Anda di halaman 1dari 13

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

RSD Madani Palu

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

Universitas Tadulako

REFLEKSI KASUS

DISUSUN OLEH:

Wenny Eka Fildayanti

N 111 12 067

0
PEMBIMBING:

dr. Merry Tjandra, Sp. KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

RUMAH SAKIT DAERAH MADANI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2016

REFLEKSI KASUS
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT
MULTIPEL DAN ZAT PSIKOAKTIF LAINNYA (F19.5.50) DENGAN
GEJALA PSIKOTIK TIPE LIR-SKIZOFRENIA (F.23.2)

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AM
Umur : 26 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Desa
1
Pekerjaan : Nelayan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan : MTs
Tanggal Pemeriksaan : 17 Januari 2017
Tempat Pemeriksaan : Bangsal Srikaya Rumah Sakit Daerah Madani Palu
Tanggal Masuk RS : 13 Januari 2017 (kelima kalinya)

A. Deksripsi
Pasien masuk dengan keluhan utama mengamuk. Pasien datang
dibawa oleh saudara pasien karena mengamuk 1 hari sebelum masuk ke
RSD Madani Palu. Pasien mengamuk dan memukul ibu pasien karena
pasien merasa tidak terima ibu pasien bercerita ke tetangga bahwa pasien
sedang mengalami gangguan jiwa. Pasien merasa malu, ibunya juga sering
menganggap pasien tidak berguna dan disuruh melakukan pekerjaan
wanita di depan orang banyak. Pasien juga merasa seperti di anak tirikan
oleh ibunya, ibunya lebih menyayangi orang lain dibandingkan dirinya.
Pasien juga sering berdebat dan membantah dengan ibunya.
Pasien menyadari perilakunya dan tidak berniat untuk melukai
ibunya. Pasien sadar kembali setelah di rumah sakit. Pasien sering
mengalami kerasukan sejak kecil. Pasien mengaku dirasuki oleh almarhum
kakeknya. Semasa almarhum masih hidup, pasien sangat disayang oleh
almarhum kakeknya tersebut.
Pada tahun 1992, pasien pertama kali mendapatkan obat keras dari
teman-teman SMP pasien dengan cara paksaan dan mengakibatkan
ketergantungan. Pada tahun 2001, pasien terakhir kalinya mengonsumsi
obat candu setelah lama putus, yang diberikan dari bos pasien di area
kerja.
Pasien meninggalkan istri dan anaknya sejak tahun 2010, pasien
pergi dari Tarakan ke Buol, sebab istri pasien sering memarahi dan
2
memukul pasien dan pasien merasa tidak nyaman. Pada tahun 1998, pasien
pertama kali mendengar bisikan di daerah keramat. Pasien pernah di rawat
di RSD Madani sebanyak 5 kali sejak tahun 2013 karena pasien sering
mengamuk dan memukul.

B. Emosi Terkait
Kasus ini menarik untuk dibahas karena pasien merupakan pasien lama yang
memiliki riwayat berulang masuk RSJ, pasien sudah kedelapam kalinya
masuk RSJ serta pasien juga memiliki riwayat ketidakpatuhan pengobatan.

C. Evaluasi
a. Pengalaman Baik
Pasien cukup terbuka dalam menjelaskan setiap detail penyebab yang
dia rasakan selama gejala dalam dirinya timbul, dan kooperatif.
Disamping kasusnya juga cukup menarik untuk ditelusuri.
b. Pengalaman Buruk
Karena informasi yang didapatkan masih kurang, sehingga perlu
menghubungi keluarga pasien via handphone.

