Pembimbing :
dr. Wienta Diarsvitri, MD, M.Sc, PhD
dr. Choirul Anwar Fathoni
Oleh :
I putu Oka Pramudya (2017.04.2.00262)
Ida Bagus Indra Maha Putra (2017.04.2.00263)
Indra Hartawan (2017.04.2.00264)
Inggrid Bella Thesman (2017.04.2.00265)
Intan Malafina A.T (2017.04.2.00266)
Intan Siti Khoiriyah (2017.04.2.00267)
Irawati Timur (2017.04.2.00268)
KEPANITERAAN IKM
PERIODE 08 JULI SAMPAI 08 AGUSTUS 2019
UPTD PUSKESMAS KEDURUS DINAS KESEHATAN KOTA SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
1
LEMBAR PENGESAHAN
UPAYA KESEHATAN PERORANGAN (UKP)
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
SKIZOFRENIA HEBEFRENIK
Oleh :
Dokter Muda Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya
Kelompok 42 – L
Telah disetujui dan disahkan sebagai Laporan Kegiatan Kepaniteraan
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya
UPTD Puskesmas Kedurus
Dinas Kesehatan Kota Surabaya
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
menyertai kami dan telah melimpahkan hikmat serta berkat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan kepaniteraan klinik IKM dengan judul
“SKIZOFRENIA HEBEFRENIK” dengan baik dan lancar.
i
Pada kesempatan kali ini, kami ingin menghaturkan banyak terima
kasih kepada:
1. Kepala Puskesmas Kedurus, drg. Triyani Widyawati
2. Pembimbing Puskesmas, dr. Choirul Anwar Fathoni
3. Pembimbing Akademik, dr. Wienta Diarsvitri, MD, M.Sc, PhD
4. Para dosen bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UHT
5. Para dokter dan seluruh staff Puskesmas Kedurus yang tidak dapat kami
sebutkan satu per satu.
6. Teman-teman sejawat Dokter Muda IKM
7. Semua pihak yang telah membantu kami atas penyelesaian Laporan
Puskesmas yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
4.2 Non medikamentosa ....................................................................................................11
BAB V ......................................................................................................... 12
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 12
5.1 Skizofrenia Hebefrenik ...........................................................................................12
5.1.1 Definisi............................................................................................................12
5.1.2 Gejala .............................................................................................................14
5.1.3 Epidemiologi ...................................................................................................17
5.1.4 Patofisiologi ....................................................................................................18
5.1.5 Neurobiologi...................................................................................................18
5.1.6 Genetika .........................................................................................................19
5.1.7 Psikologi .........................................................................................................19
5.1.8 Sosial ..............................................................................................................20
5.1.9 Diagnosis ........................................................................................................21
5.1.10 Penatalaksanaan ............................................................................................26
5.1.11 Prognosis ........................................................................................................35
BAB VI ........................................................................................................ 38
KUNJUNGAN RUMAH ............................................................................... 38
6.1 Kondisi Rumah dibandingkan Rumah Sehat ..............................................................38
6.2 Kepadatan Penghuni Rumah ........................................................................................39
6.3 Dukungan Anggota Keluarga Terhadap Perawatan Penderita dan Kepemilikan BPJS ..39
6.4 Penerapan PHBS dalam Tatanan Rumah Tangga..........................................................39
6.5 Home Visit (Contact Tracing) ........................................................................................40
BAB VII ....................................................................................................... 48
PEMBAHASAN ........................................................................................... 48
7.1 Pembahasan Hasil BAB 1 – 6 ........................................................................................48
7.1.1 Riwayat Penyakit Sekarang....................................................................................48
7.1.2 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................................49
7.1.3 Pengajuan Diagnosa Banding ................................................................................51
7.1.4 Rencana Tatalaksana .............................................................................................51
7.1.5 Pengajuan Diagnosa ..............................................................................................51
7.1.6 Hasil Kunjungan Rumah.........................................................................................51
7.1.7 Konseling dan Edukasi ...........................................................................................52
iv
7.1.8 Prognosis ...............................................................................................................52
BAB VIII ...................................................................................................... 53
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 53
8.1 Kesimpulan ...................................................................................................................53
8.2 Saran ............................................................................................................................53
8.2.1 Bagi pasien dan keluarga .......................................................................................53
8.2.2 Bagi puskesmas .....................................................................................................54
8.2.3 Bagi mahasiswa .....................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 55
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR TABEL
vii
BAB I
IDENTITAS PASIEN DAN ANAMNESA
1
bertujuan (pasien sering memegang kepala). Pada saat ditanya identitas,
pasien dapat menjawab dengan baik. Saat dilakukan wawancara pasien
tidak melihat ke arah pemeriksa. Pada saat ditanya pasien berada dimana,
pasien menjawab berada di rumah. Ketika ditanya sekarang jam berapa
pasien dapat menjawab. Saat ditanya apakah pasien dapat melihat
sesuatu yang tidak terlihat orang lain, pasien sering melihat tutik, orang
yang disukainya ketika SMA. Saat ditanya sejak kapan melihat tutik, pasien
menjawab sejak 2006. Saat ditanya 2006 ada apa? pasien mengatakan
waktu itu pasien jatuh cinta dengan wanita bernama tutik dan akhirnya
melamar tutik bersama orang tuanya, namun ditolak oleh tutik. Pasien
menjadi terpukul, tidak mau makan, minum dan mandi, selalu mengunci diri
di kamar selama berbulan-bulan. Pasien mengatakan setelah itu pasien
sering melihat tutik, ketika ditanya bagaimana wajah tutik, pasien
menjawab cantik dan ketika ditanya tutik memakai baju apa, pasien
menjawab, menggunakan baju putih. Saat ditanya sekarang masih sering
melihat tutik atau tidak, pasien menjawab, sudah jarang. Saat ditanya
pasien sering mendengar suara-suara atau tidak, pasien menjawab, sering
mendengar suara laki-laki kadang perempuan. nyuruh sholat dan mandi.
