Anda di halaman 1dari 43

Clinical Science Session

DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh:
Muhammad Iskandar 2040312138
Putri Aisyah Mirza 2040312139
Virna Zufti Pratiwi 2040312173

Preseptor:
Dr. dr. Arina Widya Murni, SpPD-KPsi, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Diabetes Melitus Tipe 2” ini dapat
penulis selesaikan. Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr. M. Djamil, Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang. Terima kasih penulis ucapkan kepada
semua pihak yang telah banyak membantu menyusun makalah ini, khususnya
kepada Dr. dr. Arina Widya Murni, SpPD-KPsi, FINASIM selaku preseptor dan
juga kepada rekan-rekan dokter muda.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai
masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah pengetahuan dan pemahaman
serta dapat meningkatkan pelayanan, khususnya untuk pelayanan primer kasus-
kasus kompetensi 4, pada masa yang akan datang.

Padang, Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
1.3 Metode Penulisan ..........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan .........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................3
2.1 Definisi ..........................................................................................................3
2.2 Epidemiologi .................................................................................................3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko ............................................................................4
2.4 Patogenesis ....................................................................................................6
2.5 Manifestasi Klinis..........................................................................................9
2.6 Diagnosis .....................................................................................................10
2.9 Penatalaksanaan...........................................................................................13
2.10 Komplikasi ................................................................................................28
2.11 Pencegahan ................................................................................................37
BAB III .................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................40

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya. Pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin pada otot
dan hati serta kegagalan dari sel beta pankreas. Penyakit DM ini telah banyak
menimbulkan permasalahan di masyarakat dan berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia serta berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang
cukup besar.1 Diantara penyakit degeneratif, diabetes melitus merupakan salah
satu penyakit tidak menular yang diperkirakan jumlahnya akan meningkat di masa
mendatang. Hal ini seiring dengan meningkatnya obesitas yang merupakan salah
satu faktor risiko diabetes serta kurangnya aktifitas fisik manusia. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20
tahun berjumlah 150 juta orang dan pada tahun 2025 jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang.2
WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam
hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta.
Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara
teratur.3 Menurut data RISKESDAS 2018, prevalensi nasional DM di Indonesia
adalah sebesar 8,5% atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM.
Perkiraan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014
menunjukkan bahwa terdapat 387 juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia.
Pada tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 55% atau
592 juta orang. Diperkirakan dari 387 juta orang tersebut, 175 juta di antaranya
belum terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi komplikasi
tanpa disadari dan tanpa pencegahan.3
Peningkatan insidensi DM di Indonesia tentu akan diikuti oleh
meninggkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus.

1
Berbagai penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat
penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati
maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh
darah tungkai bawah.3 Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes melitus
menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti.

1.2. Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai diabetes melitus tipe 2.

1.3. Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
dirujuk dari berbagai literatur.

1.4. Manfaat Penulisan


Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan bempaca dalam
menambah ilmu pengetahuan mengenai diabetes melitus tipe 2.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemi kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan,
ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah.4
Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh insulin yang ada tidak dapat
bekerja dengan baik. Meskipun kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan
meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang.
Walaupun insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, diabetes mellitus
tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus yang berarti
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan sekitar 75%
dari penderita DM tipe 2 ini dengan kondisi obesitas atau kegemukan serta
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.4

2.2 Epidemiologi
Secara global, pada tahun 2011, diperkirakan 366 juta orang menderita
DM, dengan jumlah tipe 2 sekitar 90% kasus.5,6 WHO memperkirakan bahwa
pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150
juta orang dan pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta
orang.2 Menurut data RISKESDAS 2018, prevalensi nasional DM di Indonesia
adalah sebesar 8,5% atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM.
Diabetes melitus tipe 2 secara luas didiagnosis pada orang dewasa.
Meskipun demikian, frekuensinya meningkat tajam pada kelompok usia anak-
anak selama dua dekade terakhir. Diabetes melitus tipe 2 sekarang mewakili 8-
45% dari semua kasus diabetes baru yang dilaporkan di antara anak-anak.7
Prevalensi DM tipe 2 pada populasi anak-anak lebih tinggi pada anak perempuan
daripada anak laki-laki.8

3
Usia rata-rata onset DM tipe 2 adalah 12-16 tahun. Periode ini bertepatan
dengan masa pubertas, ketika keadaan fisiologis resistensi insulin berkembang.
Dalam keadaan fisiologis ini, DM tipe 2 berkembang hanya jika fungsi sel beta
yang tidak adekuat dikaitkan dengan faktor risiko lainnya (misalnya obesitas). 7
Setelah usia pubertas, tingkat kejadian secara signifikan turun pada wanita muda,
namun tetap relatif tinggi pada pria dewasa muda hingga usia 29-35 tahun.9 Saat
ini sebanyak 50% penderita diabetes tidak terdiagnosis. Risiko terkena diabetes
tipe 2 meningkat seiring bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas
fisik. Kejadiannya meningkat dengan cepat, dan pada tahun 2030 jumlah ini
diperkirakan hampir sekitar 552 juta . Diabetes melitus terjadi di seluruh dunia,
namun lebih umum (terutama tipe 2) di negara-negara yang lebih maju, di mana
mayoritas pasien berusia antara 45 dan 64 tahun. Namun, peningkatan prevalensi
terbesar diperkirakan terjadi di Asia dan Afrika.

