Oleh:
Pembimbing:
dr. Riva Zuriyanti
Mengetahui,
i
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
2.1 Definisi......................................................................................................2
2.2 Faktor Resiko............................................................................................2
2.3 Epidemiologi.............................................................................................4
2.4 Patofisiologi...............................................................................................4
2.5 Diagnosis...................................................................................................5
2.6 Penatalaksanaan.........................................................................................6
2.7 Komplikasi................................................................................................8
BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................10
3.1 IDENTITAS PASIEN.............................................................................10
3.2 ANAMNESIS..........................................................................................10
3.3 PEMERIKSAAN FISIK..........................................................................10
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................13
3.5 DIAGNOSA KERJA...............................................................................13
3.6 PENATALAKSANAAN........................................................................13
3.7 PROGNOSIS...........................................................................................14
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya, tugas laporan kasus ruangan telah dapat diselesaikan.
Selanjutnya shalawat beserta salam saya haturkan kepangkuan Nabi Muhammad
SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun judul tugas ini adalah “Diabetes Melitus tipe 2” Tugas ini
diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Program Dokter Intersip
Indonsia di Puskesmas Baitussalam Banda Aceh.
Saya mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. Riva
Zuriyanti yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, saya menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saya tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun
agar tercapai hasil yang lebih baik kelak.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin). Disfungsi sel β
berperan dalam progresivitas penyakit DM Tipe 2, pasien DM Tipe 2 terbagi
menjadi beberapa golongan, ada yang dengan dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai dengan dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin. Kebanyakan pasien DM Tipe 2 mengalami overweight ataupun
obesitas yang kemudian akan memperburuk keadaan dari resistensi insulin
tersebut.2
2
Faktor Resiko yang Dapat dimodifikasi
Obesitas
Pada pasien ini memiliki IMT tergolong overweigth yaitu 29.5 Kg/M2.
Pada individu yang memiliki berat badan berlebih atau menderita obesitas, jumlah
asam lemak non-esterifikasi, gliserol, hormon, sitokin, penanda proinflamatori,
dan substansi lain yang terlibat dalam patogenesis resistensi insulin, meningkat.
Obesitas ialah penumpukan lemak dalam tubuh yang sangat tinggi. Kalori yang
masuk ke tubuh lebih tinggi dibandingkan aktivitas fisik yang dilakukan untuk
membakarnya sehingga lemak menumpuk dan meningkatkan risiko DM tipe 2.
Kriteria Obesitas yakni IMT ≥25 kg/m2 atau ukuran lingkar perut ≥80cm bagi
wanita serta ≥90 cm bagi pria. Pada laporan kasus ini pasien memiliki IMT Yaitu
> 29,5 kg/m2.
Kurang Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik yang dapat membakar kalori menaikkan risiko
DM Tipe 2. Lapisan masyarakat umumnya jarang melakukan aktivitas fisik.
Strategi terbaik untuk mencegah DMT2 ialah dengan mengendalikan berat badan
serta menjalankan aktivitas fisik minimal 30 menit perhari.
Hipertensi
Menurut studi Setyaningsih 2015 ditemukan bahwa riwayat hipertensi
memiliki ikatan erat dengan kasus DM Tipe II. Risikonya menjadi 2,629 kali lebih
tinggi dibanding bukan pengidap hipertensi.
Dislipidemia
Dislipidemia ialah keadaan kadar lemak darah meningkat. Hal ini dapat
berisiko menyebabkan DM tipe 2. Dislipidemia tidak menimbulkan gejala
sehingga kita harus melaksanakan pemeriksaan darah atau checkup sehingga
dapat mendeteksi dini dislipidemia. Dislipidemia sering mengiringi DM, baik
dislipidemia primer (akibat kelainan genetik) maupun dislipidemia sekunder
(akibat DM, karena resistensi maupun defisiensi insulin). Toksisitas lipid memicu
proses aterogenesis menjadi lebih progresif. Lipoprotein akan mengalami
pergantian akibat perubahan metabolik pada DM seperti proses glikasi beserta
oksidasi. Hal ini dapat menyebabkan risiko resistensi insulin semakin tinggi
sehingga menjadi DM tipe 2.
Kebiasaan merokok
Merokok adalah faktor risiko yang paling sering ditemui dalam berbagai
penyakit termasuk DM Tipe 2. Penelitian mengemukakan bahwa sensitivitas
insulin dapat turun oleh nikotin dan bahan kimia berbahaya lain di dalam rokok.
