RANGKUMAN
1. Subjektif
Pasien datang diantar keluarganya dengan keluhan demam sejak beberapa hari yang
lalu, demam bersifat hilang timbul serta disertai keluhan lemas dan nafsu makan berkurang
sejak dua minggu terakhir. Pasien juga mengeluhkan nyeri seluruh sendiri dan nyeri kepala
yang memberat sejak tiga hari ini. Pasien juga mengatakan bahwa akhir-akhir ini pasien
sering timbul sariawan, bibir kering dan pecah-pecah, serta rambut yang terus menerus
rontok sejak empat tahun belakangan ini.
2. Objektif
Status Present
- Kondisi Umum: Tampak Sakit Berat
- Kesadaran: Compos Mentis
- Tekanan Darah; 90/70 mmHg
- Heart Rate: 139 x/menit, regular
- Pernapasan: 20 x/menit
- Suhu: 37,7 0C, suhu axial
- Skala Nyeri: 7
- SpO2: 97-98% tanpa O2 nasal canul
Status General
- Kepala: Deformitas (-)
- Mata: Conj palpebral inferior pucat (+/+), kelopak udem (-/-)
- Telinga: Sekret (-), perdarahan (-), tanda peradangan (-)
- Hidung: Napas cuping hidung (-), sekret (-), perdarahan (-)
- Mulut: bibir sianosis (-), bibir kering dengan luka di sudut bibir (+)
- Leher: KGB tidak teraba
- Pulmo Anterior
Inspeksi: Simetris, retraksi intercostal (-)
Palpasi: Pergerakan dinding dada simetris, stem fremitus (N/N)
Perkusi: Sonor/sonor
Auskultasi: Ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
- Pulmo Posterior
Inspeksi: Simetris, retraksi intercostal (-)
Palpasi: Pergerakan dada simetris, stem fremitus (N/N)
Perkusi: Sonor/sonor
Auskultasi: Ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
- Jantung
Inspeksi: Ictus cordis terlihat di ICS V Midclavicula
Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS V LMCS 1 jari ke lateral
Perkusi batas batas jantung
Atas : ICS II
Kanan : 2 jari lateral Linea parasternal dextra
Kiri : Linea midclavicula sinistra 1 jari lateral
Auskultasi: BJ1 > BJ2, regular, murmur pansistolik (-)
- Abdomen
Inspeksi: Soepel, distensi (-)
Auskultasi: Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi: Nyeri tekan (-) ulu hati, organomegali (-), ballotment (-)
Perkusi: Timpani (+)
- Ektremitas
Udem: Tidak ditemukan
Deformitas: Tidak ditemukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
Profil Lab Hasil
Haemoglobin 7.6 gr/dl
Leukosit 6.6 x103/ul
Trombosit 93 x103/ul
Hematokrit 24.8%
Eritrosit 2.90 x106/ul
SGOT 176 U/i
SGPT 26 U/i
Ureum 78 mg/100 ml
Creatinin 1.0 mg/100 ml
GDS 78 mg/100 ml
Albumin 1.5 gr/dl
Tambahan Laboratorium: NLR 2.87, ALC 1380
Foto Rontgen
3. Assasment (Penalaran klinis)
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien dikonsulkan ke bagian Interna dengan keluhan
yakni demam sejak beberapa hari yang lalu, bersifat hilang timbul serta disertai keluhan
lemas dan nafsu makan berkurang sejak dua minggu terakhir. Pasien juga mengeluhkan
nyeri seluruh sendiri dan nyeri kepala yang memberat sejak tiga hari ini. Pasien juga
mengatakan bahwa akhir-akhir ini sering timbul sariawan, bibir kering dan pecah-pecah,
serta rambut yang terus menerus rontok sejak empat tahun belakangan ini. Pasien memiliki
riwayat penyakit SLE sejak empat tahun yang lalu dan rutin berobat untuk keluhan yang
dideritanya. Tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien. Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit menular ataupun keturunan
lainnya. Pasien rutin mengkonsumsi obat untuk penyakitnya, namun tidak tahu jenis dan
nama obatnya secara pasti.
Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, ditemukan hasil yakni
kesadaran: compos mentis, tekanan darah: 90/70 mmHg, nadi: 139 kali/menit, RR: 20
kali/menit, Temp: 37.70 C, VAS: 6, SPO2: 99%. Pemeriksaan fisik ditemukan, konjungtiva
palpebra inferior pucat (+/+). Pada bibir ditemukan luka dan juga sangat kering. Dari hasil
pemeriksaan lab ditemukan kondisi anemia (HB; 7.6 g/dl) dan sesuai dengan temuan
konjungtiva palpebra inferior yang pucat. Selain itu, pasien awalnya mengalami
hipoglikemia dengan GDS 78 mg/dl, sehingga diberikan Dex 40% sebanyak 1 flacon.
Kondisi hipoglikemia yang dialami pasien kemungkinan disebabkan karena masalah
gastrointestinal yang disebabkan SLE dan oleh karena pengaruh terapi SLE yang selama
ini dikonsumsi pasien, sehingga memperparah kondisi anemia pasien serta kemungkinan
menyebabkan kondisi hipoalbumin pada pasien ini. Pada pasien juga ditemukan
peningkatan nilai fungsi ginjal dan fungsi hati.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan pada antigen yang terutama terletak di
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan nonhiston.
Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan
atau dalam bentuk kompleks protein RNA yang disebut dengan partikel ribonukleoprotein
(RNA). Ciri khas autoantigen ini adaalah mereka tidak tissue-spesific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini yang secara bersama disebut ANA atau
antinuclear antibody. Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar di dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun
pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens terhadap kompleks imun besar yang
larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks
imun limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun
di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai
macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa
ini menyebabkan aktivasi dari komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang.1,2,3
Reaksi radang tersebut menyebabkan timbulnya keluhan pada organ ataupun tempat
yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Bagian penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal akan mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Pada
pasien ini, untuk organ ginjal sudah terjadi peningkatan nilai fungsi ginjal. Pada sistem
hemopoetik, pasien SLE biasanya akan mengalami peningkatan kadar LED disertai anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal
atau gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu, dapat
ditemukan juga leukopenia dan limfopenia pada sekitar 50-80% kasus. Adanya leukositosis
harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada SLE ditemukan di 20% kasus
dan ditemukan juga pada pasien ini.1,2,3
b. Etiopatogenesis
Etiologi SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti bahwa
patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti genetik, lingkungan, imunologi dan
hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang peranan sebanyak 20% pada
penderita lupus. Rentan pada orang yang memiliki autoantibodi dan kelainan
imunoregulatorik. Risiko kejadian SLE meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan pada
kejadian SLE, terutama gen mengkode unsur sistem imun. Penyakit SLE diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik kompleks histokompabilitas mayor kelas
II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komponen komplemen yang berperan dalam fase
awal reaksi ikat komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2. Gen-gen lain yang mulai
ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.1,2,4
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) yang mengatur produksi dari autoantibodi spesifik. Penderita
lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, ataupun
C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi dari kompleks imun
oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan sel-sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga
komponen nuklear menimbulkan respon imun. Faktor lingkungan juga dapat menjadi
pemicu pada penderita lupus. Terdapat banyak petunjuk bahwa faktor lingkungan atau non-
genetik berperan pada patogenesis SLE. Contoh paling jelas berasal dari pengamatan
bahwa obat, seperti hidralazin, prokainamid, serta D-penisilamin dapat memicu respons
yang mirip-SLE pada manusia. Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan
lainnya yang diduga juga ikut menjadi pemicu SLE. Mekanisme kerja sinar ultraviolet
masih belum diketahui sepenuhnya, tetapi diperkirakan sinar dari UV memodulasi respons
imun, misalnya sinar UV menginduksi keratinosit untuk menghasilkan IL-1, suatu faktor
yang diketahui mempengaruhi respons imun. Selain itu, iradiasi sinar UV dapat memicu
apoptosis pada sel, dan mengubah DNA sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat
imunogenik.1,2,4
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis SLE yaitu faktor imunologi. Meskipun
pada pasien SLE dapat terdeteksi beragam kelainan imunologi yang mengenai sel T dan sel
B, kita sulit untuk mengaitkan kelainan-kelainan tersebut dengan penyebab dari penyakit.
Selama bertahun-tahun, diperkirakan hiperaktivitas intrinsic dari sel B merupakan hal yang
mendasar pada patogenesis SLE. Antibodi-antibodi perusak jaringan tersebut tampaknya
dirangsang oleh antigen-antigen diri dan terjadi akibat respons sel B yang bergantung pada
sel T penolong spesifik-antigen dengan banyak karakteristik respons terhadap antigen
asing. Faktor keempat yang mempengaruhi patogenesis SLE yaitu faktor hormonal.