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus

4
Faktor risiko diabetes melitus dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi diantaranya ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat
keluarga dengan diabetes mellitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat lebih
dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu
kurang dari 2500 gram. Sedangkan factor risiko yang dapat dimodifikasi
diantaranya berat badan lebih, obesitas sentral, kurangnya aktivitas fisik,
dislipidemia, hipertensi, diet yang tidak sehat/ tidak seimbang, riwayat toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau gula darah puasa terganggu, dan merokok. 5,6

Tabel 2.2 Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe 2

DM tipe 2 terdiri dari 80% sampai 90% dari semua kasus DM. Kebanyakan
individu dengan diabetes tipe 2 menunjukkan obesitas intra-abdominal (visceral),
yang berkaitan erat dengan adanya resistensi insulin. Selain itu, hipertensi dan

5
dislipidemia (kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol HDL rendah;
hiperlipidemia postprandial) sering ditemukan pada individu-individu ini. Ini
adalah bentuk diabetes mellitus yang paling umum dan sangat terkait dengan
riwayat keluarga diabetes, usia lanjut, obesitas dan kurang olahraga. Hal ini lebih
sering terjadi pada wanita, terutama wanita dengan riwayat diabetes gestasional,
dan pada kulit hitam, Hispanik dan penduduk asli Amerika. 10

2.4 Patogenesis
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil
penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi inkretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.11
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar,
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM
tipe 2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the
egregious eleven (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Patogenesis Hiperglikemi

6
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh hal berikut :11
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang.
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi dalam sintesis glukagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hasi (HGP/hepatic glucose
production) dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA/Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot,
sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity.
4. Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.
5. Hepar
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalamkeadaan basal oleh hepar
(HGP/hepatic glucose production) meningkat.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini

7
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM
tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu
berat badan berlebih akan berkembang menjadi DM. Prebiotik dan probiotik
diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.
8. Usus Halus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide) atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide (GIP). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin.

8
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensu kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kada amilin menyebabkan percepatan
pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang
berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivitas sistem imun
bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi
sistemik derajat rendah erperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat
peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah.12
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu
hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan
bayi berat lahir lebih dari 4kg.12
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama
adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang
tidak adekuat.8 Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan
pengambilan glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga
diperberat oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai
respon tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini

9
juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa
lapar meningkat (polifagi).13
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas.
Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya
hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke
ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus terus-
menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi dapat
berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya tekanan
filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah
kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai
dengan kolapsnya sirkulasi. Perubahan volume sel akibat keadaan hiperosmotik
ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat mengganggu fungsi sel-sel dalam
tubuh.13

2.6 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: 11
‒ Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
‒ Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

10
Gambar 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
‒ Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl;
‒ Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl;
‒ Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT;
‒ Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.3 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes

11
Gambar 2.3 Cara Pelaksanaan TTGO

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes


Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu:11
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal


sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan
diulang tiap 1 tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia

12
fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler,diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.11

Gambar 2.4 Langkah-Langkah Diagnosis Diabetes Melitus

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan Tatalaksana Diabetes Melitus, yaitu :
- Jangka Pendek : Menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, mengurangi risiko komplikasi akut.
- Jangka Panjang : Mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
- Tujuan Akhir : Turunnya morbiditas dan mortalitas DM