Pasien juga mengeluh sulit tidur karena ingin jalan-jalan menggunakan
sepeda. Kemudian pemeriksa bertanya, sejak kapan minum obat, pasien
menjawab, sejak 2007. Saat ditanya kenapa sering keluyuran, pasien
mengatakan gak papa senang jalan-jalan. Kemudian pemeriksa bertanya
kalau jalan-jalan ngapain aja, pasien mengatakan ngumpilin sandal, dari
tempat sampah dan pembalut bekas, kenapa kok ngumpulin pembalut
bekas?, pasien menjawab iya gak papa iseng aja baunya wangi. Kemudian
pemeriksa mengatakan pembalut kan baunya amis bukan wangi, jadi
pembalut amis atau wangi? pasien menjawab ya baunya wangi. Selain itu
pasien juga mengaku mengumpulkan pakaian dalam wanita dan pria
karena mendengar ada suara yang menyuruh pasien, bila tidak dilakukan
pasien menjadi jengkel dan ngomong-ngomong sendiri. Pasien berkerja di
rumah potong hewan pagi sampai siang. Saat ditanya pasien memiliki
kekuatan gaib/mistis, pasien merasa di dalam tubuhnya ada rohnnya tutik.
Pasien dapat memberitahu pendidikan terakhir pasien yaitu SMA. Ketika di
2
tanya pasien memiliki banyak teman, pasien menjawab temanya banyak
tetapi sering membully pasien dikatain pendek sehingga pasien enggan
membuka diri dan jarang menceritakan masalahnya kepada teman ataupun
orang terdekat pasien.
3
2010 dan mulai saat itu pasien tinggal bersama kakak hingga
sekarang. Ketika tidak minum obat selama enam bulan pasien mulai
marah-marah kemudian berteriak-teriak, dan pasien melemparkan
helm ke rumah tetangga. Pasien lebih sayang dengan ibunya dari
pada ayahnya ketika ibu pasien meninggal hampir setiap hari pasien
ke makam ibu dan memberikan bunga plastik. Setelah itu pasien di
bawa ke RS Soetomo lagi kemudian dirujuk ke RS Soewandi
kemudian di berikan obat dan diminum hingga sekarang. Pasien
merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara dan kakak nya
merupakan anak ke dua. Pasien mandi jika di suruh dan minum obat
jika di berikan dan di kontrol oleh kakaknya.
4
dan di kontrol oleh ibunya kemudian sempat putus berobat
tahun 2010 selama 6 bulan setelah itu minum obat clozapine,
asam folat. sekarang pasien mengonsumsi obat quetiapine,
clozapine.
g. Faktor kepribadian Premorbid : Skizoid
h. Faktor Pencetus : Pasien di tolak lamaranya tahun 2006
Tidak punya pekerjaan
Hubungan pasien dengan ayah tidak baik
Ibu meninggal
5
BAB II
PEMERIKSAAN FISIK
b. Status generalis :
• Kepala :
- Bentuk : Normochepal
- Anemis /Icterus /Cyanosis /Dsypneu : - / - / - / -
• Leher :
- Pembesaran KGB : (-)
- DeviasiTrakea : (-)
• Dada :
- Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat
6
Perkusi : Batas Jantung kanan : Parasternal
Dextra
Batas jantung kiri : midclavicular
sin ics IV
Auskultasi : S1 S2 tunggal,
Murmur (-)
Gallop (-)
7
b. Kontak :
- verbal (+) dapat berkomunikasi dan menjawab dengan lambat
dan seadanya
- Lancar
- Irrelevan
- kontak mata (-)
c. Kesadaran :
- Kuantitatif : compos mentis
- Kualitatif : Berubah
d. Orientasi :
- Waktu : baik (+)
- Tempat : baik (+)
- Orang : baik (+)
e. Daya ingat :
- Sewaktu : baik (+)
- Pendek : baik (+)
- Panjang : baik (+)
f. Persepsi :
- Halusinasi visual (+)
- Halusinasi auditorik (+)
g. Proses Berpikir :
- Gangguan bentuk pikiran : Non Realistik
- Gangguan arus pikiran : Tangensial
8
- Gangguan isi pikiran : Miskin Ide
- Waham : waham bizarre
h. Afek/mood :
- Dangkal
i. Kemauan :
- Pekerjaan : bekerja sebagai kuli
- Perawatan diri : menurun, mandi dan makan masih
disuruh, minum obat masih di suruh
- Social : cenderung manarik diri
j. Psikomotor
- Steriotypi : pasien melakukan gerakan fisik berulang dan tidak
bertujuan
k. Insight
- Derajat 2 (pasien tidak mengetahui jika pasien sedang sakit, pasien
merasa tidak memerlukan pertolongan dari tenaga medis)
9
BAB III
PENGAJUAN DIAGNOSA BANDING, USULAN DAN HASIL
PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK
10
BAB IV
RENCANA TATALAKSANA
4.1 Medikamentosa
• Aripiprazole tablet 10mg 1-0-0
• Quetiapine tablet 200mg 0-0-1
4.2 Non medikamentosa
• Terapi perilaku untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, komunikasi dan kemampuan
perilaku adaptif, dan latihan keterampilan dengan menggunakan video
maupun permainan.
• Terapi orientasi keluarga : penyuluhan terhadap keluarga tentang
penyakit yang diderita oleh pasien.
• Terapi individual dengan membina hubungan antara pasien dan dokter
yang bertujuan agar pasien tetap mengikuti psikoterapi dan patuh
terhadap medikasi sehingga didapatkan hasil yang baik.
• Melibatkan pasien dalam kegiatan keluarga seperti bersih-bersih
rumah
11
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
12
Skizofrenia hebefrenik disebut juga disorganized type atau
“kacau balau” yang ditandai dengan inkoherensi, affect datar, perilaku
dan tertawa kekanak-kanakan, yang terpecah-pecah, dan perilaku
aneh seperti menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan
aneh, mengucap berulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik
diri secara ekstrim dari hubungan sosial (Maslim, 2001).
Deskripsi gejala tertulis yang biasa diamati pada penderita
skizofrenia ditemukan sepanjang sejarah. Dokter Yunani awal
menggambarkan delusi kebesaran, paranoia, dan penurunan fungsi
kognitif dan kepribadian. Sebelum abad ke-19, skizofrenia muncul
sebagai kondisi medis yang layak dipelajari dan diobati. Dua tokoh
utama psikiatri dan neurologi yang mempelajari kelainan ini adalah
Emil Kraepelin (1856-1926) dan Eugene Bleuler (1857-1939).
Sebelumnya, Benedict Morel (1809-1873), seorang psikiater Prancis,
telah menggunakan istilah prakondisi untuk menggambarkan
penderita yang memburuk yang gangguannya dimulai pada masa
remaja (Sadock, 2015).
