Anda di halaman 1dari 34

BED SIDE TEACHING

STASE KULIT DAN KELAMIN

Nama : Afif Hibatullah Nama Pasien : Ny. NAR


NIPP : 20204010248 Jenis Kelamin : Perempuan
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Umur : 41 tahun
Preceptor : dr. Hj. Yulaika Kusuma W., Sp.DV Alamat : Bimomartani,
Ngemplak, Sleman, Yogyakarta
PROBLEM Keluhan Utama :
Rasa gatal di lipatan payudara sejak 2 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Kota Yogyakarta dengan
keluhan rasa gatal di lipatan payudara kurang lebih sudah 2 minggu yang lalu
menyebabkan pasien sulit untuk tidur karena terganggu oleh gatalnya. Rasa
gatal dirasakan hilang timbul, jika timbul pada malam hari saat berkeringat.
Keluhan dirasakan hilang timbul, tanpa disertai rasa nyeri dan panas/terbakar.
Pasien mengaku sering menggaruk jika terasa gatal sehingga menyebabkan
luka sehingga terasa perih. Pasien belum memeriksakan dirinya ke dokter
namun memberikan obat secara mandiri yaitu salep ketoconazole dan salep
new astar selama 1 minggu namun keluhan belum kunjung membaik dan justru
terasa makin gatal. Pasien mengatakan tidak tau memiliki riwayat alergi obat
ataupun makanan.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat penyakit kulit lain (-)
- Riwayat asthma (-)
- Riwayat alergi (+) alergi salep new astar
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat penyakit kulit lain (-)
- Riwayat asthma (+) Ibu
- Riwayat alergi (-)
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
Riwayat Personal Sosial
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien
HYPOTHESIS Diagnosis banding :
- Kandidiasis kutis intertrigo
- Dermatitis kontak alergi
- Dermatitis kontak iritan
- Eritrasma
- Tinea Korporis
Diagnosis kerja :
- Kandidiasis kutis intertrigo dengan DKA/DKI ec olesan salep new astar

MECHANISM DEFINISI
I. CANDIDIASIS
Kandidiasis kutis adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi
jamur dari genus Candida. Kandidosis terbagi menjadi 2 macam yakni
kandidosis profunda dan kandidosis superfisial. Nama lain kandidosis kutis
adalah superficial kandidosis atau infeksi kulit-jamur; infeksi kulit-ragi;
kandidosis intertriginosa. Berdasarkan letak gambaran klinisnya terbagi
menjadi kandidosis terlokalisasi dan generalisata.
Predileksi Candida albicans pada daerah lembab, misalnya pada daerah
lipatan kulit. Karena organisme ini menyukai daerah yang hangat dan
lembab.
II. DERMATITIS
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,
vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu
timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik).
Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Dermatitis disebabkan
oleh berbagai faktor (multifaktorial).
Dermatitis kontak adalah peradangan akibat bahan atau substansi yang
menempel pada kulit dan merupakan salah satu kelainan kulit paling umum
yang berkaitan dengan pekerjaan. Dikenal dua macam dermatitis kontak
yaitu Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
dan keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah suatu dermatitis yang timbul
setelah kontak dengan alergen sehingga menyebabkan gejala sensitisasi
yang melibatkan stimulasi terhadap sel T. Terdapat dua tahap dalam
terjadinya dermatitis kontak alergi yaitu tahap sensitisasi dan tahap elisitasi.
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan
nonimunologik pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor
eksogen maupun endogen. Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan
(kimiawi, fisik, maupun biologik) dan faktor endogen memegang peranan
penting pada penyakit ini..
MORE INFO UKK : Pada lipatan payudara tampak papul, eritem, multiple, kesan lesi satelit

