Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN TUTORIAL

Kelompok Tutorial 5
Haristi Wulansari Susi Buana Tungga Dewi Lili Suryani Alsa Syafira Putri Diah Putri Wardani Arindia Wulandari Yulidar Khairani Madyaning Septiwati Wiko Wicaksono M. Ramadani Hasnatul Fitri G1A108078 G1A109091 G1A109092 G1A109093 G1A109016 G1A109019 G1A109027 G1A109028 G1A109065 G1A109066 G1A109030

Tutor : dr. Lipinwati

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS JAMBI 2010

SEKENARIO 4 : Tn. J, 45 tahun mengeluh terdapat bercak-bercak putih seperti panu di daerah punggung sejak 1 tahun yang lalu. Pernah di obati dengan salep cap kaki 3 tapi tidak ada perubahan dan dibiarkan saja. Tidak lama kemudian muncul bercak yang sama dibagian dada dan tangan. Tn. J mengeluh suara parau dan ginekomastia. Ibu Tn. J dahulu pernah mengalami keluhan yang sama dan jari-jari kakinya putus sendiri satu persatu. Hasil pemeriksaan dermatologis pada punggung, dada dan tangan didapatkan: bercak putih, banyak, kecil, batas tidak tegas, permukaan halus dan berkilat, distribusi bilateral simetris, ada nodulus. Tes sensibilitas raba, nyeri dan panas pada bercak didapatkan anestesi. Didapatkan juga wajah singa. Hasil pemeriksaan kulit untuk basil tahan asam(+). Tes lepromin(-) dokter akan memberikan terapi jangka panjang, Tn. J menanyakan apakah ada efek samping dari terapi yang akan diberikan. Apa yang terjadi pada Tn. J?

KLARIFIKASI ISTILAH 1. Panu : Suatu penyakit daerah tropis yang disebabkan infeksi jamur malasezia menyerang kulit furfur, dimana jamur akan sehingga mengganggu proses

pembentukan pigmen kulit dan terlihat sebagai hipopigmentasi. 2. Ginekomastia : Pembesaran jinak payu dara pria yang disebabkan bertumbuhnya jaringan payudara akibat terjadinya perubahan keseimbangan antara kadar estrogen dan androgen. 3. Pemeriksaan dermatologis 4. Nodulus : Pemeriksaankulit : Suatu masa kecil jaringan dalam bentuk tonjolan, simpul normal atau pun patologis yang dapat dikenali melalui sentuhan.. 5. anastesi : Kehilangan sensasi/rasa akibat kerusakan saraf atau reseptor. 6. Wajah singa : Salah satu gejala penyakit kusta yang ditandai dengan muka-muka benjol dan tegang. 7. Basil Tahan Asam : Kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai, namun jika

diwarnai akan tahan terhadap decolorisasi oleh asam atau alkohol 8. Tes Lepromin : Tes/uji kulit untuk jaringan yang kebal terhadap lepra dengan mensuspensi jaringan lepramatosa dan basil lepra yang ditumbuk halus, disaring dengan kasa dan di rebus berulang-ulang kali lalu di autoklaf.

IDENTIFIKASI MASALAH 1. Tn. J , 45 tahun mengeluh terdapat bercak bercak putih seperti panu didaerah punggung sejak 1 tahun lalu. Pernah diobati dengan salep cap kaki tiga tapi tidak ada perubahan dan dibiarkan saja. Tidak lama kemudian muncul bercak yang sama dibagian dada dan tangan. 2. Tn. J juga mengeluh suara parau dan ginekomastia. 3. Ibu Tn. J dahulu pernah mengalami keluhan yang sama dan jari jari kakinya putus sendiri satu persatu. 4. Hasil pemeriksaan dermatologis pada punggung , dada, dan tangan didapatkan bercak putih banyak, kecil, batas tidak tegas, permukaan halus, dan berkilat, distribusi bilateral simetris ada nodulus. 5. Tessen sibilitas raba, nyeri, dan panas pada bercak didapatkan anestesi. 6. Didapatkan juga wajah singa. 7. Hasil pemeriksaan kulit untuk basil tahan asam (+) 8. Teslepromin (-) 9. Dokter akan memberikan terapi jangka panjang, Tn. J menanyakan apakah ada efek samping dari terapi yang akan diberikan.

ANALISIS MASALAH 1) Tn. J , 45 tahun mengeluh terdapat bercak bercak putih seperti panu didaerah punggung sejak 1 tahun lalu. Pernah diobati dengan salep cap kaki tiga tapi tidak ada perubahan dan dibiarkan saja. Tidak lama kemudian muncul bercak yang sama dibagian dada dan tangan. a) Mengapa timbul bercak bercak putih pada Tn. J? Jawaban :

Bercak-bercak putih timbul pada Tn. J dikarenakan : 1. Efek langsung invasi myobacterium leprae ke dalam melanosit 2. Digunakannya dopa sebagai substrat oleh sistem enzym

myobacterium leprae 3. Perubahan pembuluh darah sehingga terjadi atrofi melanosit

b) Mengapa setelah diobati dengan salep cap kaki 3 bercak bercak putih Tn.J tidak hilang? Jawaban : Karena bahan yang terkandung dalam salep cap kaki 3 hanya untuk menyebuhkan penyakit yang disebabkan oleh jamur, sedangkan dalam khasus ini penyebab bercak-bercak putih pada Tn. J adalah karena myobacterium leprae bukan jamur.

c) Apa saja penyakit yang ditandai dengan bercak-bercak putih? Jawaban : Sifilis, taenia versikolor, pitiriasis alba,pitiriasis rosea, vitiligo, lepra, sifilis, ertirasma, seborhoik dermatitis.