Kraepelin mendefiniskan teori Morel ke dalam demensia precox,
sebuah istilah yang menekankan terjadinya perubahan kognisi
(demensia) dan onset awal (precox) pada kelainan ini. Penderita
dengan demensia precox dapat dideskripsikan sebagai perburukan
yang terjadi dalam jangka panjang dan adanya gejala klinis berupa
halusinasi dan delusi. Mereka yang mengalami episode gangguan
yang berbeda bergantian dengan periode fungsi normal, yang
diklasifikasikannya manjadi psikosis manik-depresif. Kondisi lainnya
yang disebut paranoia ditandai dengan delusi pengejaran yang terus-
menerus. Penderita-penderita ini tidak mengalami perburukan dari
demensia precox dan gejala psikosis manik depresif yang intermiten
(Sadock, 2015).
13
Sedangkan Bleuler memperkenalkan istilah skizofrenia, yang
menggantikan demensia precox dalam penelitiannya. Istilah ini dipilih
untuk mengungkapkan adanya kekacauan pikiran, emosi, dan
perilaku pada penderita dengan gangguan tersebut. Bleuler
menekankan bahwa tidak seperti konsep Kraepelin tentang demensia
precox, skizofrenia tidak perlu memburuk. Istilah ini sering
disalahartikan, terutama oleh orang awam yang diartikan sebagai
orang yang memiliki kepribadian ganda. Kepribadian ganda yang
dimaksud tersebut adalah gangguan identitas disosiatif, sangat
berbeda dari skizofrenia (Sadock, 2015).
Bleuler mengidentifikasi gejala spesifik (atau primer) skizofrenia
untuk mengembangkan teorinya tentang perpecahan mental internal
penderita. Gejala ini termasuk asosiasi longgar, gangguan afektif,
autisme, dan ambivalensi, yang diringkas sebagai empat As:
asosiasi, afek, autisme, dan ambivalensi. Bleuler mengidentifikasi
gejala aksesori (sekunder), yang mencakup gejala yang Kraepelin
lihat sebagai indikator utama demensia precox: halusinasi dan
waham (Sadock, 2015).
5.1.2 Gejala
Gejala-gejala pada skizofrenia dapat dijelaskan seperti di bawah
ini: (DSM-5, 2013)
1. Waham
Waham adalah suatu keyakinan yang bertentangan dengan
kenyataan yang nyata. Waham ini mencakup berbagai macam jenis
(contoh kejar, rujukan, somatik, agama, kebesaran, dan sebagainya).
2. Halusinasi
Halusinasi adalah pengalaman seperti persepsi yang terjadi
tanpa adanya stimulus eksternal. Terasa nyata dan jelas, dengan
kekuatan dan dampak dari persepsi normal, dan tidak di bawah
kontrol sukarela. Halusinasi mungkin terjadi dalam sensori, tapi
14
halusinasi pendengaran adalah yang paling umum pada skizofrenia
dan gangguan terkait. Halusinasi pendengaran biasanya dialami
sebagai suara, entah familiar atau asing, yang dirasakan berbeda
dari pikiran masing-masing individu. Halusinasi harus terjadi dalam
konteks sensorium yang jelas; yang terjadi saat akan tertidur
(hypnagogic) atau bangun tidur (hypnopompic) dianggap berada
dalam rentang normal. Halusinasi mungkin merupakan bagian normal
dari pengalaman religius dalam konteks budaya tertentu.
3. Pembicaraan tidak teratur
Pemikiran tidak teratur (formal thought disorder) biasanya
disimpulkan dari pembicaraan seseorang. seseorang dapat beralih
dari satu topik ke topik lainnya (diluar jalur pembicaraan atau asosiasi
longgar). Jawaban atas pertanyaan mungkin terkait namun berputar-
putar atau sama sekali tidak terkait (tangensial). Jarang, ucapan
mungkin sangat tidak terorganisir sehingga hampir tidak bisa
dipahami dan menyerupai afasia sensorik dalam disorganisasi
linguistiknya (inkoherensi atau "word salad"). Karena ucapan yang
agak tidak teratur itu biasa dan tidak spesifik, gejalanya pasti cukup
parah untuk secara substansial mengganggu komunikasi yang efektif.
Tingkat keparahan dari kerusakan mungkin sulit untuk dievaluasi jika
orang yang membuat diagnosis berasal dari latar belakang linguistik
yang berbeda dari orang yang diperiksa. Pemikiran atau ucapan yang
tidak terorganisir tidak terlalu parah dapat terjadi selama periode
prodromal dan skizofrenia residual.
4. Perilaku yang sangat tidak terorganisir atau perilaku abnormal
(termasuk katatonia)
Perilaku motorik yang tidak teratur atau tidak normal dapat
terwujud dalam berbagai cara, mulai dari tingkah laku seperti anak-
anak kecil hingga agitasi yang tak terduga. Masalah dapat dalam
segala bentuk perilaku yang diarahkan pada tujuan, yang
15
menyebabkan kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Perilaku katatonik ditandai dengan penurunan reaktivitas terhadap
lingkungan. Ini tergolong bagian dari penolakan terhadap instruksi
(negativisme); untuk mempertahankan kekakuan, tidak pantas atau
sikap yang aneh; kurangnya respon verbal dan motorik (mutisme dan
stupor). Bisa juga termasuk aktivitas motorik tanpa tujuan dan
berlebihan tanpa penyebab yang jelas (katatonik kegembiraan).
Gejala lainnya adalah gerakan stereotipik, menatap, meringis,
mutisme, perseverasi, verbegerasi. Meskipun katatonia secara
riwayat dikaitkan dengan skizofrenia, gejala katatonik tidak spesifik
dan bisa terjadi pada gangguan mental lainnya (misalnya gangguan
bipolar atau depresi dengan katatonia) dan dalam kondisi medis
(gangguan katatonik akibat kondisi medis lainnya).
5. Gejala Negatif
Gejala negatif memberikan sebagian besar morbiditas yang
terkait dengan skizofrenia tapi kurang menonjol dalam gangguan
psikotik lainnya. Dua gejala negatif sangat menonjol dalam
skizofrenia: ekspresi emosional berkurang dan avolisi. Ekspresi
emosional yang berkurang mencakup pengurangan ekspresi emosi di
wajah, kontak mata, intonasi ucapan, dan gerakan tangan, kepala,
dan wajah yang biasanya memberi penekanan emosional pada
ucapan. Avolisi adalah ketidakmampuan untuk memulai atau
mempertahankan berbagai macam kegiatan.
