Disusun oleh :
dr. Erma Royani
Pendamping :
dr. Mayenti Sp.DLP
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN vi
KATA PENGANTAR 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang 2
1.2 Rumusan masalah 5
1.3 Hipotesis penelitian 6
1.4 Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan umum 6
1.4.2 Tujuan khusus 6
1.5 Manfaat penelitian
1.5.1 Bagi peneliti 6
1.5.2 Bagi instansi kesehatan 7
1.5.3 Bagi Masyarakat 7
i
2.13 Kerangka konsep 30
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Keterbatasan penelitian 39
5.2 Gambaran umum responden penelitian 39
5.3 Hubungan usia dengan kejadian Hipertensi 39
5.4 Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian Hipertensi 40
ii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 43
6.2 Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN 49
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Mini Projek yang berjudul
“Hubungan Usia dengan Kejadian Hipertensi Di Puskesmas Sidomulyo
Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru” sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan tugas program Internsip dokter Indonesia.
Dalam penulisan dan penyusunan Mini Projek ini penulis banyak
mendapatkan bantuan, saran, bimbingan, dorongan dan petunjuk dari berbagai
pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan Mini Projek ini dengan baik. Oleh
sebab itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih,
rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. dr. Mayenti Sp.DLP sebagai pembimbing yang memberi masukan kepada
penulis dalam menyelesaikan Mini Projek ini
2. Kedua Orangtua Penulis Ayahanda Sudi Syam (alm) dan Ibunda Yaslinar
yang senantiasa memberikan dorongan, bantuan dan doa yang selalu
mengiringi kehidupan penulis.
3. Tak lupa rekan kerja penulis yaitu: dr. Dienna amalia purwanto, dr. Juan
yusuf, dr. Nur aini kurnia, dr. Rana citra fika yang selalu menjadi
pengingat dan menyemangati penulis.
4. Staff Poli Usia Lanjut (USILA) Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap
Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru yang telah membantu penulis dalam
melakukan pengambilan data.
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dan membalas
semua amalan dan kebaikan yang telah diberikan. Penulis telah berusaha
semaksimal mungkin dalam penulisan mini projek ini, namun penulis
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak dalam mencapai hasil yang
terbaik bagi mini projek ini, sehingga dapat bermanfaat dikemudian hari.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi kronis ketika tekanan
darah pada dinding arteri (pembuluh darah bersih) meningkat. Kondisi ini dikenal
sebagai “Pembunuh diam-diam” karena jarang memiliki gejala yang jelas.
Penderita yang mempunyai tekanan darah melebihi 140/90 mmHg, diperkirakan
mempunyai keadaan darah tinggi. Tekanan darah yang selalu tinggi merupakan
salah satu risiko utama penyebab stroke, serangan jantung, gagal jantung kronis,
dan aneurisma arterial (Anies, 2018). Hipertensi merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas di berbagai kalangan. Hipertensi juga merupakan faktor
risiko dari penyakit jantung iskemik dan stroke yang termasuk lima posisi
tertinggi dalam penyebab kematian terbanyak di dunia (Benjamin et al., 2017).
Selain itu, hipertensi juga menempati urutan pertama sebagai penyakit terbanyak
pada kelompok lanjut usia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dan
menjadi salah satu dari lima penyebab kematian ibu terbesar di Indonesia
(Kemenkes RI, 2015).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah hipertensi akan
terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang bertambah. Pada 2025
mendatang, diproyeksikan sekitar 29% atau sekitar 1,6 miliar orang di seluruh
dunia mengalami hipertensi. Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak
terdapat di Negara berkembang. Untuk kawasan Asia, penyakit ini telah
membunuh 1,5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga
orang menderita tekanan darah tinggi. Secara global, menurut WHO (World
Health Organization) kejadian hipertensi mencapai 17 juta kematian per
tahunnya. Komplikasi hipertensi terhitung mencapai 9,4 juta kematian per
tahunnya di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan hipertensi merupakan salah satu
penyebab dari penyakit kardiovaskular. Dilaporkan bahwa sedikitnya terjadi 45
persen kematian akibat penyakit jantung dan 50 persen kematian yang diakibatkan
stroke.
2
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, hipertensi
masih merupakan tantangan besar di Indonesia, dimana prevalensi hipertensi
menunjukkan grafik yang semakin meningkat mulai tahun 2013 hingga 2018,
yaitu dari 25,8 persen hingga 34,1 persen. Prevalensi hipertensi menurut provinsi,
Kalimantan Selatan memiliki prevalensi tertinggi yaitu 44,1 persen, sedangkan
Jawa Barat dan Kalimantan Timur memiliki prevalensi hipertensi lebih dari 34,1
persen. Khusus untuk Riau sendiri memiliki prevalensi hipertensi yang tergolong
tinggi, yaitu lebih dari 31,7 persen, terutama jika dibandingkan dengan tahun
2013, yaitu 25,8 persen.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Riau tahun 2018,
didapatkan data bahwa kejadian hipertensi di provinsi riau meningkat menjadi
33% dibandingkan dengan tahun 2017 yaitu 23%. Sedangkan penderita hipertensi
di kota Pekanbaru menurun menjadi 18% jika dibandingkan dengan 2017 sebesar
21%. Data jumlah estimasi penyakit hipertensi tahun 2018 di kota Pekanbaru
adalah sebanyak 51.474 pasien, tapi yang mendapatkan pelayanan kesehatan
hanya sebanyak 9.051 pasien. Hipertensi termasuk sepuluh besar kunjungan kasus
penyakit tidak menular di Puskesmas se-Kota Pekanbaru pada tahun 2015 dengan
angka tertinggi yaitu 36.476 jumlah kunjungan Puskesmas, termasuk di
Puskesmas Rawat Inap Sidomulyo. Total pasien hipertensi yang mendapatkan
pelayanan kesehatan di Puskesmas Rawat Inap Sidomulyo pada tahun 2018
adalah sebanyak 263 dari 4213 pasien yang terdiagnosis Hipertensi. Sedangkan
pada tahun 2019 pasien yang jumlah pasien yang datang untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan sebanyak 981 pasien dari 7302 pasien yang terdiagnosis
Hipertensi.
