Anda di halaman 1dari 53

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2023


UNIVERSITAS HALU OLEO

DIABETES MELITUS TIPE 2 + ULKUS DIABETIK DIGITI I REGIO


PEDIS DEXTRA DERAJAT II BERDASARKAN KLASIFIKASI
WAGNER+ HIPERTENSI

Disusun Oleh:

Rezky Suriyaningsih Rianse, S. Ked

K1B1 22 059

Pembimbing:

dr. Rony Kendyartanto, Sp. PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Rezky Suriyaningsih Rianse, S. Ked.


Stambuk : K1B1 22 059
Judul Kasus : Diabetes Melitus Tipe 2 + Ulkus Diabetik Digiti I Regio
Pedis Dextra Derajat II Berdasarkan Klasifikasi Wagner +
Hipertensi

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada

Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari, 2023


Mengetahui:
Pembimbing,

dr. Rony Kendyartanto, Sp. PD


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. L.

Tanggal Lahir : 01/07/1969

Umur :53 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Hari, Tgl masuk : Senin, 09 Januari 2023 (11.15)

Hari, Tgl keluar : Minggu, 15 Januari 2023 (11.50)

Alamat : Jln. Ekonomi

No. RM : 1229xx

Cara masuk : Unit Gawat Darurat

DPJP : dr. Abdul Rahman M., Sp. PD-KGEH

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Luka pada ibu jari kaki kanan

Anamnesis Terpimpin:

Pasien datang ke UGD RS Benyamin Guluh Kolaka dengan keluhan


luka pada ibu jari kaki kanan yang dialami sejak 10 hari SMRS. Luka
bernanah dan bengkak serta terasa nyeri. Nyeri dirasakan terus menerus, terasa
tajam seperti tertusuk dan terasa panas sehingga pasien kesulian berjalan.
Keluhan lain dirasakan yaitu lemas yang sudah dirasakan sejak 2 bulan yang
lalu. Keluhan lain pusing ada, demam ada sejak 5 hari SMRS, mual tidak ada,
muntah tidak ada, pandangan kabur tidak ada. Pasien juga mengeluhkan sering
BAK dan haus yang berlebihan sejak 3 bulan SMRS. BAB dalam batas
normal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat hipertensi ada
 Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat Pengobatan:
 Pasien berobat kepuskesmas untuk membersihkan luka
 Pasien rutin mengonsumsi obat hipertensi (amlodipine) sejak 7 tahun
terakhir
Riwayat Penyakit Keluarga

 DM (+) ibu pasien


 Hipertensi (+) ibu pasien

Riwayat Kebiasaan

 Merokok (-)
 Konsumsi alcohol (-)
 Jarang olahraga
 Sering konsumsi makanan yang manis
C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Sakit sedang, Composmentis, Status gizi (BB = 50 kg, TB = 155 cm)


IMT = 23 kg/m2

Tanda Vital

TD Nadi Pernafasan Suhu

165/95 mmHg 120x/Menit 20 x/Menit 38,0 0C/Axillar


(Reguler)

Status Generalis

Kulit Berwarna kuning langsat, pucat (-)


Kepala Normocephal
Rambut
Berwarna hitam dan putih, sebagian kecil rontok

Mata Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra -/-,
Gerakan bola mata dalam batas normal, kornea refleks (+)
pupil refleks (+)
Hidung Epitaksis (-) rinorhea (-)
Telinga Otorrhea (-) nyeri tekan mastoid (-)
Mulut Bibir pucat (-) bibir kering (-) perdarahan gusi (-)

Leher pembesaran kelenjar getah bening (-) dan pembesaran tiroid


(-)

Thoraks Inspeksi
Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan. Retraksi sela
iga (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus dalam batas normal
Perkusi
Sonor kiri = kanan
Auskultasi
Bunyi nafas vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Jantung Inspeksi
Ictus kordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan pada ICS V linea parasternal dextra,
batas jantung kiri ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
BJ I dan II regular, murmur (-)

Abdomen Inspeksi
ikut gerak nafas
Auskultasi
peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan region epigastrium (-), pembesaran hepar dan
lien (-)
Perkusi
Tympani (+)

Ekstremita Inspeksi
s - phalanges dextra: ullkus (+), eritema (+), pus (+)
Palpasi
-ekstremitas atas tidak terdapat nyeri tekan, tidak terdapat
krepitasi dan teraba hangat
-ekstremitas bawah nyeri tekan (-/+), tidak terdapat
krepitasi dan teraba dingin

Foto Klinis Pedis Dextra Pasien

D. PEMRIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (09-01-2023)

Kimia Darah (10.21)

Parameter Nilai Rujukan Satuan

GDS 242 <140 mg/dL


Kesan: Hiperglikemia
Darah Rutin (11.49)

Parameter Nilai Rujukan Satuan

WBC 13.20 4.000-10.00 103/uL


RBC 4,94 4.000-10.00 106/uL

HGB 14.00 12.0-16.0 g/dL

HCT 41.40 36.0-48.0 %

MCV 83.80 80,0-97,0 fL

MCHC 33.80 32.0-37.0 dL


PLT 373 140-450 103/uL
NEUT 74.10 37.0-72.0 %
LYMPH 17.40 20.0-50.0 %
MONO 2.40 2.0-8.0 %
EO 5.20 1.0-3.0 %
BASO 0.90 0.0-1.0 %
Kesan: Leukositosis

Imunologi Serologi (11.49)

Parameter Hasil Rujukan Satuan

Antigen SARS Cov-19 Negatif Negatif Pertindakan

2. Laboratorium (11/01/2023)

Kimia Darah

Parameter Nilai Rujukan Satuan

GDP 223 <140 mg/dL


Kesan: Hiperglikemia
E. RESUME

Pasien datang dengan keluhan luka pada ibu jari kaki kanan yang
dialami sejak 10 hari SMRS. Luka bernanah dan bengkak serta terasa nyeri.
Nyeri dirasakan terus menerus, terasa tajam seperti tertusuk dan terasa panas
sehingga pasien kesulian berjalan. Keluhan lain dirasakan yaitu lemas yang
sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan lain pusing (+), demam sejak
5 hari SMRS (+), mual (-), muntah (-). Pasien juga mengeluhkan sering BAK
dan haus yang berlebihan sejak 3 bulan SMRS. BAB dalam batas normal.
Riwayat penyakit terdahulu: hipertensi. Riwayat pengobatan pasien: Pasien
rutin mengonsumsi obat hipertensi (amlodipine) sejak 7 tahun terakhir.
Riwayat penyakit keluarga pasien: Hipertensi dan DM dari ibu pasien.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan IMT 23 kg/m2 : normal. Tekanan darah
165/95 mmHg, Nadi 120 x/menit , reguler, kuat angkat, Pernapasan 20
kali/menit, Suhu axilla 38oC, SpO2 99%. Pada pemeriksaan ekstremitas
didapatkan phalanges dextra: ullkus (+), eritema (+), pus (+) dengan nyeri
tekan (-/+).
Pada pemeriksaan penunjang (09/01/2023) pada darah rutin didapatkan
WBC 13.200 U/L, Neutrofil meningkat 74.10 %, lymphosit 17.40 %, monosit
2.40 %. Pada pemeriksaan GDS didapatkan 252 mg/dL, dan pada pemeriksaan
GDP 223 mg/dL. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang, pasien didiagnosis dengan Diabetes Melitus Tipe 2 + Ulkus
Diabetik Digiti I Regio Pedis Dextra Derajat II Berdasarkan Klasifikasi
Wagner + Hipertensi
F. DIAGNOSIS KERJA