2) Tn. J juga mengeluh suara parau dan ginekomastia. a) Mengapa Terjadi suara parau? Jawaban : Suara parau adalah gangguan yang menyebabkan perubahan suara, terdengar serak, kasar, suara lemah, hilang suara dan nyeri saat bersuara. Perubahan suara berkaitan dengan kelainan pita suara yang merupakan bagian dari laring. Ketika bernapas, pita suara akan terbuka, ketika berbicara pita suara akan menutup dan ketika udara meninggalkan paru pita suara akan bergetar membentuk suara. Suara parau yang terjadi pada Tn. J merupakan gejala atau kelainan yang terjadi akibat pembengkakan pita suara yang merupakan bagian dari laring yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae yang menyerang kelenjar tiroid sehingga menyebabkan suara menjadi parau.

Karena terjadinya Deformitas primer sebagai akibat langsungoleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap Mycobacterium Leprae yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu salah satunya mukosa tractus respiratorius atas yang menimbulkan peradangan sehingga menyebabkan suara Tn. J menjadi parau.

b) Mengapa ginekosmastia? Jawaban: Ginekomastia adalah pembesaran jaringan dada pria yang disebabkan ketidakseimbangan hormon estrogen dan testosteron.Tanda dan gejala ginekomastia antara lain adalah: Pembengkakan jaringan kelenjar payudara Dada terasa sakit

Penyebab Ginekomastia dipicu oleh penurunan kadar hormon testosteron dibanding estrogen. Turunnya kadar testosteron ini dapat disebabkan karena memang kadar testosteron turun atau merupakan peningkatan kadar estrogen, sehingga keseimbangannya berubah. Perubahan keseimbangan hormon ini antara lain disebabkan oleh: Perubahan alami hormone Konsumsi obat-obatan Kondisi kesehatan tertentu

Keseimbangan testosteron-estrogenHormon testosteron dan estrogen mengontrol perkembangan dan memelihara karakteristik seksual dan kelamin pada pria dan wanita. Testosteron mengontrol karakteristik organ pria seperti otot dan bulu (rambut halus) pada tubuh. Sementara estrogen mengontrol karakteristik organ wanita seperti pertumbuhan payudara.

Ginekomastia dapat terjadi karena beberapa kelainan diantaranya: 1.Kondisi dimana terjadi penurunan kadar androgen

Sindroma Tidak

Klinefelter

gonadotropin

(hCG)

(contohnya

ada testis sejak lahir (anorchia

kanker paru-paru, karsinoma gaster, dan hepatoma)


Gagal

kongenital)
Trauma testis Torsio

ginjal

testis

Hipertiroid Malnitrisi

Orchitis Kallmann Tumor

syndrome

Sindrom Sindrom

insensitivitas androgen defisiensi Five-alpha-

hipofisis yang meningkatkan

Keganasan

reductase

kadar hormon human chorionic 2.Kondisi dimana terjadi kenaikan kadar estrogen Misalnya pada penyakit hati kronis, malnutrisi, tumor kelenjar ginjal, dan riwayat keluarga ginekomastia. 3.Obat-obatan:

Obat yang mengandung estrogen (dietilbestrol, digitalis) Obat yang merangsang pembentukan estrogen (gonadotropin, clomifen, fenitoin, hormon testosteron eksogen)

Obat yang menghambat pembentukan testosteron (ketoconazole, metronidazole, cisplatin, spironolactone, cimetidine, flutamide, finasteride, dan etomidate)

Obat dengan mekanisme yang belum diketahui (isonicotinic acid hydrazide, methyldopa, busulfan, tricyclic antidepressants, diazepam, penicillamine,

omeprazole, phenothiazines, calcium channel blockers, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, alkohol, marijuana, and heroin)

3) Ibu Tn. J dahulu pernah mengalami keluhan yang sama dan jari jari kakinya putus sendiri satu persatu. a) Mungkinkah penyakit yang dialami oleh Tn. J sama dengan penyakit yang dialami oleh ibunya? Jawaban : Mungkin

b) Apa penyakit yang dialami oleh Tn. J? Jawaban : Leprae

c) Bagaimana etiologi, epidemiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, tatalaksana dan pencegahan penyakit tersebut? Jawaban : ETIOLOGI Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai bekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram positif.

Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi. Klasifikasi Ridley dan Jopling Madrid WHO Puskesmas Zona Spektrum Kusta TT BT BB BL LL Tuberkuloid Borderline Lepromatosa Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB) PB MB

Ridley-Jopling 1960 Tipe I Tipe TT Tipe BT Tipe BL Tipe LL Banyak dipakai untuk penelitian dan pengobatan PB (I, TT, BT) :dengan Indeks bakteri (IB) <2+. MB (LL, BL, BB) :dengan IB >2+.

WHO PB mengandung sedikit basil (I, TT, BT) MB mengandung banyak basil (LL, BL, BB).

EPIDEMIOLOGI Masalah epidermiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanyaberdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dad suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang

Cina.Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai seat ini belum jelas benar. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya. Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifatsifat M. leprae.Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia.penderita yang mengandung M. leprae sampai 10 3 per gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang hanya mengandung 10 7 basil per gram jaringan. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadiulserasi, mutilasi, dan deformitas.Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya.Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di rajah dan ekstremitas,motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anastetik disertai paralisis dan atrofi otot. Penularan penyakit kusta adalah:

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam. b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang c. Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. d. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Micobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita e. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.

MANIFESTASI KLINIS Tanda-tanda : Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Secara umum, tanda-tanda itu adalah :
1. 2.

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.

3.

Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.

4. 5. 6.

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit Alis rambut rontok Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa) Masa inkubasi Berkisar antara 9 bulan sampai 20 tahun dengan rata-rata

adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.

Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spectrum yang berada diantara dua bentuk klinis dari lepra yaitu bentuk lepromatosa dan tuberkuloid. Pada kusta bentuk lepromatosa kelainan kulit berbentuk nodula, papula, macula dan infiltrate yang difus tersebar simetris bilateral dan biasanya ekstensif dan dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat membentuk krusta, tersumbatnya jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata dapat menimbulkan iritis dan keratitis. Pada kusta tipe tuberkuloid, lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa atau hipoetesi asimitris bilateral. Terserangnya syaraf biasanya cenderung menjadi semakin berat. Deformitas Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat Kusta adalah: 1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari. 2. Dissability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Dissability ini merupakan objektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju sendiri. 3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya. 4. Deformity: kelainan struktur anatomis 5. Dehabilitation: keadaan/proses pasien Kusta (handicap) kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan temantemannya. 6. Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

DIAGNOSIS BANDING Untuk diagnosa banding harus dibedakan dengan penyakit lain yang menimbulkan penyakit kulit yang infiltratif limfoma, lupus eritomatosa, psoriasis, skleroderma dan neurofibromatosis. Leishmaniasis difosa, infeksi jamur pada kulit, myxedema, kulit pachydernoperiostosis, gejala klinisnya dapat mirip dengan kusta tipe lepromatosa, namun tidak ditemukan bakteri tahan asam. Sedangkan karena kekurangan gizi, nevus dan jaringan parut pada kulit dapat mirip dengan kusta tipe tuberkuloid. Dilihat adanya: makula hipopigmentasi, daerah anestesi, pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan BTA, ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya:

1. Tipe I (makula hipopigmentasi): tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik 2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi): tinea korporis, psoriasis, lupus eritematosa tipe discoid, atau pitiriosis rosea 3. Tipe BT, BB, BL (infiltrate merah tak berbatas tegas): selulitis, erisipelas, atau psoriasis. 4. Tipe LL (bentuk nodul): LES, dermatomiosis, atau erupsi obat.

DIAGNOSIS 1. Berdasarkan gambaran klinis (terpenting dan sederhana), bakterioskopis, dan histopatologis. 2. Tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe (3 minggu) sehingga bisa ditentukan pengobatan yang tepat.

3. Pemeriksaan secara klinis, harus dilihat semua kelainan pada seluruh tubuh dengan inspeksi, palpasi, dan penggunaan alat (jarum, kapas, tabung reaksi-air panas, air dingin, pensil tinta, dll). 4. Pemeriksaan secara histopatologis, bergantung dimana biopsi dilakukan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Pemeriksaan Bakterioskopis Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA Ziehl Neelson. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae. b. Pemeriksaan Histopatologis Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. c. Pemeriksaan Serologis Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah

1. MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) 2. uji ELISA 3. ML dipstick.

d. Tes Lepromin Penderita lepra memberikan hasil positif pada tes kulit yang dilakukan dengan penyuntikan intrakutan dari antigen yang dibuat dari nodul lepromatous.Tes ini disebut tes lepromin.Cara melakukan tes lepromin seperti halnya pada tes tuberkulin. Tes leprominmerupakan tes imunologis yang spesifik dan digunakan untuk:
1. mengetahui ketahanan hospes terhadap M.leprae, 2. menentukan prognosis penyakit lepra, 3. membantu menegakkan diagnosis penyakit lepra, dan 4. mengetahui hasil pengobatan terhadap penyakit lepra

PATOGENESIS Faktor-faktor yang Menentukan TerjadinyaPenyakit Kusta : a. Sumber Penularan Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006). b. Cara Keluar dari Pejamu (Host) Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006). c. Cara Penularan Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup)

keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta d. Cara Masuk ke Pejamu Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh e. Pejamu Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta d) Mengapa penyakit ini dapat menyebabkan jari-jari kaki yang putus? Jawaban : Gangguan fungsi saraf tepimotorikkelemahantangan/kaki lemah/lumpuhjari bengkok/kaku provokatif, luka jari putus putus.

4) Hasil pemeriksaan dermatologis pada punggung , dada, dan tangan didapatkan bercak putih banyak, kecil, batas tidak tegas, permukaan halus, dan berkilat, distribusi bilateral simetris ada nodulus. a) Apatujuanpemeriksaandermatologis? Jawaban: Untuk melihat apakah ada kelainan pada tubuh atau kulit seseorang.

b) Bagaimanacarapemeriksaandermatologis? Jawaban : Dengan inspeksi dan pemeriksaan fisik, kemudian mendeskripsikan apa yang ditemukan, sifat bercak, jumlahnya berpa, bentuk bercak, gejala subjektif, batas bercak, distribusi dan ada tidaknya nodul.

c) Bagaimanainterprestasipemeriksaandermatologis? Jawaban :

Didapatkan:bercak,putih,banyak ,kecil,batas tidak tegas, permukaan halus dan berkilat,distribusis bilateral dan simetris,ada nodulus

5) Tessen sibilitas raba, nyeri, dan panas pada bercak didapatkan anestesi. a) Apatujuandaritessensibilitas? Jawaban : Untuk mengetahui kepekaan pada rasa suhu, rasa raba dan rasa nyeri pada kulit.

b) Bagaimanacaratessensibilitas? Jawaban : RABA HALUS: Gunakan sepotong kapas, Sentuhkan kapas tersebut diatas kulit. Cobalah untuk mengulangi rangsangannya. Peragakan dengan kedua mata pasien terbuka, tunjukkan padanya bahwa anda akan meraba kulitnya. Mintalah pasien mangatakan ya setiap kali dia merasakan sentuhan. TES perintahkan pasien untuk menutup matanya, lakukan tes pada daerah kulit yang bermasalah. TES NYERI:Gunakan peniti atau jarum tajam dan tumpul. Peragakan Tunjukkan kepada pasien apa yg anda kerjakan, Jelaskan bahwa anda ingin agar pasien memberitahukan apakah jarum yang dirasakan tajam atau tumpul. Sentuh area yang terganggu dengan jarum dan kemudian sentuh dengan jarum tumpul pada area yg sehat. TES mintalah pasien menutup kedua matanya kemudian beri rangsangan tajam dan tumpul secara acak, dan perhatikan respon pasien. Dermatom Pada lesi radiks saraf, timbul area penurunan sensasi yang terbatas pada distribusi segmental. Area kulit yang dipersarafi oleh radiks spesifik dinamai dermatom. Baal - Sering pasien mengeluh area baal. Pasien harus diinstruksikan untuk melukiskan area ini dengan satu jari tangan. Kemudian pemeriksa harus menempatkan peniti di pusat area baal merangsang ke arah luar