Menurut WHO, peningkatan prevalensi hipertensi ini dipengaruhi oleh
bertambahnya pertumbuhan populasi, usia, dan faktor gaya hidup seperti
kurangnya aktivitas fisik, diet yang kurang sehat, obesitas, penggunaan alkohol,
dan tingkat stres (WHO, 2015). Data Riskesdas 2018 juga menunjukkan kenaikan
prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia ini berhubungan dengan pola
hidup, antara lain merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik serta konsumsi buah
dan sayur. Sejak tahun 2013 terjadi peningkatan peningkatan proporsi obesitas
3
pada orang dewasa sejak tahun 2007 sebagai berikut 10,5 persen (Riskesdas
2007), 14,8 persen (Riskesdas 2013) dan 21,8 persen (Riskesdas 2018).
Usia merupakan salah satu faktor resiko hipertensi yang tidak dapat
dimodifikasi. Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia
dimana menurut penelitian yang telah dilakukan oleh anggara pada tahun 2013
didapatkan pendrita hipetensi lebih banyak pada kelompok usia >65 tahun. Hal ini
terjadi karena adanya perubahan fisiologis pada tubuh seiring dengan
bertambahnya usia. Selain itu hal tersebut juga disebabkan oleh adanya
peningkatan tekanan arterial sesuai dengan penambahan usia, serta adanya proses
degeneratif yang sering terjadi pada usia tua sehingga menyebabkan terjadinya
penigkatan tekanan darah (Widjaya et al., 2018). Selain usia, peningkatan berat
badan memainkan peranan penting pada mekanisme timbulnya hipertensi pada
orang dengan obesitas (Nurrahmani, 2012). Saat ini terdapat berbagai metode
pengukuran antropometri tubuh yang dapat digunakan sebagai skreening obesitas.
Metode tersebut antara lain pengukuran indeks massa tubuh, lingkar pinggang,
lingkar panggul, lingkar lengan atas, serta perbandingan lingkar pinggang dan
lingkar panggul (Malope, 2012).
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan salah
satu indeks anthropometri yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan
(Supariasa, 2013). Indeks Massa Tubuh didefinisikan sebagai berat badan
seseorang dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter (kg/m2)
(Irianto, 2017). Laporan pada tahun 2016 lebih dari 1,9 miliar orang dewasa
berumur lebih dari 18 tahun mengalami kelebihan berat badan, dan lebih dari 650
juta orang mengalami obesitas. Sebagian besar penduduk dunia hidup di negara-
negara dimana kelebihan berat badan dan obesitas menjadi penyebab kematian
lebih banyak daripada kekurangan berat badan (WHO, 2017).
Berdasarkan data tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian mengenai hubungan Usia dan Indeks Massa Tubuh dengan tekanan
darah pada pasien Hipertensi yang berobat di puskesmas sidomulyo rawat inap
kecamatan Tampan kota Pekanbaru.
4
1.2 Rumusan Masalah
5
1.5.2 Instansi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
informasi yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka
perencanaan program, khususnya dalam rangka pengendalian penyakit
tidak menular.
1.5.3 Masyarakat
Dapat mengetahui faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Hipertensi
dan dapat dilakukan pencegahan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Hipertensi merupakan penyakit tidak menular (Non Communicable
Disease). Hipertensi adalah peningkatan tekanan persisten pada pembuluh darah
arteri, dimana tekanan darah sistolik sama dengan atau diatas 140 mmHg dan
tekanan diastolik sama dengan atau diatas 90 pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat atau tenang. Peningkatan
tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
kerusakan pada ginjal, jantung dan otak bila tidak dideteksi secara dini dan
mendapatkan pengobatan yang memadai (Kemenkes RI, 2014).
2.2. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi diklasifikasikan menjadi:
1. Hipertensi primer/esensial (insidens 80-95%): hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya (Tanto, Hustrini, 2014). Hipertensi semacam ini dikenal sebagai
hipertensi idiopatik. Hipertensi primer adalah suatu kategori umum untuk
peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh beragam penyebab yang tidak
diketahui dan bukan suatu entitas tunggal. Orang dapat memperlihatkan
kecenderungan genetik yang kuat mengidap hipertensi primer, yang dapat
dipercepat atau diperburuk oleh faktor kontribusi misalnya kegemukan, stres,
merokok, atau kebiasaan makan (Sherwood, 2012).