13
Langkah langkah dalam penatalaksanaan umum diabetes mellitus adalah
berupa evaluasi dari pemeriksaan fisik dan komplikasi seperti yang dijelaskan
dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.4 Komponen Evaluasi Komprehensif Pasien Diabetes11
Kunjungan Kunjungan Kontrol
Pertama berikutnya Tahunan
Riwayat Diabetes
Karakteristik saat onset (usia dan 
gejala)
Riwayat pengobatan sebelumnya 
Pengobatan lain yang berpengaruh 
terhadap glukosa darah
Riwayat Keluarga
Riwayat DM dan penyakit endokrin 
lain dalam keluarga
Riwayat Riwayat Komplikasi dan
Penyakit dan Komorbid
Riwayat Riwayat komplikasi akut (KAD,   
Keluarga SHH, Hipoglikemia)
Komplikasi mikro dan  
makrovaskular
Riwayat Infeksi sebelumnya  
Komorbiditas (Hipertensi, obesitas,  
penyakit jantung, dislipidemia)
Kunjungan ke spesialis   
Riwayat Interval
Perubahan riwayat pengobatan  
sejak kunjungan terakhir
Pola makan dan status nutrisi,   
Faktor Gaya perubahan berat badan
Hidup Status aktivitas fisik dan pola tidur   
Merokok dan Alkohol  
Pengobatan yang sedang dijalani   
(jenis, rencana makan, latihan fisik)
Riwayat Pola pengobatan yang sedang   
Pengobatan dan dijalani
Vaksinasi Intoleransi dan efek samping   
terhadap pengobatan
Riwayat vaksinasi  
Kondisi Karakteristik budaya, psikososial,  
Psikososial pendidikan, dan status ekonomi
Pengukuran tinggi dan berat badan   
Pengukuran tekanan darah   
Penilaian hipotensi ortostatik   
Pemeriksaan jantung   
Pemeriksaan
Pemeriksaan funduskopi   
Fisik Pemeriksaan rongga mulut dan   
kelenjar tiroid
Evaluasi nadi (palpasi dan   
stetoskop)
Pemeriksaan kaki komprehensif  
Evaluasi integritas kulit  

14
Evaluasi neuropati (monofilament  
10 gr)
Skrining PAD (pulsasi pedis-ABI)  
Pemeriksaan kulit   
Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan kadar glukosa darah   
puasa dan 2 jam setelah TTGO
Penapisan Komplikasi
Profil lipid pada keadaan puasa  
Pemeriksaan Tes fungsi hati  
laboratorium dan Tes fungsi ginjal : kreatinin serum  
Penunjang dan estimasi LFG
Tes urin rutin  
Albumin urin kuantitatif  
Rasio albumin-kreatinin sewaktu  
Elektrokardiogram  
Foto rontgen dada (curiga TB,PJK)  

Penatalaksanaan dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat seperti


terapi nutrisi dan aktivitas fisik bersamaan dengan terapi medikamentosa
menggunakan obat antihiperglikemia secara oral ataupun injeksi. Obat
antihiperglikemia dapat diberikan sebagai terapi tunggal ataupun kombinasi.
Pasien dengan diabetes mellitus dianjurkan untuk dirujuk ke fasilitas sekunder
ataupun tersier ketika muncul tanda emergensi seperti dengan ketoasidosis, stress
berat, berat badan yang menurun cepat, atau adanya ketonuria. 11

Edukasi
Edukasi diberikan dengan tujuan promosi hidup sehat meliputi materi
edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut. Materi tingkat awal adalah dengan
menjelaskan perjalanan penyakit DM, pentingnya pengendalian dan pemantauan
DM secara berkelanjutan, penyulit DM, intervensi dan target dari pengobatan,
interaksi makanan, aktivitas fisik dan obat antihiperglikemia, serta cara
pemanatauan glukosa darah. Selain itu pasien juga bisa diberi edukasi mengenai
tanda hipoglikemi dan penanganan awalnya.11
Untuk materi edukasi tingkat lanjut biasanya dilaksanakan di pelayanan
kesehatan sekunder atau tersier yang meliputi mengenal dan pencegahan dari
penyulit DM, penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain, rencana untuk
kegiatan khusus seperti pada atlit, kondisi khusus seperti saat hamil atau puasa,
serta pemeliharaan dan perawatan kaki.11

15
Terapi Nutrisi Medis
Kunci keberhasilan dari terapi nutrisi medis adalah keterlibatan secara
menyeluruh baik dari dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lainnya, pasien dan
keluarganya. Prinsip pengaturan pasien DM sama dengan anjuran makan pada
masyarakat umum, hanya saja ada beberapa penekanan seperti pada pentingnya
keteraturan jadwal makan, serta jenis dan jumlah kandungan kalori. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri atas11 :
a) Karbohidrat (45-65% asupan energi)
b) Lemak (20-25%)
c) Protein
Pasien dengan nefropati diabetik: 0,8 gr/kgBB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi.
Pasien yang sudah menjalani hemodialisa : 1-1,2 gr/kgBB perhari
d) Natrium (<1500 mg/hari)
e) Serat (20-35 gram/hari)