Diabetes Melitus Tipe 2 + Ulkus Diabetik Digiti I Regio Pedis Dextra Derajat
II Berdasarkan Klasifikasi Wagner + Hipertensi
G. PENATALAKSANAAN

Rencana Terapi

a. Non Medikamentosa

Tirah Baring

Rawat luka (Non excisional debridement)

b. Medikamentosa

 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

 Inj. Ceftriaxone 2gr/24 jam/iv


 Inj. Paracetamol 1gr/8jam/iv

 Insulin glargine 0-0-8

 Insulin Aspart 6-6-6

 Amlodipine 10 mg/24jam/oral

H. FOLLOW UP

Hari/ Anamnesis dan Pemfis Pasien Terapi


Tanggal

Senin S: Lemas, demam, pusing dan luka - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
09/01/2023 pada ibu jari kaki kanan warna - Inj. Ceftriaxone 2gr/24j/iv
IGD (11.15) merah dan disekitar luka berwarna
- Inj. Paracetamol 1gr/8j/iv
putih serta terdapat pus
O: - Amlodipine 10 mg/24j/oral
TTV: Plan:
TD: 165/95 mmHg
- Konsul interna
N: 120 x/m
P: 20 x/m - Pemeriksaan Darah Rutin
S: 38oC - Pemeriksaan GDS
Kepala : konjungtiva anemis (-), - SWAB
sklera ikterik (-)

Leher : Tidak ada perbesaran tiroid

Thorax : Vesikuler (+/+), Ronki


(-/-), Wheezing (-/-)-

Cor: BJ SI/SII reguler, bising (-)

Abd : Datar, ikut gerak napas,


peristaltik (+) kesan normal,
hepar tidak teraba, lien tidak
teraba.
Ekstremitas bawah:

phalanges dextra: ullkus (+), eritema


(+), pus (+), nyeri tekan -/+

GDS: 242 mg/dL

A: DM tipe 2, Ulkus diabetik,


Hipertensi

Selasa S: Luka pada ibu jari kanan, sulit - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
10/01/2023 tidur - Inj. Ceftriaxone 2
(09.00) O:
gr/24j/iv
Perawatan TTV:
Interna TD: 149/90 mmHg - Inj. Paracetamol 1gr/8j/iv
N: 88 x/m - Insulin glargine 0-0-8
P: 20 x/m
- Insulin Aspart 6-6-6
S: 36,5oC
- Amlodipine 10 mg/24j/oral
Kepala : konjungtiva anemis (-),
- Alprazolam 0,5
sklera ikterik (-)
mg 0-0-1
Leher : Tidak ada perbesaran tiroid - Debridement
Plan:
Thorax : Vesikuler (+/+), Ronki
- Cek GDP
(-/-), Wheezing (-/-)-

Cor: BJ SI/SII reguler, bising (-)

Abd : Datar, ikut gerak napas,


peristaltik (+) kesan normal,
hepar tidak teraba, lien tidak
teraba.

Ekstremitas bawah:

Inspeksi: phalanges dextra: ullkus


(+), eritema (+), pus (+),
nyeri tekan -/+

A: DM tipe 2, Ulkus diabetik,


Hipertensi

Rabu S: nyeri post rawat luka - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


11/01/2023 O: - Inj. Ceftriaxone 2
(08.00) TTV:
gr/24j/iv
Perawatan TD: 144/92 mmHg
Interna N: 92x/m - Inj. Paracetamol 1gr/8j/iv
P: 20 x/m - Insulin glargine 0-0-8
S: 36,5oC
- Insulin Aspart 6-6-6
Kepala : konjungtiva anemis (-), - Amlodipine 10 mg/24j/oral
sklera ikterik (-) - Alprazolam 0,5
mg 0-0-1
Leher : Tidak ada perbesaran tiroid
- Debridement
Thorax : Vesikuler (+/+), Ronki
(-/-), Wheezing (-/-)-

Cor: BJ SI/SII reguler, bising (-)

Abd : Datar, ikut gerak napas,


peristaltik (+) kesan normal, hepar
tidak teraba, lien tidak teraba.

Ekstremitas bawah:

Inspeksi: phalanges dextra: ullkus


berkurang, eritema
berkurang, pus berkurang,
nyeri tekan -/+

GDP: 223 mg/dL

A: DM tipe 2, Ulkus diabetik,


Hipertensi

Kamis S: nyeri post rawat luka - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


O:
12/01/2023 TTV: - Inj. Ceftriaxone 2
(09.00) TD: 148/103 mmHg
gr/24j/iv
Perawatan N: 89x/m
Interna P: 20 x/m - Inj. Santagesic 1gr/8j/iv
S: 37oC - Insulin glargine 0-0-8
Kepala : konjungtiva anemis (-), - Insulin Aspart 6-6-6
sklera ikterik (-) - Amlodipine 10 mg/24j/oral
- Alprazolam 0,5
Leher : Tidak ada perbesaran tiroid
mg 0-0-1
Thorax : Vesikuler (+/+), Ronki - Debridement
(-/-), Wheezing (-/-)-

Cor: BJ SI/SII reguler, bising (-)

Abd : Datar, ikut gerak napas,


peristaltik (+) kesan normal, hepar
tidak teraba, lien tidak teraba.

Ekstremitas bawah:

Inspeksi: phalanges dextra: ullkus


berkurang, eritema
berkurang, pus berkurang,
nyeri tekan -/+

A: DM tipe 2, Ulkus diabetik,


Hipertensi

Kamis S: nyeri post rawat luka, sakit kepala - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
13/01/2023 O: - Inj. Ceftriaxone 2
(09.00) TTV:
gr/24j/iv
Perawatan TD: 168/105 mmHg
Interna N: 92x/m - Inj. Santagesic 1gr/8j/iv
P: 20 x/m - Insulin glargine 0-0-8
S: 36,2oC
- Insulin Aspart 6-6-6
Kepala : konjungtiva anemis (-), - Amlodipine 10 mg/24j/oral
sklera ikterik (-) - Alprazolam 0,5
mg 0-0-1
Leher : Tidak ada perbesaran tiroid
- Debridement
Thorax : Vesikuler (+/+), Ronki
(-/-), Wheezing (-/-)-

Cor: BJ SI/SII reguler, bising (-)

Abd : Datar, ikut gerak napas,


peristaltik (+) kesan normal, hepar
tidak teraba, lien tidak teraba.

Ekstremitas bawah:

Inspeksi: phalanges dextra: ullkus


berkurang, eritema
berkurang, pus berkurang,
nyeri tekan -/+

A: DM tipe 2, Ulkus diabetik,


Hipertensi

Jumat S: nyeri post rawat luka - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


13/01/2023 O: - Inj. Ceftriaxone 2
(09.00) TTV:
gr/24j/iv
Perawatan TD: 140/90 mmHg
Interna N: 84 x/m - Inj. Santagesic 1gr/8j/iv
P: 20 x/m - Insulin glargine 0-0-8
S: 36,2oC
- Insulin Aspart 6-6-6
Kepala : konjungtiva anemis (-), - Amlodipine 10 mg/24j/oral
sklera ikterik (-) - Alprazolam 0,5
mg 0-0-1
Leher : Tidak ada perbesaran tiroid
- Debridement
Thorax : Vesikuler (+/+), Ronki Plan:
(-/-), Wheezing (-/-)- - Cek GDP
- Cek GD2PP
Cor: BJ SI/SII reguler, bising (-)

Abd : Datar, ikut gerak napas,


peristaltik (+) kesan normal, hepar
tidak teraba, lien tidak teraba.