D. Analisis
Berdasarkan autoanamnesa didapatkan adanya gejala klinis yang
bermakna berupa mengamuk. Keadaan ini akan menimbulkan
distress dan disabilitas dalam pekerjaan dan penggunaan waktu
senggang, yaitu pasien menderita sulit tidur dan berhenti untuk bekerja
sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami Gangguan Jiwa.
Pada pasien ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai realita
ataupun gejala psikotik positif, seperti halusinasi auditorik pada pasien
sehingga didiagnosa sebagai Gangguan Jiwa Psikotik.
Pada riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan status interna dan
neurologis tidak ditemukan adanya kelainan yang mengindikasi
gangguan medis umum yang menimbulkan gangguan fungsi otak serta
dapat mengakibatkan gangguan jiwa yang diderita pasien ini, sehingga

3
diagnosa gangguan mental organik dapat disingkirkan dan didiagnosa
Gangguan Jiwa Psikotik Non Organik.
a. Berdasarkan deskripsi kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami gangguan psikotik karena memenuhi kriteria diagnosa untuk
Gangguan Mental dan Perilaku akibat penggunaan zat multiple dan
zat psikoaktif lainnya yang mengarah dalam kelompok gangguan
psikotik tipe Lir-skizofrenia (Skizofrenia like) karena pasien
menggunakan obat obatan terlarang, meminum minuman beralkohol
serta merokok setiap hari. Berdasarkan PPDGJ III, pasien dapat
digolongkan dalam Gangguan Mental dan Perilaku Akibat
Penggunaan Zat Multipel dan Zat Psikoaktif lainnya (F19.5.50)
Narkotika.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Narkotika dibedakan kedalam golongan-golongan :
Narkotika Golongan I :
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai
potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh :
heroin/putauw, kokain, ganja).
Narkotika Golongan II :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin)
Narkotika Golongan III :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein).
4
b. Psikotropika
Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang
Psikotropika, Yang dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau
obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut :
PSIKOTROPIKA GOLONGAN I : Psikotropika yang hanya
dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi serta mempunyai potensiamat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi,
shabu, LSD)
PSIKOTROPIKA GOLONGAN II : Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi,
dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan . ( Contoh amfetamin,
metilfenidat atau ritalin)
PSIKOTROPIKA GOLONGAN III : Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensisedang mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh
: pentobarbital, Flunitrazepam).
PSIKOTROPIKA GOLONGAN IV : Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh:
diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip,
Dum, MG).
c. Zat Adiktif Lainnya
Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh
psikoaktif diluar yang disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
5
Minuman berakohol, Mengandung etanol etil alkohol, yang
berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering menjadi
bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan
tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau
psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh
manusia. Ada 3 golongan minumanberakohol, yaitu:
o Golongan A: kadar etanol 1-5%, (Bir)
o Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman
anggur)
o Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca,
TKW, Manson House, Johny Walker, Kamput.)
Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah
menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai
barang keperluan rumah tangga, kantor dan sebagai pelumas
mesin. Yang sering disalah gunakan, antara lain : Lem, thinner,
penghapus cat kuku, bensin.
Tembakau : Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin
sangat luas di masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA
di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada
remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena
rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan
NAPZA lain yang lebih berbahaya.
Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan
berikut :
Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika
Golongan I.
Penggunaan dengan resep dokter: amfetamin, sedatif
hipnotika.
Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.
Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.

