Anda di halaman 1dari 15

Laporan Kasus Penugasan

Blok Masalah Pada Dewasa II 3.5 Tahun Ajaran 2020/2021


Wanita 43 tahun dengan gastroesophageal reflux disease (GERD)
dengan tanda bahaya disfagia dan anemia

Disusun oleh:

Muhammad Luthfi Mahrus 18711028


Clarinta Belva Sabina 18711064

Tutor:
dr. Erlina Marfianti, Sp. PD., M. Sc.

PRODI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan refluks
cairan asam lambung ke dalam esofagus (ISG, 2011). Belum ada data yang
menyebutkan mengenai prevalensi GERD di Indonesia. Namun, keadaan ini sering
dijumpai dalam praktik sehari-hari (Saputera & Budianto, 2017). Penyakit GERD
terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dimana
paling sering menyebabkan GERD adalah relaksasi transien lower esophageal
sphincter (LES) sehingga terjadi aliran retrograd asam lambung ke esofagus (Setiati
et al., 2014; Bostame et al., 2017). Kondisi ini dapat menyebabkan rasa panas dan
terbakar (heartburn) di retrosternal atau epigastrik serta regurgitasi (IDI, 2014; Tanto,
2014). Keluhan ini diperberat dengan posisi terlentang dan sering muncul pada
malam hari (IDI, 2014). Selain itu, pasien GERD dapat mengalami disfagia dan
odinofagia serta menyebabkan sindrom ekstraesofageal seperti batuk kronis, asma,
dan laringitis (Tanto, 2014).
Diagnosis GERD biasanya ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis atau
menggunakan kuesioner GERD (GERD-Q). Apabila hasil anamnesis dan skor
GERD-Q (>8) mengarah ke GERD, maka harus diperhatikan ada tidaknya tanda
bahaya dari GERD seperti usia >55 tahun, disfagia, anemia, berat badan turun,
odinofagia, hematesis, atau melena (Tanto, 2014; Saputera & Budianto, 2017).
Apabila terdapat tanda-tanda bahaya, maka pasien harus di rujuk untuk dilakukan
investigasi lanjutan menggunakan endoskopi, biopsi, dan atau tes H. pylori (Tanto,
2014; Young et al., 2020). Pasien GERD yang tidak menunjukkan adanya tanda-
tanda bahaya dapat dilakukan uji terapi inhibitor pompa proton (PPI) dengan
memberikan omeprazol 1x20 mg selama 1-2 minggu. Apabila gejala membaik selama
penggunaan dan memburuk saat pemberian PPI dihentikan, maka diagnosis GERD
dapat ditegakkan (Tanto, 2014; Saputera & Budianto, 2017). Tatalaksana penderita
GERD terbagi menjadi dua, yaitu terapi farmakologis dengan pemberian PPI selama
8 minggu dan non farmakologis berupa perubahan gaya hidup (Saputera & Budianto,
2017).
BAB II

BERKAS KESEHATAN PASIEN

IDENTITAS

Nama Nyonya MN
Umur 43 tahun
Jenis kelamin Perempuan
Agama Islam
Suku bangsa Jawa
Pendidikan -
Pekerjaan Swasta
Status perkawinan Menikah
Pasien datang Datang sendiri
sendiri/rujukan
Waktu kunjungan awal -
Alamat Sleman

RIWAYAT PENYAKIT

Keluhan utama Nyeri di ulu hati dan terasa panas/terbakar


Riwayat penyakit sekarang Keluhan sejak 6 hari yang lalu, hilang timbul dan
sangat mengganggu. Keluhan disertai mual dan
muntah dan sulit menelan. Keluhan memberat dalam
posisi berbaring.
Riwayat penyakit dahulu Pasien memiliki penyakit maag kambuh-kambuhan,
khususnya saat terlambat makan dan banyak pikiran.
Keluhan membaik setelah mengkonsumsi antasida.
Pasien memiliki kebiasaan makan pedas dan minum
teh tiap pagi. Pasien tidak terlalu suka kopi dan tidak
mengkonsumsi minuman keras. Olahraga jarang
dilakukan.
Riwayat penyakit keluarga -
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda vital Tekanan darah = 140/90 mmHg
Nadi = 90x/menit
Napas = 22x/menit
Suhu = 36,2 C
Keadaan umum Cukup, compos mentis
Status gizi -
Pemeriksaan generalis & Mata: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
lokalis edema (-)
Leher: pembesaran limfonodi (-), peningkatan JVP
(-)
Paru-paru: massa (-), ketertinggalan gerak (-),
retraksi (-), fremitus taktil normal, perkusi sonor,
auskultasi vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung: iktus kordis terlihat dan teraba di SIC V,
batas jantung kanan atas di SIC II linea parasternalis
kanan, batas jantung kanan bawah di SIC IV linea
parasternalis kanan, batas jantung kiri atas di SIC II
linea parasternalis kiri, batas jantung kiri bawah di
SIC IV-V linea midklavikula kiri
Abdomen: bentuk flat, massa (-), sikatrik (-),
peristaltik (+), perkusi timpani, pekak beralih dan
undulasi (-), nyeri tekan epigastrium (+), defans
muscular (-), nyeri tekan lepas (-), tidak teraba
massa dan pembesaran
Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah rutin Hb = 10 g/dL