sampai pasien memperhatikan rasa nyeri, dengan cara ini batas kehilangan sensorik dapat ditentukan. TES SENSASI SUHU: Isi tabung dengan air hangat dan dingin. Peragakan saya mau anda mengatakan sesuatu jika saya sentuh anda dengan tabung yang panas atau dingin. Sentuhkan secara acak tabung air panas dan dingin pada tangan, kaki atau daerah kulit yang terganggu. TES PROPRIOSEPSI (Indera posisi) Propriosepsi harus dites pada jari tangan dan kaki bilateral dengan memegang sisi lateral phalanx distal, sementara bagian proksimal phalanx dipertahankan tetap. Mula-mula tes ini dijelaskan kepada pasien dengan matanya terbuka pemeriksa memperlihtakan apa artinya keatas dan kebawah. Kemudian pasien menutup mata & pemeriksa menggerakkan phalanxnya keatas dan kebawah. Pasien hrs menjawab apakah sendinya ke atas atau ke bawah. SENSASI RASA GETAR : Gunakan garpu tala 128 Hz. Garpu tala dengan frequensi yg lebih tinggi (256 atau 512 Hz) tidak adekuat. Peragakan Pastikan pasien mengerti bahwa dia akan merasakan getaran, dengan memukulkan garpu tala dan meletakkannya diatas sternum atau dagu. TES mintalah pasien menutup matanya, tempatkan garpu tala pada tonjolan tulang, tanyakan pasien dapat merasakan getaran tersebut. Letakkan pada sendi metatarsal falangeal, malleolus medialis, tuberositas tibialis, spina iliaka anterior superior, di lengan dan pada ujung jari, masing-masing sendi interfalangeal, pergelangan tangan, siku dan bahu. Bila sensasi bagian distal normal, tes tidak perlu dilakukan pada bagian proksimal. Interpretasi hasil pemeriksaan dermatologis: anastesia berarti dia tidak bis amerasakan sensasi Tanda-tanda Gangguan

Sensibilitas 1. Perasa Raba : Menurun hipestesia Lenyap anestesia meningkat hiperstesia meningkat hiperstesia

2. Perasa Nyeri : Menurun hipalgesia lenyap analgesia

3. Perasa Suhu : Menurun termhipestesia Lenyap termanestesia

c) Mengapapadaperabaansensibilitasdidapatkananastesi? Jawaban : Karena adanya Keterlibatan saraf yaitu dapat terjadinya penebalan saraf pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf perifer menyebabkan didapatkan hasil anastesi. Penebalan saraf antara lain : N.Ulnaris Anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis Clawing kelingking dan jari manis Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial N.Medianus Anasthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah Tidak mampu aduksi ibu jari Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah Ibu jari kontraktur Atrofi otot benar dan kedua otot lumbrikalis lateral oolk yang

N. Radialis Anasthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

Tangan gantung (wrist drop) Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N.Poplitea Lateralis Anastesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis Kaki gantung(foot drop) Kelemahan otot peroneus

N. Tibialis Posterior Anastesia telapak kaki Claw toes Paralisis otot intrisik kaki dan kolaps arkus pedis

N. Fasialis Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir N. Trigeminus Anastesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

Penebalan saraf dan nyeri disertai dengan : Gangguan sensoris rasa nyeri sampai dengan mati rasa Gangguan motoris paresis & paralisis Gangguan otonom kulit kering & retak, edema & alopesia

6) Didapatkan juga wajah singa. a) Apa saja ciri ciri wajahsinga? Jawaban : Wajah tampak berbenjol-benjol karena granuloma di wajah dan disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.

7) Teslepromin (-) a) Apa tujuan test lepromin? Jawaban: Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra, tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae.0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari (Reaksi Fernandez), atau 3-4 minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif, bila terdapat indurasi dan erytema, yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti Mantoux test (PPD) pada M. tuberculosis.

b) Bagaimanacara test lepromin? Jawaban : Cara membuat antigen yang klasik adalah dengan cara berikut. Jaringan nodul lepromatus digerus sampai seperti pasta, kemudian dilarutkan dalam garam faali 20 ml/ gram pasta. Supernatan yang diperoleh disaring dan disterilkan dengan autoklaf (120C selama 15 menit, kemudian diawetkan menggunakan larutan fenol 0,5%. Untuk tes lepromin, digunakan 0,1-0,2 ml yang disuntikkan secara intrakutan pada bagian voler lengan bawah.

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.

Hasil dari tes lepromin dibaca sebagai berikut. 1. Early Fernandez reaction (dibaca setelah 48 jam)

Reaksi timbul cepat dalam waktu 24-48 jam.Dikatakan positif bila terdapat eritema dan indurasi, dan dikatakan negatif bila hanya timbul eritema saja atau tidak ada perubahan pada tempat suntikan.

2. Delayed Mitsuda reaction (dibaca setelah 4-6 minggu) Hasil positif apabila terdapat papula kecil yang timbul setelah 7-10 hari, kemudian berubah menjadi papula besar dan selanjutnya menjadi nodul dengan diameter 1 cm. Hasil negatif, apabila tidak ada reaksi lokal, atau reaksi lokal yang positif berubah menjadi negatif. Reaksi yang tertunda (delayed reaction) ini disebabkan adanya basil lepra yang utuh. Reaksi Mitsuda bernilai : 0Papul berdiameter 3 mm atau kurang + 1 Papul berdiameter 4 6 mm + 2Papul berdiameter 7 10 mm + 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi Untuk tes lepromin sekarang, digunakan antigen yang lebih spesifik yang disebut antigen Darmendra.Darmendra menemukan adanya protein, polisakarida, dan wax pada basil lepra.Fraksi protein dari basil lepra tersebut ternyata merupakan antigen yang baik dan memberikan reaksi seperti tuberkulin dalam waktu 24-48 jam.