6
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA
dapat digolongkan menjadi tiga golongan :
1 Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas
fungsional tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang,
pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri.
Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein),
Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti
cemas) dan lain-lain.
2 Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya
menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini
adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain.
3 Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan
daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat
terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis.
Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.
Klasifikasi kondisi medis akibat penggunaan zat, antara lain :
1. Kriteria DSM-IV-TR untuk intoksikasi zat
A. Berkembangnya sindrom spesifik zat yang reversible akibat baru
saja mengonsumsi (atau terpajan) suatu zat.
B. Terdapat perubahan perilaku atau psikologis yang maladaptive
dan signifikan yang disebabkan oleh efek zat tersebut pada
system saraf pusat (contoh agresif, labilitas mood, hendaya
kognitif, daya nilai terganggu, fungsi social dan okupasional
terganggu) dan timbul selama atau segera setelah penggunaan
zat.
C. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak
lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.
7
2. Kriteria DSM-IV-TR untuk keadaan putus zat
A. Berkembangnya sindrom spesifik zat akibat penghentian (atau
pengurangan) penggunaan zat yang telah berlangsung lama dan
berat.
B. Sindrom spesifik zat menyebabkan penderitaan atau hendaya yang
secara klinis signifikan dalam fungsi social, okupasional, atau area
fungsi penting lain
C. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak
lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain
3. Kriteria DSM-IV-TR untuk penyalahgunaan zat
A. Suatu pola maladaptive penggunaan zat yang menimbulkan
hendaya atau penderitaan yang secara klinis signifikan seperti
dimanifestasikan oleh satu (atau lebih) hal berikut, yang terjadi
dalam periode 12 bulan :
1) Penggunaan zat berulang mengakibatkan kegagalan
memenuhi kewajiban peran utama dalam pekerjaan, sekolah
atau rumah (contoh absen berulang atau kinerja buruk dalam
pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan zat, absen,
skors atau dikeluarkan dari sekolah.
2) Penggunaan zat berulang pada situasi yang secara fisik
berbahaya (contoh mengendarai mobil atau mengoperasikan
mesin saat sedang mengalami hendaya akibat penggunaan
zat).
3) Masalah hokum berulang terkait zat (contoh penahanan
karena perilaku kacau terkait zat).
4) Penggunaan zat berlanjut meski memiliki masalah social atau
interpersonal yang persisten atau rekuran yang disebabkan
atau dieksaserbasikan oleh efek zat (contoh berselisih dengan
pasangan tentang konsekuensi intoksikasi, perkelahian fisik).
B. Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan zat untuk kelas zat
ini.
4. Kriteria DSM-IV-TR untuk ketergantungan zat
Suatu pola maladaptive penggunaan zat, yang menimbulkan hendaya
atau penderitaan yang secara klinis signifikan, yang dimanifestasikan
8
oleh tiga (atau lebih) hal berikut), terjadi dalam periode 12 bulan yang
sama:
1) Toleransi seperti didefinisikan salah satu dibawah ini
a) Kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk
mencapai inoksikasi atau efek yang diinginkan.
b) Penurunan efek yang sangat nyata dengan berlanjutnya
penggunaan zat dalam jumlah yang sama.
2) Putus zat seperti didefinisikan salah satu dibawah ini:
a) Karakteristik sindrom putus zat untuk zat tersebut
b) Zat yang sama (atau berkaitan erat) dikonsumsi untuk
meredakan atau menghindari gejala putus obat
3) Zat sering dikonsumsi dalam jumlah besar atau dalam periode
yang lebih lama daripada seharusnya.
4) Terdapat keinginan persisten dan ketidakberhasilan upaya untuk
mengurangi atau mengendalikan suatu zat.
5) Menghabiskan banyak waktu melakukan aktivitas yang
diperlukan untuk memperoleh zat (contohnya mengunjungi
dokter atau berkendara jarak jauh) menggunakan zat (contoh
merokok seperti kereta api) atau untuk pulih dari efeknya.
6) Mengorbankan atau mengurangi aktivitas rekreasional, pekerjaan
atau sosial yang penting karena penggunaan zat.
7) Penggunaan zat berlanjut meski menyadari masalah fisik atau
psikologis rekuren yang dialami mungkin disebabkan atau
dieksaserbasikan zat tersebut (contoh saat ini menggunakan
kokain walau menyadari adanya depresi terinduksi kokain atau
minum berkelanjutan meski mengetahui bahwa ulkus akan
menjadi lebih parah dengan konsumsi alkohol.
Pada pasien ini diperlukan farmakoterapi adalah menggunakan obat
antipsikotik generasi I, antikolinergik serta obat antimania.
a. Obat antipsikotik terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine
dan serotonin di otak, dengan target menurunkan gejala-gejala psikotik
seperti halusinasi, waham, dan lain-lain. Sistem dopamine yang terlibat
yaitu sistem nigrostriatal, sistem mesolimbokortikal dan sistem
tuberoinfundibuler. Karena kerja yang spesifik ini makan dapat
9
diperkirakan efek yang samping yang mungkin timbul yaitu bila sistem-
sistem tersebut mengalami hambatan yang berlebih. Pada sistem
nigrostriatal berlebihan maka akan terjadi gangguan terutama pada
aktivitas motorik, sedangkan sistem mesolimbokortikal memengaruhi
fungsi kognitif, dan fungsi endokrin terganggu bila tuberoinfundibuler
terhambat berlebihan. Efek samping neurologis akut berupa akatisia,
dystonia akut dan parkinsonism (acute extrapyramidal syndrome). Obat
antipsikotik generasi I yang digunakan yaitu Haloperidol dimana dosis
anjuran untuk Haloperidol yaitu 5 15 mg per hari.
b. Obat antikolinergik, terutama diberikan bila terjadi efek samping
sindroma ekstrapiramidal seperti dystonia akut, akathisia atau
parkinsonism. Biasanya terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis dan
bila tidak dapat ditanggulangi diberikan obat antikolinergik seperti
Trihexyphenydil dengan dosis 3 kali 2 mg per hari. Bila tetap tidak
berhasil mengatasi efek samping tersebut disarankan untuk mengganti
jenis antipsikotik yang di gunakan APG-II yang lebih sedikit
kemungkinannya mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal.
c. Obat antimania, merupakan kelompok obat mood stabilizer yang
berkhasiat terutama untuk mempertahankan stabilitas suasana perasaan,
terutama mencegah munculnya kondisi manik. Kelompok obat ini
dikatakan efektif untuk mania akut tetapi kurang efektif untuk depresi.
Carbamazepin diberikan dengan dosis awal 2 kali 200 mg sehari pertama,
selanjutnya dosis ditingkatkan secara bertahap.

