Anda di halaman 1dari 15

Referat

DERMATITIS SEBOROIK

Oleh:
Renal Yusuf, S.Ked
04084821517023

Pembimbing:
Prof. DR. Dr. H. M. Athuf Thaha, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Judul
DERMATITIS SEBOROIK
Oleh

Renal Yusuf, S.Ked


Pembimbing
Prof. DR. Dr. H. M. Athuf Thaha, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Univesitas
Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 30 Juni 2016 8 Agustus
2016.

Palembang,

Juli 2016

Pembimbing,

Prof. DR. Dr. H. M. Athuf Thaha, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

DERMATITIS SEBOROIK
Renal Yusuf, S.Ked
Pembimbing Prof. DR. Dr. H. M. Athuf Thaha, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi FK Unsri
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2016

PENDAHULUAN
Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit yang umum dan kronik, berupa
inflamasi superfisial kulit, ditandai dengan pruritus, sisik berwarna kekuningan disertai
bercak merah dengan berbagai ukuran dan bentuk dengan predileksi pada area seboroik
seperti kepala, alis mata, kelopak mata, lipatan nasolabial, bibir, telinga, daerah presternum,
ketiak, lipatan di bawah payudara, umbilikus, dan lipatan paha. Beberapa tahun ini telah
didapatkan data bahwa 50% pasien HIV terkena dermatitis seboroik. Hipotesis menyatakan
bahwa DS berkembang akibat perubahan respon kutaneus dipicu oleh toksin maupun produksi
asam lemak bebas yang dihasilkan Malassezia spp lipase. Dermatitis seboroik di
karakteristikan dengan lesi berupa skuama berminyak kekuningan dan sedikit gambaran
patch eritematosa.1,2
Tidak ada data insiden dan prevalensi yang pasti, tetapi penyakit ini lebih banyak
ditemukan daripada psoriasis, yaitu sebanyak 2-5 % dari populasi. Prevalensi DS 40-80 %
pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome. Pada tahun 1971-1974 National
Health and Nutrition Examination Survey meneliti sampel antara 1 sampai dengan usia 74
tahun. Didapatkan 70 % mengalami dermatitis seboroik pada rentang umur 3 bulan sampai
dengan 1 tahun. 2,8 % dari total sampel mengalami dermatitis seboroik. Dimana 46,64 %
laki-laki dan 55,56 % wanita. Dermatitis seboroik menyerang 2% - 5% populasi. DS pada
bayi terjadi pada umur bulan-bulan pertama, insidennya mencapai puncaknya pada umur 18
40 tahun.3 Di Amerika, data mengenai prevalensi DS sekitar 1-3%,8 di Indonesia data di RSUP
Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2000-2002 menunjukkan rata-rata prevalensi dermatitis
seboroik 8,3% dari jumlah kunjungan. Di Palembang, Sumatera Selatan angka kunjungan
pasien DS di Poliklinik Dermatologi dan Venerologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin tahun 2008 sebanyak 483 di antara 9420 kunjungan (5,13%), tahun 2009
sebanyak 686 di antara 9310 kunjungan (7,37%) dan DS masuk dalam 10 besar kelompok
penyakti kulit terbanyak pada tahun 2008-2010.9 Sedangkan angka kejadian DS di Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang tahun 2015 adalah 53 orang.5,9
1