DON’T 1. Apa etiologi, manifestasi klinis, penegakan diagnose pada penyakit pasien
KNOW ini?
2. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit pasien ini?
I. CANDIDIASIS
A. ETIOLOGI
LEARNING
Yang tersering sebagai penyebab : Candida albicans.
ISSUE
Spesies patogenik yang lainnya :
• Candida tropicalis
• Candida parapsilosis
• Candida guilliermondii
• Candida krusei
• Candida pseudotropicalis
• Candida lusitaneae
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
Candida albicans dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa
vagina, dan feses orang normal Secara mikroskopis, sel jamur kandida
berbentuk bulat, lonjong, atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 x 3-6µm
hingga 2-5,5 x 5-28,5µm, tergantung pada umurnya. Sedangkan secara
mikroskopis, koloni pada medium pada agar Sabouraud sedikit menonjol
dari permukaan medium, permukaan halus licin, atau berlipat-lipat,
berwarna putih kekuningan dan berbau ragi. Besar koloni tergantung pada
umur. Pada tepi koloni dapat dilihat hifa semu sebagai benang-benang halus
yang masuk ke dalam medium. Pada medium cair, jamur biasanya tumbuh
pada dasar tabung.
B. PATOGENESIS
Candida albicans bentuk yeast-like fungi dan beberapa spesies kandida yang
lain memiliki kemampuan menginfeksi kulit, membran mukosa, dan organ
dalam tubuh. Organisme tersebut hidup sebagai flora normal di mulut,
traktus vagina, dan usus. Mereka berkembang biak melalui ragi yang
berbetuk oval.
Kehamilan, kontrasepsi oral, antibiotik, diabetes, kulit yang lembab,
pengobatan steroid topikal, endokrinopati yang menetap, dan faktor yang
berkaitan dengan penurunan imunitas seluler menyediakan kesempatan ragi
menjadi patogenik dan memproduksi spora yang banyak pseudohifa atau
hifa yang utuh dengan dinding septa.
Ragi hanya menginfeksi lapisan terluar dari epitel membran mukosa dan
kulit (stratum korneum). Lesi pertama berupa pustul yang isinya memotong
secara horizontal di bawah stratum korneum dan yang lebih dalam lagi.
Secara klinis ditemukan lesi merah, halus, permukaan mengkilap, cigarette
paper-like, bersisik, dan bercak yang berbatas tegas. Membran mukosa
mulut dan traktus vagina yang terinfeksi terkumpul sebagai sisik dan sel
inflamasi yang dapat berkembang menjadi curdy material.
Kebanyakan spesies kandida memiliki faktor virulensi termasuk faktor
protease. Kelemahan faktor virulensi tersebut adalah kurang patogenik.
Kemampuan bentuk yeast untuk melekat pada dasar epitel merupakan
tahapan paling penting untuk memproduksi hifa dan jaringan penetrasi.
Penghilangan bakteri dari kulit, mulut, dan traktus gastrointestinal dengan
flora endogen akan menyebabkan penghambatan mikroflora endogen,
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
kebutuhan lingkungan yang berkurang dan kompetisi zat makanan menjadi
tanda dari pertumbuhan kandida.
Jumlah infeksi kandida meningkat secara dramatis pada beberapa tahun
terakhir, mencerminkan peningkatan jumlah pasien yang
immunocompromised. Secara spesifik, tampak makin bertambahnya umur
semakin pula terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian. Meskpin
infeksi kandidiasis superfisial dipercaya termasuk ringan, akan tetapi
menyebabkan kematian pada populasi lanjut usia. Candida albicans juga
dapat menyerang kulit dengan folikel rambut yang aktif atau istirahat.
Infeksi kandida diperburuk oleh pemakaian antibiotik, perawatan diri yang
jelek, dan penurunan aliran saliva, dan segala hal yang berkaitan dengan
umur. Dan pengobatan dengan agen sitotoksik (methotrexate,
cyclophosphamide) untuk kondisi rematik dan dermatologik atau
kemoterapi agresif untuk keganasan pada pasien usia lanjut memberikan
resiko yang tinggi.
Patologi kutaneus superfisial dicirikan dengan pustul subkorneal.
Organisme ini jarang tampak dalam pustul tetapi dapat dilihat pada
pewarnaan stratum korneum dengan PAS (Periodic Acid-Schiff). Histologi
granuloma kandidal menunjukkan tanda papillomatous dan hyperkeratosis
dan kulit yang menebal berisi infiltrat limfosit, granulosit, plasma sel, dan
sel giant multinuclear.
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang muncul dapat berupa gatal yang mungkin sangat
hebat. Terdapat lesi kulit yang kemerahan atau terjadi peradangan, semakin
meluas, makula atau papul, mungkin terdapat lesi satelit (lesi yang lebih
kecil yang kemudian menjadi lebih besar). Lesi terlokalisasi di daerah
lipatan kulit, genital, bokong, di bawah payudara, atau di daerah kulit yang
lain. Infeksi folikel rambut (folikulitis) mungkin seperti “pimple like
appearance:.
1) Kandidiasis Kutis Lokalisata
i) Kandidiasis Intertriginosa
Lesi yang terjadi pada daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha,
intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glands penis,
dan umbilikus. Berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah,
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-
vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah
meninggalkan daerah yang erosif, dengan pinggir yang kasar dan
berkembang seperti lesi primer.
Pada orang yang banyak mencuci, jamur ini menyerang daerah
interdigital tangan maupun kaki.Terjadi daerah erosi dan maserasi
berwarna keputihan di tengahnya. Disini juga terjadi lesi-lesi satelit
di sekelilingnya. Kondisi ini menimbulkan rasa tidak nyaman dan
kadang bisa menimbulkan nyeri. Kandidosis intertriginosa yang
terjadi pada sela jari tangan maupun kaki dapat diikuti dengan
paronikia dan onikomikosis pada tangan atau kaki yang sama.

Gambar 1. Kandidiasis intertriginosa


ii) Kandidiasis Perianal
Kandidosis perianal adalah infeksi Candida pada kulit di sekitar anus
yang banyak ditemukan pada bayi, sering disebut juga sebagai
kandidosis popok atau diaper rash. Hal ini terjadi karena popok yang
basah oleh air kencing tidak segera diganti, sehingga menyebabkan
iritasi kulit genital dan sekitar anus. Penyakit ini juga sering diderita
oleh neonatus sebagai gejala sisa dermatitis oral dan perianal.
Popok yang basah akan tampak seperti area intertriginosa buatan,
merupakan tempat predisposisi untuk infeksi ragi. Lesi yang tampak
berupa dasar merah dan pustule satelit.Kadang sering dijumpai pula
gejala pruritus ani.
Dermatitis popok sering diobati dengan kombinasi steroid krim dan
lotion yang mengandung antibiotic. Walaupun obat ini mungkin
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
berisi klotrimazol yang merupakan obat anti jamur, mungkin
konsentrasinya tidak cukup untuk mengendalikan infeksi jamur yang
terjadi. Komponen kortison dapat mengubah gambaran klinis dan
memperpanjang penyakit. Bentuk nodular granulomatosis kandidosis
di daerah popok, muncul sebagai kusam, eritem, dan nodul dengan
bentuk yang tidak teratur, kadang-kadang dasar yang eritem
merupakan reaksi biasa untuk organisme Candida atau infeksi
Candida yang disebabkan oleh steroid. Meskipun infeksi dermatofit
jarang terjadi di daerah popok, tetapi kasus ini sering ditemukan.
Setiap upaya harus dilakukan untuk mengidentifikasi organism dan
mengobati infeksi dengan tepat.

Gambar 2. Kandidiasis perianal


2) Kandidiasis Kutis Generalisata
Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara,
intergluteal, dan umbilikus. Sering disertai glositis, stomatitis, dan
paronikia. Lesi berupa ekzematoid, dengan vesikel-vesikel dan pustul-
pustul. Penyakit ini sering terdapat pada bayi, mungkin karena ibunya
menderita kandidiasis vagina atau mungkin karena gangguan
imunologik sehingga daya tahan tubuh bayi tersebut rendah.
Pada bayi baru lahir yang menderita kandidosis kutis generalisata,
dengan vesikulopustul di atas eritem muncul pada saat bayi baru lahir
atau beberapa jam setelah lahir.Lesi pertama kali muncul di muka, leher
dan menyebar ke seluruh tubuh dalam waktu 24 jam.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
3) Kandidiasis Napkin (Diaper-Rash)
Bentuk paling sering pada kandidiasis kutis. Khas adanya eritema,
edema dan cairan purulen, tebal, pus putih, dan terdapat pada bayi yang
popoknya selalu basah dan jarang diganti. Mengenai kulit lembab pada
pantat, genetalia pada bayi, lipatan paha, tersering pada area kulit yang
terpapar air seni bayi terlalu lama.