2. Hipertensi sekunder: akibat suatu penyakit atau kelainan mendasari, seperti
stenosis arteri renalis, penyakit-penyakit parenkim ginjal, hiperaldosteronisme,
dan sebagainya (Tanto, Hustrini, 2014). Beberapa contoh hipertensi sekunder
antara lain:
a. Hipertensi ginjal. Sebagai contoh lesi aterosklerotik yang menonjol ke
dalam lumen suatu arteri renalis atau penekanan eksternal pembuluh ini oleh
suatu hormon dapat mengurangi aliran darah ke ginjal. Ginjal berespons
dengan mengaktifkan jalur hormon yang melibatkan angiotensin II. Jalur ini
mendorong retensi garam dan air sewaktu pembentukan urin sehingga
volume darah bertambah untuk mengompensasi berkurangnya aliran darah
7
ginjal. Angiotensin II merupakan vasokontriktor kuat. Meskipun kedua efek
ini (peningkatan volume darah dan vasokontriksi yang dipicu oleh
angiotensin) adalah mekanisme kompensasi untuk memperbaiki aliran darah
ke arteri renalis yang menyempit namun keduannya juga menjadi penyebab
meningkatnya tekanan darah arteri secara keseluruhan.
b. Hipertensi endokrin. Sebagai contoh, feokromositoma adalah suatu tumor
medulla adrenal yang mengeluarkan epinefrin dan nonepinefrin secara
berlebihan. Peningkatan abnormal kadar kedua hormon ini menyebutkan
peningkatan curah jantung dan vasokontriksi perifer generalisata, di mana
keduanya berperan menyebabkan hipertensi khas pada penyakit ini.
c. Hipertensi neurogenik. Salah satu contoh adalah hipertensi yang disebabkan
oleh kesalahan kontrol tekanan darah karena defek di pusat kontrol
kardiovaskular (Sherwood, 2012)
2.3. Epidemiologi
Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah stroke dan
tuberkulosis, yakni mencapai 6,9 persen dari populasi kematian pada semua umur
di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, hipertensi merupakan
masalah kesehatan di Indonesia dengan prevalensi sekitar 25,8 persen. Di
Indonesia terdapat pergeseran pola makan yang mengarah pada makanan cepat
saji dan diawetkan, yang diketahui mengandung garam tinggi, lemak jenuh, dan
rendah serat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur, jenis kelamin,
genetik, kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh,
penggunaan minyak jelantah, kebiasaan konsumsi minuman beralkohol, obesitas,
kurang aktivitas fisik, stres, dan penggunaan estrogen merupakan faktor risiko
hipertensi (Kemenkes RI, 2014).
2.4. Klasifikasi
Menurut The Eighth Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 8) klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa (18 tahun dan lebih tua) didasarkan pada rata-
rata dua atau lebih diukur dengan benar pembacaan tekanan darah dari dua atau
lebih kunjungan klinis. Jika tekanan darah sistolik dan nilai-nilai tekanan darah
8
diastolik jatuh ke dalam kategori yang berbeda, klasifikasi keseluruhan ditentukan
didasarkan pada lebih tinggi dari dua tekanan darah. Tekanan darah adalah
diklasifikasikan ke dalam salah satu dari empat kategori: normal, prehipertensi,
hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2. Prehipertensi tidak dianggap sebagai
penyakit, namun mengidentifikasi mereka yang cenderung untuk maju ke tahap 1
atau Tahap 2 HTN di masa depan (Tabel 2.1) (JNC 8).
Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah Tekanan darah
sistolik (mmHg) diastolik (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-95
Hipertensi derajat I 140-159 Atau 90-99
Hipertensi derajat II ≥160 Atau ≥100
2.5. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi
esensial antara lain :
1. Curah Jantung dan Tahanan Perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial, curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat.
Tekanan darah ditentukan oleh kosentrasi sel otot halus yang terdapat pada
arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot
halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah
arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal
meningkatnya tahanan perifer yang irreversible.
2. Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui peningkatan volume cairan
ekstraseluler dan ekskresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin diekskresi
oleh juxtaglomerulus aparatus ginjal sebagai respon glomerulus
underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatik.
9
3. Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokontriksi dan dilatasi
arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam
mempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi
antara sistem saraf otonon dan sistem renin-angiotensin bersama-sama
dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkuasi, dan beberapa hormon.
4. Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal, yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi
endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis
pengobatan dengan antihipertensi menunjukan perbaikan gangguan produksi
dari oksida nitrit.
5. Substansi Vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah pada keadaan normal. Bradikinin merupakan
vasodilator yang potensial, begitu endothelin. Endothelin dapat meningkatkan
sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem rein-
angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang
diproduksi di atrium jantug dalam merespon peningkatan volum darah. Hal
ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya
dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi.
6. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding
pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, patelet, dan fibrinolisis. Diduga
hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin
lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat
dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi.
7. Disfungsi Diastolik
Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika
terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
10
input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan
atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel. (Gray, et al,
2005).
11
termasuk konsumsi makanan. Padahal makanan instan cenderung
menggunakan zat pengawet seperti natrium berzoate dan penyedap rasa seperti
monosodium glutamate (MSG). Jenis makanan yang mengandung zat tersebut
apabila dikonsumsi secara terus menerus akan menyebabkan peningkatan
tekanan darah karena adanya natrium yang berlebihan di dalam tubuh.
c. Obesitas: Saat asupan natrium berlebih, tubuh sebenamya dapat membuangnya
melalui air seni. Tetapi proses ini bias terhambat, karena kurang minum air
putih, berat badan berlebihan, kurang gerak atau ada keturunan hipertensi
maupun diabetes mellitus. Berat badan yang berlebih akan membuat aktifitas
fisik menjadi berkurang. Akibatnya jantung bekerja lebih keras untuk
memompa darah. Obesitas dapat ditentukan dari hasil indeks massa tubuh
(IMT). (Supariasa, 2012).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi yang tidak
bisa dikendalikan yaitu:
a. Ras: Ras Afrika-Amerika cenderung lebih sering memiliki risiko tekanan darah
tinggi daripada ras lainnya di Amerika Serikat. Untuk ras Afrika-Amerika,
tekanan darah tinggi juga sering terjadi pada usia muda dan keadaan ini sering
berubah menjadi tekanan darah tinggi yang parah.
