Anda di halaman 1dari 15

Kepada Yth. dr. ……………………….

Hari / Tanggal : Senin, 9 Desember 2019


Waktu : 12.00 WIB
Tempat : Ruang Ilmiah Patologi Anatomi Gd Radiopoetro Lantai 4
Moderator : dr. Ery Kus Dwianingsih, Ph.D Sp.PA (K)
Presenter : Nita Damayanti S.

Laporan Kasus Stase Dermatopatologi

Chronic Bullous Disease of Childhood dengan deposisi IgA, IgG


dan C3 : Tinjauan Klinis, Histopatologi, dan Direct
Immunoflourescence pada Penegakan Diagnosis

Oleh :

Nita Damayanti S.

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN
KEPERAWATAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. SARDJITO
YOGYAKARTA
2019
Chronic Bullous Disease of Childhood dengan deposisi IgA, IgG dan C3 :
Tinjauan Klinis, Histopatologi, dan Direct Immunoflourescence pada
Penegakan Diagnosis

Nita Damayanti
Departemen/KSM Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada / Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito
Yogyakarta

ABSTRAK
Chronic bullous disease of childhood (CBDC) adalah penyakit bulosa autoimun
yang jarang, non herediter serta biasa muncul pada dekade pertama kehidupan.
Gambaran klinis CBDC berupa bula tegang dengan isi cairan jernih atau hemoragik
dengan tampilan khas membentuk cluster of jewels, rosette atau string of pearls.
Fitur histopatologi berupa celah subepidermal dengan neutrofil atau eosinofil di
sepanjang membran basalis. Pada pemeriksaan direct immunofluoroscence (DIF)
didapatkan deposisi linear homogen IgA pada area membran basalis. Pada sebagian
kecil pasien CBDC memiliki deposit tambahan imunoreaktan lain, paling sering
IgG dan bisa juga didapatkan komponen komplemen ketiga (C3). Tujuan dari
penulisan laporan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman klinisi dan ahli
patologi mengenai penegakan diagnosis CBDC secara klinis serta variasi pada
temuan histopatologi dan deposit immunoglobulin pada DIF. Seorang anak
perempuan berusia 4 tahun 9 bulan mengalami lepuh pada kulit sejak 2 bulan lalu,
disertai gatal dan tanpa keluhan sistemik. Pasien tidak mengalami perbaikan dari
perawatan medis sebelumnya sehingga pasien dirujuk berobat ke RSUP Dr.
Sardjito. Pada status dermatovenereologis tampak bula dinding tegang multipel
berkelompok membentuk pola rosette, suatu pola yang umum ditemukan pada
penyakit CBDC. Pemeriksaan histopatologi pada biopsi kulit pasien tampak celah
subepidermal dengan sedikit sebukan sel polimorfonuklear di dalamnya.
Pemeriksaan imunologi berupa DIF pada kulit peri-lesi pasien menemukan
gambaran deposisi IgG, IgA dan C3 pada membran basalis dengan pola linier,
sesuai dengan diagnosis CBDC. Diagnosis CBDC pada lesi bulosa kulit ditegakkan
melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan histopatologi berupa gambaran
celah subepidermal dan imunopatologi DIF berupa deposisi linier IgG, IgA dan C3
pada membran basal.

Kata Kunci: Chronic Bullous Disease of Childhood, Direct Immunoflourescence,


histopatologi

2
Chronic Bullous Disease of Childhood with IgA, IgG and C3 depositions :
Clinical Review, Histopathology, and Direct Immunoflourescence for
Diagnosis

Nita Damayanti
Departement of Dermatology and Venereology
Faculty Of Medicine, Public health and Nursing
Gadjah Mada University / Dr. Sardjito General Hospital Center
Yogyakarta

