Oleh:
Muhammad Iskandar 2040312138
Putri Aisyah Mirza 2040312139
Virna Zufti Pratiwi 2040312173
Preseptor:
Dr. dr. Arina Widya Murni, SpPD-KPsi, FINASIM
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Diabetes Melitus Tipe 2” ini dapat
penulis selesaikan. Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr. M. Djamil, Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang. Terima kasih penulis ucapkan kepada
semua pihak yang telah banyak membantu menyusun makalah ini, khususnya
kepada Dr. dr. Arina Widya Murni, SpPD-KPsi, FINASIM selaku preseptor dan
juga kepada rekan-rekan dokter muda.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai
masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah pengetahuan dan pemahaman
serta dapat meningkatkan pelayanan, khususnya untuk pelayanan primer kasus-
kasus kompetensi 4, pada masa yang akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
1.3 Metode Penulisan ..........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan .........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................3
2.1 Definisi ..........................................................................................................3
2.2 Epidemiologi .................................................................................................3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko ............................................................................4
2.4 Patogenesis ....................................................................................................6
2.5 Manifestasi Klinis..........................................................................................9
2.6 Diagnosis .....................................................................................................10
2.9 Penatalaksanaan...........................................................................................13
2.10 Komplikasi ................................................................................................28
2.11 Pencegahan ................................................................................................37
BAB III .................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................40
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya. Pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin pada otot
dan hati serta kegagalan dari sel beta pankreas. Penyakit DM ini telah banyak
menimbulkan permasalahan di masyarakat dan berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia serta berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang
cukup besar.1 Diantara penyakit degeneratif, diabetes melitus merupakan salah
satu penyakit tidak menular yang diperkirakan jumlahnya akan meningkat di masa
mendatang. Hal ini seiring dengan meningkatnya obesitas yang merupakan salah
satu faktor risiko diabetes serta kurangnya aktifitas fisik manusia. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20
tahun berjumlah 150 juta orang dan pada tahun 2025 jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang.2
WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam
hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta.
Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara
teratur.3 Menurut data RISKESDAS 2018, prevalensi nasional DM di Indonesia
adalah sebesar 8,5% atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM.
Perkiraan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014
menunjukkan bahwa terdapat 387 juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia.
Pada tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 55% atau
592 juta orang. Diperkirakan dari 387 juta orang tersebut, 175 juta di antaranya
belum terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi komplikasi
tanpa disadari dan tanpa pencegahan.3
Peningkatan insidensi DM di Indonesia tentu akan diikuti oleh
meninggkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus.
1
Berbagai penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat
penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati
maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh
darah tungkai bawah.3 Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes melitus
menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemi kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan,
ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah.4
Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh insulin yang ada tidak dapat
bekerja dengan baik. Meskipun kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan
meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang.
Walaupun insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, diabetes mellitus
tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus yang berarti
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan sekitar 75%
dari penderita DM tipe 2 ini dengan kondisi obesitas atau kegemukan serta
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.4
2.2 Epidemiologi
Secara global, pada tahun 2011, diperkirakan 366 juta orang menderita
DM, dengan jumlah tipe 2 sekitar 90% kasus.5,6 WHO memperkirakan bahwa
pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150
juta orang dan pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta
orang.2 Menurut data RISKESDAS 2018, prevalensi nasional DM di Indonesia
adalah sebesar 8,5% atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM.
Diabetes melitus tipe 2 secara luas didiagnosis pada orang dewasa.
Meskipun demikian, frekuensinya meningkat tajam pada kelompok usia anak-
anak selama dua dekade terakhir. Diabetes melitus tipe 2 sekarang mewakili 8-
45% dari semua kasus diabetes baru yang dilaporkan di antara anak-anak.7
Prevalensi DM tipe 2 pada populasi anak-anak lebih tinggi pada anak perempuan
daripada anak laki-laki.8
3
Usia rata-rata onset DM tipe 2 adalah 12-16 tahun. Periode ini bertepatan
dengan masa pubertas, ketika keadaan fisiologis resistensi insulin berkembang.