Evaluasi basil tes lepromin Tes lepromin dapat digunakan untuk mengetahui daya tahan hospes 'sebab pada lepra yang ganas (malignant lepromatous) selalu diperoleh tes lepromin yang negatif, sedang pada tipe lepromatus yang dini memberikan reaksi positif dan berhubungan dengan prognosis yang baik. Hasil tes lepromin negatif terjadi pada tipe lepromatous akut, di mana penderita dalam kondisi prealergik.Hasil tes lepromin positif, selain pada lepra dini (tipe tuberkuloid), juga dapat terjadi pada penderita tuberkulosis, juga pada anakanak yang divaksinasi BCG. Dari percobaan Fernandez telah dibuktikan bahwa terdapat reaksi silang antara tes lepromin dengan vaksin BCG. Percobaan Fernandez ini dilakukan

dengan cara memberikan vaksinasi BCG kepada sejumlah anak yang menunjukan tes lepromin dan test tuberculin negative. Setelah 1 bulan, dilakukan tes lepromin dan tes tuberculin pada anak-anak tersebut; ternyata hasilnya menunjukan 99% test tuberculin positif dan 92% tes lepromin positif

c) Bagaimanainterpretasidari testlepromin? Jawaban : Reaksi matsuda : 0 : papul berdiameter 3 mm / kurang

+ 1 : papul berdiameter 4-6 mm + 2 : papul berdiameter 7-10 mm + 3 : papul berdiameter > 10 / papul dengan ulserasi

Pemeriksaan serologik ini dapat membantu apabila gejala klinis dan bakteriologik yang terinfeksi m.leprae, pemeriksaan serologik kusta di dasarkan atas terbentuknya anti body pada tubuh seseorang yang terinfeksi m. leprae.

8) Hasil pemeriksaan kulit untuk basil tahan asam (+) a) Tujuandaripemeriksaankulituntuk basil tahanasam? Jawaban : Untuk mengetahui bakteri apa saja yang termasuk golongan bakteri gram negatif.

b) Bagaimanacarapemeriksaankulituntuk basil tahanasam? Jawaban : Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah

(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps(berkelompok). Pemeriksaan BTA kulit dapat dilakukan dengan metode pewarnaan Ziehl Neelson, caranya adalah: Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara

lain dengan metode Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri hasil negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae. Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling merah di kulit dan infiltratif.

Pemeriksaan BTA dengan metode Ziehl Neelson Alat : Objek glass Bambu stik yang digepengi Mikroskop Lampu spiritus

Bahan : 1. Kerokan kulit 2. Pasir densol, yang berfungsi sebagai desinfektan 3. Aquadest 4. Carbol fuchsin (berwarna merah) 5. Alkohol asam 6. Methylen blue

1. Cara kerja 1. Objek glass harus bersih dan baru 2. Buat etiket sebelum melakukan pemeriksaan. 3. Untuk pemula dibuat lingkaran dengan diameter 2x 3 cm 4. Ambil bahan kerokan dari kulit penderita, letakkan di atas objeck glass, 5. Biarkan kering disuhu ruangan 6. Setelah kering lakukan fiksasi dengan Bunsen 7. Baru dilakukan pewarnaan: - Tetesi dengan carbol fuchsin(berwarna merah) panaskan sampai menguap tidak boleh sampai mendidih kira-kira 3-5 menit, tujuannya untuk

melelehkan zat lilin penyelubung bakteri sehingga bakteri menghisap zat warna - Biarkan dulu selama 5 menit - Lalu dicuci dengan aquadest - Ditambahkan alkohol asam untuk melunturkan fuchsin, jika BTA positif BTA tetap akan mengikat fuchsin - Setelah itu cuci sampai bersih - Baru kemudian ditambahkan methylen blue biarkan 10-20 detik, lalu keringkan. - Setelah itu baru kemudian disiram kembali - Dan biarkan mengering. - Lihat di bawah mikroskop

c) Apasajajenisbakteritahanasam? Jawaban : a. Mikrobakterium leprae b. Mikrobakterium tuberkulosis.

KERANGKA KONSEP

epidemiologi

etiologi

definisi

patogenesis

lepra

diagnosis

anamnesis

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan fisisk Diagnosis banding

Tata laksana

Manifestasi klinis

HIPOTEISIS Tn. J menderita penyakit kusta

SINTESIS

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibandingkan dengan kusta yang kitakenal sekarang.

DEFENISI Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

ETIOLOGI Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai bekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram positif.

KLASIFIKASI Tujuan Kalsifikasi adalah: 1. penentuan prognosis 2. penentuan terapi 3. penentuan kriteria bebas dari obat dan pengawasan 4. mengantisipsi terjadinya reaksi 5. penyeragaman secara internasional > kepentingan epidemiologis

Beberapa klasifikasi MH antara lain : 1. Klasifikasi InternASional Madrid (1953)


Lepromatous ( L) Tuberculoid (T) Indeterminate (I) Borderline (B)

2. Klasifikasi Ridley Jopling (1962)


I TT

: intermedinate; tidak termasuk dalam spectrum : Tuberkuloid polar (bentuk stabil); tuberkuloid 100% jadi tidak akan berpindah tipe.

Ti

: Tuberkuloid indefinite; tipe campuran tubeculoid dan lepromatosa (Tuberkuloid lebih banyak)

BT BB BL Li

: Borderline Tuberkuloid; tipe campuran, tapi Tuberkuloid lebih banyak : Mid Borderline; tipe campuran (50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa) : Borderline Lepromatosa; tipe campuran, tapi lepromatosa lebih banyak : Lepromatosa indefinite; tipe campuran tuberkuloid dan lepromatosa (lepromatosa lebih banyak)

LL

: Lepromatosa polar (bentuk stabil); lepromatosa 100% jadi tidak akan berpindah tipe.