Ekstremitas bawah:

Inspeksi: phalanges dextra: ullkus


berkurang, eritema
berkurang, pus berkurang,
nyeri tekan -/+

A: DM tipe 2, Ulkus diabetik,


Hipertensi

Sabtu S: nyeri post rawat luka, sakit kepala - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
14/01/2023 O: - Inj. Ceftriaxone 2
(09.00) TTV:
gr/24j/iv
Perawatan TD: 168/105 mmHg
Interna N: 98x/m - Inj. Santagesic 1gr/8j/iv
P: 20 x/m - Insulin glargine 0-0-8
S: 36,7oC
- Insulin Aspart 6-6-6
Kepala : konjungtiva anemis (-), - Amlodipine 10 mg/24j/oral
sklera ikterik (-) - Alprazolam 0,5
mg 0-0-1
Leher : Tidak ada perbesaran tiroid
- Debridement
Thorax : Vesikuler (+/+), Ronki
(-/-), Wheezing (-/-)-

Cor: BJ SI/SII reguler, bising (-)

Abd : Datar, ikut gerak napas,


peristaltik (+) kesan normal, hepar
tidak teraba, lien tidak teraba.

Ekstremitas bawah:

Inspeksi: phalanges dextra: ullkus


berkurang, eritema
berkurang, pus berkurang,
nyeri tekan -/+

GDP: 113 mg/dL

GD2PP: 136 mg/dL

A: DM tipe 2, Ulkus diabetik,


Hipertensi

Minggu S: nyeri post rawat luka - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


15/01/2023 O: - Inj. Ceftriaxone 2
(09.00) TTV:
gr/24j/iv
Perawatan TD: 140/90 mmHg
Interna N: 84x/m - Inj. Santagesic 1gr/8j/iv
P: 20 x/m - Insulin glargine 0-0-8
S: 36,2oC
- Insulin Aspart 6-6-6
Kepala : konjungtiva anemis (-), - Amlodipine 10 mg/24j/oral
sklera ikterik (-) Plan:
Boleh pulang
Leher : Tidak ada perbesaran tiroid
Edukasi
Thorax : Vesikuler (+/+), Ronki Up infus
(-/-), Wheezing (-/-)-

Cor: BJ SI/SII reguler, bising (-)

Abd : Datar, ikut gerak napas,


peristaltik (+) kesan normal, hepar
tidak teraba, lien tidak teraba.

Ekstremitas bawah:

Inspeksi: phalanges dextra: ullkus


berkurang, eritema
berkurang, pus berkurang,
nyeri tekan berkurang
A: DM tipe 2, Ulkus diabetik,
Hipertensi

BAB II

KAJIAN TEORI

A. DIABETES MELITUS
1. Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah.1
2. Epidemiologi
Estimasi International Diabetes federation (IDF), terdapat 382 juta
orang yang hidup dengan diabetes didunia pada tahun 2013. Pada tahun
2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta
orang. Diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta di antaranya
belum terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi
komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan.2,3
Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM
adalah masalah kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya
peningkatan jumlah penderita diabetes dari tahun ke tahun. Pada tahun
2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa memiliki diabetes,
kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Apabila tidak ada
tindakan pencegahan maka jumlah ini akan terus meningkat tanpa ada
penurunan. Diperkirakan pada tahun 2040 meningkat menjadi 642 juta
penderita.2,3
Menurut Riskesdas 2013 bahwa jumlah absolut penderita diabetes
melitus di Indonesia adalah sekitar 12 juta, TGT sekitar 15 juta dan GDP
terganggu sekitar 64 juta. Pada tahun 2013 jumlah DM di Indonesia
dengan usia diatas 15 tahun sebesar 6,9%. Proporsi penderita diabetes
melitus dan TGT lebih tinggi pada wanita, sedangkan GDP terganggu
lebih tinggi pada laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikan proporsi
penderita diabetes melitus, TGT dan GDP terganggu cenderung lebih
tinggi pada kelompok dengan pendidikan lebih rendah.2,3
3. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus
bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda
akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan
genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita
diabetes melitus.4
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2
pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Jika
orang tua menderita diabetes melitus tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes
pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti pembawa (carrier) diabetes
tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran
terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan
meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-
pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah
tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin
atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi
penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem
transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat menggangu kerja
insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya
jumlah insulin yang beredar. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2
mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan resistensi insulin, maka
kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan
diabetes melitus tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan
dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi
glukosa.4
4. Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel.

American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of


Medical Care in Diabetes (2018) memberikan klasifikasi diabetes
melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam:4
a. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh
adanya destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan
defisiensi insulin.
b. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya
kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.
c. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh
beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β
pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin
pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan
kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah
transplantasi organ).
d. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa
atau dialami selama masa kehamilan.

5. Gejala Klinis
Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifalgia,
penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan
gejala tidak khas DM di antaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, penglihatan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus
vulva pada wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan
glukosa darah abnormal hanya satu kali sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.4
6. Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pancreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe-2. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa),
dan otak (resistensiinsulin), kesemuanya ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.4
a. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetic yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1agonisdan DPP-4 inhibitor.
b. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam
keadaan basal oleh liver (HGP = hepatic glucoseproduction)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses gluconeogenesis.
c. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple diintramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA = Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
disbanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-likepolypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja
dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja
untuk menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi
dalam sintesis glucagon yang dalam keadaan puasa kadarnya
didalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan
HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan disbanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glucagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4
inhibitor dan amylin.
g. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan
diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucoseco-
Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresigen SGLT-2.
Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa ditubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja dijalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
h. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi diotak.
Obat yang bekerja dijalur Ini adalah GLP-1agonis, amylin dan
bromokriptin.
7. Faktor Risiko
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,
berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat
diubah, faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American
Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko
yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first degree
relative), umur ≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat
badan lahir bayi >4000gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional
dan riwayat lahir dengan beratbadan rendah (<2,5 kg). Faktor risiko yang
dapatdiubah meliputi obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau lingkar
perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas
fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita
polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolic memiliki
riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial Diseases (PAD), konsumsi
alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan
kafein.4
a. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat
dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya
tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
c. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya
orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang
menderita Diabetes Mellitus.
d. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien
Diabetes.
e. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes
Mellitus adalah > 45 tahun,
f. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan
bayi > 4000 gram.
g. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi
familial. Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan
meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara
kandung mengalami penyakit ini.
h. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan
ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak
aktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan
dari lingkungan tradisional kelingkungan kebarat-baratan yang meliputi
perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan
dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu metabolisme
gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit
regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan
meningkat tekanan darah apabila mengkonsumsi etil alkohol lebih dari
60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720
ml.
Faktor resiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2
dibedakan menjadi dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat
berubah misalnya umur, faktor genetik, pola makan yang tidak seimbang
jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas
fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh.