Gambar 3. Kandidiasis Napkin


4) Paronikia dan Onikomikosis
Paronikia dan onikomikosis adalah peradangan kuku dan bantalan kuku.
Paronikia dapat bersifat akut dan kronis. Paronikia akut disebabkan oleh
bakteri, sedangkan paronikia kronis disebabkan oleh Candida sebagai
pathogen tunggal atau ditemukan bersamaan bersama dengan bakteri
lain seperti Proteus atau Pseudomonas sp.
Ini merupakan proses peradangan kronis pada lipatan kuku proksimal
dan matriks kuku. Hal ini terutama terjadi pada orang- orang yang
tangannya sering terendam dalam air seperti pada ibu rumah tangga,
pegawai bar atau rumah makan, penggemar tanaman, dan pegawai
ikan.Pemakaian alat pencuci piring mekanis yang semakin meluas
mungkin berhubungan dengan penurunan insidensi kelainan ini.
Gambaran klinis berupa eritema pada lipatan kuku proksimal
(boilstering), pembengkakan tidak bernanah, kuku menjadi tebal,
mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang-kadang berwarna kecoklatan,
tidak rapuh, tetap berkilat, tidak terdapat sisa jaringan di bawah kuku
seperti pada tinea unguium, dan hilangnya kutikula. Hal ini sering
berhubungan dengan terjadinya distrofi kuku.Candida albicans
mempunyai peran patogenik, tetapi bakteri mungkin juga ikut
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
menyertainya. Tidak adanya kutikula memungkinkan masuknya bahan-
bahan iritan seperti detergen ke daerah di bawah kukuku proksimal, dan
hal ini turut menyebabkan proses peradangan.
Kondisi ini cukup berbeda dengan paronikia bacterial akut, yang timbul
cepat, rasa sakit yang hebat, dan banyak nanah hijau. Penekanan pada
lipatan kuku yang bengakak pada paronikia kronis bias mengeluarkan
butiran-butiran kecil nanah yang berbentuk seperti krim susu dari bawah
lipatan kuku, tetapi hanya itu saja yang terjadi

Gambar 4. Paranokia
5) Kandidosis Granulomatosa
Kelainan ini jarang dijumpai HOUSER dan ROTHMAN melaporkan
bahwa penyakit ini sering menyerang anak-anak, lesi berupa papul
kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan
melekat erat pada dasarnya.Krusta ini dapat menimbul seperti tanduk
sepanjang 2 cm, lokalisasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku,
badan, tungkai, dan faring.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada penampakan kulit, terutama jika ada
faktor resiko yang menyertai. Kerokan kulit dapat menunjukkan bentuk
jamur yang mendukung candida. Bahan-bahan klinis yang dapat digunakan
untuk pemeriksaan adalah kerokan kulit, urin, bersihan sputum dan bronkus,
cairan serebrospinal, cairan pleura dan darah, dan biopsi jaringan dari organ-
organ visceral. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
1. Pemeriksaan Langsung
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
Merupakan cara paling mudah dan metode yang paling efektif untuk
mendiagnosis, tapi tidak cukup untuk menyingkirkan bukti klinis yang
lain. Pemeriksaan dengan kerokan kulit dengan penambahan KOH 10%
akan memperlihatkan elemen candida berupa sel ragi, balastospora,
peudohifa atau hifa bersepta. Pemeriksaan langsung tidak dapat
menetukan identifikasi etiologi secara spesifik dan kurang sensitive
dibandingkan dengan biakan.Hasil negative tidak selalu bukan
disebabkan oleh Candida. Pemeriksaan langsung mempunyai nilai
sensitifitas dan spesifisitas sebesar 89,4% dan 83,90%. Pewarnaan gram
juga dapat digunakan dan akan memberikan hasil yang sama dengan
yang diperlihatkan pada pemeriksaan KOH 10%.
2. Pemeriksaan Biakan
Biakan merupakan pemeriksaan paling sensitive untuk mendiagnosis
infeksi Candida. Sabouraud Dextrose Agar (SDA) merupakan media
standar yang banyak digunakan untuk pemeriksaan jamur.Media ini
mengandung 10 gr pepton, 40 gr glukosa, dan 10 gr agar, serta
ditambahkan 1000 ml air. Penambahan antibiotika pada SDA digunakan
untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Biakan diinkubasi pada suhu
kamar yaitu 25-270 C dan diamati secara berkala untuk melihat
pertumbuhan koloni. Koloni berwarna putih sampai kecoklatan, basah,
atau mukoid dengan permukaan halus dan dapat berkerut.

