Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

DVT (Deep-Vein Thrombosis)

Disusun Oleh :
dr. Novia Aulia Rahman

Dokter Pembimbing:
dr. F. Brotto Sukmaningtyas, SpPD

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BATANG
2017

BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta : dr. Novia Aulia Rahman


Nama Wahana : RSUD Batang
Topik : DVT
Tanggal Kasus : Februari 2017
Nama Pasien : Ny. K No.RM : 091188
Tanggal Presentasi : Maret 2017 Nama Pembimbing: dr. F. Brotto

1
Sukmaningtyas, SpPD

Tempat Presentasi :RSUD Batang


Obyektif Presentasi
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : DVT (Deep Vein Thrombosis)

Tujuan : Diagnosis, Manajemen, Prevensi


Bahasan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Pembahasan Diskusi Presentasi & Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama : Ny. K No. Reg 091188
Nama Klinik : Bangsal Dahlia

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
o Nama : Ny. K
o Umur : 53 tahun
o Jenis Kelamin : Perempuan

2
o Pendidikan : SD
o Agama : Islam
o Alamat : kab. Batang
o No. RM : 091188
o Tanggal masuk RS : 02 Maret 2017
B. DATA DASAR
1. Anamnesis
Keluhan Utama : Kaki kiri bengkak

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 2 minggu SMRS, pasien mengeluh kaki kirinya tiba-tiba


bengkak. Bengkak awalnya lunak, namun lama kelamaan semakin
mengeras. Bengkak dirasakan nyeri dan kaku. Sejak pasien mengeluh
bengkak, aktivitas pasien menjadi berkurang hanya berbaring di atas
tempat tidur dan melakukan aktivitas ringan saja. Sebelum dibawa
kerumah sakit pasien sudah memeriksakan di dokter, tetapi pasien tidak
tau obat apa saja yang dikasih. Menurut pasien setelah minum obat dari
dokter hanya keluhan nyeri saja yang berkurang tetapi bengkak masih
utuh. Sehingga pasien memutuskan untuk datang kepoli penyakit dalam.

b. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit serupa disangkal

Riwayat penyakit tekanan darah tinggi (+)


Riwayat trauma (+) lengan kanan. Operasi 17 November 2016
Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat penyakit kencing manis disangkal


Riwayat penyakit jantung disangkal

c. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini

d. Riwayat sosial ekonomi

3
Biaya pengobatan ditanggung BPJS NON PBI
Kesan ekonomi : Cukup

2. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : tampak kesakitan


Kesadaran : compos mentis
TandaVital :
Tekanan darah: 175/79 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Laju nafas : 22 x/menit
Suhu : 360 C axilla
Status Internus
Kepala
Konjungtiva : Sklera : ikterus (-/-), mata cekung(-/-), bibir : kering (-),
sianosis (-)
Leher
Pemeriksaan kelenjar getah bening dalam batas normal, massa tumor (-),
nyeri tekan (-)

Dada :

* Paru-paru :

Inspeksi : Simetris, statis, dinamis

Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi: Suara dasar vesikuler

Suara tambahan (-)

* Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tak tampak

Palpasi : Ictus teraba di SIC V, linea midklavikularis kiri

4
Perkusi : Batas jantung kiri SIC V linea midklavikularis

Auskultasi: Suara jantung murni, Bising (-), Gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Datar, Venektasi (-)

Palpasi : Lien tak teraba, hepar tak teraba

Perkusi : Timpani (+)

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Ektremitas :
Superior Inferior

Oedem -/- -/+


Nyeri Tekan -/- -/+
CRT <2 <2
Teraba Hangat -/- -/+

5
6
3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi 2/03/17
- Hemoglobin L 10.3 g/dL 11,9-15,5
- Hematokrit L 31.7 % 36-46
- Leukosit 9.24 ribu/ul 4.5-11.0
- Trombosit 224 ribu/ul 150-440
- Eritrosit L 3.99 juta/ul 4.1-5.1
- Neutrofil 70.6 % 42-74
- Limfosit 18.7 % 17-50
- Monosit 7.6 % 2.0-8.0
- Eusinofil 2.9 % 1 -7.0
- Basofil 0.2 % 0.0-1.0
- LED 1 jam H 43.0 Mm/jam <15
- LED 2 jam H 53.0 Mm/ 2 jam <30
L 79.4 fl 80.0-102.0
-MCV
L 25.8 pg 27.0-35.0
-MCH L 32.5 g/dl 33.2-37.0
-MCHC