Permasalahan pada DS menjadi lebih sering dan manifestasinya lebih berat pada
pasien dengan imunodefisiensi dibanding pasien biasa. Banyak didapatkan dari faktor genetik
dan lingkungan yang menyebabkan meningkatnya angka kejadiannya dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu pembuatan referat ini bertujuan untuk membahas DS, supaya diperuntukkan
untuk dokter umum agar dapat menegakkan diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara tuntas dan mandiri.
DEFINISI
Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit yang umum dan kronik, berupa
inflamasi superfisial kulit, ditandai dengan pruritus, sisik berwarna kekuningan disertai
bercak merah dengan berbagai ukuran dan bentuk dengan predileksi pada area seboroik
seperti kepala, alis mata, kelopak mata, lipatan nasolabial, bibir, telinga, daerah presternum,
ketiak, lipatan bawah payudara, umbilikus, dan lipatan paha.1,2 Kulit yang terkena biasanya
membengkak dan berwarna merah (eritema), serta adanya rasa gatal dan ditutupi dengan
skuama kuning kecoklatan.4
ETIOPATOGENESIS
Penyebab dermatitis seboroik belum diketahui pasti. Dermatitis seboroik dikaitkan
dengan peningkatan produksi sebum pada kulit kepala dan folikel sebasea terutama pada
daerah wajah dan badan. Flora normal Pityrosporum ovale kemungkinan merupakan
penyebab. Banyak percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan
mikroorganisme tersebut yang juga merupakan flora normal kulit manusia. Pertumbuhan
Pityrosporum ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat
produk metaboliknya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena jamur itu sendiri
melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Akan tetapi, faktor genetik dan lingkungan
diperkirakan juga dapat mempengaruhi onset dan derajat penyakit.1,2,7
Faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit DS antara lain usia (orang dewasa),
jenis kelamin lebih sering pada laki-laki, makanan (konsumsi lemak dan minum alkohol),
obat-obatan, iklim (musim dingin), kondisi fisik dan psikis (status imun, stres emosional), dan
lingkungan yang menyebabkan kulit menjadi lembab.
Patogenesis dermatitis seboroik tidak sepenuhnya dipahami, tetapi tampaknya ada
hubungan yang kuat dengan kolonisasi kulit dengan ragi dari genus Malassezia
(Pityrosporum ovale). Jamur lipofilik malassezia furfur ditemukan berlebihan, sebanyak
504.000/cm pada orang normal sedangkan pada dermatitis seboroik ditemukan 665.000/cm.
2

Penemuan ini banyak mendukung pendapat adanya hubungan yang erat antara malassezia
furfur dengan dermatitis seboroik.1,2,7
Pertumbuhan Malassezia yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik
akibat produk metabolik yang masuk ke dalam epidermis maupun karena jamur itu sendiri
melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Pasien dengan DS akan menunjukkan
tingginya regulasi IFN-, ekspresi IL-6, IL-1, dan IL-4 serta peran dari sel NK (natural
killer). Akan tetapi, faktor genetik dan lingkungan diperkirakan juga dapat mempengaruhi
onset dan derajat penyakit.2 Bukti peranan Malassezia ini dijelaskan dengan pemberian obat
antijamur pada DS memberikan perbaikan lesi. Spesies Malassezia merupakan organisme
lipofilik dan bagian dari flora normal manusia, khususnya pada kulit berminyak. Semua
spesies Malassezia (kecuali M. pachydermatis) mampu menghancurkan lemak pada sebum
dan merubah asam lemak jenuh, trigliserid menjadi asam lemak bebas dan digliserid. Asam
lemak bebas ini akan menyebabkan peningkatan kepadatan spesies Malassezia dan
menyebabkan proses inisiasi inflamasi.7
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea. Glandula
tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun
akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi
pada umur bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik, kemudian
insidens mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur tua. Lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita oleh karena pengaruh dari hormon androgen. 4,6
GAMBARAN KLINIS
Kelainan kulit terdiri atas makula dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan,
batasnya agak kurang tegas. Dermatitis seboroik yang ringan hanya mengenai kulit kepala
berupa skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit
kepala. Kelainan tersebut pitiriasis sika (ketombe, dandruf).1,3,8
Dermatitis seboroik (DS) dapat bersifat generalisata, melibatkan lipatan fleksural
dengan gambaran eksudat keju yang merupakan manifestasi dermatitis popok. Dermatitis
seboroik (DS) generalisata termasuk bentuk yang jarang, biasanya berhubungan dengan
imunodefisiensi. Dermatitis seboroik (DS) pada anak dengan keadaan imunodefisiensi sering
disertai diare dan gagal tumbuh (Leiners disease).

Gambar 1. dermatitis seboroik (DS) infantil dengan lesi psoasiform di badan, tungkai bawah, dan paha

Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak yang berskuama dan berminyak
disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi, telinga luar dan leher. Pada daerah
dahi tersebut, batasannya sering cembung. Pada bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala
tertutup oleh krusta yang kotor, dan berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama yang kekuningan
disertai debris epitel yang menempel pada kulit kepala disebut cradle cap.1,2,8
Pada daerah supraorbital, skuama halus dapat terlihat di alis. Dengan gejala seperti
gatal, disertai bercak skuama kekuningan dan dapat terjadi pula blefaritis, yakni pinggir
kelopak mata merah disertai skuama halus. Pada tepi bibir bisa kemerahan dan berbintikbintik (marginal blefaritis). Daerah konjungtiva pada saat bersamaan juga dapat terkena. Jika
area glabela juga terkena, akan terdapat kerutan mata yang berwarna kemerahan. Pada lipatan
bibir mungkin terdapat perubahan berwarna kekuningan atau kemerahan.. Selain tempattempat tersebut dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang telinga luar, lipatan nasolabial,
daerah sterna, lipatan di bawah payudara, interskapular, umbilikus, lipat paha, dan daerah
anogenital. Pada daerah pipi, hidung, dan dahi, kelainan dapat berupa papul.1,3