Dalam menentukan komposisi makanan kita harus mengetahui kebutuhan


kalori yang dibutuhkan pasien DM, pertama tentukan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Selanjutnya kebutuhan tersebut ditambah atau
dikurangi sesuai dengan beberapa faktor dari tiap individu tersebut yang cara
menghitungnya adalah sebagai berikut11 :
a) Berat badan ideal (BBI) : 90% x (TB dalam cm -100) x 1 kg
b) Pria dengan TB <160 cm dan wanita dengan TB <150 cm, rumus diatas
dimodifikasi menjadi: (TB dalam cm-100) x 1 kg yang mana
interpretasinya
c) Jenis kelamin : kebutuhan kalori basal untuk pria 30 kal/kgBB dan wanita
25 kal/kgBB
d) Umur : kebutuhan kalori dikurangi 5% tiap decade antara usia 40-59
tahun, pasien usia 60 dan 69 tahun dikurangi 10%, dan pasien usia 70
tahun dikurangi 20%
e) Aktivitas Fisik
Penambahan 10% : istirahat

16
Penambahan 20% : ringan (karyawan kantor)
Penambahan 30% : sedang (mahasiswa, pegawai industry ringan)
Penambahan 40% : berat (petani, buruh, atlet)
Penambahan 50% : sangat berat (tukang gali, tukang becak)
f) Stres Metabolik : penambahan berkisar 10-30% sesuai stress metabolic
yang terjadi (sepsis, operasi, trauma)
g) Berat badan
Gemuk : dikurangi 20-30%
Kurus : ditambah 20-30%
Jumlah kalori perhari paling sedikit diberikan pada pria adalah 1200-1600
kkal, dan untuk wanita sebesar 1000-1200 kkal.

Latihan Fisik
Latihan fisik dianjurkan dilakukan sebanyak 3-5 hari perminggu dengan
durasi masing masingnya sekitar 30-45 menit. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2
hari berturut turut. Latihan fisik yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobic
dengan intensitas sedang (50-70% dari denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, sepeda santai, jogging dan renang. Denyut jantung maksimal dihitung
dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien. Latihan yang dimaksud disini
tidak termasuk kegiatan sehari-hari, latihan ini selain bertujuan menjaga
kebugaran juga mampu memperbaiki sensitifitas insulin, dan untuk menurunkan
berat badan. 11
Pasien dengan kadar glukosa darah <100 harus mengonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu sebelum melakukan latihan fisik. Pasien dengan kadar glukosa
darah >250 dianjurkan untuk menunda latihan fisik. Pasien DM tanpa komplikasi
bisa melakukan latihan beban 2-3 kali perminggu sesuai arahan dokter, sedangkan
pasien dengan komplikasi intensitas latihannya perlu disesuaikan perindividu.

Terapi Farmakologis
Berdasarkan cara kerjanya, Obat antihiperglikemi dibagi menjadi 5 golongan 11,14:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
1) Sulfonilurea

17
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang.Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. 11,14
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin).Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.11,14

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin


1) Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.Tiazolidindion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan.Hati-
hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone. 11,14
2) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) serta memperbaiki ambilan glukosa perifer.Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR30-
60ml/menit/1,73m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
sperti: GFR<30mL/menit/1,73m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien

18
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FCIII-IV]). Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia. 11,14

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan: penghambat Alfa


Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.
Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam
usus) sehingga sering menimbulkan flatus.Guna mengurangi efek samping pada
awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin.

19
Tabel 2.5 Profil obat antihiperglikemia

Obat Antihiperglikemia Suntik


1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :


 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)

20
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)

2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga
terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas.Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk
golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide. 11,14
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di
Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg
perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan
efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg.
Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide
selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan.
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat
diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. 11,14
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).

21
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah
yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.Dosis awal insulin basal untuk
kombinasi adalah 6-10 unit.kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan
(padaumumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target.
Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali
meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan dengan hati-hati.11,14
Prinsip pemberian terapi:
 Untuk penderita DM tipe-2 dengan HbA1C<7,5% maka pengobatan non
farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan evaluasi HbA1C 3
bulan, bila tidak mencapai target <7% maka dilanjutkan dengan monoterapi
oral
 Untuk penderita DM tipe-2 dengan HbA1C 7,5%- 9% diberikan modifikasi
gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Pemilihan obat perlu
pertimbangan keawaman (hipoglikemi, pengaruh terhadap jantung),
efektivitas, ketersediaan, toleransi pasien, dan harga. Obat monoterapi dapat
dikelompokkan menjadi
 Bila obat monoterapi tidak bias mencapai target HbA1C<7% dalam waktu 3
bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang terdiri
dari obat yang diberikan pada lini pertama ditambah dengan obat lain yang
mempunyai mekanisme kerja yang berbeda
 Bila HbA1C sejak awal >9% maka bias langsung diberikan kombinasi 2
macam obat, jika tidak mencapai target kendali maka diberikan kombinasi 3
macam obat.
 Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka
langkah berikutnya adalah pengobatan insulin basal plus/bolus atau premix

22
Penilaian Hasil Terapi.11
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
 Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
 Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.Guna mencapai tujuan tersebut perludilakukan pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa, glukosa2 jam post prandial, atau glukosa
darah pada waktu yanglain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.Tes ini
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam
setahun.