AL = 9800/uL
AT = 295.000/uL
Hmt = 31%
MCV = 68 fl
MCH = 22 pg
MCHC = 29

DAFTAR MASALAH PASIEN

MASALAH SAAT TIMBUL RENCANA


TINDAKAN
Nyeri ulu hati dengan 6 hari yang lalu Pemberian omeprazol
rasa terbakar disertai 1x20 mg selama 8
kesulitan menelan dan minggu
mual muntah
Riwayat maag Kambuh-kambuhan Farmakologis dengan
terutama jika banyak inhibitor pompa proton
pikiran dan non-farmakologis
dengan perubahan gaya
hidup

DIAGNOSIS KERJA

Wanita 43 tahun dengan gastroesophageal reflux disease (GERD) dengan tanda


bahaya disfagia dan anemia

PENATALAKSANAAN

MASALAH NON FARMAKOLOGI EDUKASI


FARMAKOLOGI
GERD dengan - Meninggikan - Omeprazol - Hindari
tanda bahaya kepala saat 1x20 mg makan
anemia berbaring selama 8 makanan
- Makan minggu pedas
malam 2-3 - Kendalikan
jam sebelum pikiran dan
tidur emosi

RENCANA TINDAK LANJUT/FOLLOW UP

Pasien di rujuk ke fasilitas kesehatan untuk dilakukan investigasi lebih lanjut


menggunakan endoskopi, biopsi, dan atau tes H. pylori. Hal tersebut dikarenakan
pasien memiliki tanda-tanda bahaya seperti anemia serta disfagia. Setelah dilakukan
investigasi lanjutan dan pasien didiagnosis GERD, maka akan diberikan terapi
farmakologis berupa PPI dan perubahan gaya hidup.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis data pribadi/identitas

Beberapa hal yang akan dianalisis dari kebiasaan pasien adalah dari usia,
jenis makanan yang dikonsumsi, dan frekuensi olahraga. Masalah genetik dan
ekonomi tidak disebutkan dalam kasus sehingga tidak dilakukan analisis.
Usia pasien telah memasuki usia rentan terjadinya refluks, yang umumnya
terjadi di atas 40 tahun (Kumar et al., 2010). Pasien tidak memiliki risiko lain
yaitu kehamilan. Kejadian refluks dan gejala terkait terjadi secara seimbang
antara wanita dan pria, sehingga kemungkinan risiko pasien dalam kasus terkena
penyakit ini adalah karena hal selain jenis kelamin (McNally, 2010).
Jenis makanan dan minuman yang sering dikonsumsi pasien adalah sambal
dan juga teh. Sambal atau makanan pedas dapat mengiritasi mukosa esofagus
bagian bawah secara langsung melalui transient receptor potential vanilloid 1
(TRPV 1) (Patcharatrakul et al., 2020). Apabila mukosa telah mengalami
inflamasi sebelumnya, maka makanan pedas akan menyebabkan eksarsebasi
gejala seperti heartburn. Selain iritasi langsung, kandungan capsaicin pada
makanan seperti sambal dapat menyebabkan tertundanya pengosongan lambung
dan meningkatkan akomodasi lambung. Hal ini dapat memprovokasi kejadian
refluks (Choe et al., 2017).
Efek teh terhadap gejala heartburn (nyeri ulu hati dengan sensasi terbakar)
maupun refluks masih diperdebatkan. Secara teori, kandungan teofilin dalam the
dapat menurunkan tonus lower esophageal sphincter (LES) dan meningkatkan
refluks pada dewasa. Risiko erosi pada esofagus pun lebih tinggi pada peminum
teh. Beberapa penelitian menyatakan sebaliknya, yaitu tidak ada kaitan antara
konsumsi teh dengan gejala refluks (Cao et al., 2019).