B
Gambar 2. Dermatitis seboroik (DS) pada A) kulit kepala B) sekitar pipi.3

Pada telinga, dermatitis seboroik sering disalah artikan dengan radang daun telinga
yang disebabkan oleh jamur (otomikosis). Terdapat kulit terkelupas pada lubang telinga,
disekitar meatus auditivus, dan depan daun telinga. Pada daerah ini kulit biasanya berubah
menjadi kemerahan, dan bengkak. Eksudasi serosa, pembengkakan pada telinga dan daerah
sekitarnya. Dermatitis seboroik biasanya terdapat pada lipat paha dan bokong, dimana terlihat
seperti kurap, psoariasis, atau jamuran. Garisnya terlihat seperti kulit terkelupas. Pada lokasi
ini terdapat garis psoariformis dengan kulit kering pada beberapa kasus.2,10

Gambar 3. Dermatitis seboroik (DS) pada, A) lipatan nasolabial, pipi, dan hidung. B) telinga: kanalis eksterna,
konka, dan aurikula.3

PEMERIKSAAN PENUNJANG
5

Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dermatitis seboroik adalah


pemeriksaan histopatologi walaupun gambarannya kadang juga ditemukan pada penyakit lain,
seperti pada dermatitis atopik atau psoriasis. Gambaran histopatologi tergantung dari stadium
penyakit. Pada bagian epidermis dijumpai parakeratosis dan akantosis. Pada korium, dijumpai
pembuluh darah melebar dan sebukan perivaskuler.11

Gambar 3. Gambaran histopatologi akantosis dan sebukan perivaskuler.3

Pada DS akut dan subakut, epidermisnya ekonthoik, terdapat infiltrat limfosit dan
histiosit dalam jumlah sedikit pada perivaskuler superfisial, spongiosis ringan hingga sedang,
hiperplasia psoriasiform ringan, ortokeratosis dan parakeratosis yang menyumbat folikuler,
serta adanya skuama dan krusta yang mengandung netrofil pada ostium folikuler. Gambaran
ini merupakan gambaran yang khas. Pada dermis bagian atas, dijumpai sebukan ringan
limfohistiosit perivaskular. Pada DS kronik, terjadi dilatasi kapiler dan vena pada pleksus
superfisial selain dari gambaran yang telah disebutkan di atas yang hampir sama dengan
gambaran psoriasis. Pemeriksaan KOH 10-20 %: didapatkan negatif, tidak ada hifa atau
blastokonidia. Pemeriksaan lampu wood didapatkan fluoresen negatif (warna violet). 12,13
Kultur jamur dan kerokan kulit amat bermanfaat untuk menyingkirkan tinea kapitis maupun
infeksi yang disebabkan kuman lainnya. Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan
dermatitis atopik. Pemeriksaan komposisi lemak pada permukaan kulit memiliki karakteristik
yang khas yakni menigkatnya kadar kolesterol, trigliserida dan parafin disertai penurunan
kadar squalene, asam lemak bebas dan wax ester.13
DIAGNOSIS
6