b. Genetik: hipertensi merupakan penyakit keturunan, apabila salah satu orang
tuanya hipertensi maka keturunannya memiliki resiko 25% terkena hipertesi,
tetapi bila kedua orang tuanya menderita ertensi maka 60 % ketu menderita
c. Usia: Hipertensi bisa terjadi pada semua usia, tetapi semakin bertambah usia
seseorang maka resiko terkena hipertensi semakin meningkat. Penyebab
hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-
perubahan pada elastisitas dinding aorta menurun, katub jantung menebal dan
menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan elastisitas
pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah
perifer untuk oksigenasi, meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
Pada umumnya hipertensi menyerang pria pada usia diatas 31 tahun dan wanita
terjadi setelah usia 45 tahun atau usia menopause.
12
Berikut ini kategori usia menurut Depkes RI 2011:
Masa balita : 0-5 tahun
Masa kanak-kanak : 6-12 tahun
Masa remaja awal : 13-17 tahun
Masa remaja akhir : 18-25 tahun
Masa dewasa awal : 26-35 tahun
Masa dewasa akhir : 36-44 tahun
Masa lansia awal : 45-55 tahun
Masa lansia akhir : 56-65 tahun
Masa manula : >65 tahun
d. Jenis kelamin: Sampai menginjak usia 45 tahun, pria lebih tinggi mengalami
risiko tekanan darah tinggi dibandingkan perempuan. Dari usia 45 hingga 64
tahun, laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk kejadian
tekanan darah tinggi dan pada usia 65 tahun atau lebih, wanita memiliki risiko
tinggi untuk mengalami tekanan darah tinggi. Tetapi, pada umumnya pria lebih
terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita. Hal ini dikarenakan pria
banyak mempunyai faktor risiko yang memengaruhi terjadinya hipertensi
seperti merokok, kurang nyaman terhadap pekerjaan dan makan tidak
terkontrol. Biasanya wanita akan mengalami peningkatan hipertensi setelah
masa menopause (AHA, 2016).
2.10 Diagnosis
ANAMNESIS
Kebanyakan pasien hipertensi bersifat asimtomatik. Beberapa pasien
mengalami sakit kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang
13
dapat menunjang kecurigaan ke hipertensi sekunder, antara lain: penggunaan
obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan, OAINS); sakit
kepala paroksimal, berkeringat, atau takikardi (feokromositoma); riwayat penyakit
ginjal sebelumnya. Mencari faktor risiko kardiovaskuler lainnya: merokok,
obesitas, inaktivitas fisik, dislipidemia, diabetes mellitus, mikroalbuminuria, atau
laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/mnt, usia (laki-laki >55th, perempuan
>65th), riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler dini (laki-laki <55th,
perempuan <65th) (Tanto, Hustrini, 2014).
PEMERIKSAAN FISIK
Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan pada penderita yang dalam
keadaan nyaman dan rilaks, dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pengukuran tekanan darah
adalah:
a. Untuk mengukur TD terdapat 3 jenis sphygmomanometer. Yaitu aneroid
(kurang akurat bila digunakan berulang-ulang), manometer elektronik (juga
kurang akurat) dan manometer merkuri/air raksa (ingat merkuri dapat
mencemari lingkungan). Gunakan manset dengan ukuran iflatable bag; (karet
yang ada di bagian dalam manset) yang sesuai, yaitu lebar ± 40% dari lingkar
lengan (rata-rata pada orang dewasa 12-14 cm) dan panjang ± 60-80% lingkar
lengan, sehingga cukup panjang untuk melingkupi lengan.
b. Pasang manset pada lengan atas dengan pusat iflatable bag di bagian atas
arteri brakhialis (pada sisi dalam lengan atas) dan sisi bawah manset ± 2,5 cm
di atas fossa antecubiti.
c. Posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku, lengan harus disangga
(dengan bantal, meja atau benda lain yang stabil), pastikan bahwa manset
setinggi jantung. Cari arteri brakhialis, biasanya sedikit medial dari tendon
bisep.
d. Lakukan pemeriksaan palapasi tekanan darah sistolik (TDS) yaitu ibu jari
atau jari-jari lain diletakan di atas arteri brakhialis, manset
dipompa/dikembangkan sampai ± 30 mmHg di atas tingkat mana pulsasi
mulai tidak teraba, kemudian manset pelan-pelan dikendurkan dan akan
didapatkan TDS yaitu saat pulsasi mulai terasa kembali.
14
e. Selanjutnya stetoskop (bagian bell) diletakkan di atas arteri brakhialis, manset
dipompa kembali sampai ± 30 mmHg di atas harga palpasi TDS, kemudian
manset dikendurkan pelan-pelan (mulai terdengar suara) dan tekanan darah
diastolik atau TTD (suara mulai menghilang).
f. Pengukuran TD harus dilakukan pada lengan (arteri brakhialis) kanan dan
kiri, setidaknya pernah dilakukan walaupun sekali saja. Normal antara kanan
dan kiri terdapat perbedaan 5-10 mmHg. Bila ada perbedaan > 10-15 mmHg
perlu dicurigai adanya kompresi atau obstruksi arteri pada sisi yang TD-nya
lebih rendah.
g. Pada penderita yang mendapat obat antihipertensi dan ada riwayat pingsan
atau postural dizziness, atau pada penderita dengan dugaan hipovolemik. TD
diukur pada posisi tidur, duduk, dan berdiri (kecuali ada kontraindikasi).