Mayoritas SLE menyerang wanita muda serta beberapa penelitian menunjukkan terdapat
hubungan timbal balik antara kadar hormonestrogen dengan imunitas. Estrogen
mengaktivasi sel B poliklonal sehinggamengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan
pada pasien SLE. Autoantibodi lupus kemudian dibentuk untuk menjadi sebuah antigen
nuklear. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun dan diikuti aktivasi
komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit
dan ginjal.1,2,4
d. Pemeriksaan SLE
1. Pemeriksaan Utama SLE
a. Pemeriksaan Antibodi Antinuklear
Antinuclear antibodi (ANA) merupakan kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap
asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease seperti SLE,
sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren"s
primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 di sumsum tulang
pasien SLE. Perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA
yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein, Ro/SS-A dan La/SS-B. ANA dapat
diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai
pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik,
maka 99% dari penderita SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita
sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma. ANA juga dapat ditemukan pada
10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.1,2,3
b. Pemeriksaan Antibodi Terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif
pada DNA natif (double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi
dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik serta prognostik. Pada penyakit
SLE, anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus serta juga tingkat
keparahan penyakit SLE. Uji anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay,
ELISA dan C.luciliae immunofluoresens. Uji anti ds-DNA digunakan untuk mengetahui
keberadaan autoantibodi IgG ds-DNA yang dapat ditemukan secara spesifik pada individu
dengan SLE dan jarang ditemukan pada penyakit yang berhubungan dengan tulang.1,2,3
2. Pemeriksaan Tambahan SLE
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada SLE adalah darah rutin dan pemeriksaan
urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan ada atau tidaknya anemia
hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; ESR meningkat selama penyakit
aktif, Coombs test yang mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin
terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita
SLE menunjukkan proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin dan juga ditemukannya
heme granular atau sel darah merah pada urin.1,2,3
b. Pemeriksaan Komplemen
Komplemen merupakan suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan yang tidak aktif. Bila terjadi aktivasi
oleh antigen, kompleks imun dan lain-lain maka akan menghasilkan berbagai mediator
yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu
enzim yang terdiri dari kurang lebih 20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self
amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolysis.1,2,3
e. Diagnosis
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran gejala klinik dan laboratorium.
American College of Rheumatology tahun 1997 mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi
SLE. Apabila didapatkan empat kriteria, diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut
menurut American College of Rheumatology adalah sebagai berikut:1,2
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus di mulut
5. Arthritis non erosive
6. Pleuritis atau pericarditis
7. Gangguan renal, yaitu proteinuria persisten > 0,5gr/ hari, ataupun silinder sel dapat
berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan
8. Gangguan neurologi, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Gangguan hematologik, yaitu anemia hemolitik dengan retikulosis, atau leukopenia
atau limfopenia atau trombositopenia
10. Gangguan imunologik, yaitu anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes
serologik untuk sifilis yang positif palsu
11. Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA) positif
f. Tatalaksana
Pada dasarnya, penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan pasien SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal tersebut
dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau membentuk kelompok
penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan penyakitnya. Umumnya,
pasien SLE mengalami fotosensitivitas sehingga harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu
banyak terpapar oleh sinar matahari. Penderita SLE dinasehatkan untuk selalu
menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila
akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari
dari jendela. Selain itu, penderita SLE juga harus menghindari rokok.1,2,3
Gejala lain yang sering dirasakan penderita SLE karena infeksi yaitu demam, penderita
haruslah selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama
pada pasien yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita
dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika
harus dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur genitourinarius,
cabut gigi dan prosedur invasif lainnya. Pengaturan kehamilan juga sangat penting pada
penderita SLE, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat
yang merupakan kontraindikasi kehamilan, seperti antimalaria atau siklofosfamid. Hamil
juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut SLE dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus.
Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus bisa lebih ketat selama kehamilan.1,2,3
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus diputuskan dahulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, ataupun imunosupresif yang agresif. Pada
umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan
kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Apabila penyakit ini mengancam nyawa
dan mengenai organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi
kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainya. Pada dasarnya, penatalaksanaan SLE
memerlukan jangka waktu yang panjang. Prinsip utama pengobatan SLE yaitu mengurangi
peradangan jaringan tubuh yang terkena dan menekan ketidaknormalan sistem kekebalan
tubuh. Penatalaksanaan SLE tergantung berat ringannya penyakit, dan melibatkan banyak
ahli (multidisipliner). Alat pemantau pengobatan pasien SLE adalah evaluasi klinis dan
laboratorium yang sering untuk menyesuaikan obat dan mengenali serta menangani
aktivitas penyakit. Penyakit SLE merupakan penyakit seumur hidup, karenanya
pemantauan harus dilakukan selamanya. Banyak obat digunakan untuk mengobati SLE.
Tujuan pengobatan ialah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga pasien dapat memiliki
kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan pada
organ serius yang dapat menyebabkan kematian.1,2,3
Penatalaksanaan penderita SLE meliputi pengobatan secara nonfarmakologis (edukasi,
dukungan sosial, psikologis, istirahat, tabir surya), dan pengobatan secara farmakologis
meliputi pemberian terapi yakni imunosupresan (siklosfosmaid, azatiopirin, mycophenolate
mofetil, metotreksat, siklosporin), antimalaria (hidroksiklorokuin), kortikosteroid, dan obat
anti inflamsi non-steroid (OAINS). Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) diberikan bila
hanya mengenai kulit dan juga sendi, OAINS diberikan secara tunggal ataupun kombinasi
hidroksiklorokuin. Antimalaria diberikan apabila didapatkan kelainan yang dominan pada
kulit ataupun mukosa dengan atau tanpa kondisi arthritis; dan gejala konstitusional umum.
Hidroksiklorokuin: Dosis inisial 6-7 mg/kg BB/hari dibagi 1-2 dosis selama dua bulan,
dilanjutkan 5 mg/kgBB/hari po (maks 300 mg/hr) dan merupakan zat penghemat steroid
(steroid-sparing agent). Kuinakrin: Dosis dewasa: 100 mg/hari. Pada SLE diskoid berat
yang tidak berespons pada hidroklorokuin dosis maksimal. Klorokuin HCl: Dosis dewasa:
250 mg/hari. Pada SLE diskoid berat tidak respons pada hidroksiklorokuin dosis maksimal.
Risiko retinopati lebih tinggi dibandingkan hidroksiklorokuin.1,2,3
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pasien SLE dan harus diberikan
dalam jangka waktu panjang. Jenis kortikosteroid yang digunakan pada pasien SLE yaitu
kortison, kortisol, tiramsinolon, metilprednisolon, prednisolone, prednisone,
deksametasone dan betametason. Jenis kortikosteroid yang seringkali digunakan pada
pasien SLE yaitu prednisolone dan metilprednisolon. Efek samping pada pemberian
kortikosteroid dalam jangka waktu panjang dan dosis tinggi diketahui dapat mengenai
berbagai organ seperti immnulogi, kardiovaskular, gastrointestinal, skeletal, dan gangguan
metabolisme tubuh yang lainnya. Prednison (peroral) diberikan secara bersamaan dengan
makanan. Dosis rendah <0,5mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Pada gejala konstitusional
berat seperti gejala demam berkepanjangan, kelainan kulit, pleuritis, bersamaan pemberian
metilprednisolon intermiten i.v. dosis tinggi. Dosis tinggi 1-2 mg/kgBB/hari (maks. 60–80
mg/hari) p.o, dibagi 3-4 dosis selama 3-6 minggu, sampai anti-dsDNA (-) dan komplemen
normal, dilanjutkan tapering-off selama 1-2 mgg. Diberikan pada lupus fulminan akut,
yaitu lupus nefritis akut, berat; lupus neuropsikiatrik akut; anemia hemolitik akut berat;
trombositopenia (>50.000/mm) tanpa perdarahan serta pada gangguan koagulasi; lupus
eritematosus kutan berat sebagai bagian terapi inisial lupus diskoid dan vaskulitis. Metil
prednisolon (parenteral): Dosis 30 mg/kg/hari i.v. (maks. 1 g), selama 90’, tiga hari
berturut-turut, dilanjutkan secara intermiten (tiap minggu), disertai prednisone dosis rendah
setiap hari. Diberikan pada penyakit aktif berat yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid
peroral dosis tinggi, rekurensi aktif yang sangat berat, anemi hemolitik yang berat,
trombositopeni berat (<50.000/mm), mengancam kehidupan mungkin perlu disertai IVIG.