Olahraga memiliki risiko berbeda terkait gejala yang dialami pasien.


Meskipun olahraga dengan intensitas tinggi dapat memperparah gejala, olahraga
rekreasional dapat menurunkan risiko tersebut. Olahraga dengan tingkat
intermediet dapat memperkuat otot-otot pada diafragma sehingga terbentuk
sawar antirefluks yang memadai. Kurangnya aktivitas fisik seperti pada kondisi
pasien dapat menyebabkan penumpukan jaringan adiposa yang dapat menekan
lambung dan menimbulkan gejala (Djärv et al., 2012; Çela et al., 2013).

B. Analisis RPS, RPD, dan RPK


Pasien pada kasus di atas memiliki sejumlah keluhan utama dan juga riwayat
penyakit dahulu berupa maag (gastritis). Keluhan-keluhan tersebut dapat didasari
beberapa mekanisme yang berbeda. Keluhan utama pasien adalah nyeri di ulu
hati disertai rasa terbakar dan gelisah.
Kemungkinan terbesar terjadinya nyeri di ulu hati berasal dari abnormalitas
esofagus. Asam lambung yang sering naik dan menyebabkan refluks dapat
mengiritasi sel epitel di permukaan esofagus. Lapisan epitel yang sudah tidak
intak akan memudahkan refluksat untuk berdifusi ke dalam bagian intrasel dan
mengaktivasi reseptor nyeri yang sensitive terhadap senyawa kimiawi. Alhasil,
persepsi nyeri ulu hati dengan rasa terbakar dikeluhkan oleh pasien (Barlow and
Orlando, 2015).

Gambar 1. Mekanisme nyeri ulu hati atau heartburn (Barlow dan Orlando, 2015).

Perasaan gelisah dapat muncul karena gejala nyeri yang terus menerus namun
juga dapat memperparah gejala yang telah ada. Ketika nyeri dirasakan secara
berkelanjutan, kondisi psikologis pasien dapat terganggu karena stress yang
dialami akibat penyakitnya. Stress yang berujung pada kegelisahan justru dapat
meningkatkan kerusakan sel epitel esofagus dan menurunkan tekanan lower
esophageal sphincter sehingga memicu kejadian refluks untuk terulang. Siklus
ini perlu diputus dengan tatalaksana yang sesuai (Choi et al., 2018).
Gejala lain seperti sulit menelan atau disfagia dapat terjadi karena mekanisme
refleks kontraksi esofagus sebagai pertahanan dari kerusakan epitel yang telah
terbentuk. Kontraksi dan penyempitan esofagus jika terjadi dalam jangka panjang
dapat menimbulkan disfagia, khususnya jika makanan yang dikonsumsi
merupakan makanan padat dan kasar seperti roti atau daging. Naiknya asam
lambung ke bagian bawah esofagus juga dapat menyebabkan rasa yang pahit dan
tidak enak hingga dapat menyebabkan pasien mual dan muntah (McNally, 2010).
Gejala-gejala ini terasa lebih berat saat berbaring karena paparan terhadap refluks
meningkat. Peningkatan ini terjadi akibat tidak adanya gravitasi yang mendorong
asam lambung untuk turun ke lambung. Risiko migrasi ke arah proksimal juga
meningkat saat berbaring, bahkan dapat berujung pada komplikasi pernapasan
(Herbella dan Patti, 2010).
Pasien telah diberikan paracetamol dan ranitidin sebelumnya untuk
meredakan nyeri yang dikeluhkan. Ranitidin merupakan obat golongan antagonis
reseptor H2 yang berfungsi memblokade reseptor pada sel parietal lambung.
Asam lambung dapat berkurang hingga 60%. Pada kasus pasien, ranitidin hanya
memperbaiki gejala secara sementara. Hal ini dapat dikarenakan sifat obat yang
tidak memblokade asam lambung secara sempurna, maupun karena pola hidup
pasien yang tetap tidak diubah (konsumsi makanan dan aktivitas fisik) (Waller et
al., 2014).
Riwayat penyakit dahulu Nyonya MN memiliki hubungan dengan keluhan
yang diderita sekarang. Pasien memiliki riwayat maag yang dipengaruhi pikiran
yang banyak dan makan yang tidak teratur. Keluhan maag akan membaik setelah
diberi antasida. Maag atau gastritis merupakan inflamasi lambung yang
seringkali disebabkan oleh bakteri H. pylori. Kaitan antara kedua penyakit masih
diperdebatkan dan tergantung pada lokasi gastritis. Gastritis yang dominan di
antrum dapat meningkatkan kejadian GERD sehingga penting untuk dilakukan
eradikasi H. pylori. Sebaliknya, eradikasi H. pylori pada gastritis di bagian
korpus justru dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan kejadian GERD
(Setiati et al., 2014; Waller et al., 2014).
C. Analisis pemeriksaan fisik dan penunjang