Sedangkan untuk non medikamentosa seperti psikoterapi yaitu


memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi hati dan
keinginannya sehingga pasien merasa lega. Serta memberikan penjelasan
kepada keluarga dan orang-orang sekitarnya sehingga tercipta dukungan
sosial dengan lingkungan yang kondusif untuk membantu proses
penyembuhan pasien serta melakukan kunjungan berkala.

10
Beberapa orang yang mengalami masalah terkait zat dapat sembuh
tanpa penanganan formal, terutama seiring dengan bertambahnya usia
mereka. Penanganan pasien dengan penyakit mental parah (terutama mereka
dengan skizofrenia dan gangguan skizoafektif) yang juga mengalami
ketergantungan beberapa fasilitas khusus yang menggunakan baik obat
antipsikotik maupun prinsip komunitas terapeutik, untuk sebagian besar
kasus, agensi adiksi khusus mengalami kesulitan mengatasi pasien seperti
ini. Umumnya, penanganan terintegrasi dengan staf yang sama menangani
baik gangguan psikiatri maupun kecanduan lebih efektif dibanding
penanganan paralel untuk keduanya (program kesehatan jiwa dan program
kecanduan khusus yang memberikan perawatan secara bersamaan) atau
penanganan sekuensial (menangani baik kecanduan atau gangguan psikiatri
dulu dan kemudian mengatasi kondisi komorbid).

E. Kesimpulan
Fenomena penyalahgunaan zat banyak berdampak otak dan psikiatri.
Beberapa zat dapat memengaruhi baik keadaan mental yang dirasakan
secara internal, seperti mood, maupun aktivitas yang dapat diamati secara
eksternal, seperti perilaku.
Zat dapat menyebabkan gejala neuropsikiatri yang tak dapat dibedakan
dengan gejala gangguan psikiatri umum tanpa kausa yang diketahui
(contohnya, skizofrenia dan gangguan mood), dan oleh karena itu, gangguan
psikiatri primer dan gangguan yang melibatkan penggunaan zat mungkin
berkaitan.
Bila gejala depresi yang tampak pada beberapa orang yang tidak
mengonsumsi zat yang dapat mengubah otak tidak dapat dibedakan dengan
gejala depresi pada orang yang pernah mengonsumsi zat yang dapat
mengubah otak, mungkin terdapat kesamaan berbasis otak antara perilaku
mengonsumsi zat dengan depresi. Adanya zat yang dapat mengubah otak
11
merupakan petunjuk mendasar untuk mengetahui cara otak bekerja baik
pada keadaan normal maupun abnormal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, I,. Kristiana, S,. Buku Ajar Psikiatri. Ed. 2. Badan Penerbit FKUI :
Jakarta. 2013.
2. Benjamin, JS,. Virginia, AS,. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2010.
3. Rusdi, M,. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya : Jakarta. 2013.
4. Syarif, dkk., Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Badan Penerbit FKUI: Jakarta.
2011.

12

Anda mungkin juga menyukai