Gambar 2.5 Algoritma Pengobatan DM tipe 2

Pengelolaan DM Tipe dengan komorbid tertentu seperti penyakit


kardiovaskular aterosklerotik (penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit
arteri perifer), gagal jantung, penyakit ginjal kronis, dan risiko kardiovaskuler.
Risiko kardiovaskular Pasien DM Tipe 2 di klasifikasikan sebagai berikut: 11

23
Tabel 2.6 Risiko Kardiovaskular pada Pasien DM
Kategori Risiko Risiko kematian Indikator Risiko
kardiovaskular dalam 10
tahun terakhir
Risiko sangat tinggi >10% Dengan DM dan terbukti
memiliki penyakit
kardiovaskular
Atau kerusakan organ
target
Atau minimal memiliki 3
faktor risiko mayor
Menderita DM >20 tahun
Risiko tinggi 5-10% Durasi DM ≥10 tahun
tanpa kerusakan target
ira=gan dan disertai 1
faktor risiko mayor lain
Risiko sedang <5% Usia muda (DMT1 <35
tahun; DMT2 <50 tahun)
dengan durasi DM <10
tahun, tanpa faktor risiko
lain
Faktor risiko mayor : usia,hipertensi,dislipidemia,merokok,obesitas
Kerusakan organ target : proteinuria, gagal ginjal dengan LFG≥30
mL/menit/1,73m2,LVH,retinopati

24
Tabel 2.7 Keuntungan, Kerugian, dan Biaya Obat Antihiperglikemik

25
Prinsip Terapi Inisiasi, Optimisasi dan Intensifikasi Insulin
Terapi insulin dapat diberikan pada pasien DM baru dengan cirri
gejala atau tanda dekompensasi metabolik atau pada pasien DM lama dengan
kombinasi OHO namun tidak terkontrol. Algoritma pemberian insulin dijelaskan
dalam gambar di bawah ini. 1

26
Gambar 2.6 Algoritma inisiasi dan intensifikasi pengobatan injeksi
pada pasien DM

27
Kriteria Pengendalian DM
Kriteria pengendalian DM didasarkan pada hasil pemeriksaan
kadar glukosa, kadar HbA1c, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik
adalah apabila kadar glukosa darah, lipid, HbA1c mencapai kadar yang
diharapkan serta status gizi ataupun tekanan darah sesuai dengan target yang
ditentukan. 11
Tabel 2.8 Sasaran Pengendalian Diabetes Melitus11

2.8 Komplikasi Diabetes Melitus Tipe II


Komplikasi diabetes melitus melibatkan mikrovaskular, makrovaskular
dan neuropati.

28
1. Risiko Kardiovaskular15
Pada pasien diabetes melitus tipe 2 terdapat beberapa keabnormalan lipid
yaitu:
 Peningkatan LDL
 Penurunan HDL
 Peningkatan level trigliserida
Abnormalitas dari nilai lipid tersebut akan meningkatkan risiko aterosklerosis

2. Penurunan Fungsi Kognitif


Pada penelitian cross sectional yang dilakukan pada 350 pasien usia 55
tahun atau lebih dengan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan 363 kontrol pasien
usia 60 tahun atau lebih tanpa diabetes melitus, didapatkan hasil bahwa pada
pasien diabetes lebih tinggi risiko atrofi otak daripda lesi serebrovaskular yang
gambarannya seperti fase preklinis penyakit Alzheimer. Diabetes tipe 2 sering
dihubungkan dengan atrofi hipokampus temporal, frontal dan atrofi limbik.

Selain pembagian diatas, komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua


kategori, yaitu: 15
a. Komplikasi akut
a) Hipoglikemia
Adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50
mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang
dapat dialami 1-2 kali per minggu. Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <
70 mg/dl. Pada keadaan ini biasanya ditemukan whipple’s triad:
- terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- kadar glukosa darah yang rendah
- gejala berkurang dengan pengobatan

29
Tabel 2.9 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, Pucat, takikardia,
berkeringat, gelisah, widened pulde-
paresthesia, palpitasi, pressure
Tremulousness
Neuroglikopenik Lemah, lesu, Cortical-blindness,
dizziness, pusing, hipotermia, kejang,
confusion, perubahan koma
sikap, gangguan
kognitif, pandangan
kabur, diplopia

Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:


a) Hipoglikemia Ringan
‒ Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat
sederhana)
‒ Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk
karbohidrat lain yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan
glukosa darah
‒ Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon
kenaikan glukosa darah.
‒ Glukosa 15-20 gr (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air
dapat diberikan pada pasien hipoglikemia yang masih sadar.
‒ Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan 15
menit pemberian upaya terapi.
‒ Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai
normal, pasien diminta untuk makan atau mengonsumsi snack
untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.