Gambar 5. Tipe Koloni Candida


3. Identifikasi Spesies
Meskipun gambaran klinis sulit dibedakan penentuan etiologi spesisik
Candida sampai ke tingkat spesies berguna untuk menentukan terapi dan
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
prognosis. Adapun cara mengidentifikasi Candida sp.dapat dilakukan
dengan cara tradisional dan komersil.
a) Germ Tube Test
Germ tube test merupakan cara yang digunakan untuk menentukan
indentifikasi spesies C. albicans.Pemeriksaan ini menggunakan
media yang mengandung serum dan diinkubasi pada suhu 37 0 C
selama 2 jam. Bila terdapat pertumbuhan germ tube atau sprout
mycelium,berarti spesies tersebut adalah C. albicans.Pertumbuhan
Germ tube dikenal sebagai Fenomena Reynols-Braude.
b) Penilaian Klamidospora
Penilaian Klamidospora menggunakan media commeal agar dengan
Tween 890.Morfologi koloni Candida sp. dibedakan berdasarkan
susunan blastospora dan gambaran morfologi pseudohifa.Umumnya
hanya C. albicans yang menghasilkan klamidiospora.
c) Uji Asimilasi dan Fermentasi
Identifikasi Candida sp. dapat juga dilakukan berdasarkan
kemampuan ragi untuk mengasimilasi dan fermentasi karbohidrat
yang berbeda utuk setiap spesies.Candida albicans dapat
mengasimilasi dan memfermentasi glukosa, galaktosa, maltose, dan
sukrosa.
d) CHROM agar candida
CHROM agar kandida merupakan cara komersil media biakan
selektif untuk mengidentifikasi Candida sp. Koloni C. albicans, C.
tropicalis, C. glabrata, dan C. krusei dapat dibedakan berdasarkan
morfologi koloni dan warna yang ditimbulkan oleh masing-masing
koloni. Media ini mengandung 10 gr pepton, 20 gr glukosa, 0,5 gr
kloramfenikol, 15 gr agar dan 2 gr chromogenic mix. Chromogenic
mix merupakan bahan yang menyebabkan perubahan warna koloni
pada Candida sp.
4. Serologi
Macam-macam prosedur pemeriksaan serologi direncanakan untuk
mendeteksi adanya antibodi Candida yang berkisar pada tes
immunodifusi yang lebih sensitive seperti
counterimmunoelectrophoresis(CIE), enzyme-linked immunosorbent
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
assay(ELISA), and radioimmunoassay (RIA).Produksi empat atau lebih
garis precipitin dengan tes CIE telah menunjukkan diagnosis kandidiasis
pada pasien yang terpredisposisi.
5. Pemeriksaan Histologi
Didapatkan bahwa spesimen biopsi kulit dengan pewarna periodic acid-
schiff (PAS) menampakkan hifa tak bersepta.Hifa tak bersepta yang
menunjukkan kandidiasis kutaneus berbeda dengan tinea.

Gambar 6. PAS candadida


6. Uji sensitifitas secara cepat dan tepat berdasarkan PCR dari DNA dapat
juga digunakan untuk mengidentifikasi patogenitas candida dalam
jaringan
E. PENATALAKSANAAN
1. Terpenting adalah menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi.
2. Terapi Topikal
• Larutan ungu gentian: 0,5 % untuk selaput lendir, 1-2% untuk kulit
dan dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari.
• Nistatin dapat diberikan berupa krim, salep, emulsi.
• Golongan azol
• krim atau bedakmikonazol 2%
• bedak, larutan dan krim klotrimazol 1%
• krim tiokonazol1%
• krim bufonazol1%
• krim isokonazol1%
• krim siklopiroksolamin 1%
• Antimikotik topikal lain yang berspektrum luas
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
3. Terapi Sistemik
• Nistatin tablet
Untuk menghilangkan infeksi lokal dalam saluran cerna, obat ini
tidak diserap oleh usus.
• Amfoterisin B
Diberikan intravena untuk kandidiasis sistemik.
• Kotrimazol
Pada kandidiasis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500mg per
vaginam dosis tunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol 2x200
mg dosis tunggal atau dengan flukonazol 150 mg dosis tunggal.
• Itrakonazol
Diberikanpada kandidiasis vulvovaginalis. Dosis untuk orang
dewasa 2x100 mg sehari, selama 3 hari.
Penggunaan obat anti jamur yang standard hanya flukonazol,
itrakonazol, dan flucytosine. Atau bahkan dapat menggunakan obat
antijamur golongan azol terbaru antara lain voriconazole, ravuconazole,
posaconazole.
Amorolfine biasa digunakan karena efektifitasnya sebagai terapi topikal
pada kandidiasis superficial yang disebabkan oleh jamur dan
dermatofitosis dan afinitasnya yang tinggi terhadap stratum korneum
dan kuku.
Obat anti jamur imidazol, clotrimazol, mikonazol, econazol, oxiconazol,
dan bifonazol digunakan secara luas sebagai pengobatan topikal
dermatofitosis. Beberapa tahun terakhir, imidazol (lanakonazol) dan tiga
kelas anti jamur gabungan benzylamine (butenafine), alylamine
(terbinafine), dan morfin (amorolfine), telah berhasil dikembangkan dan
diperkenalkan dalam penggunaan di klinik. Obat-obat terbaru ini lebih
aktif daripada imidazol sebelumnya untuk melawan dermatofitosis
secara in vitro dan in vivo dermatofitosis pada babi sebagai binatang
percobaan.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
II. DERMATITIS KONTAK ALERGI
A. ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul yang
umumnya rendah (< 1.000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
dan disebut hapten, beersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus
stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup).
Beerbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi
sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama
pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Juga
faktor individu, misalnya, keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan
stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang
menderita sakit, terpajan matahari).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chairunisa T. dkk di Poliklinik Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Persentase alergen penyebab tertinggi adalah detergen sebesar 33,2%,
diikuti kosmetik sebesar 21,7%, perhiasan sebesar 9,2%, bahan yang terbuat
dari kulit sebesar 8,4%, jam logam 5,9%, salep kulit sebesar 4,7%, adukan
semen sebesar 4,4%, minyak rambut sebesar 2,5%, makanan laut sebesar
2,5%, balsam dan minyak tawon sebesar 2,2%, karet sebesar 1,4%, asam
salisilat sebesar 0,7%, sampo sebesar 0,7%, dan minyak tawon, kunyit yang
dicampur minyak, daging ayam, rumput, lipstick serta akibat tersiram asam
masing-masing sebesar 0,3%. Alergen penyebab terbanyak adalah sabun
pembersih wajah (42,55%), cat rambut (36,17%) dan lipstick (8,51%).
B. PATOGENESIS
DKA merupakan proses multifaktorial, sehingga banyak faktor yang
berperan dalam terjadinya penyakit ini. Etiologi dan patogenesis DKA
diketahui diklasifikasikan sebagai reaksi hipersensitifitas tipe IV atau reaksi
hipersensitifitas tipe lambat, Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan juga fase elisitasi. Tidak seperti jenis klasik reaksi tipe IV
yang dimediasi oleh CD4+ T-sel dan terjadi di dermis, Dermatitis Kontak
Alergi terjadi pada epidermis dan dimediasi terutama melalui CD8+ T-sel
dengan profil sitokin tipe Th1. Faktor-faktor yang ikut berperan dalam
terjadi DKA antara lain genetik, alergen, obat-obatan, pekerjaan, dan Hanya
individu yang telah mengalami fase sensitisasi yang dapat menderita DKA.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN

A. Fase sensitisasi
Hapten yang masuk kedalam epidermis melewati stratum korneum
akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis,
dandiproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol seerta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada
awalnya sel langerhan dalam keadaan istrahat, dan hanya berfungsi
sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan untuk menstimulasi sel
T. Tetapi, setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga
mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan
mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu menstimulasi sel-T.2
Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel langerhans dan
meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi
molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-
3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit
yaitu TNFα, yang dapat mengaktivasi sel-T, makrofag dan graanulosit,
menginduksi perubahan mmolekul adhesi sel dan pelepasan sitokin,
juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel langerhans
pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga
memperlancar sel langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke
kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Didalam kelenjar
limfe, sel langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen
kepada sel-T penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan molekul
CD4 yang mengenali HLA-DR sel langerhans, dan kompleks reseptor
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau tidak
adanya sel-T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk
mensekresi IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel-
T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T
memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening
dan beredar keseluruh tubuh. Pada saat tersebut, individu menjadi
terseensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Menurut konsep ‘Danger signal’ (sinyal bahaya) bahwa sinyal
antigenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi,
sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian
terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang
dapat berasal dari alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang
rendah terhadap respons iritan, dari bahan kimia inflamasi pada kulit
yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi ‘sinyal bahaya’
yang menyebbabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik
sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan
mengurangi iritansi akan menurunkan potensi sensitisasi.
B. Fase elisitasi
Fase kedua (elisitasi) hiperssensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan
ulang dari alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisaasi, hapten akan
ditangkap oleh sel langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi
antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan
sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan ddipresentasikan
kepada sel-T yang telah tersensitisasi (sel-T memori) baik di kullit
maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Di kulit
proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain. Sel
langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk
memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan menyebabkan
proliferasi dan ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga
mengeluarkan IFN-γ yang akan meengktifkan keratinosit
mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM-1
memungkinkan keratinosit untuk berinterksi langsung dengan sel-T
dan leukosit yang lain yang mengeekspresi molkeul LFA-1.2
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi
langssung dengan sel-T CD4+, dan juga memungkinkan presentasi
antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel-
T sitotoksik pada keratinosit. Keratin juga menghasilkan sejumlah
sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan GMCSF, semuanya dapat
meengaktifasi sel-T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk
mnghasilkan elkosanoid. Sitokin dan elkosanoid ini akan melepaskan
antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaksik, PGE2 dan
PGD2, dan leukotrien B4 (LTB4). Elonsanoid baik yang beraasal dari
sel mas (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit
menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan permeabilitas
sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi
kedalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan
elkosanoid akan menarik neutrofil, monosit dari dalam pembuluh
darah masuk kedalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan
menimbulkan respon klinik DKA fase elisitasi umumnya berlangsung
antara 24-48 jam.
C. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama pada penderita DKA biasanya datang dengan gatal dan
eritema berbatas tegas setelah terpapar alergen. Tangan dan wajah adalah
daerah yang paling sering. Jika proses akut, maka akan tampak gambaran
Eritema dan edema berbatas tegas dengan papul dan vesikel, pada reaksi
yang berat akan tampak bula dan erosi konfluen yang mengeluarkan serum,
dan juga membentuk kerak. Reaksi yang sama dapat terjadi setelah beberapa
minggu di daerah yang tidak terkena. Jika proses kronik, maka akan
terbentuk likenifikasi (penebalan epidermis dengan pendalaman garis kulit
yang dalam dengan pola paralel atau rhomboidal), skuama excoriations, dan
perubahn warna kulit. Maka akan timbul skuama dan penebalan kulit(
likenifikasi ). Biasanya tidak selalu proses ini terbatas pada paparan kulit.
Pada orang yang sensitif keluhan biasanya muncul 48 jam atau beberapa hari
setelah terjadi kontak dengan alergen. DKA akut di tempat tertentu misalnya
kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada
vesikel. Pada kasus yanng kronis terlihat kullit yang kering, berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura, dan batasnya tidak
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
jelas.kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis;
mungkin penyebabnya juga campuran.
D. PENEGAKAN DIAGNOSA

Anamnesis
• Penderita umumnya mengeluh gatal
• Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi,
obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-
bahan yang diketahui menimbulkan alergi
Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya.
• edema, papulovesikel, vesikel atau bula.
Pemeriksaan Penunjang
Uji tempel
Tempat untuk melakukajn uji tempel biasanya di punggung,. Untuk
melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan
pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E. Test, keduanya
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
buatan Amerika Serikat. Terdapat juga antigen sederhana buatan pabrik
Eropa dan negara lain. Adakalanya tes dilakukan deengan antigen bukan
standar, dapat berupa bahan kimia murni, aau lebih sering bahan campuran
yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin
ada sebagian dari bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena
itu, bila menggunkan bahan tidak standar, apalagi bahan industri, harus
berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan menggunakan
bahan yang tidak diketahui.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat digunakan
langsung apa adanya (as is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin di
pakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus
diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau
dilarutkan dengan vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui
bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras
penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai
sebagai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan menggunakan
potongan kecil dari bahan tersebut yang direndam di dalam air garam yang
tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan
menggunak Fin Chamber, dan dibiarkan sekuran-kurangnya 48 jam. Perlu
diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5-
10 orang) , untuk menyingkirkan kemungkinan karena iritasi.
Pemeriksaan Eosinofil
Eosinofil merupakan salah satu tanda umum adanya infeksi parasit, reaksi
alergi, atau kanker. Eosinofilia dapat terjadi dalam darah (eosinofilia) atau
di jaringan tempat infeksi atau pembengkakan (eosinofilia jaringan).
Eosinofilia jaringan dapat dideteksi melalui prosedur eksplorasi atau ketika
cairan dalam tubuh Anda, seperti lendir dari jaringan hidung, diperiksa di
laboratorium.
Jika mengalami eosinofilia jaringan, kadar eosinofil dalam aliran darah
mungkin berada pada batas normal.
Sementara itu, eosinofilia darah dapat dideteksi dengan tes darah, biasanya
sebagai bagian pemeriksaan darah lengkap.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
Lebih rinci, eosinofilia dibedakan menjadi tiga tingkat sebagai berikut.
Ringan: sebanyak 500-150 eosinofil per mikroliter
Sedang: sebanyak 1.500-5.000 eosinofil per mikroliter
Berat: lebih banyak dari 5.000 per mikrolite
E. TATALAKSANA
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab,
dan menekan kelainan kulit yang timbul, datang dan melihat tempat kerja
pasien juga dapat menjadi point penting dalam terapi pasien dengan
dermatitis kontak alergika ini, dengan melihat dan mengetahui tentang
tempat kerja pasien kita dapat mencoba untuk mengenali dan
mengidentifikasi bahan-bahan apa saja yang memiliki potensi sebagai
alergen dan menyarankan pasien untuk menghindari kontak dengan benda-
benda tersebut.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eriitema, edema, vesikel
atau bula, serta eksudatif (madidans), misalnya prednison 30 mg/hari.
Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Sedangkan
kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan
air salisil 1:1000.
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau
makrolaktam (pimeccrolimus atau takrolimus) secara topical

