PENDAHULUAN
Urtikaria adalah salah satu dari sepuluh besar penyakit utama pada bidang
dermatologi.1 Keluhan awal dari penyakit ini adalah bentol dan gatal, dan dapat
disertai dengan pembengkakan pada area mata, bibir, atau kulit kemaluan yang
disebut dengan angioedema. Masyarakat Indonesia umumnya lebih mengenal
urtikaria sebagai kaligata atau biduran. Hampir setiap orang pernah mengalami
urtikaria dengan atau tanpa disertai angioedema. Studi epidemiologi terbaru
menunjukan bahwa urtikaria pernah dikeluhkan setidaknya oleh satu dari dua belas
orang (8,8%), sedangkan pada anak-anak prevalensi urtikaria sebesar 22,5%.1,2
Terdapat variasi onset waktu urtikaria yangdapat bersifat menetap atau hilang-
timbul, sehingga mengganggu kualitas hidup pasien yang mengalaminya. Kondisi
ini disebut urtikaria kronis bila keluhan berlangsung selama enam minggu atau
lebih. Prevalensi dari urtikaria kronis pada anak-anak dan dewasa sebesar 1,8%,
dengan wanita memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami urtikaria kronis bila
dibandingkan dengan laki-laki.1,2 Penyebab urtikaria dibagi menjadi dua yakni
akibat stimulan tertentu (physical urticaria, special types urticaria, urticarial
vasculitis, dll), atau spontan tanpa stimulan yang jelas (chronic idiopathic
urticaria/CIU).4 Berkembangnya teknologi kedokteran biomolekuler
memunculkan hipotesis tentang proses autoimun sebagai penyebab urtikaria kronis
yang sebelumnya bersifat idiopatik. Hipotesis ini ditunjang oleh beberapa
penelitian diantaranya hubungan antara urtikaria kronis dan penyakit autoimun
yang menyerang tiroid, persendian, pankreas, dan penyakit autoimun sistemik lain.
Penelitian lain menemukan adanya jenis antibodi spesifik yang ditemukan pada
pasien urtikaria kronis, dan disinyalir menjadi penyebab degranulasi sel mast dan
basofil sehingga menimbulkan manifestasi klinis menyerupai urtikaria akibat
paparan alergen lain seperti makanan, obat-obatan, dan gigitan serangga.
Definisi urtikaria secara umum adalah erupsi eritematosa yang meninggi disertai
edema pada dermis, biasanya terjadi secara singkat dan berhubungan dengan rasa
gatal.3,5
Hampir 15-25% populasi dunia pernah mengalami urtikaria sekali waktu dalam
hidupnya.6 Berdasarkan studi komprehensif Global Burden of Diseases tahun 2016,
prevalensi disabilitas (disability-adjusted life years/DALYs) akibat urtikaria
sebesar 55,59/100.000 orang. Urtikaria secara general menempati peringkat kelima
dari seluruh penyakit kulit yang mengakibatkan keterbatasan dalam aktivitas fisik
sehari-hari (DALYs), dibawah acne vulgaris (214/100.000); dermatitis
(152/100.000); penyakit kulit akibat infeksi virus (80,02/100.000); dan psoriasis
(76/100.000).6
Gambar 1. Prevalensi keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari (DALYs) akibat urtikaria. Eropa Tengah, Eropa
Timur, dan Asia Tengah menjadi regio dengan prevalensi tertinggi.6
Urtikaria dikatakan kronis apabila terjadi selama enam minggu atau lebih.
Dikatakan urtikaria kronis autoimun jika terbukti pada serum darah pasien dengan
urtikaria kronis ditemukan adanya antibodi spesifik imunoglobulin (Ig) G yang
bersifat cross-reactive terhadap reseptor berafinitias tinggi dari domain Fc IgE—
khususnya pada subunit alfa (FcɛRIα), serta IgG anti-IgE yang terdapat pada
membran dari sel mast dan basofil.