Gejala negatif lainnya meliputi alogia, anhedonia, dan asosial.
Alogia dimanifestasikan dengan berkurang bicara, Anhedonia adalah
menurunnya minat untuk mengalami kegembiraan yang positif atau
degradasi dalam ingatan terhadap kebahagiaan yang pernah dialami.
Asosial mengacu pada kurangnya minat dalam interaksi sosial dan
mungkin terkait dengan avolisi,hal tersebut juga bisa menjadi
manifestasi dari keterbatasan kesempatan untuk interaksi sosial.
16
5.1.3 Epidemiologi
Skizofrenia didiagnosis di setiap negara di dunia. Prevalensi
global berada pada kisaran 1,4-4,6 per 1000, dan tingkat kejadian
berada pada kisaran 0,16-0,42 per 1000 orang (Seeman, 2016). Di
Indonesia angka penderita skizofrenia 25 tahun yang lalu diperkirakan
1/1000 penduduk, dan proyeksi 25 tahun mendatang mencapai 3/1000
penduduk. Diantara penderita skizofrenia 20%-50% melakukan
percobaan bunuh diri (Hawari, 2012).
Skizofrenia sama lazimnya pada pria dan wanita. Onset lebih
awal pada pria daripada pada wanita. Lebih dari separuh dari semua
penderita skizofrenia pria, namun hanya sepertiga dari semua
penderita skizofrenia wanita, pertama kali dirawat di rumah sakit jiwa
sebelum berusia 25 tahun. Usia puncak adalah 10 sampai 25 tahun
untuk pria dan 25 sampai 35 tahun untuk wanita. Tidak seperti pria,
wanita menampilkan distribusi usia bimodal, dengan puncak kedua
terjadi pada usia paruh baya. Sekitar 3-10% wanita dengan skizofrenia
hadir dengan onset gangguan setelah usia 40 tahun. Sekitar 90%
penderita dalam pengobatan skizofrenia berusia antara 15 dan 55
tahun (Anonymus, 2001) (Jibson, 2013).
Permulaan skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau setelah usia
60 tahun sangat jarang terjadi. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pria lebih cenderung terganggu oleh gejala negatif daripada
wanita dan wanita lebih cenderung memiliki fungsi sosial yang lebih
baik daripada laki-laki. Secara umum, hasil untuk penderita skizofrenia
wanita lebih baik daripada penderita skizofrenia pria. Bila onset terjadi
setelah usia 45 tahun, kelainan ini ditandai dengan skizofrenia late-
onset (Sadock, 2015) (Jibson, 2013).
17
5.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi skizofrenia adanya ketidakseimbangan
neurotransmiter di otak, terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamin
(Sadock, 2015). Namun, proses patofisiologi skizofrenia masih belum
diketahui secara pasti. Secara umum, penelitian-penelitian telah
menemukan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan penurunan volume
otak, terutama bagian temporal (termasuk mediotemporal), bagian
frontal, termasuk substansia alba dan grisea. Dari sejumlah penelitian
ini, daerah otak yang secara konsisten menunjukkan kelainan adalah
daerah hipokampus dan parahipokampus (Abrams, Rojas, &
Arciniegas, 2008).
Pada penelitian neuroimaging penderita dengan skizofrenia,
ditemukan penurunan volume talamus dan deformitas thalamus,
abnormalitas pada nukleus ventrolateral (Smith, et.al., 2011).
5.1.5 Neurobiologi
Telah dilaporkan pola abnormalitas neurotransmiter yang
serupa antara penderita gangguan skizoafektif, skizofrenia, dan
gangguan bipolar. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar
norepinefrin, prostaglandin E1 dan platelet 5HT pada penderita
skizofrenia dan skizoafektif (Abrams, Rojas, & Arciniegas, 2008).
Jaras yang berperan dalam gangguan psikotik adalah jaras
mesolimbik, mesokortikal, nigrostriatal, tuberoinfundibular, dan
talamus. Jaras yang beperan pada gejala psikotik adalah jaras
mesolimbik dan mesokortikal. Jaras mesolimbik melewati ventral
tegmental area menuju striatum ventral. Jika terjadi peningkatan
dopamin pada jaras ini, maka timbulah gejala positif, impulsif, dan
agresif. Jaras Mesokortikal meliputi area ventral tegmental area
menuju dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) dan ventromedial
prefrontal cortex (VMPFC). Jika terjadi penurunan dopamin pada jaras
DLPFC, maka akan terjadi gejala penurunan fungsi kognitif dan timbul
18
gejala negatif. Jika terjadi peurunan dopamin pada jaras VMPFC maka
akan terjadi penumpulan afek dan timbul gejala negatif (Stahl, 2013).
5.1.6 Genetika
Ada kontribusi yang kuat untuk faktor genetik dalam
menentukan resiko untuk skizofrenia, biarpun kebanyakan individu
yang telah terdiagnosis dengan skizofrenia tidak mempunyai riwayat
keluarga psikosis. Kemungkinannya ada hubungan dengan spektrum
resiko dari alel-alel, baik yang biasa dan langka, dengan tiap alel
berperan bagian kecil pada variasi total populasi. Alel-alel tersebut
berhubungan dengan gangguan mental lainnya, termasuk gangguan
bipolar, depresi, dan autism spectrum disorder (DSM-5, 2013).
Kehamilan dan komplikasi kelahiran dengan hipoksia dan usia
ibu diatas usia 40 tahun pada saat hamil berhubungan dengan
peningkatan resiko skizofrenia pada janin. Sebagai tambahan,
masalah prenatal dan perinatal, termasuk stres, infeksi, malnutrisi,
diabetes, dan kondisi medis lainnya, berhubungan dengan skizofrenia.
Pada beberapa penelitian banyak bayi yang lahir dengan faktor resiko
ini tidak menderita skizofrenia (DSM-5, 2013).
Hodgkinson et al. (2004) melaporkan bahwa penderita
skizofrenia memiliki gangguan pada kromosom lq42, yaitu
abnormalitas pada Disrupted-In- Schizophrenia-1 (DISC1). DISC1
berfungsi dalam perkembangan neuron dan diekspresikan pada lobus
frontal (Hodgkinson, Goldman, & Jaeger, 2004). Abnormalitas pada
gen ini juga menyebabkan disfungsi pada regulasi emosi dan proses
informasi (Ishizuka, Paek, & Kamiya, 2006).