ABSTRACT
Chronic bullous disease of childhood (CBDC) is a rare non hereditary autoimmune
bullous disease in the first decade of life. Clinical findings described as tense bullae
with clear fluid or hemoragic arranged as cluster of jewels, rosette or string of
pearls. Histopathologic findings are subepidermal cleft with neutrophils or
eosinophils along the basal membrane zone (BMZ). On DIF can be found the linear
IgA at BMZ. In some cases, there is also additional deposition of IgG dan C3. This
paper aims to increase awareness of the clinician and pathologist in comprehend
the diagnosis of CBDC with clinical feature, variant of histopathology and DIF
findings. A 4-years and 9-months-old girl had itchy blisters on her skin since 2-
months ago with no systemic symptoms reported. The patient noted no
improvement from being treated with the previous the medications. Hence, she was
referred to Sardjito hospital. Cutaneous examination revealed multiple tense bullae
confluent to form rosette configuration, the pattern that commonly occurs in CBDC
skin lesions. We found subepidermal blisters with minimal inflammatory cells in
the histopathological examination of the skin of the patient. Direct
immunofluorence (DIF) on peri-lesional skin, exhibited the deposition of linear
IgG, C3, and IgA at the basement membrane, consistent to the diagnosis of CBDC.
The diagnosis of CBDC in bullous lesions was established based on anamnesis,
clinical findings and histopathology findings of subepidermal blisters and linear
IgG, C3, IgA deposition on the basement membrane in the direct
immunofluorescence.

Keywords: Chronic Bullous Disease of Childhood, Direct Immunoflourescence,


histopatology

3
PENDAHULUAN

Chronic bullous disease of childhood (CBDC) merupakan penyakit bulosa

autoimun, jarang, non herediter serta muncul pada dekade pertama kehidupan.1

penyakit ini umumnya ditandai dengan adanya deposisi linear IgA di sepanjang

basement membrane zone (BMZ).2 Terdapat heterogenitas data epidemiologi pada

CBDC, pada tahun 1991, terdapat 25 kasus dalam 3 tahun yang dilaporkan di Afrika

Selatan sementara pada tahun 2008, terdapat 38 kasus dalam 30 tahun yang

dilaporkan di Jepang. 3 Data rekam medis poliklinik Dermatologi dan Venereologi

RSUP Dr. Sardjito periode 2014-2019, terdapat 8 kasus CBDC. Predileksi etnis

serta jenis kelamin tidak diketahui secara pasti. 4

Manifestasi kulit CBDC ditandai dengan bula berdinding tegang, berisi

cairan jernih atau hemoragik dengan dasar kulit yang normal atau eritem, disertai

rasa gatal. Bula dapat berkonfluen membentuk gambaran cluster of jewels, rossette

atau string of pearls. Fase penyembuhan dapat meninggalkan bercak

hiperpigmentasi atau hipopigmentasi tanpa jaringan parut. 1,5,6

Temuan histopatologi berupa bula subepidermal dengan infiltrat neutrofil

atau kadang dapat ditemukan eosinofil. Gambaran ini menyerupai penyakit bulosa

lainnya, maka diperlukan pemeriksaan imunofluoresensi, dimana biasanya

ditemukan deposit linear IgA pada BMZ. Beberapa laporan kasus CBDC

menyebutkan selain deposit IgA didapatkan penemuan deposit IgG, IgM, dan C3.6,7

4
Makalah ini melaporkan satu kasus jarang pada anak dengan gambaran

klinis serta histopatologi yang mendukung CBDC serta pada pemeriksaan DIF

didapatkan deposisi IgA, IgG dan C3. Laporan kasus ini diharapkan dapat

mengarahkan ahli patologi dalam penegakkan diagnosis yang tepat serta

meningkatkan kewaspadaan terhadap variasi deposit imunofluoresens sehingga

dapat membantu klinisi dalam memberikan terapi yang sesuai

KASUS

Seorang anak berusia 4 tahun 9 bulan dari Purworejo, datang ke Poli

Dermatologi dan Venereologi (DV) RSUP Dr. Sardjito (RSS) dengan keluhan

utama lepuh pada badan yang muncul sejak 2 bulan lalu. Awalnya, pasien mengeluh

sakit kepala dan mengkonsumsi obat sakit kepala yang dijual bebas. Satu hari

kemudian, muncul lepuh pada punggung kaki kiri tanpa diawali adanya bentol atau

kemerahan di kulit. Pasien berkonsultasi ke dokter umum dengan diagnosa dan

terapi salep yang tidak diketahui. Keesokan hari, muncul beberapa lepuh baru pada

dada. Lepuh teraba tegang, tidak mudah pecah serta terasa gatal. Pasien kemudian

berobat ke puskesmas, didiagnosis sebagai alergi obat dan dirawat inap selama 4

hari. Keluhan menetap dengan sebagian lepuh pecah karena garukan dan

menimbulkan keropeng.