8. Diagnosis4
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun kapiler
tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti di bawah ini: Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1
mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
b. Gejala klasik DM+Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0
mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam
c. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air.
Cara pelaksanaan TTGO:4
a. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu
5 menit
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
g. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.
9. Penatalaksanaan4
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan
profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
a. Penatalaksanaan Non Farmakologi
1) Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.
a. Materi edukasi tingkat awal dilaksanakan dipelayanan kesehatan
primer yang meliputi
a) Materi tentang perjalanan penyakit DM
b) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
secara berkelanjutan
c) Penyulit DM dan risikonya
d) Intervensi non farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan
e) Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
hiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain
f) Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil
glukosa darah
g) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemi
h) Pentingnya latihan jasmani yang teratur
i) Pentingnya perawatan kaki
j) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan dipelayanan
kesehatan sekunder dan atau tersier yang meliputi
a) Mengenal dan mecegah penyulit akut DM
b) Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
c) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
d) Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga)
e) Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-
hari sakit)
f) Pemeliharaan/perawatan kaki
Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus
adalah memenuhi anjuran:
a. Mengikuti pola makan sehat
b. Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
c. Menggunakan obat DM dan obat lainnya pada keadaan khusus
secara aman dan teratur
d. Melakukan pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan
pengobatan
e. Melakukan perawatan kaki secara berkala
f. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan
sakit akut dengan tepat
g. Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana,
dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta
mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM
h. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
2) Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Komposisi makanan yang dianjurkan bagi penyandang DM


