BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.Yang mana kerusakan saraf yang paling
sering muncul dapat berupa hilangnya sensasi dan paralisis.Pada perjalanan
penyakit kusta terdapat episode akut yang di kenal dengan istilah reaksi
kusta.Tipe reaksi terbagi dua yaitu, reaksi kusta tipe-1 (reaksi reversal) dan tipe2 (Eritema Nodusum Leprosum).
Eritema Nodusum Leprosum (ENL) adalah reaksi kusta tipe 2 dengan manifestasi
lesi kulit berupa nodul merah yang nyeri kemudian mengalami nekrosis dan
ulserasi serta mengeluarkan pus kuning yang kental.Predileksi lesi ditemukan di
B. Etiologi
Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang bersifat obligat
intraseluler, yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa
saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf
pusat.Masa membelah diri mycrobacterium leprae 12-21 hari dan masa
tunasnya antara 40 hari 40 tahun. Mycrobacterium leprae atau kuman hansen
adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari
Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam
berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada
yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.
ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun yang tidak
utuh menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, selanjutnya
membentuk kompleks imun yang mengendap dalam vaskuler.Reaksi tipe 2
yang tipikal pada kulit ditandai dengan nodul nodul eritematosa yang nyeri,
timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau lebih dalam.Berbagai faktor yang
C. Patofisiologi
Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB (multibacillary) dan merupakan reaksi
humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh
akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respon adanya antigen.
Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen.
Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang
dikenal sebagai eritema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi
(artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti demam
dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya.Hal-hal yang
E. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Deteksi dini untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk menekan tingkat
kecacatan ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa.Tingkat
keberhasilan terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini dideteksi dan
ditangani secara dini. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
1. Gambaran klinik
2). Laboratorium :
a. Darah rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:
3). Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate limfosit yang
meningkat sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah
peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel
langerhans.Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis (kematian jaringan)
didalam granulosum.Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
F. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi
kusta.Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan
kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau
reaksi antigen-antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan
pasien.Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan,
selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6
bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.
G. Penatalaksanaan
Reaksi lepra harus diobati dan dikontrol untuk mencegah terjadinya komplikasi.
H. Prognosis
Reaksi kusta terjadi karena meningkatnya status imunologis penderita,
umumnya reaksi ini terjadi setelah pengobatan yang disertai dengan penurunan
jumlah kuman pada pemeriksaan bakteriologi.Prognosis reaksi kusta ditentukan
dari seberapa cepat reaksi ini terdeteksi dan diobati. Semakin cepat diterapi
maka prognosis semakin baik, sedangkan jika tidak cepat dideteksi dan
ditangani akan menimbulkan kecacatan ireversibel pada sistem saraf tepi yang
terkena. Reaksi kusta ini dapat menimbulkan relaps. Seringkali pasien
mengalami gangguan sensorik maupun motorik secara tiba-tiba dan jika tidak
mendapat pengobatan segera akan menimbulkan gejala sisa, meskipun
penyakitnya sudah teratasi, tetapi masih bisa menimbulkan kecacatan
permanen (sensorik maupun motorik), dan beresiko tinggi untuk terjadinya
suatu deformitas.
I. Rehabilitasi
Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, dan sosial. Usaha medis yang
dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun
hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki.Lapangan
pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat
tubuh.Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin
pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan
dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani
pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara
medis.Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien
sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan
peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Intervensi :
a. Kaji skala nyeri
Rasional : Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya dan untuk
mengetahui sejauh mana nyeri dipersepsikan
b. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
Rasional : Tanda-tanda vital berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit dan
menjadi indikator untuk melakukan intervensi selanjutnya
c. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
Rasional : Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi
nyeri
d. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.
Rasional : Pemberian antibiotik menghambat pertumbuhan dan proses infeksi
dari bakteri sedangkan obat analgetik akan menekan atau mengurangi rasa
nyeri
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak
baik.
Tujuan : Klien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri.
Intervensi :
a. Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien (menghindari kontak mata,
ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak terhadap
kondisi kulitnya.
Rasional : Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan
yang tampak nyata bagi pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan
berpengaruh pada konsep diri.
b. Identifikasi stadium psikososial tahap perkembangan.
Rasional : Terdapat hubungan antara stadium perkenmbangan, citra diri dan
reaksi serta pemahaman pasioen terhadap kondisi kulitnya.
c. Berikan kesempatan untuk pengungkapan. Dengarkan (dengan cara yang
terbuka, tidak menghakimi) untuk mengespresikan berduka atau anseitas
tentang perubahan citra tubuh.
Rasional : Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami.
Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri.
d. Bersikap realistic selama pengobatan, pada penyuluhan kesehatan.
Rasional : Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien
dan perawat.
e. Berikan harapan dalam parameter situasi individu: jangan memberikan
keyakinan yang salah.
Rasional : Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita.
tubuh menurun.
Tujuan : Mencapai penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi.
Intervensi :
a. Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu
Rasional : Memberikan imformasi data dasar, peningkatan suhu secara
berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk menujukkan bahwa tubuh
bereaksi pada proses infeksi yang baru, dimana obat tidak lagi secara efektive
mengontrol infeksi yang tidak dapat disembuhkan.
b. Tekankan pentingnya tekhnik cuci tanganyang baik untuk semua individu
yang dating kontak dengan pasien
Rasional : Mengcegah kontaminasi silang; menurungkan resiko infeksi.
c. Gunakan sapu tangan , masker dan tekniik aseptik selama perawatan dan
berikan pakaian yang steril atau baru
Rasional : Mengcegah terpajan pada organisme infeksius.
d. Observasi lesi secara periodic
Rasional : Untuk mengetahui perubahan respon terhadap terapi.
e. Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi yang baik. Periksa
pengunjung atau staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan
sesuai indikasi.
Rasional : Mengurangi patogen pada system integument dan mengrangi
kemungkinan pasien mengalami infeksi nosokomial.
f. Berikan preparat antibiotic yang diresepkan dokter.
Rasional : Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Doenges, Marlyn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Nanda.
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Psoses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC
Facebook
Twitter
Google
Pinterest
Linkedin
StumbleU