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta


pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan skuama berwarna kemerahan dengan
dengan sisik yang berminyak. Dari pemeriksaan fisik didapatkan skuama halus berminyak
agak kekuningan pada kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan nasolabialis
maupun kulit pada retroaurikular maupun pada daerah seboroik lainnya. Pada gejala dari
gambaran klinis DS yang ditemukan, dapat dijumpai juga pada dermatitis atopik maupun
psoriasis, sehingga diagnosis sangat sulit untuk ditegakkan. Oleh sebab itu, perlu ketelitian
untuk membedakan DS dengan penyakit lain sebagai diferensial diagnosis. 3 Psoriasis
misalnya juga dapat ditemukan pada kulit kepala yang membedakan ialah adanya skuama
yang mengalami penebalan. Oleh karena itu, dibutuhkan juga pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan spesimen yang diambil dari scraping kulit yang dangkal dengan penambahan
kalium hidroksida (KOH) sangat berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis dari dermatitis seboroik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala
klinis. Diagnosis banding dapat ditegakkan berdasarkan keluhan dan gejala klinis, umur dan
ras. Kondisi yang membingungkan atau mirip dengan dermatitis seboroik adalah psoriasis,
kandidosis, dan otomikosis.
Gambaran klinis yang khas pada DS ialah skuama yang berminyak dan kekuningan dan
berlokasi di area seboroik.2 Psoriasis berbeda dengan DS karena terdapat skuama yang
berlapis disertai tanda tetesan lilin dan Auspitz. Tempat predileksi juga berbeda. Jika psoriasis
mengenai kulit kepala sukar dibedakan dengan DS. Perbedaannya ialah skuama yang lebih
tebal dan putih seperti mika, kelainan kulit juga pada perbatasan wajah dan kulit kepala serta
regio lain sesuai predileksinya. Psoriasis inversa yang mengenai daerah fleksor juga dapat
menyerupai DS. Selain itu, pada psoriasis yang membedakan dari DS, ditemui plak pada kulit
kepala yang berbatas tegas, nail pitting, dan onikolisis distal.2,4

Gambar 4. Gambaran Psoriasis

Kandidosis atau kandidiasis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh Candida
albicans atau kadang disebabkan oleh Candida sp, Torulopsis sp, atau ragi lainnya. DS pada
lipatan paha dan perianal dapat menyerupai kandidosis. Pada kandidosis terdapat eritema,
merah cerah, berbatas tegas dengan lesi satelit-satelit di sekitarnya. 2 Predileksinya juga bukan
pada daerah yang berminyak, tetapi lebih sering pada daerah yang lembab. Selain itu, pada
pemeriksaan dengan larutan KOH 10 %, ditemukan pseudohifa atau blastospora.

Gambar 5. Gambaran Kandidosis

Dermatitis seboroik yang menyerang saluran telinga luar mirip otomikosis dan otitis
eksterna. Pada otomikosis akan terlihat elemen jamur pada sediaan langsung. Otitis eksterna
menyebabkan tanda-tanda radang, jika akut terdapat pus.2

Gambar 6. Gambaran Otomikosis

PENATALAKSANAAN
Secara umum, terapi bekerja dengan prinsip mengkontrol, bukan menyembuhkan,
yakni dengan membersihkan dan menghilangkan skuama dan krusta, menghambat kolonisasi
jamur, mengkontrol infeksi sekunder untuk mengurangi eritema dan gatal. Pada pasien
dewasa harus diberitahu bahwa penyakit ini berlangsung kronik dan sering kambuh. Harus
dihindari faktor pencetus, seperti stres emosional, makanan berlemak, dan sebagainya.
Pada Bayi
Pada Kulit kepala, pengobatan terdiri dari 3-5% asam salisilat dalam minyak zaitun
atau air, diaplikasikan emollient dengan glukokortikosteroid dalam cream atau lotion selama
beberapa hari, sampo bayi, perawatan kulit yang teratur dengan emollient, cream, dan pasta.3,5
Sampo bayi, perawatan kulit yang teratur dengan emollien, dan steroid topikal ringan
sangat membantu dalam pengobatan. Inflamasi lama pada kulit kepala bayi dan area
intertriginosa dapat diobati dengan topikal kortikosteroid potensi lemah (krim hidrokortison
1% dalam beberapa hari), dilanjutkan dengan imidazole topikal (krim ketokenazol 2% atau
sampo ketokenazol 1%). Sebagian
berkaitan

besar

anti

jamur

menyerang

Malassezia

yang

dengan dermatitis seboroik. Penelitian lain menunjukan bahwa Pityrosporum

ovale (Malassezia ovale), jamur lipofilik, banyak pada penderita dermatitis seboroik.
Sehingga pengobatan ketokonazole 2% akan menurunkan umlah jamur ni dan
memyembuhkan penyakit. Sampo bayi yang terdiri dari 3-5% asam salisilat dalam minyak
zaitun atau air dapat mengurangi skuama tebal pada kulit kepala. Pada area intertriginosa,
pengobatan meliputi lotion pengering, seperti 0,2-0,5 % clioquinol dalam zinc lotion atau
zincoil. Pada kandidiasis lotion atau cream nistatin atau amphotericin B dapat dicampur
dengan pasta lembut.
9