terdiri dari
a. Karbohidrat
a) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi
b) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c) Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama denagan makanan keluarga yang
lain
d) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energy
e) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula,
asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
f) Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau maknan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari
b. Lemak
a) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energy
b) Komposisi yang dianjurkan: lemak jenuh < 7% kebutuhan
kalori, lemak tidak jenuh ganda <10%, dan selebihnya dari
lemak tidak jenuh tunggal
c) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream
d) Konsumsi kolesterol dianjurkan <200 mg/hari
c. Protein
a) Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan energy
b) Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe
c) Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhai atau 10% dari
kebutuhan energi
d. Natrium
a) Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu <2300 mg perhari
b) Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual
c) Sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin, soda dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit
e. Serat
a) Penyandang DM dianjurkan mengkonsumsi serta dari
kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat
b) Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 g/hari yang berasal dari
berbagai sumber bahan makanan
f. Pemanis Alternatif
a) Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman
b) Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM
karena dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada
alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami.
g. Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama
sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda
natar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan jasmani.
b. Terapi Farmakologis
1) Obat anti hiperglikemi Oral
Berdasarkan cara kerjanya obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan:
a. Pemacu sekresi insulin (Insulin Secretagogue)
a) Sulfonilurea
Mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea
pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua,
gangguan faal hati, dan ginjal).
b) Glinid
Obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
a) Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa dijaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasur DMT2. Dosis metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
seperti: adanya gangguan hati berat serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
cerebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung
(NHYA FC III-IV). Efek samping berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dyspepsia.
b) Tiazolidindion (TZD)
Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa dijaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
(NHYA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi
cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan
perlu pemantauan faal hati secara berkala.
c. Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan
a) Penghambat Glukosidase Alfa
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbs glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan
kadar glukosa darah sesudah makan. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam
usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi
efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
b) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat ini menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glukose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung
kadar glukosa darah. Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.
c) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Merupakan obat anti diabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini yaitu
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
2) Obat Anti Hiperglikemi Suntik
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a) HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
b) Penurunan berat badan yang cepat
c) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d) Krisis hiperglikemia
e) Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
f) Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
g) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
h) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
i) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
j) Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Efek samping terapi insulin:
a) Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
b) Reaksi alergi terhadap insulin
b. Agonis GLP-1/Increatin Mimetik
Obat ini dapat bekerja pada sel beta sehingga terjadi peningkatan
pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghabat pelepasan glucagon, dan menghambat nafsu makan.
Dapat digunakan pada pasien DM dengan obesitas. Efek samping
yang timbul pada obat ini adalah rasa sebah dan muntah. Obat
yang termasuk golongan ini adalah Liraglutide, Exenatide,
Albiglutide dan Lixisenatide.Liraglutide telah beredar di
Indonesia sejak April 2015, tiapberisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis
awal 0,6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1,2 mg setelah satu
minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan.
Dosis bias dinaikkan sampai dengan 1,8 mg. dosis harian lebih
dari 1,8 mg tidak direkomendasikan.
10. Komplikasi
DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
berbagai komplikasi yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik.
Komplikasi kronis DM tipe 2 dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Penyebab
utama kematian penyandang DM tipe 2 adalah komplikasi makrovaskular.
Komplikasi makrovaskular melibatkan pembuluh darah besar yaitu
pembuluh darah koroner, pembuluh darah otak dan pembuluh darah perifer.
Mikrovaskular merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler
dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati
diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik).
Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu
komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang.
a. Komplikasi metabolik akut
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah
komplikasi metabolik akut dari penderita diabetes melitus tipe 2 yang
lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif,
hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemi berat dengan kadar
glukosa serum lebih besar dari 600mg/dl. Hiperglikemia meyebabkan
hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidras berat. Pasien dapat
menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera
ditangani. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit,
dan insulin regular.
Komplikasi metabolik lain adalah hipoglikemia. Pasien diabetes
dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya
lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan
kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemi. Gejala-
gejala hipoglikemi disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat,
gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa
dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan
koma).
b. Komplikasi kronik jangka panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh
sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi
spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina
(retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-
saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit.
1. Mikroangiopati diabetic
Ada kaitan yang kuat anatar hiperglikemia dengan insiden
dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa
mikroaneurisma dari arteriola retina. Akibatnya terjadi perdarahan,
neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan
kebutaan. Manifestasi dini nefropati diabetik berupa protenuria dan
hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan
menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Nefropati dan katarak
disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa-sorbitol-fruktosa)
akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam
lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan.
Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan
fruktosan serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan
neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan
mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan meyebabkan
hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada
tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesi,
berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan
motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam,
kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf
perifer, saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom. Pasien dengan
neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut
tanpa nyeri. Pasien ini dapat kehilangan respons katekolamin
terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi
hipoglikemia.
Untuk diagnosis diabetik neuropatik, pemeriksaan bedsite
harus mencakup penilaian kekuatan otot, sensasi tusuk jarum,
posisi sendi, sentuhan, dan suhu. Tes getaran sebaiknya dilakukan
dengan garpu tala berukuran 128 Hz. Untuksensasi sentuhan,
direkomendasikan dengan filamen mono 1 g. Pemeriksaan sensorik
harus dilakukan pada tangan dan kaki secara bilateral. Pada usia tua
(> 70 tahun) getaran dan refleks pergelangan kaki dapat berkurang
secara normal dan dianggap abnormal jika tidak ada atau berkurang
pada pasien dengan diabetik neuropatik. Tes sensorik kuantitatif
dapat digunakan sebagai tes tambahan tetapi tidak
direkomendasikan untuk praktik klinis rutin. Tes fungsi otonom
yang biasa digunakan untuk diabetes mellitus didasarkan pada
tekanan darah dan respons detak jantung terhadap serangkaian
manuver.
2. Makroangiopati diabetik
Mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.
Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh
insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenin penyakit vaskular
ini. Gangguan-gangguan ini berupa: (1) penimbunan sorbitol dalam
intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan
pembekuan darah. Pada akhirnya kelainan makroangiopati diabetik
ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai
arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi
vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren
pada ekstremitas serta insufisiensi sebral dan stroke. Jika yang
terkena adalah arteri koronaria dan aorta maka dapat
mengakibatkan angina dan infark miokardium.
Gangguan aliran darah pada kaki dapat dideteksi dengan
mengukur ankle brachial index (ABI) yaitu mengukur rasio dari
tekanan sistolik di lengan dengan tekanan sistolik kaki bagian
bawah. ABI dihitung dengan membagi tekanan sistolik di
pergelangan kaki dengan tekanan darah sistolik di lengan.
Pemeriksaan ABI sangat berguna untuk mengetahui adanya
penyakit arteri perifer (PAP). Penyakit arteri perifer merupakan
manifestasi paling sering adanya aterosklerosis perifer yang
menyebabkan menurunnya sirkulasi darah pada kaki. Pada pasien
yang mengalami gangguan peredaran darah kaki maka akan
ditemukan tekanan darah tungkai lebih rendah dibandingkan
dengan tekanan darah lengan yang dapat dilihat dari skor ABI.
B. ULKUS DIABETIKUM
1. Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik
kronik yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dengan karakteristik
hiperglikemia.Diabetes melitus terjadi karena kelainan sekresi insulin
(defisiensi insulin absolut atau relatif), kerja insulin (resistensi insulin),
atau keduaduanya.Sebagai penyakit kronik, diabetes melitus berhubungan
erat dengan komplikasi yang ditimbulkannya.Salah satu komplikasi yang
sangat dikhawatirkan penderita DM adalah ulkus kaki diabetikum.6
Ulkus kaki diabetikum (Diabetic foot ulcer / DFU) adalah suatu
infeksi, ulserasi dan/atau kerusakan jaringan yang lebih dalam yang terkait
gangguan neurologis dan vaskuler pada tungkai yang terjadi pada
penderita diabetes. Menurut Singh, ulkus kaki diabetikum terjadi pada
sekitar 25% penderita DM. Sedangkan menurut Levigne, prevalensi ulkus
kaki diabetikum adalah sekitar 40% dari penderita DM.
2. Etiologi4
Menurut Rebolledo, beberapa etiologi yang dapat menimbulkan ulkus
diabetikum diantaranya adalah neuropati, penyakit arteri perifer, trauma,
dan infeksi.
a. Neuropati
Neuropati merupakan komplikasi yang paling sering dialami
penderita DM (30-50%). Serabut saraf tidak memiliki suplai darah
sendiri, karena itu sarafbergantung pada difusi nutrisi dan oksigen
lintas membran. Pada penderita DM yang mengalami kondisi
hiperglikemia, glukosa diubah oleh aldose reduktase menjadi sorbitol,
dan terakumulasi di endotel pembuluh darah sehingga mengganggu
suplai nutrisi ke akson dan dendrit, serabut saraf menjadi atropi dan
transmisi impuls menjadi lambat. Neuropati yang paling banyak
dialami penderita DM adalah neuropati perifer.
Polineuropati sensori perifer simetris merupakan salah satu bentuk
neuropati perifer, yang menyerang saraf sensorik terutama di bagian
distal. Gangguan ini menyebabkan hilangnya ransang sensori secara
simetris, kebanyakan terjadi pertama kali pada ekstermitas bawah.
Hilangnya sensori pada ekstermitas bawah dapat meningkatkan potensi
trauma dan menimbulkan ulkus kaki diabetikum (diabetic foot ulcer).
Hal ini disebabkan karena pada neuropati terjadi penurunan sensasi
nyeri di kaki atau hingga mati rasa, sehingga tidak terasa saat terkena
benda tajam, tumpul, alas kaki yang tidak tepat dan penekanan
berulang pada salah satu bagian kaki, kemudian menimbulkan ulserasi.
Dalam perkembangan neuropati, terjadi peningkatan kerja enzim
aldose reduktase dan sorbitol dehidrogenase yang dapat mengkonversi
glukosa intraselular menjadi sorbitol dan fruktosa akibat keadaan
hiperglikemia. Produksi gula yang terakumulasi menyebabkan
penurunan sintesis sel saraf myoinositol, yang dibutuhkan untuk
konduksi neuron normal. Peningkatan stres oksidatif pada sel saraf dan
vasokonstriksi akan berkembang menjadi iskemik akibat penipisan
nikotinamida adenin dinukleotida fosfat yang disebabkan oleh
konversi kimia dari glukosa. Hiperglikemia dan stres oksidatif ikut
berkontribusi dalam mengakibatkan disfungsi saraf dan iskemik.
Terdapat gejala neuropati motoris, autonom, dan sensoris pada
penderita dengan diabetes.
1) Neuropati sensorik Hilangnya sensasi suhu, propriosepsi, dan
trauma yang dapat meningkatkan risiko terjadinya ulkus kaki.
2) Neuropati motorik Terbentuk deformitas pada tulang sehingga
terganggunya mobilitas dan dapat meningkatkan risiko terjadinya
ulkus akibat tekanan pada plantar kaki.
3) Neuropati autonom Kulit kering dan meningkatnya pengisian
kapiler sekunder merupakan tanda dari neuropati autonom
sehingga terbentuknya fisura dan kerak kulit mengakibatkan kaki
rentan terhadap trauma. Hilangnya akson, penurunan kecepatan
induksi, parestesia, penurunan refleks otot, dan atrofi otot yang
disebabkan penimbunan sorbitol dan fruktosa juga dapat menjadi
pencetus.
b. Penyakit Arteri Perifer
Penyakit arteri perifer disebabkan oleh adanya arteriosklerosis dan
aterosklerosis.Penyakit ini terjadipada sekitar 45-65% pasien yang
memiliki masalah kaki diabetes.Arteriosklerosis adalah penurunan
elastisitas pada arteri.Sedangkan arterosklerosis adalah adanya
akumulasi “plaques” yang dapat berupa lemak, kalsium, sel darah
putih, sel otot halus di dalam dinding arteri.Salah satu penyebab dari
kedua penyakit tersebut adalah hiperglikemia.Hiperglikemia
menimbulkan peningkatan viskositas darah, dan juga menyebabkan
disfungsi sel endotelium arteri perifer.
Pada kondisi normal, sel endotel mensintesis nitrit oksida yang
menyebabkan vasodilatasi dan melindungi pembuluh darah dari cedera
endogen. Namun pada hiperglikemia, terjadi gangguan sintesa nitrit
oksida yang berfungsi mengatur homeostasis endothel, antikoagulasi,
proliferasi sel otot polos. Sel endothel yang kekurangan vasodilator
dan nitrit oksida akan mengalami vasokonstriksi, yang akhirnya
menyebabkan iskemia. Saat kaki mengalami cedera kecil atau lecet,
bagian tersebut membutuhkan suplai darah yang adekuat untuk
regenerasi, jika terdapat iskemia maka pemulihan cedera kecil akan
terhambat dan berkembang menjadi ulkus kaki diabetikum yang jika
tidak ditangani dapat membentuk gangrene.
Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di
ektremitas bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis
yang sering ditemui pada pasien PAD adalah klaudikasio intermitten
yang disebabkan oleh iskemia otot dan iskemia yang menimbulkan
nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan mencapai klimaks sebagai
ulserasi dan gangren. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan
untuk deteksi PAD adalah dengan menilai Ankle Brachial Indeks
(ABI) yaitu pemeriksaan sistolik brachial tangan kiri dan kanan
kemudian nilai sistolik yang paling tinggi dibandingkan dengan nilai
sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai normalnya dalah O,9 - 1,3.
Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien penderita DM
memiliki penyakit arteri perifer.
c. Trauma
Penurunan sensasi nyeri di kaki atau hingga mati rasa, akibat
neuropati, dapat menyebabkan terjadinya trauma. Penurunan sensasi
pada kaki dapat menimbulkan tekanan berulang, cedera, kelainan
struktur kaki, misalnya terbentuk kalus, kaki charcot, claw toes,
hammer toes. Tidak terasanya sensasi panas maupun dingin,
penggunaan alas kaki yang tidak tepat, cedera akibat benda tajam
maupun tumpul dapat menimbulkan ulserasi.
d. Infeksi
Neuropati menyebabkan hilangnya sensasi dan kelemahan otot
kaki sehingga terjadi penekanan berlebih pada salah satu area kaki,
lama kelamaan membentuk kalus.Kalus adalah kulit yang menebal,
keras, dan pecah-pecah. Kalus merupakan tempat berkembang biaknya
bakteri, yang dapat menjadi ulkus yang terinfeksi.Selain itu suplai
darah dan oksigenasi jaringan yang buruk akibat iskemia mengurangi
kemampuan respon imun jaringan sehingga bakteri mudah
berkembang.Infeksi banyak disebabkan karena bakteri golongan
Mcycobacterial dan Clostridium, serta infeksi karena fungi.
3. Klasifikasi4
Sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan pada ulkus
diabetikum adalah Sistem Klasifikasi Ulkus Wagner-Meggit, sistem ini
menilai luka berdasarkan pada kedalaman luka.
Sistem Klasifikasi Ulkus Wagner-Meggit