Dalam keadaan fisiologis ini, DM tipe 2 berkembang hanya jika fungsi sel beta
yang tidak adekuat dikaitkan dengan faktor risiko lainnya (misalnya obesitas). 7
Setelah usia pubertas, tingkat kejadian secara signifikan turun pada wanita muda,
namun tetap relatif tinggi pada pria dewasa muda hingga usia 29-35 tahun.9 Saat
ini sebanyak 50% penderita diabetes tidak terdiagnosis. Risiko terkena diabetes
tipe 2 meningkat seiring bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas
fisik. Kejadiannya meningkat dengan cepat, dan pada tahun 2030 jumlah ini
diperkirakan hampir sekitar 552 juta . Diabetes melitus terjadi di seluruh dunia,
namun lebih umum (terutama tipe 2) di negara-negara yang lebih maju, di mana
mayoritas pasien berusia antara 45 dan 64 tahun. Namun, peningkatan prevalensi
terbesar diperkirakan terjadi di Asia dan Afrika.
4
Faktor risiko diabetes melitus dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi diantaranya ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat
keluarga dengan diabetes mellitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat lebih
dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu
kurang dari 2500 gram. Sedangkan factor risiko yang dapat dimodifikasi
diantaranya berat badan lebih, obesitas sentral, kurangnya aktivitas fisik,
dislipidemia, hipertensi, diet yang tidak sehat/ tidak seimbang, riwayat toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau gula darah puasa terganggu, dan merokok. 5,6
DM tipe 2 terdiri dari 80% sampai 90% dari semua kasus DM. Kebanyakan
individu dengan diabetes tipe 2 menunjukkan obesitas intra-abdominal (visceral),
yang berkaitan erat dengan adanya resistensi insulin. Selain itu, hipertensi dan
5
dislipidemia (kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol HDL rendah;
hiperlipidemia postprandial) sering ditemukan pada individu-individu ini. Ini
adalah bentuk diabetes mellitus yang paling umum dan sangat terkait dengan
riwayat keluarga diabetes, usia lanjut, obesitas dan kurang olahraga. Hal ini lebih
sering terjadi pada wanita, terutama wanita dengan riwayat diabetes gestasional,
dan pada kulit hitam, Hispanik dan penduduk asli Amerika. 10
2.4 Patogenesis
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil
penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi inkretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.11
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar,
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM
tipe 2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the
egregious eleven (Gambar 2.1).
6
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh hal berikut :11
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang.
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi dalam sintesis glukagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hasi (HGP/hepatic glucose
production) dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA/Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot,
sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity.
4. Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.
5. Hepar
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalamkeadaan basal oleh hepar
(HGP/hepatic glucose production) meningkat.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
7
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM
tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu
berat badan berlebih akan berkembang menjadi DM. Prebiotik dan probiotik
diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.
8. Usus Halus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide) atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide (GIP). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin.
8
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensu kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kada amilin menyebabkan percepatan
pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang
berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivitas sistem imun
bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi
sistemik derajat rendah erperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat
peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin.
9
juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa
lapar meningkat (polifagi).13
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas.
Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya
hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke
ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus terus-
menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi dapat
berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya tekanan
filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah
kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai
dengan kolapsnya sirkulasi. Perubahan volume sel akibat keadaan hiperosmotik
ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat mengganggu fungsi sel-sel dalam
tubuh.13
2.6 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: 11
‒ Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
‒ Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
10
Gambar 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Tabel 2.3 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes
11
Gambar 2.3 Cara Pelaksanaan TTGO
12
fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler,diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.11
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan Tatalaksana Diabetes Melitus, yaitu :
- Jangka Pendek : Menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, mengurangi risiko komplikasi akut.