Pada Dewasa3,5
Pengobatan topikal
Pada kulit kepala dianjurkan sampo yang mengandung selenium sulfide, imidazoles,
zinc pyrithion, benzoyl peroxide, asam salisilat, tar atau deterjen. Keraknya dapat diperbaiki
dengan pemberian glukokortikosteroid pada malam hari, atau asam salisilat dalam larutan air.
Tinctura, larutan alkohol, tonik rambut, dan produk sejenis biasanya memicu terjadinya
inflamasi dan harus dihindari.3,5
Membersihkan wajah dan badan pasien harus menghindari salep berminyak dan
mengurangi penggunaan sabun. Larutan alkohol, penggunaan lotion sebelum dan sesudah
cukur tidak dianjurkan. Glukokortikosteroid dosis rendah (hydrocortison) cepat membantu
pengobatan penyakit ini, penggunaan yang tidak terkontrol akan menyebabkan dermatitis
steroid, rebound phenomenon steroid, steroid rosacea dan dermatitis perioral.
Pengobatan antifungal seperti imidazole dapat memberikan hasil yang baik. Biasanya
digunakan 2% dalam sampo dan cream. Dalam pengujian yang berbeda menunjukkan 75-95%
terdapat perbaikan. Dalam percobaan ini hanya ketokonazol dan itakonazol yang dipelajari,
imidazole yang lain seperti econazole, clotrimazol, miconazol, oksikonazol, isokonazol,
siklopiroxolamin mungkin juga efektif. Imidazol seperti obat antifungal lainnya, memiliki
spektrum yang luas, antiinflamasi dan menghambat sintesis dari sel lemak.
Metronidazol topikal juga dapat berguna sebagai pengobatan alternatif untuk
dermatitis seboroik. Metronidazol telah berhasil digunakan pada pasien dengan rosacea. Tidak
ada studi yang formal, dan obat ini hanya terdaftar sebagai pengobatan untuk rosacea.
Rekomendasi ini berdasarkan pengalaman pribadi.
Pengobatan Sistemik
Kortikosteroid digunakan pada gejala yang berat, biasa diberi prednison 20-30 mg
sehari. Jika telah ada perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Kalau disertai infeksi
sekunder diberi antibiotik. Isotretinoin dapat digunakan pada kasus yang rekalsitran. Efeknya
mengurangi aktivitas kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat dikurangi sampai 90%,
akibatnya terjadi pengurangan produksi sebum. Dosinya 0,1-0,3 mg per kg berat badan per
hari, perbaikan tampak setelah 4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan 5-10 mg
per hari selama beberapa tahun yang ternyata efektif untuk mengontrol penyakitnya. Pada DS
yang parah juga dapat diobati dengan narrow band UVB (TL-01) yang cukup aman dan
10

efektif. Setelah pemberian terapi 3x sehari selama 8 minggu, sebagian besar

penderita

mengalami perbaikan. Bila pada sediaan langsung terdapat Plasmodium ovale yang banyak
dapat diberikan ketokonazol, dosisnya 200mg per hari.
Pada pitiriasis sika dan oleosa, seminggu 23 kali scalp dikeramasi selama 515
menit, misalnya dengan selenium sufida (selsun). Jika terdapat skuama dan krusta diberi
emolien, misalnya krim urea 10%. Obat lain yang dapat dipakai untuk DS ialah ter, misalnya
likuor karbonas detergens 2-5% atau krim pragmatar, resorsin 1-3%, sulfur praesipitatum 4
20%, dapat digabung dengan asam salisilat 3 - 6%, kortikostreroid, misalnya krim
hidrokortison 2 %, krim ketokonazol 2% dapat diaplikasikan, bila pada sediaan langsung
terdapat banyak Plasmodium ovale. Obat-obat tersebut sebaiknya dipakai dalam bentuk krim.
Edukasi pasien bisa dilakukan dengan cara ajari pasien tentang pengendalian daripada
pengobatan dermatitis seboroik, tekankan tentang pentingnya membiarkan sampo medikasi
sedikitnya 5-10 menit sebelum membilas, ajari tentang menggunakan kortikosteroid topikal
seperlunya untuk mengendalikan eritema, skuama, atau rasa gatal.
KOMPLIKASI
Dermatitis seboroik yang meluas sampai menyerang saluran telinga luar bisa
menyebabkan otitis eksterna yaitu radang yang terdapat pada saluran telinga bagian luar. Jika
tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat, maka DS akan meluas ke daerah sternal, aerola
mammae, umbilikus, lipat paha dan daerah anogenital.
PROGNOSIS
Dermatitis seboroik dapat sembuh sendiri dan merespon pengobatan topikal dengan baik,
tetapi pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi, penyakit ini agak sukar untuk
disembuhkan, meskipun terkontrol.