Pemeriksaan fisik pada pasien menunjukkan kondisi hipertensi stage I


disertai adanya nyeri tekan epigastrium. Hipertensi pada pasien tidak dapat
ditegakkan secara pasti karena baru dilakukan pemeriksaan sebanyak satu kali
dan tidak diperkuat dengan riwayat penyakit dahulu maupun riwayat penyakit
keluarga. Hipotesis yang mengasosiasikan hipertensi dengan gejala utama pada
pasien adalah adanya jalur yang sama secara neural. Refluks ke esofagus dapat
menyebabkan nyeri dada dan menyebabkan aktivasi refleks simpatis yang
berakhir pada hipertensi. Selain hal tersebut, stimulus seperti orexin dapat
mengaktivasi refleks digestif sekaligus kardiovaskuler (Li et al., 2018).
Nyeri tekan epigastrium adalah konsekuensi dari gejala-gejala yang telah
dituliskan di atas, yaitu heartburn dan juga regurgitasi. Gejala ini merupakan
gejala atipikal yang dapat muncul dalam kasus refluks.
Interpretasi dari pemeriksaan penunjang menunjukkan kadar Hb di bawah
normal (<12 g/dL), MCV di bawah normal (<80 fl), serta MCH di bawah normal
juga (<27 pg). Pasien mengalami anemia hipokromik mikrositer yang
asimptomatik (Setiati et al., 2014). Kemungkinan besar anemia yang dialami
adalah anemia defisiensi besi. Kondisi gastritis serta refluks yang menjadi
keluhan pasien dapat menyebabkan absorpsi nutrisi yang buruk di lambung, tak
terkecuali zat besi (Zeller dan Verhovsek, 2017). Konsumsi teh yang menjadi
kebiasaan pasien juga dapat semakin mengganggu penyerapan ini. Apabila tidak
ditangani, maka anemia dapat berubah menjadi simptomatik (Ahmad Fuzi et al.,
2017).

D. Analisis diagnosis

Diagnosis pasien pada kasus di atas adalah wanita 43 tahun dengan


gastroesophageal reflux disease (GERD) dengan tanda bahaya disfagia dan
anemia . Kriteria diagnostik GERD adalah ditemukannya gejala heartburn dan
atau regurgitasi asam. Uji supresi asam juga dapat dilakukan menggunakan obat
antagonis H2 maupun inhibitor pompa proton. Terbukti pada pasien bahwa gejala
sempat berkurang setelah diberi ranitidin. Diagnosis dapat ditegakkan lebih lanjut
dengan adanya hasil kuesioner GERD dan endoskopi, namun data pasien tidak
menunjukkan adanya hasil pemeriksaan tersebut. Berdasarkan pemeriksaan
penunjang, pasien juga mengalami anemia dengan kadar Hb yang turun dan
eritrosit hipokromik mikrositer.

E. Analisis Terapi

Terapi yang diberikan sudah sesuai dengan standar yang ada yaitu pemberian
obat golongan PPI selama 8 minggu. Apabila setelah 8 minggu pasien tidak
mengalami perubahan yang bermakna, maka dapat dinaikkan dosis PPI menjadi
dua kali sehari. Setelah dilakukan peningkatan dosis, apabila tidak terlihat
perubahan, maka dapat dilakukan pilihan terapi bedah maupun endoskopi. (Tanto,
2014; Saputera & Budianto, 2017)
Terapi non farmakologis serta edukasi yang diberikan kepada pasien sudah
tepat, yaitu dengan meninggikan kepala saat posisi berbaring. Hal tersebut akan
menurunkan aliran retrograd yang akan terjadi sehingga meminimalisasi
timbulnya gejala pada pasien (Tanto, 2014; Saputera & Budianto, 2017). Selain
itu, penghindaran makanan tertentu serta pengaturan jadwal makan malam akan
bermaanfaat dikarenakan akan memengaruhi produksi dari asam lambung (Setiati
et al., 2014; Tanto, 2014).