Satu bulan kemudian muncul lepuh baru pada kedua tungkai bawah serta

lengan, pasien kemudian berkonsultasi ke RSUD Purworejo, diagnosis tidak

diketahui dan pasien rawat inap selama 8 hari. Selama rawat inap, lepuh bertambah
5
pada hampir seluruh tubuh serta lidah pasien. Pasien kontrol ulang ke RSUD

Purworejo 3 hari yang lalu dengan muncul lepuh baru pada punggung. Pasien

kemudian dirujuk ke poli DV RSS untuk pemeriksaan dan terapi lebih lanjut.

Hari periksa ke poli DV RSS, keluhan lepuh baru masih muncul di dada

serta punggung. Pasien masih mengkonsumsi obat dari RS sebelumnya yaitu

triamcinolone 32 mg/hari (16mg-16mg-0) dan kompres betadine 1% pada lesi 2x10

menit. Riwayat penyakit dahulu tidak didapatkan keluhan gastrointestinal setelah

mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten seperti roti dan mi. Tidak

terdapat keluhan serupa serta riwayat konsanguinitas pada keluarga.

Pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien baik, compos mentis, tanda vital

dalam batas normal, tidak teraba pembesaran limfonodi. Berat badan pasien 15 kg

dengan tinggi badan 105 cm. Pemeriksaan dermatologis, pada wajah, kedua tangan,

kedua tungkai, lidah dan badan tampak bula dinding tegang multipel dengan

beberapa bula tersusun rosette. Hampir seluruh tubuh tampak erosi multipel dengan

krusta diatasnya serta terdapat sebagian makula dan patch hipopigmentasi. Pada

pemeriksaan Nikolsky sign dan Asboe Hansen Sign didapatkan hasil negatif.

Diagnosis banding yang diajukan pada kasus ini adalah CBDC, epidermolisis

bulosa aqcuisita (EBA), pemfigoid bulosa (PB), dan dermatitis herpetiformis (DH).

6
Gambar 1. Bula yang membentuk pola rossete pada lengan atas kanan, dan terdapat bula

pada samping lidah kanan.

Pemeriksaan laboratorium darah rutin dan kimia darah masih dalam batas

normal. Biopsi kulit dilakukan dengan 2 spesimen kulit yaitu pada lesi bula

berdinding tegang dan kulit normal area perilesional. Gambaran histopatologi dari

lesi bula didapatkan orthokeratosis tipe basket weave, hipogranulasi, serta

didapatkan adanya celah subepidermal berisi sedikit leukosit polimorfonuklear.

Tidak terdapat tanda keganasan. Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai untuk

CBDC. Dilakukan pemeriksaan DIF dengan sampel kulit normal perilesional, dan

didapatkan adanya deposisi linear IgG, C3, dan IgA pada BMZ.

7
Gambar 2. Direct immunofluorescence (DIF) kulit peri-lesi menampilkan deposisi IgG

secara linier di membran basal (kiri) serta deposisi IgA di linier membran basal (kanan)

Diagnosis kerja pada pasien ini adalah CBDC yang ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan yang

telah diberikan adalah dapson 1x 50 mg, Kenalog in ora base 2 dd ue pada lesi

mulut, serta mometasone krim 2 dd ue pada lesi erosi di badan.

Gambar 3. Gambaran histopatologi lesi kulit pasien berupa celah subepidermal (kiri).

Direct immunofluorescence (DIF) kulit peri-lesi menampilkan deposisi C3 secara linier di membran

basal (kanan).