5.1.7 Psikologi
Bentuk dari mekanisme pembelaan ego bisa dikategorikan
dalam berbagai cara, tidak semuanya termasuk menjadi satu atau
memperhitungkan semuanya menjadi faktor yang relevan. Pertahanan
dapat diklasifikasikan, yaitu dalam hal fase libidinal muncul atau
19
terkait, dengan demikian, penyangkalan, proyeksi, dan distorsi akan
ditentukan oleh perkembangan seseorang pada tahap fase oral dan
hubungan kuat narsisistik terhadap apa yang menjadi miliknya.
Pertahanan tertentu, bagaimanapun pemikiran mistis dan regresi, tidak
dapat dikategorikan kedalam kategori ini. Terlebih lagi, proses
perkembangan dasar tertentu, seperti introyeksi dan proyeksi, mungkin
juga termasuk dalam kategori mekanisme pertahan terhadap suatu
kondisi tertentu (Sadock, & Ruiz, 2017).
Mekanisme pertahanan juga telah diklasifikasikan berdasarkan
bentuk psikopatologi tertentu yang biasanya digunakan. Dengan
demikian, pertahanan terhadap suatu obsesi mencakup
isolasi,rasionalisasi, intelektualisasi, dan penyangkalan; sehingga biar
bagaimanapun, defensif tidak hanya terbatas pada kondisi patologis
tertentu. Mekanisme pertahanan dapat diklasifikasi dalam mekanisme
yang sederhana ataupun mekanisme yang kompleks di mana
pertahanan sederhana akan melibatkan kombinasi atau hanya
mekanisme sederhana. Pertahanan ini biasanya ditemukan sebagai
bagian dari proses psikotik, tapi mungkin juga bisa terjadi pada anak
kecil dan mimpi dewasa atau fantasi. Mereka memiliki tanda umum
untuk menghindari, meniadakan, atau mendistorsi realitas mekanisme
pertahanan ego pada orang psikotik adalah : proyeksi psikotik,
penolakan (denial), dan distorsi (Sadock, & Ruiz, 2017).
5.1.8 Sosial
Teori psikososial Erikson dipengaruhi oleh faktor eksternal,
orang tua dan lingkungan pada masa anak-anak sampai dewasa.
Menurut teori Erikson, setiap manusia harus melalui 8 tahap
perkembangan di dalam hidupnya (Erikson, 1994).
Delapan tahap siklus hidup mewakili titik-titik kritis sepanjang
rangkaian perkembangan hidup seseorang dimana akan menentukan
terjadinya perubahan fisik, kognitif, instingtual, dan seksual untuk
20
memicu terjadinya titik balik pada masing-masing tahap yang hasilnya
akan menyebabkan regresi psikososial atau pertumbuhan dan
pengembangan pada waktu yang spesifik dalam perjalanan hidupnya
(Sadock, & Ruiz, 2017).
Pengalaman seorang anak pada setiap masa krisis di setiap
fase perkembangan atau titik balik kritis dipengaruhi oleh peranan
orang tua, nilai dan adat istiadat budaya (Erikson, 1993)(Erikson,
1994).
Selain teori perkembangan yang di sampaikan oleh Erik Erikson
terdapat pula teori dari Freud tentang psikoseksual (Sadock, & Ruiz,
2017).
5.1.9 Diagnosis
Diagnosis skizofrenia ditegakkan melalui kriteria diagnosis yang
tercantum dalam DSM V. Sehingga segala gejala yang timbul pada
seseorang dapat dikategorikan sebagai skizofrenia jika memenuhi
kriteria yang sudah ditetapkan. Adapun kriteria diagnostik skizofrenia
berdasarkan DSM V:
21
A. Dua (atau lebih) dari berikut ini, masing-masing gejala muncul secara signifikan
selama periode waktu 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati). Setidaknya ada
salah satu dari gejala ini (1), (2), atau (3):
1. Delusions.
2. Halusinasi.
3. pembicaraan yang tidak terorganisir (misalnya, asosiasi longgar atau inkoheren).
4. Perilaku tidak teratur atau katatonik.
5. Gejala negatif (yaitu berkurangnya ekspresi emosi atau ketidak mampuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari).
B. Untuk gejala-gejala yang signifikan sejak dimulainya gangguan pada fungsi di
salah satu atau lebih pekerjaan dasar, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal,
atau perawatan diri sendiri jauh sebelum onset terjadi (atau saat onsetnya masih
dalam masa kanak-kanak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai harapan
interpersonal, akademik, atau pekerjaan).
22
Revision. Adapun kriteria diagnostik skizofrenia beserta
pembagiannya menurut PPDGJ-III :
Skizofrenia
A. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas) :
a. Thought echo, thought insertion or withdrawal, thought broadcasting
b. Delusion of control, delusion of influence, delusion of passivity,
delusion of perception
c. Halusinasi auditorik (berkomentar, berdiskusi, berasal dari bagian
tubuh)
d. Waham bizzare
B. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera, waham mengambang,
ide-ide berlebihan
b. Arus pikiran yang terputus atau mengalammi sisipan
c. Perilaku katatonik, seperti gelisah, posisi tubuh tertentu, fleksibilitas
serea, negativisme, mutisme, stupor
d. Gejala-gejala negatif
C. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak beraku untuk setiap fase non psikotik
prodromal)
D. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam
diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial
Skizofrenia Paranoid
23
Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia Katatonik
A. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
B. Satu atau lebih dari gejala mendominasi :
a. Stupor, mutisme
b. Gaduh-gelisah
c. Menampilkan posisi tertentu
d. Negativisme
e. Rigiditas
f. Fleksibilitas serea
g. Patuh terhadap perintah, pengulangan kata dan kalimat
C. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta gangguan afektif.