Nikotin dapat meningkatkan kadar hormon katekolamin dalam tubuh, antara lain
adrenalin dan noradrenalin. Naiknya tekanan darah, denyut jantung, glukosa
darah, dan pernapasan merupakan efek yang ditimbulkan dari pelepasan adrenalin
tersebut.
3
Pengelolaan stress
Ketika penderita DM tipe 2 mengalami stres mental, gula darah penderita
akan meningkat. Adrenalin dan kortisol adalah hormon yang akan muncul ketika
stress. Hormon tersebut berfungsi meningkatkan gula darah untuk meningkatkan
energi dalam tubuh.
2.3 Epidemiologi
Sesuai data International Diabetes Federation (IDF) Atlas tahun 2019,
jumlah penyandang diabetes melitus (DM) di dunia saat ini berkisar 463 juta, dan
diperkirakan meningkat menjadi sekitar 700 juta di tahun 2045. Indonesia
merupakan negara urutan ke 7 dari 10 negara dengan jumlah penyandang DM
terbanyak di dunia, yaitu sekitar 10 juta penduduk.1 Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) menyebutkan proporsi penyandang DM pada penduduk usia >15
tahun di Indonesia berdasarkan pemeriksaan darah adalah 5,7% pada tahun 2007,
menjadi 6,9% pada tahun 2013, dan 8,5% pada tahun 2018. Berdasarkan
diagnosis dokter, proporsi penyandang DM pada penduduk usia >15 tahun juga
mengalami peningkatan menjadi 2% pada tahun 2018 dari yang sebelumnya
sebesar 1,5% pada tahun 2013.
2.4 Patofisiologi
Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus DM Tipe 2
secara genetik adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas:
1. Resistensi insulin
Merupakan kondisi umum bagi orang-orang dengan berat badan
overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot,
lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk
memproduksi insulin lebih banyak. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas
tidak adekuat guna mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar
glukosa darah akan meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia kronik pada DM Tipe 2 semakin merusak sel beta di satu sisi dan
memperburuk resistensi insulin di sisi lain, sehingga penyakit DM Tipe 2 semakin
progresif.
Secara klinis, makna resistensi insulin adalah adanya konsentrasi insulin
yang lebih tinggi dari normal yang dibutuhkan untuk mempertahankan
normoglikemia. Pada tingkat seluler, resistensi insulin menunjukan kemampuan
yang tidak adekuat dari insulin signaling mulai dari pre reseptor, reseptor, dan
post reseptor. Secara molekuler beberapa faktor yang diduga terlibat dalam
patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada protein kinase B, mutasi
protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari protein
IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein kinase C, dan
mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin Receptor).
4
5
2. Disfungsi sel beta pancreas
Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel beta
pankreas dan peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga terjadi
hiperglikemia kronik dengan segala dampaknya. Hiperglikemia kronik juga
berdampak memperburuk disfungsi sel beta pankreas. Sebelum diagnosis DMT2
ditegakkan, sel beta pankreas dapat memproduksi insulin secukupnya untuk
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin. Pada saat diagnosis DMT2
ditegakkan, sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang adekuat
untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin oleh karena pada saat itu
fungsi sel beta pankreas yang normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari
perjalanan DMT2, sel beta pankreas diganti dengan jaringan amiloid, akibatnya
produksi insulin mengalami penurunan sedemikian rupa, sehingga secara klinis
DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin secara absolut. Sel beta
pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel lainnya seperti sel alfa,
sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi
akibat kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Jumlah dan kualitas sel
beta pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain proses regenerasi dan
kelangsungan hidup sel beta itu sendiri, mekanisme selular sebagai pengatur sel
beta, kemampuan adaptasi sel beta ataupun kegagalan mengkompensasi beban
metabolik dan proses apoptosis sel.
2.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah vena
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler. Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik berupa; poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena
dengan sistem enzimatik dengan hasil48 :
1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
7. HbA1c ≥ 6.5%
6
2.6 Penatalaksanaan
Farmakoterapi pada pasien DM:
1. Obat Antihiperglikemi Oral
7
a) Inisiasi terapi insulin
Insulin dapat diberikan pada semua pasien DMT2 dengan kontrol glikemik
yang buruk. Insulin juga dapat diberikan pada kasus-kasus DMT2 yang baru
dikenal dengan penurunan berat badan yang hebat dan dalam keadaan ketosis.