KIMIA KLINIK

7
-GDS 90.1 70-140
183 <200
-Cholestrol total
149 <160
-Trigliserid 29 10-50
0.8 0.5-0.9
-Ureum
3.9 3.4-7.0
-Creatinin
-Asam urat

Urine Rutin
*Makros Urine
Kuning
Warna Jernih
6
Kejernihan
1,015
PH Negatif
Negatif
BJ
Negatif
Nitrit Negatif
Negatif
Protein
Negatif
Glukosa Negatif
Negatif
Bilirubin
Urobilinogen Penuh
Negatif
Keton
Negatif
Blood 7-9
0-1
Leukosit Esterase
Negati
*Mikroskopis Urine Negatif
Negatif
Epitel Squamous
Negatif
Epitel Transisional Negatif
Negatif
Epitel Kubuid
Negatif
Leukosit
Eritrosit
Cilinder Hialin
Cilinder Granuler
Cilinder sel eritrosit
Cilinder leukosit
Cilinder Sel epitel

8
Kristal
Bakteri

Rh Thorax

9
10
EKG

EKG

11
12
Kesan :
Sinus Takikardi (HR 107x/menit)

13
Skor Wells DVT

Skor: 4 (High)

4. Diagnosis
DVT (Deep Vein Thrombosis) tungkai kiri
Hipertensi Grade II

5. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
Inf Rl 20 tpm
Inj Arixtra 1x1 IM
Xarelto 10 mg 1x1
Candesartan 1x16mg
Adalat Oros 1x30mg

14
Cilostazol 2x50mg

b. Non medikamentosa
Elastic bandage dibebat selama 1 jam, habis itu dilepas selama 3 jam

6. FOLLOW UP

Tanggal Penatalaksanaan
3/03/17 S :nyeri kaki kiri Medikamentosa
(H2) Inf Rl 20 tpm
(+),bengkak berkurang,
Inj Arixtra 1x1 IM
kaku (+) Xarelto 10 mg 1x1
O : TD: 133/74, nadi 84 Candesartan 1x16mg
Adalat Oros 1x30mg
Cilostazol 2x50mg

Non medikamentosa
Elastic bandage dibebat selama
1 jam, habis itu dilepas selama 3
jam

4/03/17 S :nyeri kaki kiri, Medikamentosa


Inf Rl 20 tpm
(H3) bengkak dan kaku
Inj Arixtra 1x1 IM
berkurang,buat berjalan Xarelto 10 mg 1x1
Candesartan 1x16mg
masih sakit.
Adalat Oros 1x30mg
O : TD: 153/79, nadi 84
Cilostazol 2x50mg

Non medikamentosa
Elastic bandage dibebat selama 1
jam, habis itu dilepas selama 3 jam

15
5/03/17 S : nyeri kaki kiri, Medikamentosa
Inf Rl 20 tpm
(H4) bengkak dan kaku
Inj Arixtra 1x1 IM
berkurang Xarelto 10 mg 1x1
O : TD: 152/85, nadi 76 Candesartan 1x16mg
Adalat Oros 1x30mg
Cilostazol 2x50mg

Non medikamentosa
Elastic bandage dibebat selama 1
jam, habis itu dilepas selama 3 jam

6/03/17 S : nyeri kaki kiri, Medikamentosa


Inf Rl 20 tpm
(H5) bengkak dan kaku
Inj Arixtra 1x1 IM
berkurang, buat berjalan Xarelto 10 mg 1x1
Candesartan 1x16mg
udah enakan
Adalat Oros 1x30mg
O : TD: 148/90, nadi 95
Cilostazol 2x50mg

Non medikamentosa
Elastic bandage dibebat selama 1
jam, habis itu dilepas selama 3 jam

7/03/17 S : kaku (-), nyeri dan BLPL


(H6) bengkak berkurang
Medikamentosa
O : TD: 165/84, nadi 95
Inj Arixtra 1x1 IM (terakhir sblm
pulang)
Xarelto 10 mg 1x1
Candesartan 1x16mg
Adalat Oros 1x30mg
Cilostazol 2x50mg
Furosemid -0-0
Spironolakton 1x1

Non medikamentosa
Elastic bandage dibebat selama 1
jam, habis itu dilepas selama 3 jam

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen
vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan
jaringan perivena (Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh
darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias
virchow (JCS Guidelines, 2011; Bailey, 2009; Hirsh, 2002).