Skizofrenia Tak Terinci
A. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
B. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
katatonik
C. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual, simpleks, depresi
24
pasca-skizofrenia
Depresi Pasca-Skizofrenia
A. Diagnosis ditegakkan bila :
a. Penderita telah menderita skizofrenia (memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 1 tahun
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak
mendominasi)
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi
kriteria episode depresi, telah ada dalam kurun waktu paling
sedikit 2 minggu
B. Apabila penderita tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresi. Bila gejala skizofrenia masih menonjol,
diagnosis harus tetap skizofrenia
Skizofrenia Residual
A. Harus memenuhi semua :
a. Gejala negatif skizofrenia menonjol
b. Ada riwayat satu episode psikotik yang memenuhi kriteria
umum skizofrenia
c. Sudah melampaui 1 tahun gejala sangat berkurang dan telah
timbul gejala negatif dari skizofrenia
d. Tidak terdapat demensia atau penyakit/ gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau kondisi lain yang dapat menjelaskan
gejala negatif tersebut
Skizofrenia Simpleks
A. Perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik
b. Perubahan-perubahan perilaku yang bermakna, kehilangan
minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
25
hidup, penarikan diri secara sosial
B. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotik dibandingkan sub tipe skizofrenia
lain
5.1.10 Penatalaksanaan
1) Terapi somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat
mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau
kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien.
Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan
terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati Skizofrenia.
Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu:
antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril
(Clozapine) (Kaplan, 2007).
a) Antipsikotik konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat
antipsikotik konvensional antara lain:
• Haldol (Haloperidol)
• Mellaril (Thioridazine)
• Navane (Thiothixene)
• Prolixin (Fluphenzine)
• Stelazine (Trifluoperazine)
• Thorazine (Chlorpromazine)
26
• Trilafon (Perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh
antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan
penggunaan newer atypical antipsycotic.
Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional).
Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan)
yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping
yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan
pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami
kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan
dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu
(disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat
disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-
lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer
atypic antipsycotic (Sinaga, 2007).
27
disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat
serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat
menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi.
Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel
darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan
Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak
berhasil (Maslim, 2007).
Cara Penggunaan
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer
(efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada
efek samping sekunder. Pemilihan jenis obat anti psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat
anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan
obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan
dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama (Kaplan,
2007).
Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya
jenis obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir
dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang. Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer (efek klinis): sekitar 2-4 minggu
o Onset efek sekunder (efek samping): sekitar 2-6 jam
o Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
o Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi
dampak efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar)
sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
28
Mulai dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2
minggu dosis maintanance dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun
(diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu) tapering off (dosis diturunkan tiap
2-4 minggu) stop.
Untuk pasien dengan serangan sindroma psikosis multi episode
terapi pemeliharaan dapat diberikan palong sedikit selama 5 tahun. Efek
obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir yang masih mempunyai efek klinis. Pada umumnya
pemberian obat psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali.
Untuk psikosis reaktif singkat penurunan obat secara bertahap setelah
hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu-2 bulan.
Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi
ketergantungan obat kecil sekali. Pada penghentian yang mendadak
dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu: gangguan lambung, mual
muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda
dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM
dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari).
Obat anti psikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk
pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak
efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2
minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setap bulan.
Pambarian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan terhadap kasus skizofrenia (Maslim, 2007).
Penggunaan CPZ (Chlorpromazine) injeksi sering menimbulkan
hipotensi ortostatik pada waktu peubahan posisi tubuh (efek alpha
29
adrenergik blokade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi noradrenalin
(effortil IM) (Maslim, 2007).
30
Pengobatan Selama Fase Penyembuhan
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan
walaupun setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5
pasien yang berhenti minum obat setelah episode pertama Skizofrenia
dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia
episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan
sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang menderita
Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada
episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu
diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering
kekambuhan dan makin beratnya penyakit (Maslim, 2007).
31
konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan
mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal.
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan
fungsi seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri
pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter
akan menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti dengan newer
atypical antipsycotic yang efek sampingnya lebih sedikit. Peningkatan
berat badan juga sering terjadi pada penderita Skizofrenia yang
memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan
antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi
masalah ini.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant
syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat
yang juga dapat menimbulkan komplikasi berupa demam, penyakit-
penyakit lain. Gejala-gejala ini membutuhkan penanganan yang segera
(Maslim, 2007).
2) Terapi psikososial
a) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat
ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas
jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di
masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan (Maslim, 2007).
b) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, dimana pasien skizofrenia
32
kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang
singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera,
topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses
pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota
keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang
terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat.
Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan
tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan
penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian
telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam
menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka
relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga
sebesar 25-50 % dan 5-10 % dengan terapi keluarga (Kaplan, 2007).
c) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika
atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan
isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu
bagi pasien skizofrenia (Maslim, 2007).
d) Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual
dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi akan
membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep
penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah
perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien.
Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi,
33
jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi
seperti yang diinterpretasikan oleh pasien (Kaplan, 2007).
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang
ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan
hubungan seringkali sulit dilakukan, pasien skizofrenia seringkali
kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan
kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia,
perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap
kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur
dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan
atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan
kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau
eksploitasi (Kaplan, 2007).
3) Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan
diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan
bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan
di rumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien
dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang
dilakukan pada perawatan rumah sakit harus direncanakan. Dokter juga
harus memberi edukasi kepada pasien, pengasuh, dan keluarga pasien
tentang skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya
perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan
tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di
rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan,
perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Pusat
34
perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien
dalam memperbaiki kualitas hidup (Maslim, 2001).
5.1.11 Prognosis
Prognosis untuk skizofrenia hebefrenik sama dengan skizofrenia
tipe lainnya, prognosisnya pada umumnya kurang begitu baik. Sekitar
25% pasien dapat kembali pulih dari episode awal dan fungsinya dapat
kembali pada tingkat prodromal (sebelum munculnya gangguan tersebut).
Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya
cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya, ditandai dengan
kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif
kecuali untuk waktu yang singkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
prognosis skizofrenia (First dkk, 2006):
1) Keluarga, pasien membutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama
dari keluarganya. jangan membeda-bedakan antara orang yang
mengalami Skizofrenia dengan orang yang normal, karena orang yang
mengalami gangguan Skizofrenia mudah tersinggung.
2) Inteligensi, pada umumnya pasien Skizofrenia yang mempunyai
Inteligensi yang tinggi akan lebih mudah sembuh dibandingkan dengan
orang yang inteligensinya rendah.