Gambar Klasifikasi ulkus diabetic menurut Wagner


4. Penatalaksanaan9
Penanganan Dasar dari perawatan ulkus kaki diabetikum meliputi
tiga hal, yaitu debridement, offloading, dan infection control. Ulkus kaki
diabetikum harus dirawat dengan baik untuk mengurangi resiko infeksi
dan amputasi, memperbaiki fungsi fisik, meningkatkan kualitas hidup
penderita, dan mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan.

1) Debridemen
Debridemen adalah suatu tindakan membuang jaringan nekrosis,
kalus, dan jaringan fibrotik. Debridemen merupakan teknik untuk
mempersiapkan dasar luka yang paling penting, yaitu agar luka
memiliki warna dasar merah dan granular. Debridemen bertujuan
untuk meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan jaringan sehat
dan membantu proses penyembuhan luka. Prosedur dilakukan dengan
menghilangkan jaringan mati yang sekitar 2-3mm dari tepi luka ke
jaringan sehat.
Metode debridemen yang sering dipakai adalah surgical
debridemen, autolitik, enzimatik, kimia, mekanis, dan biologis
debridemen. Metode surgical, autolitik, dan kimia hanya membuang
jaringan nekrosis (selective debridemen), sedangkan metode mekanis
debridemen membuang jaringan nekrosis maupun jaringan hidup
(nonselective debridemen).
2) Pressure Offloading
Offloading adalah suatu metode untuk mengurangi tekanan pada
ulkus. Ulkus kaki diabetikum kebanyakan terjadi pada area telapak
kaki yang mendapat tekanan tinggi dari beban tubuh. Total Contact
Casting (TCC) merupakan metode offloading yang paling efektif, yaitu
dengan memakai gips khusus yang dibentuk untuk menyebarkan beban
pasien keluar dari area ulkus. Kerugian dari metode ini adalah
membutuhkan keterampilan, waktu, dan dapat menimbulkan iritasi
dari gips yang dapat mengakibatkan ulkus baru, dan menyulitkan
dalam pengecekan kondisi ulkus tiap harinya.
3) Infection Control
Ulkus kaki diabetikum dapat menjadi jalan masuknya bakteri ke
dalam tubuh, serta menimbulkan infeksi. Diagnosis infeksi ditegakkan
berdasarkan keadaan klinis seperti eritema, nyeri, lunak, hangat, dan
keluar pus dari ulkus. Terapi antibiotik harus didasarkan pada hasil
kultur bakteri dan kemampuan toksistas antibiotik tersebut. Pada
infeksi non-limb threatening kebanyakan ditimbulkan oleh bakteri
staphylococcus dan streptococcus Pengobatan infeksi ini menggunakan
antibiotik oral, seperti cephalexin, amoxilin-clavulanic, mixifloxin,
atau clindamycin, infeksi ini dapat dirawat di poliklinik. Sedangkan
pada infeksi berat kebanyakan disebabkan oleh infeksi polimikroba,
seperti staphylococcus, streptococcus, enterobacteriaceae,
pseudomonas, enterococcus, bacteriodes, peptococcus, dan
peptostreptococcus, infeksi ini harus dirawat di rumah sakit, penderita
akan diberikan terapi antibiotik yang mencakup gram positif dan gram
negatif, maupun aerob dan anaerob.
Antibiotika diberikan melalui intravena, berupa
imipenemcilastatin, B-lactam, B-lactamase (ampisilin-sulbactam dan
piperacilin-tazobactam), dan cephalosporin spektrum luas. Selain itu
menurut Collins dan Sloan penanganan ulkus kaki diabetikum juga
dapat melalui kontrol nutrisi dan kontrol glikemik. Kenaikan
kadarglukosa darah lebih dari normal atau hiperglikemi dapat
menyebabkan penyembuhan ulkus menjadi lebih lambat. Sehingga
kontrol glikemik yang optimal sangat penting untuk penyembuhan
luka.
Hiperglikemia menyebabkan penurunan proliferasi dan disfungsi
sel endothel, penebalan membran basal, viskositas darah meningkat,
defek insulin, penyempitan lumen vaskuler, dan penurunan elastisitas
vaskuler. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan
mikrovaskuler, aliran darah menjadi terhambat, sehingga ulkus
menjadi kekurangan nutrisi dan oksigen.Tanpa adanya oksigen,
mobilitas makrofag menjadi berkurang dan granulasi jaringan baru
menjadi terbatas, yang menyebabkan fase inflamasi ulkus menjadi
lebih lama. Penurunan fungsi leukosit dan tidak adekuatnya sintesis
kolagen menyebabkan penyembuhan luka terhambat.
Hiperglikemia yang persisten menurunkan efisiensi sistem imun,
fungsi saraf sensori, dan kenaikan pertumbuhan bakteri penyebab
infeksi. Saat kadar glukosa darah tinggi secara terus menerus, proses
kemotaksis (sel darah putih mengumpul di area infeksi) dan fagitosis
(sel darah putih memakan bakteri) menjadi terganggu.
5. Komplikasi6
Komplikasi Ulkus kaki diabetikum dapat menimbulkan komplikasi
jika tidak ditangani dengan baik, komplikasi yang dapat ditimbulkan
diantaranya:
a. Infeksi
Infeksi kaki diabetes (Diabetic Foot Infections / DFIs) merupakan
masalah yang serius namun sering terjadi pada penderita diabetes
melitus. Infeksi kaki diabetes awalnya disebabkan dari ulkus kaki
diabetikum yang kurang terawat, sehingga mikroorganisme
berkembang biak dengan cepat, menyebabkan inflamasi, timbul nanah,
dan bau tidak sedap. Tanda-tanda infeksi yang akan muncul adalah
adanya kemerahan di area luka (erythema), hangat (calor),
pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan mengeluarkan sekret yang
purulen. Menurut Doupis dan Veves, infeksi ulkus kaki diabetes dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu:
1) Non-limb threatening: ulkus < 2cm dan tidak mencapai tulang dan
sendi
2) Limb threatening: ulkus >2cm dan mencapai tulang dan sendi, dan
terdapat infeksi sistemik.
b. Osteomyelitis
Osteomyelitis adalah inflamasi atau infeksi pada tulang dan
sumsum tulang. Osteomyelitis terjadi pada sekitar 15% penderita ulkus
kaki diabetikum, dan 20% pada pasien dengan infeksi kaki diabetes.
Osteomyelitis disebabkan karena adanya patthogen dari infeksi pada
ulkus yang menyebar ke tulang yang ada di dekat ulkus. Infeksi
tersebut dapat mengakibatkan jaringan tulang menjadi nekrosis,
sehingga diperlukan tindakan eksisi jaringan atau amputasi untuk
menghilangkan jaringan nekrosis tersebut.
c. Gangrene
Gangren adalah salah satu jenis kematian jaringan yang disebabkan
karena kehilangan suplai darah ke jaringan tersebut. Darah membawa
nutrisi seperti glukosam asam amino, asam lemak, dan oksigen yang
diperlukan jaringan untuk befungsi secara normal. Selain itu sel darah
putih diperlukan jaringan untuk melawan infeksi. Adanya hambatan
dalam aliran darah akan menyebabkan fungsi jaringan menurun, dan
berhentinya aluran darah akan membuat jaringan kehilangan
kemampuan untuk berfungsi dan mati. Hambatan suplai darah dapat
disebabkan karena adanya penyakit arteri perifer, infeksi, dan cedera
pada pembuluh darah.