Pada mulanya, pasien dengan urtikaria kronis tanpa stimulan yang jelas
dikategorikan sebagai urtikaria kronis idiopatik. Sebuah studi dari Leznoff dkk pada
tahun 1983 menemukan bahwa 12,1% (17/140) pasien dengan urtikaria kronis
dilaporkan mengalami peningkatan titer thyroid microsomal antibodies (TMAs)
diatas ambang batas normal.7 Delapan dari tujuh belas pasien ini mengidap penyakit
goiter atau gangguan tiroid. Sedangkan pada kelompok kontrol, hanya 5,6%
(27/477) orang dilaporkan mengalami peningkatan titer TMAs ≥1:1,600. Leznoff
dkk kemudian membuat hipotesis bahwa penyakit urtikaria kronis kemungkinan
dapat disebabkan oleh gangguan autoimun.7
Pada tahun 1986, penelitian yang dilakukan oleh Grattan dkk menyebutkan bahwa
tujuh dari dua belas pasien dengan urtikaria kronis memiliki hasil Autologous
Serum Skin Test (ASST) positif, sedangkan tidak ada satupun dari 19 orang grup
kontrol memiliki hasil ASST positif.7,8 ASST adalah uji cukit kulit dengan
menyuntikan serum pasien pada lengan bawah pasien sendiri. Prosedur ini mirip
dengan uji cukit kulit (skin prick test) pada pasien dengan kecurigaan alergi tertentu,
seperti kacang-kacangan, daging, atau obat-obatan. Perbedaannya hanya terdapat
pada bahan kandungan yang diuji. Hasil yang positif pada ASST mengindikasikan
bahwa terdapat suatu zat aktif pada serum pasien yang bertindak sebagai pemicu
urtikaria yang dialaminya.7
Meskipun memiliki korelasi signifikan terhadap penyakit autoimun pada tiroid, dan
ditunjang dengan hasil positif pada prosedur ASST, namun urtikaria kronis tidak
bisa ditetapkan sebagai penyakit autoimun yang definitif karena tidak memenuhi
postulat Witebsky. Postulat Witebsky menyaratkan penyakit autoimun harus
memenuhi setidak-tidaknya kaidah berikut: penyakit autoimun disebabkan oleh
adanya reaksi autoantibodi atau terkait aktivitas sel-sel imun; agen autoantibodi
yang dimaksud harus bisa diidentifikasi, dan terakhir agen yang berhasil
diidentifikasi harus menimbulkan keluhan serupa pada penelitian menggunakan
hewan coba.8
Identifikasi autoantibodi pada kasus urtikaria kronis ditemukan pertama kali oleh
Grattan dkk pada tahun 1991. Antibodi spesifik itu termasuk dalam jenis IgG anti-
IgE, dan ditemukan pada 5-10% dari sampel serum pasien dengan urtikaria
kronis.7,8 Tahun 1993, Hide dkk juga menemukan adanya antibodi jenis IgG yang
memiliki sifat cross-reactive terhadap FcɛRI subunit α pada 40% dari serum darah
pasien.7,8 Penelitian sejenis mulai dilakukan untuk mengonfirmasi temuan-temuan
ini, dan mendapatkan hasilyang sama yakni ditemukan IgG anti-IgE dan IgG anti-
FcɛRIα dengan perbandingan kuantitas 1:4 pada serum pasien.7,8 Autoantibodi yang
sama juga ditemukan pada serum pasien dengan hasil ASST positif. Temuan ini
memberikan fondasi awal hipotesis autoimun yang menjadi dasar dari sebagian
kasus urtikaria kronis. Dengan ditemukannya agen autoantibodi yang definitif,
maka penelitian terhadap hewan coba harus dilaksanakan untuk memenuhi postulat
Witebsky.
Gambar 2. Mekanisme degranulasi sel mast pada pasien dengan urtikaria kronis autoimun.10
Histamin, PGD2, LTC4, PAF, dan sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan oleh
sel mast bersifat vasodilator aktif, sehingga mengakibatkan augmentasi dari
protein plasma seperti imunoglobulin dan komplemen. Sedangkan LTB4
dan kemokin berfungsi untuk merekrut sel-sel leukosit lain seperti limfosit
T dan B, neutrofil, dan basofil.11 Keseluruhan proses ini bermuara pada
reaksi inflamasi lokal yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler darah,
sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisial dan
mengakibatkan keluhan edema, eritema, serta rasa gatal dan panas pada
kulit pasien dengan urtikaria kronis autoimun.
Gambar 3. Tiga gugusan utama molekul-molekul yang dihasilkan oleh sel mast yang teraktivasi.11
Penelitian yang dilakukan oleh Kikuchi dkk tahun 2002 menemukan bahwa
komplemen C5a memiliki pengaruh signifikan terhadap pelepasan histamin
pada pasien dengan urtikaria kronis. Peningkatan konsentrasi C5a sebanyak
50% meningkatkan konsentrasi histamin dalam darah sebanyak 40%-50%.