3) Pengobatan, obat memiliki dua kekurangan utama. Pertama hanya
sebagian kecil pasien (kemungkinan 25%) cukup tertolong untuk
mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal. Kedua
antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang
mengganggu dan serius. Namun pasien skkizofrenia perlu di beri obat
Risperidone serta Clozapine.
4) Reaksi Pengobatan, dalam proses penyembuhan skizofrenia, orang
yang bereaksi terhadap obat lebih bagus perkembangan kesembuhan
daripada orang yang tidak bereaksi terhadap pemberian obat.
35
5) Stressor Psikososial, apabila stressor dari skizofrenia ini berasal dari
luar, maka akan mempunayi dampak yang positif, karena tekanan dari
luar diri individu dapat diminimalisir atau dihilangkan. Begitu pula
sebaliknya apabila stressor datangnya dari luar individu dan bertubi-tubi
atau tidak dapat diminimalisir maka prosgnosisnya adalah negatif atau
akan bertambah parah.
6) Kekambuhan, penderita skizofrenia yang sering kambuh prognosisnya
lebih buruk.
7) Gangguan Kepribadian, prognosis untuk orang yang mempunyai
gangguan kepribadian akan sulit disembuhkan. Besar kecilnya
pengalaman akan memiliki peran yang sangat besar terhadap
kesembuhan.
8) Onset, jenis onset yang mengarah ke prognosis yang baik berupa
onset yang lambat dan akut, sedangkan onset yang tidak jelas memiliki
prognosis yang lebih baik.
9) Proporsi, orang yang mempunyai bentuk tubuh normal (proporsional)
mempunyai prognosis yang lebih baik dari pada penderita yang bentuk
tubuhnya tidak proporsional.
10) Perjalanan penyakit, pada penderita skizofrenia yang masih
dalam fase prodromal prognosisnya lebih baik dari pada orang yang
sudah pada fase aktif dan fase residual.
11) Kesadaran, kesadaran orang yang mengalami gangguan
skizofrenia adalah jernih. Hal inilah yang menunjukkan prognosisnya baik
nantinya.
36
Tabel 6.1 Penentuan Prognosis
37
BAB VI
KUNJUNGAN RUMAH
38
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, total hasil
penilaian sebesar 960 sehingga rumah pasien bukan termasuk
kategori rumah sehat.
6.2 Kepadatan Penghuni Rumah
Pasien tinggal hanya bersama kakak perempuan dan suaminya
kakak nya . Pasien sendiri saat ini berusia 41 tahun. Rumah yang
berlokasi di kemlaten baru barat gang dahlia no.1 kelurahan kebraon-
Kecamatan Karangpilang-Kota Surabaya-Jawa Timur yang merupakan
rumah hak milik. Rumah pasien terdiri dari satu lantai, satu ruang tamu
,satu ruang keluarga, tiga kamar tidur, satu dapur, dan satu kamar mandi.
Untuk kegiatan memasak keluarga pasien memiliki dapur. Rumah pasien
tidak termasuk padat penghuni karena rumah yang berukuran 13 x 9 m
hanya ditempati tiga orang anggota keluarga yakni pasien dan kakak
perempuan dengan suaminya. Kondisi penduduk lingkungan sekitar
rumah pasien begitu pada.
6.3 Dukungan Anggota Keluarga Terhadap Perawatan Penderita dan
Kepemilikan BPJS
Pasien mendapat dukungan penuh dari keluarganya atas
pengobatannya. Kakak pasien selalu mengingatkan pasien untuk minum
obat setiap hari dan control rutin. Pasien dan keluarganya memiliki BPJS
untuk berobat.
39
makan. Sumber air bersih keluarga pasien berasal dari PDAM ynag
digunakan untuk mencuci pakaian, alat makan dan mandi. Sedangkan
untuk minum pasien menggunakan air isi ulang.
Di dalam rumah pasien terdapat satu kamar mandi dan bak
mandinya tidak ditemukan jentik nyamuk dan di kuras seminggu 2x.
Dalam rumah pasien memiliki jamban dan pasien telah memiliki septic
tank. Menu makanan sehari-hari pasien dan keluarga jarang
mengandung sayur dan buah. Pasien dan keluarganya selalu melakukan
aktivitas fisik setiap hari. Pasien sering merokok dan terkadang merokok
didalam rumah. Maka dari penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan
bahwa keluarga ini belum memenuhi indicator keluarga sehat.
40
Gambar 6. 1 Kondisi teras rumah
41
Gambar 6. 2 Kondisi ruang tamu
42
Gambar 6. 3 Kondisi kamar tidur
43
Gambar 6. 4 Kondisi kamar mandi
44
Gambar 6. 5 Kondisi dapur
45
WC
WC
DAPUR
GUDANG
RUANG TAMU
KAMAR TIDUR
KAMAR PASIEN
Keterangan :
1. Pintu :
2. Jendela :
3. Gerbang
46
Gambar 6. 8 Kartu Rumah Sehat
47
BAB VII
PEMBAHASAN
48
7.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien yang dilakukan pada tanggal 22 Juli
2019 pukul 13.00 WIB didapati bahwa pasien tampak baik dengan BMI
masuk dalam batas normal (18,7). Tanda-tanda vital pasien dalam batas
normal.
Dari pemeriksaan status generalis:
Kepala ; DBN
Leher ; DBN
Thorax ; Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat
Perkusi : Batas Jantung kanan : Parasternal
Dextra
Batas jantung kiri : midclavicular
sin ics IV
Auskultasi : S1 S2 tunggal, Murmur (-), Gallop
(-)
Paru-paru : Inspeksi : Normochest, retraksi (-)
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi : Vesikuler/vesikuler, rhonki (-),
wheezing (-)
Abdomen ; DBN
Ekstremitas ; DBN
49
m. Kontak :
- verbal (+) dapat berkomunikasi dan menjawab dengan lambat
dan seadanya
- Lancar
- Irrelevan
- kontak mata (-)
n. Kesadaran :
- Kuantitatif : compos mentis
- Kualitatif : Berubah
o. Orientasi :
- Waktu : baik (+)
- Tempat : baik (+)
- Orang : baik (+)
p. Daya ingat :
- Sewaktu : baik (+)
- Pendek : baik (+)
- Panjang : baik (+)
q. Persepsi :
- Halusinasi visual (+)
- Halusinasi auditorik (+)
r. Proses Berpikir :
- Gangguan bentuk pikiran : Non Realistik
- Gangguan arus pikiran : Tangensial
- Gangguan isi pikiran : Miskin Ide
- Waham : waham bizarre
50
s. Afek/mood :
- Dangkal
t. Kemauan :
- Pekerjaan : bekerja di pemotongan hewan
- Perawatan diri : menurun, mandi dan makan masih
disuruh, minum obat masih di suruh
- Social : cenderung manarik diri
u. Psikomotor
- Meningkat : suka keluyuran bersepeda dan mengumpulkan
sandal dan pembalut dari tempat sampah.
k. Insight
- Derajat 2 (pasien tidak mengetahui jika pasien sedang sakit, pasien
merasa tidak memerlukan pertolongan dari tenaga medis)
7.1.3 Pengajuan Diagnosa Banding
• Gangguan waham menetap tipe bizzare
• Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)
• Skizoafektif
51
didapatkan total hasil penilaian sebesar 960 sehingga rumah pasien bukan
termasuk kategori rumah sehat.