8
PEMBAHASAN

Chronic Bullous Disease of Childhood (CBDC) adalah penyakit autoimun

didapat, dengan penemuan klinis bula tegang yang membentuk konfigurasi cluster

of jewels, rosette,atau string of pearls serta deposisi linier IgA di sepanjang BMZ

pada pemeriksaan DIF. Lesi kulit CBDC berupa bula tegang berisi cairan jernih

atau hemoragik, dengan dasar kulit normal atau eritema. Lokasi terutama pada

wajah, ektremitas, badan serta genital, lesi pada mukosa dapat ditemukan hingga

76 % kasus. Penyakit ini terjadi pada anak-anak dengan predileksi usia pada dekade

pertama kehidupan, terutama usia di bawah 5 tahun.7

Penyebab CBDC hingga saat ini belum diketahui namun dikatakan dapat

dipicu oleh infeksi, obat-obatan, vaksinasi, radiasi ultraviolet, atau keganasan.

Target antigen CBDC terletak di membran basal epitel skuamosa. Antigen yang

terutama terlibat dalam patogenesis CBDC adalah 97-kDa (LABD97) dan antigen

120-kDa, yang mewakili fragmen domain ekstraseluler kolagen XVII (BP180),

sebuah trans membran protein yang berperan menjaga adhesi epidermal. 8,9

Biopsi kulit dan DIF merupakan pemeriksaan penting pada penegakan

diagnosis CBDC, dengan gambaran histopatologi terdapat celah subepidermal

dengan neutrofil atau kadang dapat ditemukan eosinofil. Pemeriksaan DIF

memberikan gambaran deposisi linear homogen dari IgA pada BMZ. Beberapa

laporan menyebutkan CBDC memiliki deposit tambahan imunoreaktan lain, seperti

9
IgG dan C3, hingga saat ini hanya ditemukan 9 % pasien CBDC dengan adanya

deposit IgG. 8,10

Kasus ini merupakan kasus penyakit pada anak dengan manifestasi klinis

kulit vesikobulosa. Diagnosis banding diajukan berdasarkan ujud kelainan kulit

yang ditemukan. Penulis mengajukan beberapa diagnosis banding yaitu, CBDC,

EBA, PB, dan DH.

Anamnesis pada pasien menyebutkan bula muncul dengan predileksi

terutama di wajah, badan, ekstremitas serta mulut. Hal ini sesuai dengan predileksi

lokasi CBDC. Selain itu bula yang didapatkan merupakan bula tegang yang apabila

pecah membentuk keropeng dan meninggalkan bekas berupa hiper atau

hipopigmentasi tanpa didapatkan jaringan parut. Berdasar pemeriksaan fisik, bula

yang tegang tersusun membentuk gambaran rosette yang semakin memperkuat

diagnosis ke arah CBDC. Pemeriksaaan histopatologi didapatkan adanya celah

subepidermal berisi sedikit leukosit polimorfonuklear serta pemeriksaan DIF

didapatkan deposisi linear IgG, C3, dan IgA pada BMZ. Hal ini juga sesuai dengan

CBDC, walaupun pada umumnya CBDC ditandai dengan hanya deposisi linear

IgA saja di BMZ dan terdapat beberapa laporan kasus yang menyebutkan penemuan

IgG serta C3 dengan pola yang sama di BMZ.

Epidermolisis bulosa aqcuisita (EBA) adalah adalah penyakit bulosa

autoimun sporadis dengan etiologi yang tidak diketahui. Penyakit ini tidak memiliki

kecenderungan jenis kelamin, umur, ras, etnis, atau geografis. Presentasi klasik

10
EBA adalah adanya vesikel atau bula pada daerah yang mengalami penekanan

seperti telapak kaki, sakrum, siku, dan lutut yang jika sembuh akan membentuk

jaringan parut dan milia. Gambaran histopatologi didapatkan celah subepidermal

dengan infiltrat dermal sel inflamasi campuran menyerupai CBDC. Hasil DIF

spesimen biopsi yang diambil perilesional umumnya akan didapatkan deposisi

linier IgG pada dermoepidermal junction, tetapi deposit komplemen, IgA, IgM,

faktor B, dan properdin juga dapat dideteksi. Penyakit EBA dapat disingkirkan

sebagai diagnosis banding karena tidak terdapat predileksi lokasi lesi sesuai dengan