PATOGENESIS

Berdasarkan Triad of Virchow, terdapat 3 faktor yang berperan dalam patogenesis


terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan
aliran darah dan perubahan daya beku darah.

Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah merah
dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.

Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.

17
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis aliran
darah dan hiperkoagulasi.

1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada
daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.

Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat
menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan
darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

2. Kerusakan pembuluh darah


Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena, melalui :

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.


b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan
jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang utuh
bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi seperti
prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang
dapat mencegah terbentuknya trombin.

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar. Keadaan
ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat
pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril.
Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang
akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling
melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.

3. Perubahan daya beku darah

18
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan
darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.

Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah
meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.

FAKTOR RESIKO

Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah status aliran darah dan
meningkatnya aktifitas pembekuan darah.

Faktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap
timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang
menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat
menimbulkan trombosis vena.

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di netralisir
sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam
bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.

19
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan
pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.

Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan


operatif, adalah sebagai berikut :

a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma


pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan
post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di
daerah tersebut.
3. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena
karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX.

Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan


lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi
peningkatkan koagulasi darah.

4. Infark miokard dan payah jantung


Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan
yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan
adanya statis aliran darah karena istirahat total.

Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis
aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada
pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.


Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah
timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan konstrasepsi oral

20
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor
pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varices


Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas
fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo plastin-like
activity dan factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat.
Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke
dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi
terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat
dibandingkan penderita biasa.

MANIFESTASI KLINIK

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena tungkai
superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v poplitea, v femoralis
dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang di kenai.

Trombosis v superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya
ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis v tungkai superfisialis ini
menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak jarng menimbulkan
kematian.

21
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul tidak selalu
dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.

Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang
terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat.

Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius
apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke lebih proksimal.

Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :

- bendungan aliran vena.


- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
- emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :

1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di
daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial
dan anterior paha.

Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan
intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau
penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler.

Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah
sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler
maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan

22
bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur
dengan posisi kaki agak ditinggikan.

3. Perubahan warna kulit


Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena
dalam dibandingkan trombosis arteri.

Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus.
Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.

Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perabaan dingin, merupakan tanda-tanda
adanya sumbatan vena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan
ini di sebut flegmasia alba dolens.

4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi
dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan
meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi
imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.

Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan membalik ke
daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan
subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.

Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang
timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous claudicatio), nyeri berkurang
waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar
lutut dan kaki sepertiga bawah.

DIAGNOSIS

23
Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala klinis saja kurang sensitif dan kurang
spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar tidak menimbulkan penyumbatan
dan peradangan jaringan perivaskuler sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala.

Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena
dalam, yaitu:

1. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena.
Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan
terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya.

Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum
pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke
proksimal ke v iliaca.

2. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai.
Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan
vena di betis.

3. Ultra sonografi (USG) Doppler


Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya
trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.

Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%.

Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang
sukar di deteksi dengan cara objektif lain.

24
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe
perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta
derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT
ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik
serta ditemukannya faktor resiko (Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain edema,
nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea
dolens/blue leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk
stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau tinggi (JCS
Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).

Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)

Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas
karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa (Hirsh,
2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai
prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat

25
sensitif tapi tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis
DVT (Adam, 2009; Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan
pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. USG
Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang
simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi pada isolated calf vein
thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines,
2011; Righini, 2007; Hirsh, 2002: Ramzi, 2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG
doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance
venography (MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines, 2011). Algoritme diagnosis DVT dapat
dilihat sebagai berikut :

Algoritme diagnosis DVT (Hirsh, 2002)

26
PENATALAKSANAAN
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah pasti
dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang diberikan
mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.

Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang jarang
menimbulkan kematian.

Oleh karena itu tujuan pengobatan adalah :

1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.


2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
3. Mengurangi keluhan post flebitis
4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo emboli.

Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru

Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan pemberian
anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di usahakan biaya
serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian anti koagulan sangat
efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin.

Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti koagulan tidak
menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah
timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin perlu dipantau waktu trombo
plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu
pembekuan.

Pemberian Heparin standar

27
Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus 1000
1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di
periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 2,5 kontrol.
1. Bila APTT 1,5 2,5 x kontrol dosis tetap.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 150 iu/jam.
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2
tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang
mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 710 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin
dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral,
selama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian
heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.

Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)

Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan pemantauan yang
ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat ini preparat yang
tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin). Pada
pemberian heparin standar maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup serius
yaitu Heparin Induced Thormbocytopenia (HIT).

Pemberian Oral Anti koagulan oral

Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis
6 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung
dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 3,0

Cara penyesuaian dosis

INR

Penyesuaian

28
1,1 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.

Kembali : 1 minggu

1,5 1,9 hari 1, naikkan 5% 10% dari total dosis mingguan.

Kembali : 2 minggu

2,0 3,0 tidak ada perubahan.

Kembali : 1 minggu

3,1 3,9 hari : kurang 5% 10% dari dosis total mingguan.

Mingguan : kurang 5 150 dari dosis total mingguan

Kembali : 2 minggu

4,0 5,0 hari 1: tidak dapat obat

mingguan : kurang 10%-20% TDM

kembali : 1 minggu

> 50 :

Stop pemberian warfarin.


Pantau sampai INR : 3,0
Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
kembali tiap hari.

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila trombosis
vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible. Sedangkan kalau
trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-6
bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.

Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :

1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.


2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.

29
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan
memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini, terutama
sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA).

TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek
samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4
ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106
unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil
yang cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan
trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral.
Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang
ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5
kali nilai kontrol.

1. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.


Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.

- Istirahat di tempat tidur.


- Posisi kaki ditinggikan.
- Pemberian heparin atau trombolitik.
- Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
- Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.

Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 48 jam serangan


trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan
tindakan embolektomi.

Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya
tidak di anjurkan.

2. Pencegahan Sindroma post-flebitis.


Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat proses
trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang eksistensif seperti

30
vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan biasanya panas, edema dan
nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau
pengangkatan trombosis.

3. Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.


Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli paru. Keadaan
ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya emboli paru, akan tetapi
dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan trombolitik, terjadinya hipertensi
pulmonal ini dapat di cegah.

Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas
dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya
sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial
dan drug of choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Unfractionated Heparin (UFH)

Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus
diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan
kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher,
2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai
kadar activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan
berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan
adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-
tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek
samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya
perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan
antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien.
Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika

31
target International Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0
(Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Low Molecular Weight heparin (LMWH)

Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara menghambat faktor
Xa melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011). LMWH merupakan antikoagulan
yang memiliki beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang
lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu
sampai dua kali sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH
banyak menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).

Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT

(Ramzi, 2004)

32
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding
penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat
stroke perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum,
operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada
sarana untuk memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak
dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang
tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver
serta memiliki penyakit penyerta yang berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004).
LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal
perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011; Key, 2010).

Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat
sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin
mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan
oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB,
dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis
200 IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan
dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux
(Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa
dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi
akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg)
secara subkutan, satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).

TERAPI JANGKA PANJANG

Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan
dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah
kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin
adalah antagonis vitamin K yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor(faktor II,
VII, IX, X) melalui hambatan terhadap enzim vitamin K epoxide reductase(Dietrich, 2009).
Dosis awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi
tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil

33
(2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh,
2002).

Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala
diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya
diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali
perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya
dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal
(Bates, 2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang
sedang dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak
memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan
akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat
daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis
pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah
penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping
harganya yang mahal (Hirsh, 2002: Bates, 2004).

Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara
lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan
banyak jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan
monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih
baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak
dipakai sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor
faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan
sebagai terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan
dibanding warfarin antara lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi
inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan
obat antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping
perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut,
selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman,
2010).

Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target tempat bekerja

34
1. Inhibitor langsung thrombin (atau faktor lIa) , seperti dabigatran etexilate (Pradaxa )
dan AZD0837;
2. Oral inhibitor faktor Xa
Mmeliputi Rivaroxaban (Xarelto ), apixaban, betrixaban , edoxabandan eribaxaban,
dan

3. Inhibitor faktor Xa parenteral, yang


meliputi idrabiotaparinux (idraparinux terbiotinilasi, turunan darifondaparinux)
dan semuloparin.

DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN

Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan


rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH
kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual
case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi
DVT kurang lebih 5% (Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan
kekurangan pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya
fakta bahwa kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi
jangka panjang yang cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian antikoagulan)
(Key, 2010; Zhu, 2009). Terapi antikoagulan yang inadekuat dapat meningkatkan resiko
terjadinya rekurensi dan sindroma post trombotik (Zhu, 2009).

Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor
resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3
bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan
memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien
dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi
(Bates, 2004; Hirsh, 2002)

Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)

35
TERAPI TROMBOLITIK

Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi
vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara
sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada
episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic
syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti
urokinase dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi
streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang
lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan
alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat
tapi resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan
konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat
meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis,
2006; Bates, 2004).

Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding


penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara lain
trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal,threatened limb
viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75
tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi
dilakukan trombolisis (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara

36
lain bleeding diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard
akut, trauma serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati
atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan,
hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines,
2011; Patterson, 2010).

CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya


komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol tindakan
trombolisis dapat dilihat pada tabel 3.

Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik,


penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada
tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara,
penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan
antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus
melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006;
Bates, 2004). Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan
pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-
Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis
sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh
tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis,
kehamilan, tumor uterus (Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan
bersama CDT pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan
trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines,
2011; Patterson, 2010).

37
Tabel-3. Protokol trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)

TERAPI NON FARMAKOLOGIS

Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan
dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden
terjadinya post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama
kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan
resiko timbulnya PTS.

Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam


mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara

38
luas. Compression stockingssebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka
yang memiliki fungsi vena yang jelek (JCS Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).

TROMBEKTOMI

Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy,
lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang
dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah
dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer
harus dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah
tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai
1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang
maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT.
Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi
kompartemen dan perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).

39
BAB III
HASIL PEMBELAJARAN

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis DVT karena adanya keluhan kaki
kirinya tiba-tiba bengkak. Bengkak awalnya lunak, namun lama kelamaan
semakin mengeras. Bengkak dirasakan nyeri dan kaku. Sejak pasien mengeluh
bengkak, aktivitas pasien menjadi berkurang hanya berbaring di atas tempat
tidur dan melakukan aktivitas ringan saja. Faktor resiko yang menyebabkan
DVT pada pasien ini adalah karena immobilisasi pada periode preperatif,
operatif dan post operatif. Pasien mempunyai riwayat operasi fraktur os
humerus kanan dan menurut pengakuan pasien setelah operasi sering
berbaring ditempat tidur dan jarang melakukan aktivitas sekitar 2 mingguan.
Pada pemeriksaan fisik:
Superior Inferior

Oedem -/- -/+


Nyeri Tekan -/- -/+
Teraba Hangat -/- -/+

Terapi pengobatan DVT meliputi beberapa hal diantaranya yaitu untuk


trombosis vena dengan menggunakan Arixtra (fondaparinux Na) dan xarelto
(rivaroxaban) dan obat antiplatelet cilostazol. Untuk menurunkan Tekanan
Darah yang tinggi digunakan obat penghambat reseptor angiotensin
Candesartan, golongan kalsium antagonis Adalat Oros.

40
Daftar Pustaka

1. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in


women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88

2. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med,


351:268-77

3. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux or


enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern
Med, 140:867-73

4. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood,


115:15-20

5. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the


American College of Cardiology, 56:1-7

6. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis.Blood, 99:
3102-3110

7. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of
pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-
1281

41

Anda mungkin juga menyukai