III. DERMATITIS KONTAK IRITAN


A. ETIOLOGI
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen
(iritan dan lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.
a. Faktor Eksogen
Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk memprediksi
potensial iritan sebuah bahan kimia berdasarkan struktur molekulnya.
Potensial iritan bentuk senyawa mungkin lebih sulit untuk diprediksi.
Faktor-faktor yang dimaksudkan termasuk : (1) Sifat kimia bahan iritan:
pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi,
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
ionisasi, bahan dasar, kelarutan ; (2) Sifat dari pajanan: jumlah,
konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan serentak dengan
bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya ; (3) Faktor
lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik
seperti tekanan, gesekan atau goresan. Kelembapan lingkunan yang
rendah dan suhu dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum
yang menyebabkan kulit lebih rentan pada bahn iritan.
b. Faktor Endogen
1) Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk
mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzym antioksidan,
dan kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock protein
semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga menentukan
keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan ititan. Selain itu,
predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk
setiap bahan iritan. Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik
mungkin mempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α
polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan terhadap
kontak iritan.
2) Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan
wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan
antara jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih
banyak terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan
daripada laki-laki. Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis
kontak iritan yang ditetapkan berdasarkan penelitian.
3) Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-
bahan kimia dan bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang
menunjukkan bahwa tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan
kulit dengan meningkatnya umur. Data pengaruh umur pada percobaan
iritasi kulit sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema)
menurun pada orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan
(kerusakan pertahanan) meningkat pada orang muda. Reaksi terhadap
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
beberapa bahan iritan berkurang pada usia lanjut. Terdapat penurunan
respon inflamasi dan TEWL, dimana menunjukkan penurunan potensial
penetrasi perkutaneus.
4) Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi
berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena
eritema sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan
eritema sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur iritasi yang
mungkin sudah sampai pada kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam
lebih resisten terhadap bahan iritan daripada kulit putih.
5) Lokasi kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,
sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih
rentan terhadap dermatitis kontak iritan. Telapak tangan dan kaki jika
dibandingkan lebih resisten.
6) Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada
dermatitis iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya
berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan
karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, dan
lambatnya proses penyembuhan. Pada pasien dengan dermatitis atopi
misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh
bahan iritan.
B. PATOGENESIS
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada empat mekanisme yang dihubungkan
dengan dermatitis kontak iritan, yaitu:
1. Hilangnya substansi daya ikat air dan lemak permukaan
2. Jejas pada membran sel
3. Denaturasi keratin epidermis
4. Efek sitotoksik langsung
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN

Gambar 1 : (a-d) mekanisme imunologis terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI). (a) bahan
iritan fisik dan kimia memicu pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang disebut
sinyal bahaya. (b) sel epidermis dan dermis merespon sinyal bahaya tersebut. (c) setelah itu,
sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel residen dan sel inflamasi yang sudah terinfiltrasi. Sitokin
utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang dikelan adalah IL-8) (d) sebagai
akibatnya, dari produksi sitokin inflamasi, banyak sel inflamasi termasuk neutrofil diserang
dan dibawa pengaruh picuan inflamasi mengeluarkan mediator inflamasi. Hasilnya dapat
dilihat secara klinis pada DKI. Dikutip dari kepustakaan [12]

Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon imunologis yang


dapat didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal tersebut ditandai oleh
pelepasan mediator radang, khususnya sitokin dari sel kulit yang non-imun
(keratinosit) yang mendapat rangsangan kimia. Proses ini tidaklah
membutuhkan sensitasi sebelumnya. Kerusakan sawar kulit menyebabkan
pelepasan sitokin-sitokin seperti Interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, tumor
necrosis factor- α (TNF- α). Pada dermatitis kontak iritan, diamati
peningkatan TNF-α hingga sepuluh kali lipat dan granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2 hingga tiga kali lipat. TNF- α
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
adalah salah satu sitokin utama yang berperan dalam dermatitis iritan, yang
menyebabkan peningkatan ekspresi Major Histocompatibility Complex
(MHC) kelas II dan intracelluler adhesin molecul-I pada keratinosit.

Pada dermatitis kontak iritan akut, mekanisme imunologisnya mirip dengan


dermatitis kontal alergi akut. Namun, perbedaan yang mendasar dari
keduanya adalah keterlibatan dari spesisif sel-T pada dermatitis kontak
alergi akut.

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan peradangan klasik di tempat


terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, dan nyeri bila iritan
kuat. Ada dua jenis bahan iritan yaitu iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat
akan menyebabkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua
orang, sedangkan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah
berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh
karena depilasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi
sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.