- Jangka Panjang : Mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
- Tujuan Akhir : Turunnya morbiditas dan mortalitas DM
13
Langkah langkah dalam penatalaksanaan umum diabetes mellitus adalah
berupa evaluasi dari pemeriksaan fisik dan komplikasi seperti yang dijelaskan
dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.4 Komponen Evaluasi Komprehensif Pasien Diabetes11
Kunjungan Kunjungan Kontrol
Pertama berikutnya Tahunan
Riwayat Diabetes
Karakteristik saat onset (usia dan
gejala)
Riwayat pengobatan sebelumnya
Pengobatan lain yang berpengaruh
terhadap glukosa darah
Riwayat Keluarga
Riwayat DM dan penyakit endokrin
lain dalam keluarga
Riwayat Riwayat Komplikasi dan
Penyakit dan Komorbid
Riwayat Riwayat komplikasi akut (KAD,
Keluarga SHH, Hipoglikemia)
Komplikasi mikro dan
makrovaskular
Riwayat Infeksi sebelumnya
Komorbiditas (Hipertensi, obesitas,
penyakit jantung, dislipidemia)
Kunjungan ke spesialis
Riwayat Interval
Perubahan riwayat pengobatan
sejak kunjungan terakhir
Pola makan dan status nutrisi,
Faktor Gaya perubahan berat badan
Hidup Status aktivitas fisik dan pola tidur
Merokok dan Alkohol
Pengobatan yang sedang dijalani
(jenis, rencana makan, latihan fisik)
Riwayat Pola pengobatan yang sedang
Pengobatan dan dijalani
Vaksinasi Intoleransi dan efek samping
terhadap pengobatan
Riwayat vaksinasi
Kondisi Karakteristik budaya, psikososial,
Psikososial pendidikan, dan status ekonomi
Pengukuran tinggi dan berat badan
Pengukuran tekanan darah
Penilaian hipotensi ortostatik
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan
Pemeriksaan funduskopi
Fisik Pemeriksaan rongga mulut dan
kelenjar tiroid
Evaluasi nadi (palpasi dan
stetoskop)
Pemeriksaan kaki komprehensif
Evaluasi integritas kulit
14
Evaluasi neuropati (monofilament
10 gr)
Skrining PAD (pulsasi pedis-ABI)
Pemeriksaan kulit
Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa dan 2 jam setelah TTGO
Penapisan Komplikasi
Profil lipid pada keadaan puasa
Pemeriksaan Tes fungsi hati
laboratorium dan Tes fungsi ginjal : kreatinin serum
Penunjang dan estimasi LFG
Tes urin rutin
Albumin urin kuantitatif
Rasio albumin-kreatinin sewaktu
Elektrokardiogram
Foto rontgen dada (curiga TB,PJK)
Edukasi
Edukasi diberikan dengan tujuan promosi hidup sehat meliputi materi
edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut. Materi tingkat awal adalah dengan
menjelaskan perjalanan penyakit DM, pentingnya pengendalian dan pemantauan
DM secara berkelanjutan, penyulit DM, intervensi dan target dari pengobatan,
interaksi makanan, aktivitas fisik dan obat antihiperglikemia, serta cara
pemanatauan glukosa darah. Selain itu pasien juga bisa diberi edukasi mengenai
tanda hipoglikemi dan penanganan awalnya.11
Untuk materi edukasi tingkat lanjut biasanya dilaksanakan di pelayanan
kesehatan sekunder atau tersier yang meliputi mengenal dan pencegahan dari
penyulit DM, penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain, rencana untuk
kegiatan khusus seperti pada atlit, kondisi khusus seperti saat hamil atau puasa,
serta pemeliharaan dan perawatan kaki.11
15
Terapi Nutrisi Medis
Kunci keberhasilan dari terapi nutrisi medis adalah keterlibatan secara
menyeluruh baik dari dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lainnya, pasien dan
keluarganya. Prinsip pengaturan pasien DM sama dengan anjuran makan pada
masyarakat umum, hanya saja ada beberapa penekanan seperti pada pentingnya
keteraturan jadwal makan, serta jenis dan jumlah kandungan kalori. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri atas11 :
a) Karbohidrat (45-65% asupan energi)
b) Lemak (20-25%)
c) Protein
Pasien dengan nefropati diabetik: 0,8 gr/kgBB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi.
Pasien yang sudah menjalani hemodialisa : 1-1,2 gr/kgBB perhari
d) Natrium (<1500 mg/hari)
e) Serat (20-35 gram/hari)
16
Penambahan 20% : ringan (karyawan kantor)
Penambahan 30% : sedang (mahasiswa, pegawai industry ringan)
Penambahan 40% : berat (petani, buruh, atlet)
Penambahan 50% : sangat berat (tukang gali, tukang becak)
f) Stres Metabolik : penambahan berkisar 10-30% sesuai stress metabolic
yang terjadi (sepsis, operasi, trauma)
g) Berat badan
Gemuk : dikurangi 20-30%
Kurus : ditambah 20-30%
Jumlah kalori perhari paling sedikit diberikan pada pria adalah 1200-1600
kkal, dan untuk wanita sebesar 1000-1200 kkal.
Latihan Fisik
Latihan fisik dianjurkan dilakukan sebanyak 3-5 hari perminggu dengan
durasi masing masingnya sekitar 30-45 menit. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2
hari berturut turut. Latihan fisik yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobic
dengan intensitas sedang (50-70% dari denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, sepeda santai, jogging dan renang. Denyut jantung maksimal dihitung
dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien. Latihan yang dimaksud disini
tidak termasuk kegiatan sehari-hari, latihan ini selain bertujuan menjaga
kebugaran juga mampu memperbaiki sensitifitas insulin, dan untuk menurunkan
berat badan. 11
Pasien dengan kadar glukosa darah <100 harus mengonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu sebelum melakukan latihan fisik. Pasien dengan kadar glukosa
darah >250 dianjurkan untuk menunda latihan fisik. Pasien DM tanpa komplikasi
bisa melakukan latihan beban 2-3 kali perminggu sesuai arahan dokter, sedangkan
pasien dengan komplikasi intensitas latihannya perlu disesuaikan perindividu.