Normal dari posisi horizontal ke posisi berdiri akan menyebabkan TDS
sedikit menurun atau tidak berubah dan TDD sedikit meningkat. Bila saat
berdiri TDS turun & 20 mmHg, apalagi disertai adanya keluhan, menunjukan
adanya hipotensi ortostatik (postural). TDD juga bisa turun. Penyebabnya
adalah obat, hipovolemia, terlalu lama tirah baring dan gangguan sistem saraf
otonom perifer.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: tes darah rutin,
glukosa darah (sebaiknya puasa), kolestrol total serum, kolestrol LDL dan HDL
serum, trigliserida serum (puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium
serum, hemoglobin dan hematokrit, urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin),
elektrokardiogram. Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes
lain seperti: ekokardiogram, USG karotis (dan femoral), C-reactive protein,
mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin, proteinuria
kuantitatif (jika uji carik positif), funduskopi (pada hipertensi berat) (Yugiantoro,
2014)..
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya
penyakit penyerta sistemik, yaitu: aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil
lemak), diabetes (terutama pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal (dengan
15
pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi
glomerulus) (Yugiantoro, 2014).
Pemeriksaan penunjang untuk kecurigaan klinis hipertensi sekunder:
a. Hipertiroidisme/hipotiroidisme: fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3)
b. Hiperparatiroidisme: kadar PTH, Ca2+
16
dapat diperkirakan dengan mengguanakan modifikasi rumus dari Cockroft-
Gault sesuai dengan anjuran National Kidney Foundation (NKF) yaitu :
2.11 Tatalaksana
Non Farmakologi
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan
risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi
derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat
merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4-6
bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan
darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain,
maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi (PERKI, 2015).
a. Modifikasi Gaya Hidup
1) Penurunan berat badan dapat mengurangi tekan darah sistolik 5-10 mmHg/
penurunan 10 kg. Rekomendasi ukuran pinggang < 94 cm untuk pria dan <
80 cm untuk wanita, indeks massa tubuh < 25 kg/m2. Rekomendasi
penurunan berat badan meliputi nasihat mengurangi asupan kalori dan juga
meningkatkan aktivitas fisik.
2) Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension)
dapat menurunkan tekanan darah sistolik 8-4 mmHg. Lebih banyak makan
buah, sayur-sayuran, dan produk susu rendah lemak dengan kandungan
lemak jenuh dan total lebih sedikit, kaya potassium dan calcium.
3) Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg.
Konsumsi garam < 1500 mg/hari. Rekomendasikan makanan rendah garam
sebagai bagian pola makan sehat.
17
4) Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mmHg.
Lakukan aktivitas fisik intensitas sedang, frekuensi tujuh kali per minggu,
waktu sekitar 30-60 menit, tipe aktivitas kardiorespirasi seperti berjalan,
joging, bersepeda, berenang yang non kompetitif.
5) Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-4
mmHg. Maksimum 2 minuman standar/hari: 1 oz atau 30 mL ethanol;
misalnya bir 24 oz, wine 10 oz, atau 3 oz 80-proof whiskey untuk pria, dan 1
minuman standar/hari untuk wanita.
6) Berhenti merokok untuk mengurangi risiko kardiovaskuler secara
keseluruhan (Muhadi, 2016).
b. Pengaturan Makanan
1) Bahan makanan dianjurkan
a) Makanan yang segar: sumber hidrat arang, protein nabati dan hewani,
sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung serat.
b) Makanan yang diolah tanpa atau sedikit menggunakan garam natrium,
vetsin, dan kaldu bubuk.
c) Sumber protein hewani: penggunaan daging, ayam, ikan paling banyak
100 gram/hari. Telur ayam atau bebek 1 butir/hari.
d) Susu segar 200 ml/hari.
2) Bahan makanan yang dibatasi
a) Pemakaian garam dapur.
b) Penggunaan bahan makanan yang mengandung natrium seperti soda kue.
3) Bahan makanan yang dihindari
a) Otak, ginjal, paru, jantung, dan daging kambing.
b) Makanan yang diolah menggunakan garam natrium: crackers, pastries,
krupuk, kripik dan makanan kering yang asin.
c) Makanan dan minuman dalam kaleng: sarden, sosis, kornet, sayuran dan
buah-buahan dalam kaleng.
d) Makanan yang diawetkan: dendeng, abon, ikan asin, ikan pindang, udang
kering, telur asin, telur pindang, selai kacang, acar, dan manisan buah.
e) Mentega dan keju.
18
f) Bumbu-bumbu: kecap asin, terasi, petis, garam, saus tomat, saus sambel,
tauco, dan bumbu penyedap lainnya.
g) Makanan yang mengandung alkohol misalnya: durian, tape (Kemenkes
RI, 2011).
Farmakoterapi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga
kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu:
a. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal.
b. Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya.
c. Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti pada usia
55-80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid.
d. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)
dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs).
e. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi.
f. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur (PERKI, 2015).
Terapi farmakologis adalah dengan menggunakan obat-obatan
antihipertensi. Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan
keamanan dalam pengobatan hipertensi.
Terapi farmakologi hipertensi terdiri dari:
a. Diuretik. Obat jenis diuretik adalah obat pilihan pertama pada hipertensi.