Triamsinolon (intrartikular); untuk arthritis pada sendi tertentu.1,2,3
Imunosupresan/sitotoksik/imunomodulator diberikan pada pasien yang tidak respon
atau mendapat efek simpang berat dari kortikosteroid, dapat sebagai zat penghemat steroid.
Azatioprin: Dosis anak 1-3 mg/kg/hari. Siklofosfamid: Per oral: Dosis 1–3
mg/kgBB/hari, Parenteral: Dosis awal 500-750 mg/m, maks. 1 g/m/ hr bolus per Infuse
(dosis terendah untuk leukopenia, trombositopenia, kreatinin >2 g/dl) dalam 150 ml larutan
Dextrosa 5% selama 1 jam bersama hidrasi 2 l/m/hr, per infus selama 24 jam, dimulai 12
jam sebelum infus siklofosfamid. Diulangi setiap bulan dengan peningkatan 250
mg/m2/bulan sesuai toleransi selama enam bulan, dan selanjutnya setiap tiga bulan sampai
36 bulan total pengobatan. Diberikan pada lupus nefritis berat dan dengan gangguan
neuropsikiatrik. Metotreksat: sebagai zat penghemat steroid dosis 7,5 mg peroral,
1x/minggu, bersamaan asam folat peroral. Hindari alkohol (akan meningkatkan risiko
sirosis hepatis). Diberikan pada keadaan trombositopenia (<50.000/mm) jangka panjang
post inisial metilprednisolon dosis tinggi, poliartritis berat bila dosis rumatan kortikosteroid
>10mg/hr, dan SLE kutan berat.1,2,3
Mikofenolat mofetil (MMF) diberikan apabila timbul kondisi refrakter terhadap terapi
konvensional. Terapi ini masih dalam penelitian, dimana efektivitas MMF sama dengan
siklofosfamid iv tiap bulannya. Toksisitas MMF dan juga Azatioprin lebih aman dari
siklofosfamid. Merkaptopurin: Dosis 50-100 mg/hari. Klorambusil: Dosis 0,1
mg/kgBB/hari. Siklosporin A: Dosis anak belum diketahui. Dosis rendah dewasa: 3–6
mg/hari. Obat topikal diberikan apabila ada kelainan kulit. Obat yang biasa digunakan
Betametason 0,05%, Fluosinosid 0,05% untuk 2 minggu, selanjutnya diganti dengan
hidrokortison. Fisioterapi segera dilakukan bila terdapat arthritis. Terapi
komplikasi/penyulit akibat SLE yaitu: osteonekrosis, dilakukan deteksi dini dengan alat
MRI, apabila terjadi osteonekrosis stadium dini dilakukan core decompression, sedangkan
pada stadium lanjut dilakukan total joint replacement; sindrom antibodi antifosfolipid
apabila disertai trombosis diberikan terapi warfarin intensitas tinggi (International
Normalized Ratio of 3 to 4); rekurensi kegagalan berlangsungnya kehamilan diberikan
heparin, aspirin dosis rendah; trombositopeni (=50000) diberikan heparin dan aspirin dosis
rendah; bila ada gagal ginjal dilakukan dialisis atau transplantasi; diberikan anti hipertensi,
anti konvulsan, anti psikotik dan anti emetik bila timbul gejala-gejala tersebut.1,2,3
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif. Dapat digunakan nifedipin dengan
dosis 0,25-0,5 mg/kg/dosis dan dapat diulangi setiap 4-8 jam. Dosis per kali tidak lebih 10
mg. Antihipertensi lain adalah enalapril 2,5-5 mg/kg/hari diberikan dalam dosis tunggal
atau dosis terbagi, serta propranolol 0,5-1 mg/kg/hari dibagi dalam 2-4 dosis. Terapi
komplikasi akibat terapi dapat berupa osteoporosisakibat terapi prednison, maka diberikan
suplementasi kalsium, vitamin D, bifosfonat, dan/atau kalsitonin salmon; bila terjadi
Fracture-induced osteoporosis diberikan bifosfonat; muntah akibat siklofosfamid diberikan
antiemetik; pengobatan segera diberikan apabila ada infeksi terutama infeksi bakteri.