Terapi Farmakologis
Berdasarkan cara kerjanya, Obat antihiperglikemi dibagi menjadi 5 golongan 11,14:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
1) Sulfonilurea
17
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang.Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. 11,14
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin).Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.11,14
18
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FCIII-IV]). Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia. 11,14
19
Tabel 2.5 Profil obat antihiperglikemia
20
Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
21
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah
yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.Dosis awal insulin basal untuk
kombinasi adalah 6-10 unit.kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan
(padaumumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target.
Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali
meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan dengan hati-hati.11,14
Prinsip pemberian terapi:
Untuk penderita DM tipe-2 dengan HbA1C<7,5% maka pengobatan non
farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan evaluasi HbA1C 3
bulan, bila tidak mencapai target <7% maka dilanjutkan dengan monoterapi
oral
Untuk penderita DM tipe-2 dengan HbA1C 7,5%- 9% diberikan modifikasi
gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Pemilihan obat perlu
pertimbangan keawaman (hipoglikemi, pengaruh terhadap jantung),
efektivitas, ketersediaan, toleransi pasien, dan harga. Obat monoterapi dapat
dikelompokkan menjadi
Bila obat monoterapi tidak bias mencapai target HbA1C<7% dalam waktu 3
bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang terdiri
dari obat yang diberikan pada lini pertama ditambah dengan obat lain yang
mempunyai mekanisme kerja yang berbeda
Bila HbA1C sejak awal >9% maka bias langsung diberikan kombinasi 2
macam obat, jika tidak mencapai target kendali maka diberikan kombinasi 3
macam obat.
Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka
langkah berikutnya adalah pengobatan insulin basal plus/bolus atau premix
22
Penilaian Hasil Terapi.11
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.Guna mencapai tujuan tersebut perludilakukan pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa, glukosa2 jam post prandial, atau glukosa
darah pada waktu yanglain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.Tes ini
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam
setahun.
23
Tabel 2.6 Risiko Kardiovaskular pada Pasien DM
Kategori Risiko Risiko kematian Indikator Risiko
kardiovaskular dalam 10
tahun terakhir
Risiko sangat tinggi >10% Dengan DM dan terbukti
memiliki penyakit
kardiovaskular
Atau kerusakan organ
target
Atau minimal memiliki 3
faktor risiko mayor
Menderita DM >20 tahun
Risiko tinggi 5-10% Durasi DM ≥10 tahun
tanpa kerusakan target
ira=gan dan disertai 1
faktor risiko mayor lain
Risiko sedang <5% Usia muda (DMT1 <35
tahun; DMT2 <50 tahun)
dengan durasi DM <10
tahun, tanpa faktor risiko
lain
Faktor risiko mayor : usia,hipertensi,dislipidemia,merokok,obesitas
Kerusakan organ target : proteinuria, gagal ginjal dengan LFG≥30
mL/menit/1,73m2,LVH,retinopati
24
Tabel 2.7 Keuntungan, Kerugian, dan Biaya Obat Antihiperglikemik
25
Prinsip Terapi Inisiasi, Optimisasi dan Intensifikasi Insulin
Terapi insulin dapat diberikan pada pasien DM baru dengan cirri
gejala atau tanda dekompensasi metabolik atau pada pasien DM lama dengan
kombinasi OHO namun tidak terkontrol. Algoritma pemberian insulin dijelaskan
dalam gambar di bawah ini. 1
26
Gambar 2.6 Algoritma inisiasi dan intensifikasi pengobatan injeksi
pada pasien DM
27
Kriteria Pengendalian DM
Kriteria pengendalian DM didasarkan pada hasil pemeriksaan
kadar glukosa, kadar HbA1c, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik
adalah apabila kadar glukosa darah, lipid, HbA1c mencapai kadar yang
diharapkan serta status gizi ataupun tekanan darah sesuai dengan target yang
ditentukan. 11
Tabel 2.8 Sasaran Pengendalian Diabetes Melitus11
28
1. Risiko Kardiovaskular15
Pada pasien diabetes melitus tipe 2 terdapat beberapa keabnormalan lipid
yaitu:
Peningkatan LDL
Penurunan HDL
Peningkatan level trigliserida
Abnormalitas dari nilai lipid tersebut akan meningkatkan risiko aterosklerosis
29
Tabel 2.9 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, Pucat, takikardia,
berkeringat, gelisah, widened pulde-
paresthesia, palpitasi, pressure
Tremulousness
Neuroglikopenik Lemah, lesu, Cortical-blindness,
dizziness, pusing, hipotermia, kejang,
confusion, perubahan koma
sikap, gangguan
kognitif, pandangan
kabur, diplopia
30
b) Hipoglikemia Berat
‒ Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan
berupa pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa
bisa diberikan dextrose 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus
D5% atau D10%.