BAB III

PEMBAHASAN

KASUS TEORI
Pasien perempuan usia 53 tahun Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. (1)
Prevalensi diabetes melitus di
indonesia berada di angka 1,5%
dengan perbandingan jenis kelamin
yang sama. Menurut data yang
dihimpun dari RISKESDAS (2018),
prevalensi diabetes melitus di
Sulawesi Tenggara berada di angka
1,3% dengan kelompok usia
terdiagnosis diabetes melitus
terbanyak adalah kelompok usia 55-64
tahun yaitu di angka 4,30% dengan
perbandingan prevalensi antara laki-
laki dan perempuan yang sama. (2) (3)
Faktor risiko diabetes terdiri dari
faktor yang dapat dimodifikasi dan
faktor yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi adalah ras, etnik, umur,
jenis kelamin, riwayat keluarga
dengan diabetes melitus, riwayat
melahirkan bayi >4000 gram, riwayat
lahir dengan berat badan lahir rendah
(BBLR atau < 2.500 gram). Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi yaitu
berat badan lebih, obesitas
abdomnal/sentral, kurangnya aktifitas
fisik, hipertensi, dislipidemia, diet
tidak sehat dan tidak seimbang
(tinggi kalori), kondisi prediabetes
yang ditandai dengan toleransi glukosa
terganggu (TGT 140-199 mg/dL) atau
gula darah puasa terganggu (GDPT
<140 mg/dL), dan merokok. (3)
 keluhan luka pada ibu jari kaki Berbagai keluhan dapat ditemukan
kanan sejak 10 hari SMRS pada pasien diabetes melitus,
 Luka bernanah dan bengkak serta kecurigaan adanya DM perlu
terasa nyeri. Nyeri dirasakan dipikirkan apabila terdapat keluhan
terus menerus, terasa tajam seperti berikut: (4)
seperti tertusuk dan terasa panas  Keluhan klasik DM: poliuria,
sehingga pasien kesulian polidipsia, polifagia dan penurunan
berjalan. berat badan yang tidak dapat
 Keluhan lain dirasakan yaitu dijelaskan sebabnya. (4)
lemas yang sudah dirasakan sejak  Keluhan lain: lemah badan,
2 bulan yang lalu. Keluhan lain kesemutan, gatal, mata kabur, dan

pusing (+), demam sejak 5 hari disfungsi ereksi pada pria, serta

SMRS (+). Pasien juga pruritus vulva pada wanita. (4)

mengeluhkan sering BAK dan Dekubitus adalah kerusakan

haus yang berlebihan sejak 3 jaringan yang terlokalisir karena

bulan SMRS. BAB dalam batas adanya kompresi jaringan yang lunak

normal. diatas tulang yang menonjol dan


adanya tekanan dari luar dalam jangka
waltu yang lama. Kompresi jaringan
akan menyebabkan gangguan suplai
darah pada daerah yang tertekan.
Apabila berlangsung lama, hal ini
akan menyebabkan insufisiensi aliran
darah, anoksia atau iskemia jaringan
dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel. (5)
Kejadian infeksi pada pasien DM
diakibatkan oleh lingkungan
hiperglikemik yang meningkatkan
virulensi patogen, menurunkan
produksi interleukin, menyebabkan
terjadinya disfungsi kemotaksis dan
aktifitas fagositik, serta kerusakan
fungsi neutrofil, glukosuria dan
dismotilitas gastrointestinal dan
saluran kemih. (4)
Faktor utama yang mempengaruhi
terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan
neuropati somatik, insufisiensi
vaskuler, serta infeksi. Penderita kaki
diabetik yang masuk rumah sakit
umumnya disebabkan oleh trauma
kecil yang tidak dirasakan oleh
penderita. (6)
Ulkus kaki pada neuropati sering
kali terjadi pada permukaan plantar
kaki yaitu di area yang mendapat
tekanan tinggi, seperti area yang
melapisi kaput metatarsal maupun area
lain yang melapisi deformitas tulang.
(7)