Mekanisme diuretik dengan menekan reabsorbsi natrium di tubulus ginjal
sehingga meningkatkan ekskresi natrium dan air.
b. Antagonis aldosterone. Spironolakton dan eplerenon bekerja dengan menahan
retensi natrium. Efek samping dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien
dengan penyakit gagal ginjal kronis.
c. Penghambat reseptor beta adrenergik. Mekanisme kerja dengan menghambat
reseptor beta adrenergik sehingga terjadi penurunan curah jantung dan
penghambatan pelepasan renin, frekuensi dan kontraksi otot jantug.
19
d. Penghambat angiotensin coverting enzyme (ACE). Mekanisme kerja dengan
menghambat enzim yang mengkonversi perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah).
e. Penghambat renin. Mekanisme obat ini mencegah pemecahan
angiotensinogen menjadi angiotensin I.
f. Penghambat Reseptor Angiotension II. Mekanisme kerja dengan menghambat
reseptor angiotension II sehingga menimbulkan efek vasodilatasi, penurunan
pelepasan aldosteron, adan penurunan aktivitas saraf simpatik.
g. Penghambat saluran kalsium. Mekanisme obat ini adalah dengan merelaksasi
otot jantung dan otot polos melalui penghambatan masuknya ion kalsium
masuk ke dalam intrase.
h. Antagonis reseptor -adrenergik. Mekanisme obat dengan penghambatan -
adrenergik sehingga pelepasan katekolamin terhambat. Menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah yang berefek pada penurunan resistensi perifer.
Efek tersebut menurunkan laju jantung dan curah jantung.
i. Obat aktifitas simpatomimetik intrinsik. Mekanisme obat dengan
penghambatan parsial reseptor beta 1, sehingga mengurangi bronkospasme
dan vasokonstriksi.
j. Vasodilator arteriolar. Mekanisme obat dengan rileksasi otot polos arteriolar
menyebabkan terjadinya refleks baroreseptor sehingga terjadi peningkatan
laju jantung, curah jantung, dan pelepasan renin.
k. Penghambat simpatik. Mekanisme guanetidin dan guanadrel adalah dengan
menghambat pelepasan norepinefrin pada post ganglion pusat saraf simpatik
dan penghambatan pelepasan norepinefrin dalam menstimulasi saraf simpatik
(Depkes RI, 2006).
Tabel 3. Target Tekanan Darah yang Harus Dicapai dari Berbagai Guideline
(Yogiantoro, 2014)
Guidelines Hipertensi Tidak Diabetes Penyakit Ginjal
Berkomplikasi Kronik
20
BHS IV 2004 <140/90 <130/80 <130/80
JNC VII 2003 <140/90 <130/80 <130/80
JNC VIII <60 tahun <140/90 <130/80 <130/80
JNC VIII ≥60 tahun <150/90 <130/80 <130/80
ESH : European Society of Hypertension; CSH : China Society of Hypertension;
WHO-ISH : World Health Organization-International Society of Hypertension;
BHS : British Hypertension Society; JNC : Joint National Committee.
Tabel 4. Obat Anti Hipertensi (Yogiantoro, 2014)
Dosis lazim
Kelas Nama obat Frekuensi
mg/hari
Diuretik tiazide Hidroklorotiazid 6,25-50 1 atau 2
Klortalidon 25-50 1
Loop diuretik Furosemid 40-80 2 atau 3
Asam etakrinat 50-100 2 atau 3
Antagonis Eplerenone Spironolakton 50-100 1 atau 2
aldosteron 25-100 1 atau 2
ACE inhibitor Captopril 25-200 2
Lisinopril 10-40 1
Ramipril 2,5-20 1 atau 2
Antagonis Losartan 25-100 1 atau 2
angiotensin II Valsartan 80-320 1
Kandesartan 2-3 1 atau 2
Beta blockers Kardioselektif
Atenolol 25-100 1
Metoprolol 25-100 1 atau 2
Nonselektif
Propranolol 46-160 2
Propranolol LA 60-180 1
21
ACE : Angiotensin Converting Enzym.
22
Gambar 5. Skema Tatalaksana Penderita Hipertensi Berdasarkan Umur dan
Penyakit Penyertanya (JNC 8, 2013)
DM : Diabetes Melitus; CKD : Chronic Kidney Diesease; TD : Tekanan Darah;
ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors; ARB : Angiotensin Receptor
Blockers; CCB : Calcium Channel Blockers.
2.12 Komplikasi
Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai organ target, seperti jantung
(penyakit jantung iskemik, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung), otak (stroke),
ginjal (gagal ginjal), mata (retinopati), dan arteri perifer (klaudikasio intermiten).
Kerusakan organ-organ tersebut bergantung pada tingginya tekanan darah pasien
dan berapa lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol dan tidak diobati
(Muhadi, 2016).
23
2.13 Prognosis
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum yang akan
berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan organ
target. Berawal dari tekanan darah 115/75 mmHg, setiap kenaikan sistolik/
diastolik 20/10 mmHg, risiko morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular
akan meningkat dua kali lipat. Penderita dengan hipertensi stadium 1 disertai
dengan faktor risiko kardiovaskular tambahan, bila berhasil mencapai penurunan
tekanan darah sistolik sebesar 12 mmHg yang dapat bertahan selama 10 tahun,
maka akan dapat mencegah satu kematian dari setiap 11 penderita yang telah
diobati (Yogiantoro, 2014).