EBA serta pada penyembuhan tidak ditemukan adanya pembentukan jaringan parut

dan milia.11,12

Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun kronik residif pada kulit

yang ditandai dengan timbulnya bula subepidermal. Umumnya, PB memiliki tiga

karakteristik klinis berupa pruritus, urtikaria dan bula yang tegang. Prevalensinya

biasanya pada orang tua dan jarang terjadi pada anak-anak. Pasien PB memberikan

gambaran erupsi bulosa disertai rasa gatal dan jarang melibatkan mukosa serta

memiliki angka morbiditas yang tinggi. Gambaran histopatologi pada PB

menunjukkan celah subepidermal dengan infiltrat dermal superfisial yang terdiri

dari eosinofil, neutrofil, limfosit, monosit dan makrofag, tetapi secara khas

mengandung eosinofil dan neutrophil. Kemudian pada pemeriksaan imunopatologi

DIF pada PB akan didapatkan deposisi linear dan homogen antibodi IgG dan/atau

C3 pada BMZ13,14 Secara histopatologi hasil pada pasien ini masih sesuai untuk

diagnosis PB, tetapi secara DIF tidak mendukung untuk PB. Predileksi usia dan
11
lokasi lesi pada kasus ini tidak sesuai dengan pemfigoid bulosa yang sering

mengenai daerah fleksural dan lipatan seperti aksila serta daerah tungkai bawah.

Lesi bula pada pemfigoid bulosa cenderung menyebar walaupun bisa membentuk

formasi berkelompok, tetapi tidak didapatkan gambaran cluster of jewels atau string

of pearls yang khas pada CBDC.12,13,14

Diagnosis banding terakhir dermatitis herpetiformis (DH) dapat

disingkirkan karena pasien tidak memiliki riwayat keluhan gastrointestinal setelah

makan makanan yang mengandung tepung. Penyakit DH merupakan penyakit

menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik terutama berupa papulo-vesikel,

berkelompok dan simetris serta disertai rasa sangat gatal. Predileksi lesi adalah

punggung, sakrum, bokong, ekstensor lengan atas, sekitar siku dan lutut. Sebanyak

90% penderita DH mempunyai enteropati terhadap diet yang mengandung gluten

yang banyak terdapat dalam tepung gandum. Gambaran histopatologik

menunjukkan vesikel subepidermal, mikroabses netrofil pada puncak papila dermis

dan pada DIF ditemukan deposit granuler IgA pada papila dermis.15,16 Sehingga

secara gambaran DIF juga tidak mendukung.

Pasien CBDC biasanya dapat sembuh sendiri dalam waktu 2 tahun sejak

awal penyakit tersebut, namun dapat juga bertahan hingga pubertas. Penyakit ini

berespons baik terhadap terapi dapson atau sulfapyridine. Sebagian besar pasien

membutuhkan penambahan oral kortikosteroid dosis rendah dalam mengendalikan

penyakit. Mycophenolate mofetil digunakan sebagai pengganti oral kortikosteroid

12
dalam beberapa kasus. Imunoglobulin intravena juga dapat diberikan pada pasien

yang tidak respon terhadap terapi dapson. Topikal takrolimus dapat dikombinasikan

dengan terapi sistemik. 7,8

Pada pasien ini diberikan terapi sistemik dengan dapson 1x 50 mg, kenalog

in ora base 2 dd ue pada lesi mulut, serta mometasone krim 2 dd ue pada lesi erosi

di badan. Monitoring penting dilakukan, untuk mengetahui efektifitas terapi. Pasien

disarankan kontrol setiap 2 minggu. Prognosis pada penderita ini adalah quo ad

vitam ad bonam, quo ad sanam dubia ad bonam dan ad kosmetikam ad bonam.