Sebaliknya ketika aktivitas C5a diinhibisi menggunakan antibodi terhadap
reseptornya, maka konstrasi histamin dalam darah berkurang sebesar 4%-
39%.12
Gambar 4. Aktivasi komplemen C5a akibat ikatan autoantibodi IgG anti-IgE dan IgG anti FcɛRI.5
Tiap-tiap komplemen tersebut memiliki subunit a dan b. Ikatan gugus
hidroksil antara C4b, C2a, dan C3b mampu memecah komplemen C5
menjadi C5a dan C5b, kemudian terjadi pengikatan antara C5a dan reseptor
C5a pada sel mast dan basofil.5 Komplemen C3a, C4a, dan C5a sering
disebut dengan anafilatoksin karena mampu men-degranulasi sel mast
sehingga memicu reaksi pro-inflamasi. C5a merupakan komponen
anafilatoksin dengan konsentrasi pelepasan histamin tertinggi.5
Manifestasi klinis dari urtikaria adalah berupa lesi kulit dengan batas yang jelas,
meninggi, eritema, disertai dengan pruritus dimana lesi ini terbatas pada lapisan
dermis bagian superfisial. Jika lesi urtikaria ini telah mencapai lapisan dermis yang
lebih dalam maka disebut dengan angioedema. Angioedema menyertai hampir
33,3% dari kasus urtikaria kronis. Terdapat sekitar 6,1% kasus urtikaria kronis
dengan gejala hanya berupa angioedema rekuren tanpa disertai urtika yang jelas.1
Terdapat dua gejala pada penyakit urtikaria yaitu gejala subjektif dan gejala
objektif. Gejala subjektif adalah gejala atau keluhan yang dirasakan pasien dan
tidak dapat dilihat atau diukur oleh pemeriksa. Pada pasien dengan urtikaria,
keluhannaya adalah rasa gatal, panas seperti terbakar dan sakit seperti ditusuk.
Gejala objektif adalah gejala yang dapat dilihat atau diukur oleh pemeriksa. Dalam
hal ini, gejala yang dapat dilihat terdapat pada kulit pasien. Gejalanya adalah
eritema dan urtika yang berbatas tegas, kadang pada bagian tengah dapat terlihat
lebih pucat, dan ukurannya dapat papular sehingga plakat. Urtika biasanya
ditemukan pada badan dan punggung (57,1%), ekstrimitas atas dan bawah (28,6%),
dan wajah (14,3%). Sedangkan angioedema paling sering ditemukan pada wajah,
utamanya daerah mata, bibir, hingga seluruh wajah.1
Urtikaria Kontak
Urtikaria Fisik
a) Dermographism
b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau
tanpa immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri
dari nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed
pressure urticaria.5
c. Vibratory angioedema
d. Cold urticaria
e. Cholinergic urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi
dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya
muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang
terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak
dan indurasi.5
g. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-
kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan
dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah
setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar atau
cahaya yang terlihat.5,13
i. Exercise-induced anaphylaxis
j. Adrenergic urticaria
l. Angioedema herediter
Angka kejadian urtikaria kronis autoimun juga meningkat pada pasien yang telah
didiagnosis dengan penyakit autoimun. Leznoff dan Sussman membuat hipotesis
tentang suatu sindrom yang mencakup urtikaria, angioedema, dan penyakit
autoimun pada tiroid berdasarkan hasil penelitiannya di tahun 1983 dan 1989.12
Sebuah penelitian dari Israel yang dikerjakan oleh Confine-Cohen dkk pada tahun
2012 membandingkan 12.778 data register pasien dengan urtikaria kronis dan
10.714 kontrol tanpa urtikaria kronis. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa
pasien dengan urtikaria kronis memiliki kemungkinan lebih besar mengidap
penyakit autoimun jika dibandingkan dengan kontrol.14
Tabel 2. Daftar odd ratio (OR) pada penelitian yang dilakukan oleh Confine-Cohen dkk tahun 2012.14
Studi dari Korea di tahun 2017 juga menemukan bahwa pasien dengan penyakit
Hashimoto dan Grave memiliki hazard ratio (HR 1,46; p<0,0001) lebih tinggi
untuk mengidap urtikaria kronis jika dibandingkan dengan kontrol tanpa kedua
penyakit autoimun tiroid tersebut.19 Selain penyakit autoimun, kejadian urtikaria
kronis juga sering terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit atopis seperti asma,
rhinitis alergi, dermatitis atopik, dan alergi terhadap substrat tertentu.8,14
Sebuah penelitian epidemiologi dilakukan oleh Zuberbier dkk pada tahun 2009
dengan melibatkan 4093 peserta yang merupakan warga kota Berlin, Jerman.