Contoh regimen insulin sekali sehari:
1. Mulai dengan dosis 8 – 10 unit long acting insulin (insulin kerja panjang)
2. Teruskan pemakaian OAD (metformin)
3. Lakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum makan pagi
4. Lakukan titrasi dosis untuk mengendalikan kadar glukosa darah
sebelum makan pagi
Titrasi dosis ini dapat dilakukan selama 2-3 bulan pertama sampai kadar
glukosa darah puasa mencapai kadar yang diinginkan.
b) Pemberian Insulin Basal, basal plus insulin
Jika nilai HbA1c masih belum mencapai target, setelah kadar glukosa darah
puasa terkendali dengan regimen basal insulin, maka dibutuhkan insulin lain
untuk menurunkan HbA1c, yaitu dengan menambahkan insulin prandial.
Pemberian basal insulin dengan menambahkan insulin prandial disebut dengan
terapi basal plus. Jika dengan pemberian cara di atas belum mendapatkan hasil
yang optimal, maka pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap mau
makan. Cara pemberian insulin seperti ini disebut dengan basal bolus.
Dengan menggunakan 2 macam insulin dapat dilakukan berbagai metode
untuk mencapai kontrol glukosa darah. Basal bolus insulin merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan dalam mencapai kontrol glukosa darah.
8
2.7 Komplikasi
Komplikasi DM yaitu komplikasi fase akut dan kronik:
1. Komplikasi fase akut
a) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan turunnya kadar glukosa di dalam darah,
menjadi < 70 mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum
dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s
triad. Hipoglikemia iatrogenik merupakan hipoglikemia yang umum terjadi pada
pasien diabetes. Hipoglikemia iatrogenic merupakan hipoglikemia yang
berhubungan dengan pengobatan diabetes, seperti sulfonilurea dan insulin5150.
b) Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Status Hiperglikemi Hiperosmolar
(SHH)
Komplikasi makrovaskular terutama didasari oleh karena adanya resistensi
insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskular lebih disebabkan oleh hiperglikemia
kronik. Ada empat hal utama yang mendasari terjadinya komplikasi kronis DMT2
yaitu, meningkatnya HbA1c, glukosa plasma puasa, dan glukosa post prandial
serta meningkatnya variabilitas glukosa. Keempat hal ini disebut tetrad concept,
merupakan keadaan yang harus diperbaiki dalam penatalaksanaan DMT2 agar
dapat mencegah ataupun memperlambat timbulnya komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular44.
2. Komplikasi fase kronik diabetes
a) Makrovaskular
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
b) Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskuler seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan),
neuropati, dan amputasi5253. Pada pasien laporan kasus ini memiliki komplikasi
neuropati perifer.
Hiperglikemia kronik dan fluktuasi kadar glukosa darah akut dari puncak
ke nadir merupakan komponen yang menyebabkan terjadinya komplikasi kronik
DM melalui dua mekanisme utama, yaitu glikasi protein yang berlebihan dan stres
oksidatif.
1. Glikasi Protein
Beberapa tahun terakhir glikasi albumin (GA) diperkenalkan pula sebagai
indeks keterkendalian diabetes jangka menengah. Glycated albumin (GA) adalah
albumin mengandung lisin yang berikatan dengan glukosa. Albumin serum
manusia merupakan protein terbanyak di sirkulasi, terdiri dari 59 lisin dan 23
arginin yang dapat terlibat dalam proses glikasi. Albumin merupakan protein kaya
lisin. Albumin memiliki waktu paruh yang lebih pendek dibanding hemoglobin
yaitu 12-19 hari sehingga dapat dijadikan sebagai marker alternatif kontrol
glikemik. GA terjadi akibat gabungan molekul glukosa dengan molekul protein
9
yang membentuk ketoamin melalui proses glikasi, yaitu sebuah mekanisme
nonenzimatik. Glikasi nonenzimatik ini disebut reaksi Maillard, yaitu reaksi
spontan antara glukosa dengan molekul yang mengandung amin.
2. Stress Oksidatif
Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara antioksidan dan pro
oksidan yang berpotensi untuk menyebabkan kerusakan. Hiperglikemia kronik
akan menyebabkan apoptosis sel endotel vaskuler melalui overproduksi
superoksida mitokondria. Metabolisme glukosa yang berlebihan akan
menghasilkan radikal bebas. Beberapa jalur metabolik yang dapat menyebabkan
stress metabolik pada penderita DMT2 adalah sebagai berikut:
a. Jalur poliol
Saat kadar glukosa intrasel meningkat, jalur poliol pada metabolisme
glukosa menjadi aktif. Enzim pertama pada jalur ini adalah aldosa reduktase yang
mereduksi glukosa menjadi sorbitol menggunakan NADPH sebagai kofaktor.