11

KESIMPULAN
Dermatitis seboroik adalah dermatosis papuloskuamosa kronik yang sering ditemukan.
Paling sering mengenai dewasa muda, laki-laki lebih sering daripada perempuan dan
mempunyai 2 puncak usia utama, yaitu 3 bulan pertama kehidupan dan 40-70 tahun. Pada
bayi terjadi pada umur bulan-bulan pertama, dan insidennya mencapai puncak pada umur 18
40 tahun. Etiologi dari penyakit ini belum diketahui. Beberapa faktor yang diduga
menyebabkan dermatitis seboroik yaitu aktivitas kelenjar sebasea yang berlebihan, infeksi
Pityrosporum ovale, faktor lingkungan (temperatur dan kelembaban), infeksi Candida
albicans atau Staphylococcus aureus, kelainan neurotransmiter (misalnya pada penyakit
parkinson), obat-obatan (arsen, emas, metildopa, simetidin, dan neuroleptik), proliferasi
epidermal yang menyimpang, kekurangan nutrisi, faktor genetik dan imunodefisiensi. Secara
garis besar, gejala klinis DS bisa terjadi pada bayi dan orang dewasa. Pada bayi ada tiga
bentuk, yaitu cradle cap, dapat bersifat generalisata, dan pada keadaan imunodefisiensi sering
disertai diare dan gagal tumbuh (penyakit Leiner). Predileksi pada dewasa terjadi pada kulit
kepala, wajah, daerah fleksura, badan dan generalisata. DS dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik termasuk status dermatologikusnya dan pemeriksaan
penunjang. Umumnya pengobatan pada DS bertujuan untuk menghilangkan skuama dan
krusta, serta menginhibisi koloni jamur. Dalam pengobatannya dapat digunakan baik
penggunaan obat-obatan topikal, maupun kombinasi pengobatan sistemik.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Seborrheic Dermatitis, Psoriasis, Recalcitrant
Palmoplantar Eruptions, Pustular Dermatitis, and Erythroderma. Andrews' Diseases of the
skin Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. p. 188-90.
2. Plewig G, Jansen T. Seborrheic Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, ed. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine
8th ed. New York: Mc Graw Hill; 2012. p.259-66.
3. Berk T, Scheinfeld N. Seborrheic dermatitis. Pharmacy and Theurapeutic. New York;
2010;35(6): p. 348-52.
4. Kartowigno, S. Dermatosis Eritroskuamosa. In: Kartowigno, S, ed Sepuluh Besar
Kelompok Penyakit Kulit. Edisi kedua. Palembang: Unsri Press; 2011. hal.84.
5. Gemmer CM. Dandruff and seborrheic dermatitis likely result from scalp barrier breach
and irritation induced by malassezia metabolites, particularly free fatty acids. 2005;
52(3): p. 49.
6. Thaha A. Hubungan Kepadatan Spesies Malassezia dan Keparahan Klinis Dermatitis
Seboroik di Kepala. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2015; 1(2): p. 124-9.
7. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook's Textbook of Dermatology. 8 th ed.
London: Wiley-Blackwell; 2010. p.29-34.
8. Munawwar A, Thaha A, Kurniawati Y, Tjekyan S. Pengaruh Kepadatan Demodex
folliculorum terhadap Keparahan Klinis Dermatitis Seboroik di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang. 2012; 24 (1): hal. 15.
9. Borda LJ, Wikramanayake TC. Seborrheic Dermatitis and Dandruff: A Comprehensive
Review. 2015; 25 (2): p. 5-6.
10. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit ed.2. 2005. Jakarta: EGC.
11. Tajima, Mami. Malassezia Species in Patients with Seborrheic Dermatitis and Atopic
Dermatitis. Japanese Journal of Medical Mycology, 2005. vol. 46(3) : 163-167.
12. Tajima, Mami., Sugita, Takashi., Nishikawa, Akemi, and Tsuboi, Ryoji. Molecular

Analysis of Malassezia Microflora in Seborrheic Dermatitis Patients : Comparison, 2008.


vol. 128 :345-351.

13

Anda mungkin juga menyukai