30
b) Hipoglikemia Berat
‒ Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan
berupa pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa
bisa diberikan dextrose 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus
D5% atau D10%.
‒ Periksa gluksa darah 15 menit setelah pemberian iv tersebut. Bila
kadar glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang
pemberian dextrose 20%
‒ Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah settiap 1-2 jam
kalau masih terjadi hipoglikemia berulang, pemberian dekstrose
20% dapat diulang.

b) Hiperglikemia, adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba,


dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara
lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan
kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis
a) Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler adalah penyulit yang timbul akibat
diabetes yang terjadi pada pembuluh darah besar yang terdapat di seluruh
bagian tubuh. Komplikasi yang umum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
Komplikasi makrovaskular pada dasarnya disebabkan
hiperglikemia persisten yang dapat memperparah stress oksidatif,
kemudian berlanjut menekan bioavailabilitas NO (Nitric Oxide) yang
secara fungsional berperan sebagai mediator vasodilatatif dan bertugas
menjaga homeostatis permukaan endotel. Pada kondisi penuaan, diabetes,
serta meningkatnya stress oksidatif fungsi NO menjadi terganggu,
sehingga cenderung berkembang menimbulkan komplikasi makrovaskular
diabetik.

31
Sejauh ini diketahui ada 6 faktor potensial yang berperan
menimbulkan komplikasi makrovaskular, yaitu (1) Hiperglikemia, (2)
Resistensi insulin, (3) Dislipidemia, (4) Hipertensi, (5) Merokok, dan (6)
Sitokin proinflamasi serta yang terkait dengan proses pembekuan darah

a) Penyakit Jantung Koroner


Kondisi hiperglikemia yang kronis terbukti mampu merusak
dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak
sehingga mengakibatkan penyempitan pembuluh darah. Apabila
pembuluh darah yang menyempit tersumbat, suplai darah ke otot
jantung berkurang sehingga terjadi kematian sel jantung dan gagal
jantung. Hal ini juga berpotensi akan mengakibatkan kematian
mendadak. Gejala-gejala yang ditimbulkan seperti (1) Nyeri dada yang
biasanya dipicu oleh aktifitas atau stress dan segera membaik dengan
istirahat atau setelah pemberian nitrat.(2) Adanya tanda iskemia
jantung pada rekaman jantung atau MSCT.(3) Adanya obstruksi arteri
koroner saat pemeriksaan angiografi koroner
b) Stroke
Penyebab diabetes mellitus menjadi stroke iskemik salah satunya
adalah adanya suatu proses aterosklerosis. Kira-kira 30% pasien
dengan aterosklerosis otak terbukti adalah penderita diabetes.
Terjadinya hiperglikemia menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah besar maupun pembuluh darah perifer. Disamping itu juga akan
meningkatkan agregrat platelet dimana kedua proses tersebut dapat
menyebabkan aterosklerosis. Hiperglikemia juga dapat meningkatkan
viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan naiknya tekanan
darah atau hipertensi dan berakibat terjadinya stroke iskemik. Proses
makroangiopati dianggap sangat relevan dengan stroke dan juga
terdapat bukti adanya keterlibatan proses makroangiopati yang
ditandai terjadinya stroke lakunar pada penderita diabetes mellitus.
Gejala-gejala yang ditimbulkan adalah (1) Adanya defisit neurologis
yang berasal dari serebrovaskular,(2) Adanya riwayat hipertensi,
diabetes, merokok,atrial fibrilasi dan penyakit aterosklerosis

32
sebelumnya,(3) Gejala-gejala yang ditimbulkan mencerminkan daerah
otak yang terkena
c) Ulkus Diabetes
DM merupakan penyebab utama amputasi kasus non trauma di
Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena DM mampu memicu
terjadinya penyakit pembuluh darah perifer akibat penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah yang memvaskularisasi jaringan
sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi jaringan perifer. Hal ini
akan lama-kelaman akan menjadi ulkus diabetes yang diperberat
dengan adanya neuropati, trauma, infeksi dan kegagalan sintesis
protein. Kondisi neuropati membuat pasien tidak sadar apabila terkena
proses trauma berulang. Adanya kegagalan sintesis protein membuat
luka minor sulit sembuh sehingga mempermudah terjadinya infeksi
berkepanjangan yang mengakibatkan luka semakin melebar
Klasifikasi Wagner
Grade 0 Resiko tinggi luka, tapi tidak ada luka
Grade 1 Luka superfisial, tidak ada infeksi
Grade 2 Luka dalam, dengan atau tanpa selulitis, tapi
tidak ada abses atau tulang yang kena
Grade 3 Luka dalam, tulang ikut terkena atau adanya
abses
Grade 4 Gangrene terbatas (lokal)
Grade 5 Gangrene luas