Faktor penghambat :
• Riwayat kepribadian premorbid yaitu skizoid.
Dari faktor diatas maka prognosis dari pasien ini dubia et bonam
52
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Dari hasil UKP dari kelompok kami dapat disimpulkan bahwa:
• Diagnosa dari pasien adalah skizofrenia hebefrenik.
• Faktor pencetus pada pasien adalah pasien di tolak lamaranya tahun
2006.
• Prognosis pada pasien adalah dubia et bonam karena pengobatan
pada pasien didukung penuh oleh pihak keluarg, tidak ada kelainan
neurologis, pengobatan yang teratur.
• Pengobatan pada pasien cukup teratur, tahun 2010 sempat putus
berobat sehingga kambuh dan dilakukan pengobatan lagi sampai
sekarang.
8.2 Saran
8.2.1 Bagi pasien dan keluarga
a) Kontrol dan minum obat secara rutin dan tepat waktu.
b) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan
perasaan dan keluhannya sehingga pasien merasa lega.
c) Menyarankan kepada pasien untuk ikut aktif dalam posyandu jiwa.
d) Segera melaporkan pada pelayanan kesehatan terdekat apabila
pasien membahayakan diri sendiri dan atau orang lain.
e) Keluarga harus mengajak pasien berkomunikasi dan berinteraksi
setiap hari.
f) Keluarga harus senantiasa mendukung dan mendorong pasien agar
dapat hidup mandiri.
53
8.2.2 Bagi puskesmas
a) M e m a n t a u perkembangan dengan menghubungi keluarganya.
b) Meningkatkan pengetahuan warga sekitar mengenai gangguan jiwa
yang dapat dilakukan melalui penyuluhan saat dilaksanakan
posyandu jiwa agar ODGJ dapat bebas dari stigma
c) Meningkatkan upaya pemantauan pengobatan ODGJ yang ada di
wilayah kerja puskesmas.
d) Menjalankan dan meningkatkan pelayanan dan cakupan posyandu
jiwa yang sudah dibentuk.
8.2.3 Bagi mahasiswa
a) Masih banyak yang perlu ditingkatkan dalam pembuatan laporan ini
dan perlu dikembangkan dalam pembuatan laporan berikutnya.
b) Mempelajari lebih mendalam mengenai gangguan kejiwaan.
54
DAFTAR PUSTAKA
Balhara, Y., & Verma, R. (2012). Schizophrenia and suicide. East Asian
Arch Psychiatry, 22:126–133.
Abrams, D., Rojas, D., & Arciniegas, D. (2008). Is Schizoaffective
disorder a distinct clinicalcondition?Journal of Neuropsychiatric
Disease and Treatment, 1089 – 1109.
Anonymus. (2001). Kapita Selekta Kedokteran jilid 1. Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura: Media Aesculapicus.
Association, A. P. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders: DSM-IV. Washington DC: American Psychiatric Publishing.
Association, A. P. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental
Disorder Edition ―DSM-5". Washinton DC: American Psychiatric
Publishing.
Erikson, E. H. (1993). Childhood and society. WW Norton & Company.
Erikson, E. H. (1994). Identity: Youth and crisis (No. 7). WW Norton
& Company.
Hodgkinson, C., Goldman , D., & Jaeger, J. (2004). Disrupted in
schizophrenia 1 (DISC1):association with schizophrenia,
schizoaffective disorder, and bipolar disorder. Am J Hum Genet,
75:862-72.
Kaplan, HI, Sadock BJ, Skizofrenia, In: Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition,2007.
Ishizuka , K., Paek , M., & Kamiya , A. (2006). A review of Disrupted-In-
Schizophrenia-1(DISC1):neurodevelopment, cognition, and mental
conditions. Biol Psychiatry, 59:1189 – 97.
Jibson, M. (2013). Schizophrenia:Clinical presentation, epidemiology,and
pathophysiology. http://www.uptodate.com.
Katzung, B. G. (2018). Basic and Clinical Pharmacology 14th Editions.
United States of America: McGraw-Hill Education.
55
Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. PT Nuh Jaya
Jakarta.
Makris, G., Reutfors, J., Ösby , U., Isacsson, G., Frangakis, C., Ekbom,
A., & Papadopoulos, F. (2013). Suicide seasonality and
antidepressants: a register-based study in Sweden. Acta Psychiatr
Scand, 127(2):117-25.
Maramis. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ
III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
Pompili, M., Baldessarini, R., Forte, A., Erbuto, D., Serafini, G., Fiorillo,
A., Girardi, P. (2016). Do Atypical Antipsychotics Have Antisuicidal
Effects? A Hypothesis-Generating Overview. Int J Mol Sci., 17(10):
1700.
Sadock, B. J. (2015). Mood disorder. In: Greb JA, et al, editors. Kaplan &
Sadock’s synopsis of psychiatry: beha-vioral sciences/clinical
psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Publications.
Sadock, B., Sadock, V., & Ruiz, P. (2017). Kaplan & Sadock's
Comprehensive Textbook of Psychiatry 10th Edition. Philadephia:
Wolters Kluwer.
Smith, M., Wang, L., Cronenwett, W., Mamah , D., & Barch. (2011).
Thalamic Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective
Disorder. J Psychiatry, 378–385.
Stahl, S. M. (2013 ). Mood disorder. In: Stahl SM, penyunting.
Depression and bipolar disorder : Stahl’s essential psycho-
pharmacology. 4th ed. Cambridge: Cambridge University Press.
56