Selain tipe TT dan LL, tipe lain masih bisa pindah ke bentuk tipe lain.

3. Klasifikasi WHO (1981)


Paucibacillary : BI > Negatif Multibacillary > Positif

Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi. Klasifikasi Ridley dan Jopling Madrid WHO Puskesmas Zona Spektrum Kusta TT BT BB BL LL Tuberkuloid Borderline Lepromatosa Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB) PB MB WHO PB mengandung sedikit basil (I, TT, BT) MB mengandung banyak basil (LL, BL, BB).

Ridley-Jopling 1960 Tipe I Tipe TT Tipe BT Tipe BL Tipe LL Banyak dipakai untuk penelitian dan pengobatan PB (I, TT, BT) :dengan Indeks bakteri (IB)

<2+. MB (LL, BL, BB) :dengan IB >2+.

EPIDEMIOLOGI Masalah epidermiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanyaberdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dad suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina.Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai seat ini belum jelas benar. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya. Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. leprae.Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia.penderita yang mengandung M. leprae sampai 10 3 per gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak nengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun di dapatkan 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali.Saat ini usaha

pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 2535 tahun. Kusta terdapat di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan.Ada variasi reaksi terhadap infeksi M.leprae yang

mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa.Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda. Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pads tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).Sedangkan angka kejadian reaksi kusta tipe 1 bervariasi antar 8-33% dari seluruh penderita kusta. Dan angka kejadian reaksi tipe 1 pada penderita BT sendiri adalah 20-50%. Angka kejadian reaksi tipe 2 pada penderita BL dan LL adalah 24%. Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis.Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara, dan 82%-nyadi 5 negara yaitu Brazil, India, Indonesia, Myanmar,dan Nigeria. Di Indonesia jumlah kasus kustayang tercatat pads akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Baratdan Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadiulserasi, mutilasi, dan deformitas.Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya.Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di rajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anastetik disertai paralisis dan atrofi otot.

Penularan penyakit kusta adalah: a) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam. b) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang c) Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. d) Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Micobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita e) Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

MANIFESTASI KLINIS Tanda-tanda : Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Secara umum, tanda-tanda itu adalah :
1. 2.

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.

3.

Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.

4.

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit

5. 6.

Alis rambut rontok Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa) Masa inkubasi Berkisar antara 9 bulan sampai 20 tahun dengan rata-rata adalah 4

tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spectrum yang berada diantara dua bentuk klinis dari lepra yaitu bentuk lepromatosa dan tuberkuloid. Pada kusta bentuk lepromatosa kelainan kulit berbentuk nodula, papula, macula dan infiltrate yang difus tersebar simetris bilateral dan biasanya ekstensif dan dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat membentuk krusta, tersumbatnya jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata dapat menimbulkan iritis dan keratitis. Pada kusta tipe tuberkuloid, lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa atau hipoetesi asimitris bilateral. Terserangnya syaraf biasanya cenderung menjadi semakin berat. Kusta bentuk borderline mempunyai gambaran dari kedua tipe kusta dan lebih labil. Mereka cenderung menjadi tipe lepromatosa jika penderita tidak diobati dengan benar dan menjadi tipe tuberkuloid pada penderita yang diobati dengan benar. Bentuk awal dari kusta ditandai dengan munculnya macula hipopigmentasi dengan batas lesi yang tegas yang dapat berkembang menjadi bentuk tuberkuloid, borderline atau bentuk lepromatosa. Klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas gambaran klinis, bakteriologis, imunologis dan histologist:

1) Lepra tipe Indeterminate (I) Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian

menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20 sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan

hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun berkembang menjadi salah satu tipe determinate. jika tidak diobati, sekitar 25%

2) Lepra tipe Determinate a) Lepra tipe Tuberkuloid(TT)

Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit tersebutdapatberupabercak-bercakhipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n. auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yangbaik.

b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT) Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesilesi satelit.Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan

kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif.

c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB) Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan poli morf. Kelainan kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punched out). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks

bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat tidal( stabil.

d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL) Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makulaatau bercakbercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakaL Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif.

e) Lepra tipe Lepromatosa (IL) Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah

banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena

baru terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan

wajah singa, plakat, dan nodul. Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jari- jari Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika

laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negatif.

Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling Sifat Lepromatous Leprosy (LL) Lesi Bentuk Makula, Infiltrat Difus, Papul, Nodul Jumlah Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat Distribusi Permukaan Batas Anastesia BTA Lesi Kulit Sekret Hidung Tes Lepromin Banyak (ada globus) Banyak (ada globus) Negatif Banyak Biasanya Negatif Negatif Agak Banyak Negatif Biasanya Negatif Simetris Halus Berkilat Tidak Jelas Biasanya Tak Jelas Sukar dihitung, masih ada kulit sehat Hampir Simetris Halus Berkilat Agak Jelas Tak Jelas Makula, Plakat, Papul Plakat, Dome Shaped (Kubah), Punched Out Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada Asimetris Agak Kasar/berkilat Agak Jelas Lebih Jelas Borderline Lepromatous (BL) Mid Borderline (BB)

Tanda-tanda khas pada makula adalah 5 A (anastesi, achromi,atropi,anhidrosis, alopesia) Gejala-gejala kerusakan saraf :

1. N. fasialis : - Cabang temporal dan zigomatik meyebabkan lagoftalmus - Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalanmengatupkan bibir 2. N. ulnaris : - Anesthesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis - Clawing kelingking dan jari manis - Atrofi hipothenar dan otot interosseus serta kedua otot lumbrikalis medialis 3. N. medianus : - Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah - Tidak mampu aduksi ibu jari - Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah - Ibu jari kontraktur - Atropi otot thenar dan kedua otot lumbrikalis lateral 4. N. radialis : - Aestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk - Tangan gantung (wrist drop) - Tak mampu extensi jari-jari atau pergelangan tangan 5. N. poplitea lateralis : - Kaki gantung (foot drop) - Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis - Kelemahan otot peroneus 6. N. tibialis posterior : - Anestesia telapak kaki - Claw toes - Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis 7. N. trigeminus : - Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,

menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.