Beberapa laporan menyebutkan sekitar 65% dari anak-anak yang mengalami

CBDC mengalami remisi dan sisanya ditemukan perjalanan penyakit menetap

hingga dewasa. Daerah lesi pada CBDC biasanya sembuh dengan meninggalkan

perubahan paska inflamasi seperti hiper dan hipopigmentasi namun tanpa jaringan

parut.3,4

KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus CBDC dengan manifestasi klinis dan

histopatologis tipikal CBDC disertai deposit IgA ,IgG dan C3 pada BMZ. Kasus

ini merupakan kasus jarang, hingga saat ini hanya 9% kasus CBDC dengan deposit

imun IgG, IgA dan C3. Diagnosis pada pasien ditegakkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis yang tepat

dibutuhkan untuk pemilihan terapi.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Varo, M., Fernández SL , Sitoe, A., Bassat Q.,(20170 Suspected case of


chronic bullous disease of childhood in a rural area of Southern
Mozambique .BMJ Case Rep 2017. doi:10.1136/bcr-2016-218315
2. Patsatsi A. Chronic Bullous Disease or Linear IgA Dermatosis of
Childhood -Revisited. J Genet Syndr Gene Ther 4: 151. 2013.
doi:10.4172/2157-7412.1000151
3. Thappa DM, Jeevankumar B. Chronic bullous dermatosis of childhood.
Department of dermatology and sexually transmitted disease. 2013.
Available from: http://pmj.bmj.com/content/79/934/437.long
4. Lara-Corrales I, Pope E. Autoimmune blistering diseases in children.
Semin Cutan Med Surg. 2010;29:85-91.
5. James WD, Berger TG, Elston DM. Chronic Blistering Dermatoses. Dalam:
Andrew’s Diseases of the Skin Clinical Dermatology. 11 th ed. Canada:
Saunders Elsevier; 2011: p.455-58.
6. Collier PM, Wojnarowska F. Chronic Bullous Disease of Childhood. Dalam
: Harper J, Oranje A, Prose N. Textbook Of Pediatric Dermatology. London
: Blackwell Science Ltd, 2008
7. Matilda W. Nicholas, Caroline L. Rao, & Russell P. Hall III. Linear
Immunoglobulin A Dermatosis and Chronic Bullous Disease of Childhood.
Dalam : Fitzpatrick's Dermatology in general medicine. 9 th ed. Volume 1.
New York : Mc Graw Hill; 2019: 992- 999
8. Hoffmann J, Hadaschik E, Enk A, et al. Linear IgA bullous dermatosis
secondary to infliximab therapy in a patient with ulcerative colitis.
Dermatology. 2015;231(2): 112-115.
9. Haneef NS, Ramachandra S, Metta AK, Srujana L (2012) Chronic bullous
disease of childhood with IgG predominance: what is the locus standi?
Indian J Dermatol 57: 285-287.
10. Yeh SW, Ahmed B, Sami N, Razzaque AA. Blistering disorders: diagnosis
and treatment. Dermatol Ther 2003;16(3):214-23
11. David T. Woodley & Mei Chen. Epidermolysis Bullosa Acquisita. Dalam
Fitzpatrick's Dermatology in general medicine. 9 th ed. Volume 1. New York
: Mc Graw Hill; 2019: 971-979
12. Borradori L, Bernard P. Vesiculobullous diseases : pemphigoid group.
Dalam : Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editor. Dermatology. Edisi ke-
2. Philadelphia : Mosby; 2008: 431-33.
13. Joly P, Baricault S, Sparsa A, et al. Incidence and mortality of bullous
pemphigoid in France. J Invest Dermatol. 2012;132(8):1998-2004
14. Donna A. Culton, Zhi Liu, & Luis A. Diaz. Bullous Pemphigoid. Dalam
Fitzpatrick's Dermatology in general medicine. 9 th ed. Volume 1. New York
: Mc Graw Hill; 2019: 944-952

14
15. Görög A, Németh K, Kolev K, et al. Circulating transglutaminase 3-
immunoglobulin A immune complexes in dermatitis herpetiformis. J Invest
Dermatol. 2016;136(8):1729-1731.
16. Salmi TT, Hervonen K, Kautiainen H, et al. Prevalence and incidence of
dermatitis herpetiformis: a 40-year prospective study from Finland. Br J
Dermatol. 2011;165(2):354-359.

15

Anda mungkin juga menyukai