‒ Periksa gluksa darah 15 menit setelah pemberian iv tersebut. Bila
kadar glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang
pemberian dextrose 20%
‒ Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah settiap 1-2 jam
kalau masih terjadi hipoglikemia berulang, pemberian dekstrose
20% dapat diulang.
b. Komplikasi Kronis
a) Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler adalah penyulit yang timbul akibat
diabetes yang terjadi pada pembuluh darah besar yang terdapat di seluruh
bagian tubuh. Komplikasi yang umum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
Komplikasi makrovaskular pada dasarnya disebabkan
hiperglikemia persisten yang dapat memperparah stress oksidatif,
kemudian berlanjut menekan bioavailabilitas NO (Nitric Oxide) yang
secara fungsional berperan sebagai mediator vasodilatatif dan bertugas
menjaga homeostatis permukaan endotel. Pada kondisi penuaan, diabetes,
serta meningkatnya stress oksidatif fungsi NO menjadi terganggu,
sehingga cenderung berkembang menimbulkan komplikasi makrovaskular
diabetik.
31
Sejauh ini diketahui ada 6 faktor potensial yang berperan
menimbulkan komplikasi makrovaskular, yaitu (1) Hiperglikemia, (2)
Resistensi insulin, (3) Dislipidemia, (4) Hipertensi, (5) Merokok, dan (6)
Sitokin proinflamasi serta yang terkait dengan proses pembekuan darah
32
sebelumnya,(3) Gejala-gejala yang ditimbulkan mencerminkan daerah
otak yang terkena
c) Ulkus Diabetes
DM merupakan penyebab utama amputasi kasus non trauma di
Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena DM mampu memicu
terjadinya penyakit pembuluh darah perifer akibat penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah yang memvaskularisasi jaringan
sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi jaringan perifer. Hal ini
akan lama-kelaman akan menjadi ulkus diabetes yang diperberat
dengan adanya neuropati, trauma, infeksi dan kegagalan sintesis
protein. Kondisi neuropati membuat pasien tidak sadar apabila terkena
proses trauma berulang. Adanya kegagalan sintesis protein membuat
luka minor sulit sembuh sehingga mempermudah terjadinya infeksi
berkepanjangan yang mengakibatkan luka semakin melebar
Klasifikasi Wagner
Grade 0 Resiko tinggi luka, tapi tidak ada luka
Grade 1 Luka superfisial, tidak ada infeksi
Grade 2 Luka dalam, dengan atau tanpa selulitis, tapi
tidak ada abses atau tulang yang kena
Grade 3 Luka dalam, tulang ikut terkena atau adanya
abses
Grade 4 Gangrene terbatas (lokal)
Grade 5 Gangrene luas
33
b) Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi
pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan),
neuropati, dan amputasi
a) Nefropati
Nefropati didefinisikan sebagai proteinuria >500 mg dalam 24 jam
pada kondisi diabetes. Biasanya kondisi ini diawali dengan adanya
mikroalbuminuria, yakni eksresi albumin 30-299 mg/24 jam yang
tidak segera dilakukan intervensi dan diterapi. Diperkirakan 7% dari
pasien yang baru didiagnosis dengan DM telah memiliki
mikroalbuminuria
Pada kondisi DM kronis, terjadi nefropati yang ditandai dengan
penebalan glomerulal basement membrane, pembentukan
mikroaneurisma, dan terbentuknya nodul mesangial. Apabila telah
terjadi nefropati atau gagal ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan,
sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar.
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penumpukan racun seperti
ureum dan kreatinin pada tubuh sekaligus terjadinya kondisi
hipoalbumin pada pasien.
c) Retinopati
Pada kondisi diabetes, terdapat tiga penyakit utama pada mata yang
utamanya disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, kadar gula
darah yang tinggi dalam jangka panjang bisa merusak pembuluh darah
retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih dan transparan menjadi
keruh akibat reaksi glikasi sehingga menghambat masuknya sinar; dan
3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga
merusak saraf mata Kebutaan pada DM disebabkan karena adanya
proses retinopati progresif dan edema makular.