Deformitas Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat Kusta adalah: 1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari. 2. Dissability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Dissability ini merupakan objektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju sendiri. 3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya. 4. Deformity: kelainan struktur anatomis 5. Dehabilitation: keadaan/proses pasien Kusta (handicap) kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya. 6. Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter). Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Kusta histioid Merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya.

DIAGNOSIS BANDING Untuk diagnosa banding harus dibedakan dengan penyakit lain yang menimbulkan penyakit kulit yang infiltratif limfoma, lupus eritomatosa, psoriasis, skleroderma dan neurofibromatosis. Leishmaniasis difosa, infeksi jamur pada kulit, myxedema, kulit pachydernoperiostosis, gejala klinisnya dapat mirip dengan kusta tipe lepromatosa, namun tidak ditemukan bakteri tahan asam. Sedangkan karena kekurangan gizi, nevus dan jaringan parut pada kulit dapat mirip dengan kusta tipe tuberkuloid. Dilihat adanya: makula hipopigmentasi, daerah anestesi, pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan BTA, ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya 1. Tipe I (makula hipopigmentasi): tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik 2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi): tinea korporis, psoriasis, lupus eritematosa tipe discoid, atau pitiriosis rosea 3. Tipe BT, BB, BL (infiltrate merah tak berbatas tegas): selulitis, erisipelas, atau psoriasis. 4. Tipe LL (bentuk nodul): LES, dermatomiosis, atau erupsi obat.

DIAGNOSIS 1. Berdasarkan gambaran klinis (terpenting dan sederhana), bakterioskopis, dan histopatologis. 2. Tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe (3 minggu) sehingga bisa ditentukan pengobatan yang tepat.

3. Pemeriksaan secara klinis, harus dilihat semua kelainan pada seluruh tubuh dengan inspeksi, palpasi, dan penggunaan alat (jarum, kapas, tabung reaksi-air panas, air dingin, pensil tinta, dll). 4. Pemeriksaan secara histopatologis, bergantung dimana biopsi dilakukan. Diagnosa klinis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia, paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran dan pengerasan syaraf tepi, dilakukan palpasi bilateral, untuk n. ulnaris dilakukan pada bahu dan untuk n. peronealis pada caput bibulae. Begitu pula dilakukan pemeriksaan terhadap n. auricularis major. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis.Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari.Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya barn dapat diketahui setelah 3 minggu.Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai. Bila basil M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuaidengan kerentanan orang tersebut.Bentuk tipeklinis bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Diagnossa kusta tipe lepromatosa (multibaciller) ditegakkan dengan ditemukannya bakteri tahan asam pada sediaan yang diambil dengan melakukan incisi pada kulit. Pada kusta tipe tuberkuloid (paucibaciller) jumlah basil kemungkinan sangat sedikit sehingga sulit ditemukan pada pemeriksaan

PEMERIKSAAN PENUNJANG c. Pemeriksaan Bakterioskopis

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA Ziehl Neelson. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk

rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP 2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP 3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP 4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP 5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP 6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 % Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

d.

Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

e.

Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah 1. MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) 2. uji ELISA 3. ML dipstick.

f.

Tes Lepromin Penderita lepra memberikan hasil positif pada tes kulit yang dilakukan

dengan penyuntikan intrakutan dari antigen yang dibuat dari nodul lepromatous.Tes ini disebut tes lepromin.Cara melakukan tes lepromin seperti halnya pada tes tuberkulin. Tes leprominmerupakan tes imunologis yang spesifik dan digunakan untuk: 1. mengetahui ketahanan hospes terhadap M.leprae, 2. menentukan prognosis penyakit lepra, 3. membantu menegakkan diagnosis penyakit lepra, dan 4. mengetahui hasil pengobatan terhadap penyakit lepra.

Cara membuat antigen yang klasik adalah dengan cara berikut. Jaringan nodul lepromatus digerus sampai seperti pasta, kemudian dilarutkan dalam garam faali 20 ml/ gram pasta. Supernatan yang diperoleh disaring dan disterilkan dengan autoklaf (120C selama 15 menit, kemudian diawetkan menggunakan larutan fenol 0,5%. Untuk tes lepromin, digunakan 0,1-0,2 ml yang disuntikkan secara intrakutan pada bagian voler lengan bawah.

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.

Hasil dari tes lepromin dibaca sebagai berikut. 1. Early Fernandez reaction (dibaca setelah 48 jam) Reaksi timbul cepat dalam waktu 24-48 jam.Dikatakan positif bila terdapat eritema dan indurasi, dan dikatakan negatif bila hanya timbul eritema saja atau tidak ada perubahan pada tempat suntikan. 2. Delayed Mitsuda reaction (dibaca setelah 4-6 minggu) Hasil positif apabila terdapat papula kecil yang timbul setelah 7-10 hari, kemudian berubah menjadi papula besar dan selanjutnya menjadi nodul dengan diameter 1 cm. Hasil negatif, apabila tidak ada reaksi lokal, atau reaksi lokal yang positif berubah menjadi negatif. Reaksi yang tertunda (delayed reaction) ini disebabkan adanya basil lepra yang utuh. Reaksi Mitsuda bernilai : 0Papul berdiameter 3 mm atau kurang + 1 Papul berdiameter 4 6 mm + 2Papul berdiameter 7 10 mm + 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi Untuk tes lepromin sekarang, digunakan antigen yang lebih spesifik yang disebut antigen Darmendra.Darmendra menemukan adanya protein, polisakarida, dan wax pada basil lepra.Fraksi protein dari basil lepra tersebut ternyata merupakan antigen yang baik dan memberikan reaksi seperti tuberkulin dalam waktu 24-48 jam. Evaluasi basil tes lepromin Tes lepromin dapat digunakan untuk mengetahui daya tahan hospes 'sebab pada lepra yang ganas (malignant lepromatous) selalu diperoleh tes lepromin yang negatif, sedang pada tipe lepromatus yang dini memberikan reaksi positif dan berhubungan dengan prognosis yang baik. Hasil tes lepromin negatif terjadi pada tipe lepromatous akut, di mana penderita dalam kondisi prealergik.Hasil tes lepromin positif, selain pada lepra dini (tipe tuberkuloid), juga dapat terjadi pada penderita tuberkulosis, juga pada anakanak yang divaksinasi BCG. Dari percobaan Fernandez telah dibuktikan bahwa terdapat reaksi silang antara tes lepromin dengan vaksin BCG. Percobaan Fernandez ini dilakukan dengan cara memberikan vaksinasi BCG kepada sejumlah anak yang menunjukan tes lepromin dan test tuberculin negative. Setelah 1 bulan, dilakukan tes lepromin dan tes tuberculin pada anak-anak