Afinitas aldosa reduktase untuk peningkatan glukosa pada kondisi hiperglikemik
menyebabkan sorbitol berakumulasi dan menggunakan lebih banyak NADPH.
Aktivasi enzim aldosa reduktase sendiri memudahkan timbulnya kerusakan sel.
Aktivasi jalur poliol akan meningkatkan kadar sorbitol dan fruktosa. Sorbitol dan
fruktosa merupakan agen glikosilasi yang berperan dalam pembentukan AGEs.
Penggunaan yang berlebihan NADPH akibat overaktivitas aldosa reduktase
menyebabkan berkurangnya kofaktor yang tersedia untuk proses metabolisme
seluler dan enzim. Hal ini akan mengurangi kapabilitas sel untuk merespon stres
oksidatif, sehingga terjadi peningkatan aktivitas mekanisme kompensasi seperti
aktivitas glucose monophosphate shunt, penyedia NADPH seluler. Di sisi lain,
penggunaan NAD oleh sorbitol dehidrogenase menyebabkan + peningkatan rasio
NADPH/NAD yang diartikan sebagai kondisi pseudohipoksia.
b. Jalur heksosamin
Jalur ini teraktivasi jika terjadi akumulasi berlebihan dari metabolit
glikolisis. Pada kondisi normal 1-3% glukosa memasuki jalur ini. Pada kondisi
hiperglikemia terjadi peningkatan pembentukan ROS sehingga terjadi akumulasi
metabolit teroksidasi.
c. Aktivasi protein kinase C (PKC)
Lingkungan yang hiperglikemik merangsang peningkatan aktivitas PKC-
β2 di sel endotelial ginjal untuk memproduksi prostaglandin E2 dan tromboksan
A2, substansi yang mengatur permeabilitas dan respon terhadap angiotensin II sel
vaskuler. Aktivasi PKC juga mempengaruhi akumulasi protein matriks
mikrovaskuler di sel mesangial. Kondisi ini disebabkan oleh inhibisi terhadap
produksi NO.
d. Advanced glycation end products (AGEs)
Pada diabetes, protein yang terglikosilasi secara nonenzimatik akan
berubah menjadi produk irreversibel yaitu AGEs. Kemudian AGEs akan berikatan
dengan reseptor AGEs pada sel mesangial dan menyebabkan kerusakan jaringan.
10
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 37 Tahun
Alamat : Lamujong
Agama : Islam
Suku : Aceh
Pekerjaan : Wiraswasta
Nomor RM : 2.6.16
Status : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 21 November 2022
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
11
Temperatur : 36.7 ºC
RR : 20 x/i, irregular, tipe thorakoabdominal
Berat Badan : 100 kg
Tinggi Badan : 165 cm
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : normocephali
Rambut : hitam
Deformitas : tidak ada
Nyeritekan : tidak ada
Mata
Edema palpebra : tidak ada (-/-)
Konjungtiva palpebra : dalam batas normal
Sklera ikterik : tidak ada (-/-)
pupil : isokor
reflex cahaya : baik (+/+)
gerakan bola mata : baik ke segalaarah
Mulut
Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), T2/T2, faring hiperemis (-/-)
Hidung
Pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum nasi (-), sekret (-), rhinorhea (-)
Leher:
pembesaran KGB
Submandibula : tidak teraba membesar
Leher : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Ketiak : tidak teraba membesar
Thorax :
Thorax depan
12
Pulmo
• Perkusi :
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru Atas Sonor Sonor
Lap. Paru Tengah Sonor Sonor
Lap. Paru Bawah Sonor Sonor
• Auskultasi :
Suara Dasar Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru Atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru Tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru Bawah Vesikuler Vesikuler
Cor
13
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), Perubahan warna kulit (-), massa (-)
Palpasi : Soepel (-), hepar dan lien tidak teraba, defans muscular(-), nyeri
seluruh abdomen (-). Opistotonus (-)
Perkusi : Tympany (+)
Auskultasi: Peristaltik (+)
Extremitas
Ekstremitas atas :
HT stage 1 + Dm tipe 2
3.6 PENATALAKSANAAN
Edukasi
Pola Makan
Olahraga
14
Farmakologi
• Metformin 1x500mg (pagi saat sarapan)
• Amlodipin 1x10mg
3.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia adbonam
15
BAB IV
PEMBAHASAN
16
DAFTAR PUSTAKA
17