Hipertensi yang tidak diobati meningkatkan sekitar 50 persen dari semua
kematian akibat stroke, 35 persen kematian kardiovaskular, 25 persen kematian
akibat PJK, 25 persen dari semua kematian prematur (bayi muda), serta menjadi
penyebab tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan penyebab gagal
ginjal terminal. Sedangkan pemberian obat anti hipertensi akan diikuti penurunan
insiden gagal jantung lebih dari 50 persen, stroke 35-40 persen, dan infark
miokard 20-25 persen (Yogiantoro, 2014).
24
Obesitas tingkat I 25,0–29,9 Sedang
Obesitas tingkat II > 30,0 Tinggi
Sumber: WHO, 2000
25
resistensi terhadap kelelahan dengan mengubah komposisi tipe serat otot dan
mengganggu siklus kalsium (Tallis et al., 2018).
Faktor Risiko
2.16 Kerangka Teori
Aktifitas Fisik
Indeks Masa Tubuh
Usia Konsumsi sayur
Diabetes (kadar
Jenis Kelamin dan buah
gula darah)
Pendidikan Konsumsi Alkohol
Kadar Kolesterol 26
Pekerjaan Rokok
Tingkat Stress
Hipertensi
Gambar 2.12 Kerangka Teori
Usia Hipertensi
27
BAB III
METODE PENELITIAN
28
2. Pasien yang telah didiagnosa sebelumnya dan didiagnosa saat ini dengan
hipertensi di Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan.
3. Pasien Hipertensi yang bersedia menjadi responden
3.4.2. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah
1. Pasien Hipertensi yang tidak bersedia untuk dilakukan wawancara.
2. Data pasien hipertensi yang tidak lengkap
29
Tabel 3.1 Definisi Operasional
30
3.8 Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data pada penelitian ini berdasarkan data sekunder dan
wawancara yang diperoleh dari bagian poli usia lanjut dan poli umum Puskesmas
Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Data yang meliputi :
nama, usia, berat badan dan tinggi badan.
3.9 Teknik pengolahan dan analisis data
3.9.1 Teknik pengolahan data
Setelah pengumpulan data selesai, kemudian dilakukan pengolahan
data:
1. Editing
Langkah ini digunakan untuk memeriksa kembali data yang diperoleh
mencakup kelengkapan / kesempurnaan data, kekeliruan pengisian, data
sampel yang tidak sesuai / tidak lengkap.
2. Coding
Data yang diperoleh diberikan kode tertentu untuk mempermudah
pembacaan data.
3. Tabulasi
Data yang terkumpul dimasukkan dalam tabel frekuensi komputer sesuai
dengan kategori masing-masing. Melakukan analisis data menggunakan
program statistik komputer.
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN
32
adalah dewasa akhir sebanyak 2 orang (3,4%). Frekuensi dari IMT responden
tertinggi adalah IMT Normal sebanyak 24 responden (40,7%) diikuti gemuk dan
obesitas sebanyak masing-masing 17 responden (28,8%). Sedangkan frekuensi
IMT terendah adalah IMT kurus sebanyak 1 responden (1,7%). Frekuensi tekanan
darah responden yang tertinggi adalah Hipertensi grade I yaitu sebanyak 32
responden (54,2%) diikuti Hipertensi grade II sebanyak 16 responden (27,1%).
Sedangkan frekuensi tekanan darah terendah adalah Pre-hipertensi sebanyak 11
responden (18,6%).
Tabel 4.3 Hasil uji statistik indeks massa tubuh dengan kejadian Hipertensi
di Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap pada bulan maret 2020
Hipertensi Pre-hipertensi Hipertensi Hipertensi
IMT Grade I Grade II
Kurus 1 0 0
Normal 10 13 1
33
Gemuk 0 14 3
Obesitas 0 5 12
Usia IMT
Spearman’s rho Tekanan Corelation coefficient .188 .696
darah
Sig. (2-tailed) .154 .000
N 59 59
34
BAB V
PEMBAHASAN
35
5.3 Hubungan usia pasien dengan kejadian Hipertensi di Puskesmas
Sidomulyo Rawat Inap
Berdasarkan tabel 4.4 tidak diperoleh adanya hubungan antara usia dengan
kejadian hipertensi di Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap kota Pekanbaru dengan
nilai p value 0,154. Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan
Demonamang et al (2016) menunjukkan tidak terdapatnya hubungan yang
signifikan antara usia dengan tekanan darah pada pasien hipertensi di Panti
Werdha kota Manado dengan nilai p value sebesar 0,551 dan 0,440.
Berdasarkan teori usia adalah salah satu faktor resiko hipertensi yang tidak
bisa diubah. Hipertensi meningkat seiring pertambahan usia. Hipertensi
merupakan penyakit multifaktor yang disebabkan oleh interaksi berbagai faktor
resiko yang dialami sesorang. Pertambahan usia menyebabkan terjadinya
perubahan fisiologis dalam tubuh seperti penebalan dinding arteri akibat
penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah mengalami
penyempitan dan menjadi kaku proses ini dimulai pada saat usia >45 tahun.
Dari penelitian ini tidak didapatkan adanya hubungan antara usia dengan
tekanan darah pasien, hal ini bisa disebabkan adanya faktor lain yang secara
langsung menyebabkan terjadinya hipertensi pada pasien. Faktor yang
mempengaruhi hasil penelitian ini juga bisa disebabkan oleh tingkat kepatuhan
minum obat, dukungan keluarga pada pasien faktor diet dan olahraga pasien
sehingga menyebabkan tekanan darah pasien terkontrol dan tidak tinggi.