Gambaran Klinis Ulkus Diabet


Neuropati Iskemia
Hangat Dingin
Kering Tanpa rambut
Pulsasi teraba Pulsasi tak terba
Tidak ada keluhan Nyeri luka
Ada callus Klaudikasi/nyeri istirahat
Kulit kaki pucat saat elevasi

33
b) Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi
pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan),
neuropati, dan amputasi
a) Nefropati
Nefropati didefinisikan sebagai proteinuria >500 mg dalam 24 jam
pada kondisi diabetes. Biasanya kondisi ini diawali dengan adanya
mikroalbuminuria, yakni eksresi albumin 30-299 mg/24 jam yang
tidak segera dilakukan intervensi dan diterapi. Diperkirakan 7% dari
pasien yang baru didiagnosis dengan DM telah memiliki
mikroalbuminuria
Pada kondisi DM kronis, terjadi nefropati yang ditandai dengan
penebalan glomerulal basement membrane, pembentukan
mikroaneurisma, dan terbentuknya nodul mesangial. Apabila telah
terjadi nefropati atau gagal ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan,
sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar.
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penumpukan racun seperti
ureum dan kreatinin pada tubuh sekaligus terjadinya kondisi
hipoalbumin pada pasien.
c) Retinopati
Pada kondisi diabetes, terdapat tiga penyakit utama pada mata yang
utamanya disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, kadar gula
darah yang tinggi dalam jangka panjang bisa merusak pembuluh darah
retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih dan transparan menjadi
keruh akibat reaksi glikasi sehingga menghambat masuknya sinar; dan
3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga
merusak saraf mata Kebutaan pada DM disebabkan karena adanya
proses retinopati progresif dan edema makular.
Retinopati pada DM diklasifikasikan menjadi stadium proliferatif
dan non proliferatif. Stadium non proliferatif terjadi pada decade
pertama, ditandai dengan adanya mikroaneurisma, perdarahan blot
atau munculnya tanda cotton wool spots. Selanjutnya stadium ini akan
berkembang dan ditandai dengan adanya abnormalitas mikrovaskuler

34
intrarenal, munculnya lebih banyak mikroaneurisma dan perdarahan.
Pada stadium akhir akan terjadi hilangnya pericyte renal, kegagalan
vaskularisasi retina yang pada akhirnya mengakibatkan kebutaan
akibat iskemi retina.
Stadium proliferatif ditandai dengan adanya neovakularisasi
sebagai akibat adanya hipoksia dari retina. Pembuluh darah baru yang
terbentuk biasanya muncul di dekat saraf optik dan makula, dimana
pembuluh darah baru ini lebih mudah untuk mengalami ruptur
sehingga mengakibatkan perdarahan vitreous, fibrosis dan detachment
dari retina. Bila tidak dilakukan intervensi, pasien bisa mengalami
kehilangan penglihatan. Bedah laser mata (laser photocoagulation) bisa
mencegah retinopati proliferative berkembang menjadi kebutaan. Oleh
karena itu sangat penting melakukan pengawasan ketat terhadap
erkembangan retinopati pada pasien dengan diabetes.

Tabel 2.10 Klasifikasi dan Gambaran Retinopati Diabetik


Retinopati awal (gradasi R1) -Mikroaneurisma
-Perdarahan -dot and flame shape
-Eksudat kasar
-Eksudat halus
Retinopati pre proliferatif (gradasi R2) -Perdarahan multiple
-Kelainan mikrovaskular intra retina
-Venous beading
-Venous reduplication
Retinopati proliperatif (gradasi R3) -Perdarahan baru pada discus
-Perdarahan baru dimana saja
-Proliferasi fibrovascular
-Perdarahan pre-retinal atau vitreous
-Rubeois iridis (neovascular
glaucoma)
Makulopati (gradasi M0 atau M1) -Eksudat dalam 1 diameter diskus
(DD) dari centre of the fovea

35
-Kumpulan eksudat dalam macula
-Beberapa aneurisma atau perdarahan
dalam 1 DD daric entre of the fovea

d) Neuropati
Neuropati didefinisikan oleh ADA sebagai adanya gejala disfungsi
saraf perifer pada pasien dengan diabetes setelah dilakukan ekslusi
penyebab lainnya, Peningkatan resiko terjadinya neuropati berbanding
lurus dengan kondisi hiperglikemia dan durasi hiperglikemia. Apabila
dalam jangka waktu yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan
menjadi normal, glukosa akan mengakibatkan terjadinya reaksi glikasi
yang merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan
ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik. Neuropati diabetic mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim
atau menghantar pesanpesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau
terlambat mengirim, tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf
dan saraf mana yang terkena.