Ulkus kaki diabetik adalah luka


kronik pada daerah dibawah
pergelangan kaki yang disebabkan
oleh proses neuropati periger, penyakit
arteri perifer ataupun kombinasi
keduanya. (4)
Klasifikasi kaki diabetes dengan
ulkus dapat dilakukan dengan
menggunakan kriteria wagner sebagai
berikut: (4)
 0: Kulit kaki intak, dapat disertai
deformitas atau selulitis
 1: Ulkus superficial pada kulit
dan jaringan subkutan
 2: Ulkus meluas ke ligamen,
tendon, kapsul sendi atau fascia
dalam tanpa adanya abses atau
osteomyelitis
 3: Ulkus dalam dengan
osteomielitis atau abses
 4: Gangren pada sebagian kaki
bagian depan atau tumit
 5: Gangren ekstensif yang
melingkup seluruh kaki
Riwayat penyakit terdahulu: Pada pasien-pasien dengan diabetes
hipertensi. Riwayat pengobatan melitus tipe 2, penyakitnya
pasien: Pasien rutin mengonsumsi mempunyai pola familial yang kuat.
obat hipertensi (amlodipine) sejak 5 Risiko berkembangnya diabetes tipe 2
tahun terakhir. Riwayat penyakit pada saudara kandung mendekati 40%
keluarga pasien: Hipertensi dan DM dan 33% untuk anak cucunya. Jika
dari ibu pasien. orang tua menderita diabetes melitus
tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes
pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90%
pasti pembawa (carrier) diabetes tipe
2.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan Hasil pemeriksaan disamping
IMT 23 kg/m2 : normal. Tekanan menandakan adanya proses inflamasi
darah 165/95 mmHg, Nadi 120 pada pasien. Infeksi yang terjadi pada
x/menit , reguler, kuat angkat, ulkus diabetik harus segera dievaluasi
Pernapasan 20 kali/menit, Suhu dan didiagnosis secara klinis
axilla 38oC, SpO2 99%. Pada berdasarkan tanda dan gejala inflamasi
pemeriksaan ekstremitas didapatkan lokal. (6)
phalanges dextra: ullkus (+),
eritema (+), pus (+) dengan nyeri Setiap pasien dengan diabetes
tekan (-/+). perlu dilakukan pemeriksaan
komprehensif kaki minimal setiap satu
tahun meliputi inspeksi, perabaan
pulsasi arteri dorsalis pedis dan
tibialis posterior, dan pemeriksaan
neuropati sensorik. (4)
Pada pemeriksaan penunjang Diagnosis ditegakkan dengan
(09/01/2023) pada darah rutin pemeriksaan kadar gula darah sebagai
didapatkan WBC 13.200 U/L, berikut: (4)
Neutrofil meningkat 74.10 %,  Gula darah puasa >126 mg/dl; atau
lymphosit 17.40 %, monosit 2.40  Gula darah 2 jam setelah TTGO
%. Pada pemeriksaan GDS ≥200 mg/dL; atau
didapatkan 252 mg/dL, dan pada
 Gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL
pemeriksaan GDP 223 mg/dL.
dengan keluhan klasik atau krisis
hiperglikemia
Pada pemeriksaan darah rutin
terlihat adanya peningkatan kadar
leukosit yang merupakan penanda
adanya infeksi sehingga pada pasien
ini diberikan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yaitu
ceftriaxone.
Terapi: Langkah-langkah penatalaksaan
 Non Medikamentosa khusus DM meliputi edukasi, terapi
nutrisi medis, latihan fisik, serta terapi
- Tirah Baring
farmakologis.
- Rawat luka (Non excisional Edukasi bagi pasien untuk
debridement) mencegah terjadinya kaki diabetik
dapat berupa: (4)
 Medikamentosa  Tidak boleh berjalan tanpa alas
kaki, termasuk di pasir dan air
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Periksa kaki setiap hari dan
- Inj. Ceftriaxone 2gr/24 jam/iv dilaporkan pada dokter apabila
- Inj. Paracetamol 1gr/8jam/iv kulit terkelupas, kemerahan atau
luka
- Sansulin 0-0-8
 Periksa alak kaki dari benda asing
- Insulin Aspart 6-6-6 sebelum memakainya
- Amlodipine 10 mg/24jam/oral  Selalu menjadi kaki dalam keadaan
bersih, tidak basah, dan
mengoleskan krim pelembab pada
kulit kaki yang kering
 Potong kuku secara teratur

 Keringkan kaki dan sela-sela jari


secara teratur
 Gunakan kaos kaki dari bahan katun

 Jika sudah ada kelainan bentuk


kaki, gunakan alas kaki yang
dibuat khusus
 Sepatu tidak boleh terlalu sempit
atau longgar.
Latihan fisik teratur dilakukan 3-5
hari dalam seminggu selama 30 menit
berupa latihan yang bersifat aerobik
seperti jalan cepat, bersepeda santai,
serta jogging. (4)
Terapi farmakologis pada pasien
DM terdiri dari obat oral dan suntikan.
Obat anti-hiperglikemia oral dibagi
menjadi 6 golongan yaitu pemacu
sekresi insulin (insulin secretagogue),
peningkat sensitivitas insulin (insulin
sensitizers), penghambat alfa
glukosidase, penhambat enzim
dipeptidil peptidase-4, serta
penghambat enzim sodium glucose co-
transporter 2. (4)
Pengobatan lain untuk mengontrol
gula darah pasien adalah dengan
memberikan terapi insulin karena
sudah memenuhi kriteria indikasi
pemberian insulin yaitu terdapat
infeksi pada pasien. Saat ini terdapat
berbagai jenis insulin mulai dari
human insulin sampai insulin analog.
Insulin dibutuhkan oleh sel tubuh
untuk mengubah dan menggunakan
glukosa darah (gula darah), dari
glukosa, sel membuat energi yang
dibutuhkan untuk menjalankan
fungsinya. Tujuan terapi insulin
adalah untuk menirukan pola sekresi
insulin endogen pada individu normal.
Pemakaian jenis rapid-acting insulin
memungkinkan penggantian insulin
pada waktu makan secara fisiologis
karena mula kerjanya yang cepat,
keuntungan lainnya yaitu karena
insulin ini dapat diberikan segera
sebelum makan tanpa mengganggu
kontrol glukosa. (8)
Pada keadaan berupa neuropati
dapat dilakukan pemberian terapi
antidepresan trisiklik, gabapentin atau
pregabalin untuk mengurangi rasa
nyeri. (4)
Pada pasien ini dilakukan
perawatan luka berupa non excisional
debridement. Prosedur debridement
adalah prosedur dimana dilakukannya
eksisi jaringan yang mati, rusak, atau
terinfeksi untuk mengoptimalkan
potensi penyembuhan jaringan yang
masih hidup. (9)
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnamasari, D. (2014). DIagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In


S. Setiati, I. Alwi, A. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, & A.
Syam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (6th ed., Vol. II, pp. 2325-7).
Interna Publishing.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Laporan Provinsi
Sulawesi Tenggara Riset Kesehatan Dasar. Kendari: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
3. Pangribowo, S. (2020). Infodatin Diabetes Melitus. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2021). Pedoman Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB.
Perkeni
5. Mahmuda, I. (2019). Pencegahan dan Tatalaksana Dekubitus pada
Geriatri. Biomedika, 11(1), 11-17

6. Muhartono, S. I. (2017). Ulkus Kaki Diabetik Kanan dengan Diabetes


Mellitus Tipe 2. J AgromedUnila, 133-40
7. Fitria, E., Nur, A., Marissa, N., & Ramadhan, N. (2017). Karakteristik
Ulkus Diabetikum pada Penderita Diabetes Mellitus di RSUD dr.
Zainal Abidin dan RSUD Meuraxa Banda Aceh. Buletin Penelitian
Kesehatan, 45(3), 153-60
8. Sylivia, A., & Lorraine, M. (2015). Patofisiologi - Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit (6th ed., Vol. II). Jakarta: EGC
9. Boulton, A., Armstrong, D., Kirsner, R., Attinger, C., Lavery, L., &
Lipsky, B. (2018). Diagnosis and Management of Diabetic Foot
Complications. New York: American Diabetes Association

Anda mungkin juga menyukai