebabkan
oleh syok. Keluhan tidak disertai tanda-tanda adanya infeksi seperti demam dan
pembesaran KGB, sehingga etiologi penyakit-penyakit infeksi seperti HIV/AIDS
dapat disingkirkan. Sejak 12 tahun yang lalu pasien juga mengeluhkan sering
ingin buang air kecil, sering lapar, serta sering haus. Keluhan tersebut merupakan
trias klasik dari manifestasi klinis diabetes melitus. Pasien juga mengeluhkan
adanya penurunan berat badan dengan penyebab yang belum jelas selama 12
tahun terakhir ini yang mana penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas
juga merupakan salah satu gejala klasik dari diabetes melitus. Penurunan berat
badan tidak disertai dengan demam dan keringat di malam hari. Pasien juga tidak
memiliki riwayat batuk yang lama. Sehingga kemungkinan etiologi penurunan
berat badan akibat keganasan dan TB dapat disingkirkan. Pasien juga memiliki
kebiasaan untuk mengonsumsi makanan ringan dan minum teh manis dengan gula
sebanyak 1 sendok teh setiap pagi yang memperkuat dugaan etiologi berupa
diabetes melitus.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin terjadi peningkatan pada
hemoglobin, eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada hitung jenis terdapat
peningkatan pada neutrofil, dan pada pemeriksaan laboratorium kimia klinik,
didapatkan kenaikan glukosa sewaktu senilai 920 mg/dl. Kondisi hiperglikemia
yang berlangsung lama akan menyebabkan glikasi non-enzimatik Protein
membran sel darah merah, yang akan mempercepat proses penuaan sel darah
merah, yang disebabkan oleh berkurangnya muatan listrik negatif pada permukaan
sel darah merah. Selain itu kondisi hiperinsulin yang berlangsung lama dapat
menganggu proses pembentukan darah merah melalui mekanisme eritorpoesis
yang juga dapat menyebabkan kenaikan kadar eritrosit. Leukositosis terjadi
dikarenakan respon terhadap hiperglikemia melalui ekspansi dan proliferasi sel
46
progenitor sum sum tulang. Pada pasien diabetes, biasanya sering terjadi infeksi,
sehingga dapat terjadi peningkatan neutrofil. Peningkatan kadar hemoglobin pada
pasien diabetes disebabkan oleh kondisi dehidrasi.
Untuk pengobatan krisis hiperglikemi dilakukan pengontrolan kadar gula
darah secara cepat menggunakan insulin kerja cepat seperti insulin Aspart yang
diberikan secara bolus intravena dan dilanjutkan dengan pemberian drip insulin
hingga kadar gula darah mencapai target. Ketika kondisi sudah stabil, dapat
dilanjutkan dengan terapi insulin injeksi pada subkutan dengan menggunakan
kombinasi insulin kerja lambat seperti Insulin Detemir dan insulin kerja cepat
seperti Insulin Glulisin. Selain itu, untuk mengatasi mual akibat gastropati yang
dialami diberikan pengobatan berupa omeprazole dan ondansetron.
47
DAFTAR PUSTAKA