36
yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Komponen indeks
massa tubuh terdiri dari tinggi badan dan berat badan. Indeks Massa Tubuh dinilai
berdasarkan berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan
dalam meter (kg/m2) (Supariasa, 2013).
Dari penelitian ini didapatkan pada responden dengan tekanan darah yang
tinggi diikuti dengan IMT yang berlebih. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
peningkatan indeks massa tubuh akan meningkatkan tekanan darah. Menurut
WHO orang yang gemuk jantungnya cenderung memompa lebih keras. Hal ini
dikarenakan biasanya pembuluh darah orang yang memiliki kelebihan berat badan
terjepit oleh kulit yang berlemak yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan darah. Menurut Probuesuseno dalam Putra et al, faktor kelebihan berat
badan dapat menyebabkan seorang terserang penyakit hipertensi. Semakin besar
massa tubuh seseorang maka akan semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk
memasok oksigen maupun makanan ke jaringan tubuh. Sehingga hal tersebut akan
meningkatkan volume darah yang beredar di pembuluh darah, yang nantinya akan
memberikan tekanan yang lebih besar ke dinding pembuluh darah. Proses ini
nantinya akan menimbulkan terjadinya hipertensi.
Menurut Nurmalina, kelebihan erat badan merupakan suatu faktor utama
yang mempengaruhi tekanan darah dan juga perkembangan hipertensi.
Berdasarkan studi Framingham ditemukan bahwa peningkatan 15% berat badan
akan menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 18%. Jika
dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal orang dengan kelebihan
berat badan 20% resiko untuk hipertensinya meningkat sebanyak delapan kali
lebih besar.
37
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas
Sidomulyo Rawat Inap Pekanbaru Riau, maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Karakteristik umum subjek penelitian adalah pasien hipertensi yang
memiliki usia terbanyak adalah usia lansia akhir yaitu sebanyak 28
responden (47,5%) dan yang memiliki indeks massa tubuh terbanyak
adalah IMT Normal sebanyak 24 responden (28,8%).
2. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian
hipertensi di Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Pekanbaru Riau dengan
nilai p value 0,154.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kejadian hipertensi
di Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Pekanbaru Riau dengan nilai p value
0,000.
B. SARAN
1. Bagi puskemas sidomulyo rawat inap perlu melakukan program
pemberdayaan kesehatan bagi masyarakat yang menderita hipertensi untuk
menghindari terjadinya komplikasi lebih lanjut.
2. Bagi petugas puskesmas perlu melakukan konseling dan memberi
pengetahuan kepada masyarakat khususnya penderita hipertensi bahwa
penting untuk melakukan kontrol penyakit hipertensi dan teratur untuk
minum obat antihipertensi guna mencegah terjadinya komplikasi penyakit
yang didasari oleh hipertensi.
3. Bagi masyarakat wilayah Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap perlu
memperhatikan kesehatandan sering untuk mengontrol tekanan darah
khususnya pada penderita hipertensi yang memiliki IMT ≥ 25 kg/m2
dengan dapat mengatur pola makan dengan mengurangi konsumsi
makanan yang tinggi garam dan lemak dan dapat melakukan lifestyle
changing dengan melakukan aktifitas fisik secara berkala.
38
4. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk
penelitian lebih lanjut mengenai hipertensi.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
Nurmalina, R. Velley, B. (2011). Pencegahan dan Manajemen Obesitas. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo
Nurrahmani, Ulfa. (2012). Stop! Hipertensi. Bandung : Familia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). (2015).
Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular.
Putra, ME. Sumarni. Rupawan, IK. (2019). Hubungan Indeks Massa Tubuh dan
Lingkar Pinggang dengan Tekanan Darah pada Pegawai SMA Negeri 5
Palu. Vol 6. No.1
Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%2oRiskerdas
%202013.pdf
Riskesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar 2018. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Available from:
http://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-
riskesdas-2018_1274.pdf
Sutono, Budi. (2008). Menu Sehat Penakluk Hipertensi. Jakarta: De Media
Sherwood L. (2012). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sugiritama IW, Wiyawan IGNS, Arijana IGK, Ratnayani IGA. 2015. Gambaran
IMT (indeks massa tubuh) kategori berat badan lebih dan obesitas pada
masyarakat banjar demulih, kecamatan susut, kabupaten bangli. Denpasar:
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D.
Bandung: CV Alfabeta.
Supariasa. (2012). Pendidikan Dan Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC
Supariasa, I.D.N. (2013). Penilaian Status Gizi.edited by Monica Ester. Jakarta:
EGC.
Tallis J, James RB, Seebacher F. 2018. The effect of obesity on skeletal muscle
contractile function. Journal of Experimental Biology. 221: 1–14
Tanto C, Hustrini NM. (2014). Hipertensi, dalam: Kapita Selekta Kedokteran,
Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius.
41
Tomlinson DJ, Erskine RM, Morse CI, Winwood, Onambele-Pearson G. 2016.
The impact of obesity on skeletal muscle strength and structure throufh
adolescence to old age. Biogerontol. 17: 467–83
Widjaya, N., Anwar, F., Laura, R,. Sabrina, Puspadewi, R., Wijayanti, E. (2018).
Hubungan Usia Dengan Kejadian Hipertensi di Kecamatan Kresek dan
Tegal Angus, Kabupaten Tangerang. Jurnal Kedokteran Yarsi 26 (3): 131-
138
World Health Organization. (2015). A Global Brief On Hypertention: silent killer,
global public health crisis.
Yogiantoro, M., (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II (Edisi 6).
Jakarta: Interna Publishing
42