F. Analisis Prognosis

Sebagian besar pasien GERD memiliki prognosis yang baik, begitu pula pada
Nyonya MN. Namun, kekambuhan dapat terjadi pada pasien sehingga
membutuhkan terapi pemeliharaan jangka panjang. Apabila kekambuhan terjadi
terus menerus dan kondisi mendukung, dapat dilakukan intervensi bedah maupun
endoskopi. (Tanto, 2014)
BAB IV
A. Kesimpulan

Nyonya MN mengalami GERD dengan tanda bahaya disfagia serta


anemia. Pemberian terapi PPI berupa omeprazol 1x20 mg selama 8 minggu
perlu dilakukan pemantauan terkait keberhasilan terapi. Terapi non
farmakologis yang diberikan kepada Nyonya MN harus dilakukan untuk
menurunkan gejala yang ada serta menghilangkan faktor risiko yang dapat
mengakibatkan timbulnya gejala GERD. Meskipun memiliki prognosis yang
baik, pasien harus tetap mengetahui tentang risiko kekambuhan GERD yang
tinggi sehingga perlau diberikan terapi pemeliharaan jangka panjang.

B. Saran
1. Sebaiknya tetap dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk menegakkan
kondisi pasien.
2. Dilakukan pemantauan terapi terhadap pemberian PPI untuk
meningkatkan dosis atau penggantian terapi pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fuzi, S. F. et al. 2017. ‘A 1-h time interval between a meal containing iron
and consumption of tea attenuates the inhibitory effects on iron absorption: A
controlled trial in a cohort of healthy UK women using a stable iron isotope’,
American Journal of Clinical Nutrition, 106(6).

Barlow, W. J. dan Orlando, R. C. 2015. ‘The pathogenesis of heartburn in nonerosive


reflux disease: A unifying hypothesis’, Gastroenterology, 128(3).
Bostame, S. et al. 2017. ‘Gastroesophageal reflux disease (GERD)’, Pediatric
Surgery Handbook for Residents and Medical Students, (June), pp. 137–146.

Cao, H. et al. 2019. ‘Association between tea consumption and gastroesophageal


reflux disease A meta-analysis’, Medicine (United States).

Çela, L. et al. 2013. ‘Lifestyle characteristics and gastroesophageal reflux disease: A


population-based study in Albania’, Gastroenterology Research and Practice,
2013.

Choe, J. W. et al. 2017. ‘Foods inducing typical gastroesophageal reflux disease


symptoms in Korea’, Journal of Neurogastroenterology and Motility, 23(3).

Choi, J. M. et al. 2018. ‘Association between anxiety and depression and


gastroesophageal reflux disease: Results from a large cross-sectional study’,
Journal of Neurogastroenterology and Motility, 24(4).

Djärv, T. et al. 2012. ‘Physical activity, obesity and gastroesophageal reflux disease
in the general population’, World Journal of Gastroenterology, 18(28).

Herbella, F. A. dan Patti, M. G. 2010. ‘Gastroesophageal reflux disease: From


pathophysiology to treatment’, World Journal of Gastroenterology, 16(30).

IDI. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.

Indonesian Society of Gastroenterology (ISG). 2011. ‘National consensus on the


management of constipation in indonesia 2010.’, Acta medica Indonesiana,
43(4), pp. 267–274.

Kumar, V. et al. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Eight Edit.
Philadelphia: Elsevier Inc.

Li, Z. T. et al. 2018. ‘The role of gastroesophageal reflux in provoking high blood
pressure episodes in patients with hypertension’, Journal of Clinical
Gastroenterology, 52(8).

McNally, P. R. 2010. Gi/liver Secrets, GI/Liver Secrets.

Patcharatrakul, T. et al. 2020. ‘Acute effects of red chili, a natural capsaicin receptor
agonist, on gastric accommodation and upper gastrointestinal symptoms in
healthy volunteers and gastroesophageal reflux disease patients’, Nutrients,
12(12).
Saputera, M. D. dan Budianto, W. 2017. ‘Diagnosis dan tatalaksana gastroesophageal
reflux disease (GERD) di pusat pelayanan kesehatan primer’, Journal
Continuing Medical Education, 44(5), pp. 329–332.

Setiati, S. et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta:
InternaPublishing.

Tanto, C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4th edn. Jakarta: Media Eusclapius.

Waller, D. G. et al. 2014. Medical Pharmacology & Therapeutics. Fourth Edi. China:
Saunders Elsevier.

Young, A., Kumar, M. A. and Thota, P. N. 2020. ‘GERD: A practical approach’,


Cleveland Clinic journal of medicine, 87(4), pp. 223–230.

Zeller, M. P. dan Verhovsek, M. 2017. ‘Treating iron deficiency’, CMAJ, 189(10).

Anda mungkin juga menyukai