Gambaran Neuropati
‒ Onset biasanya pelan dengan rasa tebal atau kesemutan. Sering ditemukan
saat screening
‒ Dimulai dari ujung jari kaki, kemudian menyebar ke proksimal secara
simetris
‒ Sensasi rasa sensoris menurun yang mengakibatka penurunan sensasi getar,
sentuhan halus dan sensasi suhu
‒ Penurunan sensai vibrasi dan reflex lutut negatif
‒ Nyeri pada neuropatibisa mengakibatkan kunjungan ke dokter meningkat.
Nyeri bisa tajam (sharp), stabbing dan burning.

Klasifikasi Neuropati Diabetik


Neuropati sensoris -Akut
-Kronik
Neuropati otonom -Disfungsi ereksi

36
-Gastroparesis
-Hipotensi postural
Mononeuropati -Neuropati entrapmen (entrapment
neuropathy)
-External pressure palsies
-Mononeuropati spontan
Neuropati motor proksimal

2.9 Pencegahan Diabetes Melitus Tipe II


Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu: 1
1. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan
dengan multimitra. Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya adalah
menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan
kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau
kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi
berpotensi untuk menderita DM diantaranya:
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB (kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kg/m2))
c. Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)
d. Riwayat keluarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir >4000 gr.
f. Dislipidemia (HDL<35 mg/dL dan atau Trigliserida >250 mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)

Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh


terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah

37
ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis
makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok
bagi kesehatan. Selain itu perlu diketahui dua faktor risiko diabetes melitus berupa
yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi:
Faktor Risiko DM
Tidak bisa dimodifikasi Dapat dimodifikasi
- Ras dan etnik - Berat badan lebiH (IMT ≥ 23
- Riwayat keluarga dengan DM kg/m2)
- Umur: risiko untuk menderita - Kurangnya aktivitas fisik
intolerasni glukosa meningkat - Hipertensi (>140/90mmHg)
seiring dengan meningkatnya usia. - Dislipidemia (HDL 250 mg/dL)
Usia >45 tahun harus dilakukan - Diet tidak sehat dengan tinggi
pemeriksaan DM glukosa dan rendah serat
- Riwayat melahirkan bayi dengan
berat >4.000 gr atau riwayat
mendeirta diabetes gestasional
- Riwayat lahir dengan BBLR,
kurang dari 2,5 kg

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus
diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit
menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi: a. penyuluhan b. perencanaan
makanan c. latihan jasmani d. obat berkhasiat hipoglikemik.
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut
menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait
sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama
disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-
lain.

38
BAB III
PENUTUP

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Faktor risiko diabetes mellitus dapat dikelompokkan
menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat
dimodifikasi.11,15
Keluhan klasik yang sering ditemukan pada penderita DM adalah poliuria,
polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan pemeriksaan glukosa darah.
Kriteria diagnosis adalah pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL atau
glukosa plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah TTGO, atau glukosa plasma sewaktu
≥200 mg/dL dengan keluhan klasik atau pemeriksaan HbA1c ≥6,5%. 11
Tatalaksana diabetes melitus mencakup tujuan jangka pendek yaitu
menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi risiko
komplikasi akut, dan tujuan jangka panjang yaitu mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati. Penatalaksanaan
mencakup pengaturan nutrisi, kegiatan jasmani dan pemakaian obat-obatan.11,15

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed AM (2002) History of diabetes mellitus. Saudi Med J 23: 373-378.


2. Diabetes mellitus history- from ancient to modern times.
3. American Diabetes Association. Diabetes CareVolume 38, Supplement 1,
January 2015. USA
4. Foster DW, et al. Diabetes melitus. Dalam: Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196
5. Soltesz G, Patterson CC, Dahlquist G; EURODIAB Study Group (2007)
Worldwide childhood type 1 diabetes incidence--what can we learn from
epidemiology? Pediatr Diabetes 8 Suppl 6: 6-14.
6. Global burden of diabetes. International Diabetes federation. Diabetic atlas
fifth edition 201, Brussels. Yach D, Hawkes C, Gould CL, Hofman KJ (2004)
The global burden of chronic diseases: overcoming impediments to
prevention and control. JAMA 291: 2616-2622.
7. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
8. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia.
Perkeni. 2015.
9. medscape: Khardori R. 2018. Type 2 Diabetes melitus. Medscape:
https://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#a1
10. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
11. Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, Kusnadi Y, et
al. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di
Indonesia 2021. Jakarta: Perkumpulan Endokrinol Indonesia, 2019;1–104.
12. Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson
AM, Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams &
Wilkin. Philadelphia. Pg 425-448, 2005
13. Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes
Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
14. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al.
Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus
Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement
of the American Diabetes Association and the European Association for the
Study of Diabetes. Diabetes Care2008; 31:1-11
15. Waspadji S. Komplikasi Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Departemen
Ilmu Panyakit Dalam FKUI. Hal: 2.411-2.460. 2016.

40

Anda mungkin juga menyukai