tersebut; ternyata hasilnya menunjukan 99% test tuberculin positif dan 92% tes lepromin positif

PATOGENESIS Faktor-faktor yang Menentukan TerjadinyaPenyakit Kusta : a. Sumber Penularan Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006). b. Cara Keluar dari Pejamu (Host) Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006). c. Cara Penularan Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta d. Cara Masuk ke Pejamu Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh e. Pejamu Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi

maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies.Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembang biakan. Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi (900 r), sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh basil terutama dibagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi. Sebenamya M. leprae mempunyai patogenitasdan daya invasi yang rendah, sebab penderitayang mengandung kuman lebih banyak belumtentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakitkusta dapat disebut sebagai penyakitimunologik.Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulamya daripada intensitasnya infeksinya M.Leprae masuk dalam tubuh ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) melalui dua signal (Signal pertama tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC; Signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28) kedua signal ini mengaktivasi To berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2, dibantu oleh TNF dan IL 12 Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar Sitokin dan GF tidak mengenali bagian self atau nonself akan merusak saraf dan saraf yang rusak diganti dengan jaringan fibrous terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional(Wahyuni, 8:2009). Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan

ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009). Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009). Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1. APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy.

Pada tipe LL, makrofag tidak mampu menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultipfikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT, kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi makrofag sanggup menghancurkan basil, namun setelah semua basil di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans, bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan m.lepra, disamping itu sel schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Sehingga bila terjadi gangguan imunitas tubuh basil dapat bermigrasi dan beraktifitas sehingga akan mengurangi aktivitas regenerasi saraf yang berakibat akan menimbulkan kerusakan saraf yang progresif.

Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009). Patogenesis reaksi Kusta Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan

biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009). Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.

KOMPLIKASI Reaksi Kusta Reaksi penyakit yang dikenal sebagai Reaksi Kusta ini, merupakan salah satu konsekuensi yang paling buruk pada penderita kusta. Reaksi kusta dapat muncul pada semua pasien Paucibaciller (PB) dan Multibaciller (MB), terutama pada pasien dalam masa pengobatan. Reaksi kusta dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni: 1. Reaksi reversal / upgrading atau dikenal sebagai reaksi tipe 1 2. ENL (eritema nodusum leprosum)atau reaksi tipe 2 Reaksi kusta ini disebutkan dengan nama erythema nodosum leprosum pada penderita tipe lepromatosa dan disebut dengan reaksi terbalik pada kusta borderline. Reaksi tipe 1, umumnya terjadi pada kusta tipe BT, BB, dan BL. Pada reaksi tipe ini sistem imunologis seluler memiliki peranan yang penting. Sedangkan pada reaksi tipe 2 sistem imunologis humoral memiliki peranan yang lebih dominan. Selain itu, reaksi tipe 2 terjadi pada kasus kusta tipe BL dan LL. Reaksi kusta adalah episode akut dari penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Reaksi kusta terbagi atas 2; reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading danreaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL). Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan

ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler. Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia. Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM, IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula. Pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Berbeda dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah luas. Jadi kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular) sedangkan reversal tanpa nodus (reaksi non-nodular).

Fenomena Lucio Merupakan reaksi kusta yang sangat berat, terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus.Terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah. Klinis berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tak teratur dan nyeri.Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri.Lesi lambat menyembuh dan terbentuk jaringan parut. Histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik, edema, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil M. Leprae di endotel kapiler.

TATALAKSANA Untuk Masalah Pengobatan. Kusta PB adalah dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit. Kusta MB adalah dengan BTA positif. Sehingga harus diobati dengan rejimen MBT-MB.

Pengasingan penderita tidak

perlu, karena masa penularan berlangsung hanya

beberapa hari setelah pengobatan dengan rifampisin dimulai dan biasanya kurang dari 3 bulan setelah dapson atau klofazimin diberikan Pengobatan Reaksi Kusta a. Pengobatan reaksi reversal Perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga thalidomide tidak efektif terhadap reaksi reversal.

b. Pengobatan ENL Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedativa atau bila berat penderita dapat menjalani rawat inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus. Obat lain yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik, jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi. Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantug pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi masih bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

PENULARAN Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan di dalam rumah tangga dan konta/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk melalui saluran

pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain : 1. Faktor Kuman kusta Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan daripada kuman yang tidak utuh lagi. Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan (Depkes RI, 2002). 2. Faktor Imunitas Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang yang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan (Depkes RI, 2002). 3. Keadaan Lingkungan Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan, merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta.Sebaliknya dengan meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta. 4. Faktor Umur Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun. 5. Faktor Jenis Kelamin Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita, kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis seperti pubertas, monopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta.

PENCEGAHAN

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.

PROGNOSIS Prognosis baik jika diagnosis penyakit ditegakkan secara dini dan diberikan

pengobatan yang tepat. Penderita memerlukan rasa simpati dan reasuransi (karena stigma lepra masih ada) dan pendidikan untuk memastikan kecukupan dan kerja sama dalam pengobatan medis.

Anda mungkin juga menyukai