C. MANIFESTASI KLINIS
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat
memberikan gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain
itu juga banyak hal yang mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya. Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut,
dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu:
1. Dermatitis Kontak Iritan Akut
Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bulla.
Luas kelainanya sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas. Pada
beberapa individu, gejala subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat)
mungkin hanya satu-satunya manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam
beberapa detik dari pajanan. Spektrum perubahan kulit berupa eritma
hingga vesikel dan bahan pajanan bahan yang dapat membakar kulit
dapat menyebabkan nekrosis. Secara klasik, pembentukan dermatitis
akut biasanya sembuh segera setelah pajanan, dengan asumsi tidak ada
pajanan ulang – hal ini dikenal sebagai “decrescendo phenomenon”.
Pada beberapa kasus tidak biasa, dermatitis kontak iritan dapat timbul
beberapa bulan setelah pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap. 2
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
Bentuk DKI Akut seringkali menyerupai luka bakar akibat bahan kimia,
bulla besar atau lepuhan. DKI ini jarang timbul dengan gambaran
eksematousa yang sering timbul pada dermatitis kontak.

Gambar 2 : DKI akut akibat penggunaan pelarut industri.

2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)


Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak muncul
hingga 8-24 jam atau lebih setelah pajanan. Sebaliknya, gambaran
kliniknya mirip dengan dermatitis kontak iritan akut.1 Contohnya adalah
dermatitis yang disebabkan oleh serangga yang terbang pada malam
hari, dimana gejalanya muncul keesokan harinya berupa eritema yang
kemudian dapat menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)
Juga disebut dermatitis kontak iritan kumulatif. Disebabkan oleh iritan
lemah (seperti air, sabun, detergen, dll) dengan pajanan yang berulang-
ulang, biasanya lebih sering terkena pada tangan. Kelainan kulit baru
muncul setelah beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Sehingga
waktu dan rentetan pajanan merupakan faktor yang paling penting.
Dermatitis kontak iritan kronis ini merupakan dermatitis kontak iritan
yang paling sering ditemukan. Gejala berupa kulit kering, eritema,
skuama, dan lambat laun akan menjadi hiperkertosis dan dapat
terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN

Gambar 3 : DKI kronis akibat efek korosif dari semen

Distribusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada dermatitis kontak


iritan kumulatif, biasanya dimulai dari sela jari tangan dan kemudian
menyebar ke bagian dorsal dan telapak tangan. Pada ibu rumah tangga,
biasanya dimulai dari ujung jari (pulpitis). DKI kumulatif sering
berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan
pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari tubuh (contohnya:
tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang kebun,
penata rambut).
4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi
di dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang
terpajan dengan pekerjaan basah. Reaksi iritasi dapat sembuh,
menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.

Gambar 4 : Reaksi Iritan.


BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)
Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah tauma akut pada kulit seperti
panas atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan penyembuhan
sekitar 6 minggu atau lebih lama. Pada proses penyembuhan, akan
terjadi eritema, skuama, papul dan vesikel. Secara klinik gejala mirip
dengan dermatitis numular.
6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous
Juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari iritasi kulit,
kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit
terlihat secara histologi. Gejala umum yang dirasakan penderita adalah
rasa terbakar, gatal, atau rasa tersengat. Iritasi suberitematous ini
dihubungkan dengan penggunaan produk dengan jumlah surfaktan yang
tinggi. Penyakit ini ditandai dengan perubahan sawar stratum korneum
tanpa tanda klinis (DKI subklinis).
7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa
tersengat, rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan.
Biasanya terjadi di daerah wajah, kepala dan leher. Asam laktat
biasanya menjadi iritan yang paling sering menyebabkan penyakit ini.
8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau
gesekan yang berulang. DKI Gesekan berkembang dari respon pada
gesekan yang lemah, dimana secara klinis dapat berupa eritema,
skuama, fisura, dan gatal pada daerah yang terkena gesekan. DKI
Gesekan dapat hanya mengenai telapak tangan dan seringkali terlihat
menyerupai psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi
tidak gatal. Secara klinis, DKI Gesekan dapat hanya mengenai
pinggiran-pinggiran dan ujung jemari tergantung oleh tekanan mekanik
yang terjadi.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN

Gambar 5 : DKI Gesekan.

9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform


Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform. Biasanya dilihat
setelah pajanan okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta setelah
penggunaan beberapa kosmetik. Reaksi ini memiliki lesi pustular yang
steril dan transien, dan dapat berkembang beberapa hari setelah pajanan.
Tipe ini dapat dilihat pada pasien dermatitis atopi maupun pasien
dermatitis seboroik.

Gambar 6: DKI Akneiform.

10. Dermatitis Asteatotik


Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa
menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan
skuama ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini.

Gambar 7: DKI Asteatotik.


BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
D. PENEGAKAN DIAGNOSA
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat
dan pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah
diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah
mengingat penyebab terjadinya. DKI kronis timbul lambat serta mempunyai
gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA.
Selain anamnesis, juga perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih
memastikan diagnosis DKI.
Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI
tergantung pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien.
Anamnesis yang dapat mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala
subyektif) adalah:
- Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus
- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI
akut. DKI lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti
benzalkonium klorida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan),
dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah pajanan.
- Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu
ada DKI kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan
berulang dari suatu bahan iritan yang merusak kulit.
- Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak
nyaman akibat pruritus yang terjadi.
Pemeriksaan Fisik
Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai
berikut:
- Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah
terbentuk vesikel
- Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
- Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
- Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
Pemeriksaan Penunjang.
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak iritan.
Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat
beberapa tes yang dapat memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi
menyebabkan DKI. Tidak ada spesifik tes yang dapat memperlihatkan efek
yang didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan.
Dermatitis kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil
dari efek berbagai iritans.
1. Patch Test
Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan
kontak dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi
yang digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil
negatif palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi
dapat terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch tes dilepas
setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat. Untuk
pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan pemeriksaan pada 48
jam berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik,
maka dapat didiagnosis sebagai DKI, Pemeriksaan patch tes digunakan
untuk pasien kronis, dengan dermatitis kontak yang rekuren.
E. TATALAKSANA
Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan
melakukan dengan memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan.
Selain itu, prinsip pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari
bahan iritan, melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung tangan), dan
melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan
bahan lain.
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada
penderita dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:
1. Kompres dingin dengan Burrow’s solution
Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel dan
membantu mengurangi pertumbuhan bakteri. Kompres ini diganti setiap 2-
3 jam.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
2. Glukokortikoid topikal
Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih
kontrofersional karena efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan
yang lama dari corticosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada
stratum korneum. Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat, mungkin
dianjurkan pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis
inisial, dan di tappering 10mg.
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya
infeksi sekunder oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme
antimikroba yang telah dimiliki kulit, mungkin memiliki peranan yang
penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari dermatitis akibat iritan,
tapi hal ini masih dipelajari. Secara klinis, infeksi diobati dengan
menggunakan antibiotik oral untuk mencegah perkembangan selulit dan
untuk mempercepat penyembuhan. Secara bersamaan, glukokortikoid
topikal, emolien, dan antiseptik juga digunakan. Sedangkan antihistamin
mungkin dapat mengurangi pruritus yang disebabkan oleh dermatitis akibat
iritan. Terdapat percobaan klinis secara acak mengenai efisiensi
antihistamin untuk dermatitis kontak iritan, dan secara klinis antihistamin
biasanya diresepkan untuk mengobati beberapa gejala simptomatis.
4. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk
menurunkan sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan
dengan dermatitis iritan oleh karena penekanan nosiseptor, dan mungkin
dapat menjadi pengobatan yang potensial untuk dermatitis kontak iritan. 5
Garam strontium juga dilaporkan dapat menekan depolarisasi neural pada
hewan, dan setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi dalam mengurangi
sensasi iritasi yang dihubungkan dengan DKI.
5. Emolien
Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang sangat
berguna. Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat
meningkatkan efek emolien. Emolien dengan perbandingan lipofilik :
hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena dapat menghidrasi kulit
lebih baik.
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
6. Imunosupresi Oral
Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja singkat
seperti prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi jika
dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi, tidak
boleh digunakan untuk waktu yang lama karena efek sampingnya. Oleh
karena itu, pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain mungkin lebih
berguna. Obat yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan
azadtrioprim.
7. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial
Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis kontak
iritan, khususnya pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi
photochemotherapy ultraviolet A (PUVA) dan ultraviolet B, dimana
penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan fotosensitizer (soralen
oral atau topical). Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar Grentz
juga dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada tangan yang kronis.
Penalataksanaan ini jarang digunakan pada praktek terbaru, hal ini mungkin
disebabkan oleh ketakutan terhadap kanker karena radioterapi

PROBLEM Decision Making


SOLVING Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

Diagnosis
Kandidiasis kutis intertrigo dengan DKA/DKI et causa salep new astar

Farmakoterapi
R/ Itrakonazole Caps No.XIV
S 2 dd caps 1
R/ Loratadine tab 10 mg
S 1 dd tab 1
R/ Miconazole cr 7,5 gr
Momethasone cr 5gr
Noroid lot 2,5 cc
Mfla da in pot No. I
S 2 dd ue

Edukasi
▪ Penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit, terapi, serta
prognosis
▪ Jangan menggaruk lesi
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
▪ Menjaga kebersihan dan kelembaban kulit dengan mandi menggunakan
sabun yang mengandung pelembab, dan cegah penggunaan sabun yang
mengandung anti septik seperti menggunakan sabun bayi
▪ Minum dan oleskan obat sesuai aturan dan oleskan pelembab setelah
mandi 2x sehari pada daerah yang terdapat lesi
▪ Menghindari fakor pencetus seperti bahan alergen, bahan iritan, suhu
ekstrem, makanan, stress
▪ Patuhi pengobatan sesuai anjuran dan kontrol kembali ke dokter

Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
DAFTAR ▪ Kuswadji. Kandidosis. Dalam : Djuanda A., Hamzah M., Aishah S.,
PUSTAKA Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi IV, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006. Pp:103-6
▪ SMF Ilmu Kulit Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Airlangga University Press, 2007.
Pp:86-92
▪ James William,Berger Timothy, Elston Dirk. Candidiasis. Dalam :
Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology. Ed 10 th. British.
WB Saunders Company. 2000. Pp:308-9
▪ Wolff, Klauss. Candidiasis. Dalam : Fitzpatrick. Dermatology in
General Medicine. Ed 7th. New york. McGraw Hill Company. 2007. p:
1822
▪ Wolf K, Richard AJ, Dick S. Candidiasis. Dalam : Fitzpatrick. Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Ed 5th. New york. McGraw
Hill Company. 2007.
▪ Siregar, R.S. Atlas Berwana Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. EGC.
Jakarta. 2004. Pp: 279-280.
▪ Sandy S Suharno. Tantien Nugrohowati, Evita H. F.
Kusmarinah. Mekanisme Pertahanan Pejamu pada Infeksi Kandida.
Dalam : Media Dermato-venereologica Indonesiana, Jakarta, 2000 ; 187-
92
BED SIDE TEACHING
STASE KULIT DAN KELAMIN
▪ Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7 th ed. New
York: McGraw – Hill; 2008.p.396-401.
▪ Chew AL and Howard IM, editors. Ten Genotypes Of Irritant Contact
Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.5-8
▪ Buxton, Paul K. ABC Of Dermatology 4th ed. London: BMJ Books;
2003.p.19-21
▪ Grawkrodjer, David J. Dermatology an Illustrated Colour Text Third
Edit. British: Crurchill Livingstone.2002.p.30-1
▪ Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. Treatment Of Irritant
Contact Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant
Dermatitis. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.461-5
▪ Klaus W, Goldsmith AL, et al. Fitzpatrick’s DERMATOLOGY IN
GENERAL MEDICINE 7ed Volume 1. United States of America: The
McGraw-Hill Companies, Inc. 2013 24-28 p.
▪ Djuanda A, Hamzah M, Aizah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran, 2011.
133-38 p.
▪ Chairunisa T, Thaha A, Nopriyanti. Angka Kejadian Dermatitis Kontak
Alergi di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2009-2012. 282-288 p

Anda mungkin juga menyukai