Setiap kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis. Setiap pemberian obat
kortikosteroid apalagi jangka panjang, harus disertai diet rendah garam, gula, restriksi
cairan, disertai suplemen Ca dan Vitamin D. Dosis kalsium karbonat (Caltrate) sebagai
elemental kalsium: usia <6 bulan: 360 mg/hari, 6-12 bulan: 540 mg/hari, 1-10 tahun: 800
mg/hari, 11-18 tahun: 1.200 mg/hari. Dosis Vitamin D (hidroksikolekalsiferol): BB < 30
kg: 20 mcg p.o. 3 kali/minggu, BB > 30 kg: 50 mcg p.o. 3 kali/minggu.1,2,3
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas secara normal. Olahraga juga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan juga berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien
disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus
menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap dua jam. Lampu
fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE. Pendidikan
dan edukasi penting untuk penderita/keluarganya agar mengerti kondisi
penyakit/penyulitnya yang mungkin terjadi, serta pentingnya berobat secara teratur.
Pencegahan terhadap pemaparan sinar matahari: hindari paparan sinar matahari dengan
tingkat UV tertinggi yakni jam 9.00/10.00 sampai 15.00/16.00, pakaian lengan panjang,
celana panjang, kerudung, topi, kacamata hitam, tabir surya (topikal) untuk blokade radiasi
UVA dan UVB. Pencegahan terjadinya osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi:
deteksi dini MRI, diet tinggi kalsium, vitamin D adekuat, dan olahraga. Pencegahan sistitis
hemoragika akibat siklofosfamid dapat diberikan mesna intravena. Mesna mengikat
acrolein, metabolit toksik dari siklofosfamid.1,2,3
g. Prognosis
Prognosis perjalanan penyakit SLE bervariasi dan sangat tergantung pada organ mana
yang terlibat. Sebelum tahun 1955 dan belum ada terapi steroid, 52% penderita meninggal
dalam 2 tahun dan sisanya bertahan hidup sampai 11 tahun. Kesembuhan memang cukup
sulit untuk penyakit SLE, tetapi setelah ditemukannya steroid, hingga sekarang 75% pasien
SLE mampu bertahan hidup hingga 15 tahun dan lebih dari 90% dilaporkan hidup hingga
10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari organ-organ yang terkena. Bila mengenai
organ vital seperti ginjal dan SSP, mortalitasnya sangat tinggi dengan prognosis buruk.
Penderita SLE dapat mengalami remisi spontan, yakni sebanyak 35% dapat hidup hingga
20 tahun. Prognosis yang lebih baik pada penderita tidak hanya karena pemberian
kortikosteroid, tetapi juga karena adanya penegakan diagnosis dini. Penurunan angka
kematian yang berhubungan dengan SLE dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi
secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit SLE, dan kemajuan dalam perawatan
medis umum.1,2
4. Planning
Diagnosis :
- Sistemik Lupus Eritematosus on Therapy
- Anemia ec Penyakit Kronik dd Low Intake
- Hipoalmbunemia dengan Trombositopenia
- Acute Kidney Injury
- Hepatitis Viral Akut
Pengobatan :
- IVFD NaCl 0,9 % s/s Kabivent 1 fl/ hari
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12jam
- Inj. Omeprazol 1 vial/ 12jam
- Inj. Furosemid 1 amp/ 8jam
- Inj. Metil prednisolone 62,5 mg/12jam
- Inj. Ondancentron 1 amp/ 8jam
- Sistenol 2x1
- Curcuma 2x1
- Urdafalk 2x1
- Spironolactone 1x50mg
- Asam folat 2x1
- Substitusi albumin 20-25% 50-100ml fl/hari sampai Albumin 3,0
- Transfusi PRC 1 kolf/hari sampai Hb ≥ 10
- Syringe pump dopamn 1 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % 5-10 meq 2,5-5,3/cc/jam
Pendidikan :
Dilakukan pada pasien dan keluarga untuk membantu mengobati dan mencegah
dari penyakit pasien semaksimal mungkin dan juga menghindari keluhan yang sama
kambuh kembali. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
pasien dan kemungkinan perkembangan penyakit serta pentingnya kerjasama dari
keluarga dalam pelaksanaan tindakan medis dan pengobatan. Disarankan untuk kontrol
rutin tiap bulan.
Mengetahui,
Pendamping