Retinopati pada DM diklasifikasikan menjadi stadium proliferatif
dan non proliferatif. Stadium non proliferatif terjadi pada decade
pertama, ditandai dengan adanya mikroaneurisma, perdarahan blot
atau munculnya tanda cotton wool spots. Selanjutnya stadium ini akan
berkembang dan ditandai dengan adanya abnormalitas mikrovaskuler
34
intrarenal, munculnya lebih banyak mikroaneurisma dan perdarahan.
Pada stadium akhir akan terjadi hilangnya pericyte renal, kegagalan
vaskularisasi retina yang pada akhirnya mengakibatkan kebutaan
akibat iskemi retina.
Stadium proliferatif ditandai dengan adanya neovakularisasi
sebagai akibat adanya hipoksia dari retina. Pembuluh darah baru yang
terbentuk biasanya muncul di dekat saraf optik dan makula, dimana
pembuluh darah baru ini lebih mudah untuk mengalami ruptur
sehingga mengakibatkan perdarahan vitreous, fibrosis dan detachment
dari retina. Bila tidak dilakukan intervensi, pasien bisa mengalami
kehilangan penglihatan. Bedah laser mata (laser photocoagulation) bisa
mencegah retinopati proliferative berkembang menjadi kebutaan. Oleh
karena itu sangat penting melakukan pengawasan ketat terhadap
erkembangan retinopati pada pasien dengan diabetes.
35
-Kumpulan eksudat dalam macula
-Beberapa aneurisma atau perdarahan
dalam 1 DD daric entre of the fovea
d) Neuropati
Neuropati didefinisikan oleh ADA sebagai adanya gejala disfungsi
saraf perifer pada pasien dengan diabetes setelah dilakukan ekslusi
penyebab lainnya, Peningkatan resiko terjadinya neuropati berbanding
lurus dengan kondisi hiperglikemia dan durasi hiperglikemia. Apabila
dalam jangka waktu yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan
menjadi normal, glukosa akan mengakibatkan terjadinya reaksi glikasi
yang merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan
ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik. Neuropati diabetic mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim
atau menghantar pesanpesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau
terlambat mengirim, tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf
dan saraf mana yang terkena.
Gambaran Neuropati
‒ Onset biasanya pelan dengan rasa tebal atau kesemutan. Sering ditemukan
saat screening
‒ Dimulai dari ujung jari kaki, kemudian menyebar ke proksimal secara
simetris
‒ Sensasi rasa sensoris menurun yang mengakibatka penurunan sensasi getar,
sentuhan halus dan sensasi suhu
‒ Penurunan sensai vibrasi dan reflex lutut negatif
‒ Nyeri pada neuropatibisa mengakibatkan kunjungan ke dokter meningkat.
Nyeri bisa tajam (sharp), stabbing dan burning.
36
-Gastroparesis
-Hipotensi postural
Mononeuropati -Neuropati entrapmen (entrapment
neuropathy)
-External pressure palsies
-Mononeuropati spontan
Neuropati motor proksimal
37
ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis
makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok
bagi kesehatan. Selain itu perlu diketahui dua faktor risiko diabetes melitus berupa
yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi:
Faktor Risiko DM
Tidak bisa dimodifikasi Dapat dimodifikasi
- Ras dan etnik - Berat badan lebiH (IMT ≥ 23
- Riwayat keluarga dengan DM kg/m2)
- Umur: risiko untuk menderita - Kurangnya aktivitas fisik
intolerasni glukosa meningkat - Hipertensi (>140/90mmHg)
seiring dengan meningkatnya usia. - Dislipidemia (HDL 250 mg/dL)
Usia >45 tahun harus dilakukan - Diet tidak sehat dengan tinggi
pemeriksaan DM glukosa dan rendah serat
- Riwayat melahirkan bayi dengan
berat >4.000 gr atau riwayat
mendeirta diabetes gestasional
- Riwayat lahir dengan BBLR,
kurang dari 2,5 kg
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus
diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit
menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi: a. penyuluhan b. perencanaan
makanan c. latihan jasmani d. obat berkhasiat hipoglikemik.
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut
menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait
sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama
disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-
lain.
38
BAB III
PENUTUP
39
DAFTAR PUSTAKA
40