Penelitian ini menemukan bahwa prevalensi urtikaria pada populasi dewasa sebesar
8,8%, sedangkan prevalensi urtikaria kronis sebanyak 1,8%. Rata-rata umur pasien
dengan urtikaria kronis berada pada dekade ketiga atau keempat. Wanita memiliki
kerentanan lebih besar untuk menderita urtikaria kronis jika dibandingkan dengan
laki-laki, dengan perbandingan 2:1.1 Menariknya, hampir setengah pasien dengan
urtikaria kronis memiliki penyakit atopis lain yakni: rhinitis alergi (41,9%),
dermatitis atopis (18,9%), dan asma (17,6%). Pemeriksaan titer IgE pada serum
pasien dengan urtikaria kronis rata-rata sebesar 88,7kU/L. Angka ini lebih tinggi
jika dibandingkan dengan rata-rata titer IgE pada pasien urtikaria akut yang hanya
sebesar 51,3kU/L. Sedangkan 17,4% pasien urtikaria kronis mengeluhkan
penurunan kualitas hidup yang diintepretasikan berdasarkan kuisioner
Dermatology Life Quality Index (DLQI).1
Studi epidemiologi juga dilakukan oleh Lee dkk tahun 2015 untuk mengetahui
prevalensi urtikaria dan urtikaria kronis pada populasi anak-anak di Korea Selatan.
Studi ini melibatkan 4096 peserta dengan rentang usia 4-13 tahun, dan menemukan
bahwa prevalensi urtikaria dan urtikaria kronis masing-masing sebesar 22,5% dan
1,8%. Usia rata-rata anak dengan urtikaria adalah 9,4 tahun, kemudian kejadian
urtikaria dilaporkan menurun secara signifikan dibarengi dengan peningkatan usia
pasien.2 Tidak ditemukan adanya perbedaan jenis kelamin yang signifikan
memengaruhi angka kejadian urtikaria pada anak-anak. Angka kejadian urtikaria
akut meningkat hampir dua kali lipat jika ditemukan adanya riwayat atopis pada
orangtua pasien, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap angka kejadian
urtikaria kronis.2
Infeksi oportunis dari Helicobacter pylori disebutkan sebagai salah satu faktor
risiko dari urtikaria kronis autoimun. Pemberian regimen terapi untuk
mengeradikasi H. pylori disebutkan mampu menurunkan angka kejadian urtikaria
kronis autoimun. Dinding sel bakteri H. pylori mengandung lipopolisakarida (LPS)
dengan sifat automimikri terhadap reseptor IgE dan FcɛRI.12 Selain H. pylori,
Campylobacter tetanii sebagai bakteri penyebab tetanus juga menghasilkan toksoid
yang bersifat automimikri terhadap terhadap reseptor IgE dan FcɛRI.12 Sifat
automimikri ini mengakibatkan pelepasan histamin dan zat vasoaktif laindari sel
mast sehingga dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa urtika.12
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisis pasien dengan urtikaria kronis, harus dicari
kemungkinan faktor pencetus dan gambaran effloresensi untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti dermatografisme, urtikaria kolinergik, dan urtikaria
kronis terinduksi lainnya. Diagnosis awal untuk menegakkan diagnosis urtikaria
kronis autoimun adalah dengan pemeriksaan darah sederhana. Parameter ini
digunakan untuk melihat profil basopenia dan menyingkirkan tanda-tanda infeksi
lainnya. Peningkatan leukosit dan laju endap darah (LED) mengindikasikan
kemungkinan urtikaria vaskulitis.11 Sayangnya, profil basopenia pada urtikaria
kronis tidak bisa membedakan antara autoimun dan idiopatik.
Penatalaksanaan urtikaria autoimun dapat dibagi menjadi terapi lini pertama, terapi
lini kedua serta terapi lini ketiga sebagai berikut:16
1. Terapi Lini Pertama
Kortikosteroid sistemik dapat digunakan sebagai terapi lini kedua pada kasus
urtikaria yang parah sebagai terapi dalam jangka waktu yang singkat. Terapi
jangka panjang dengan kortikosteroid tidak direkomendasikan karena berbagai
efek samping yang dapat ditimbulkan. Agen lini kedua lainnya yaitu montelukas
yang merupakan antagonis reseptor leukotrin juga dapat digunakan sebagai
terapi urtikria kronis yang tidak merespon terhadap terapi antihistamin. Terdapat
bukti bahwa obat ini dapat mencegah eksaserbasi urtikaria akibat penggunaan
NSAID. Akan tetapi penggunaan agen ini sebagai terapi urtikaria masih
merupakan suatu kontroversi. Agen lini kedua terakhir yaitu CCB. Penggunaan
CCB yaitu nifedipin dalam terapi urtikaria dikatakan efektif dalam
menurunankan pruritus pada pasien urtikaria kronis dengan komorbid hipertensi.
Hal ini berkaitan dengan mekanisme kerja dari CCB yaitu memodifikasi influks
kalsium ke dalam sel mast. 18
Urtikaria kronis autoimun adalah penyakit yang ditandai dengan lesi kulit berupa
edema dan eritema lokal dengan onset waktu enam minggu atau lebih dan
disebabkan karena adanya antibodi spesifik IgG yang bersifat cross-reactive
terhadap reseptor berafinitias tinggi dari domain Fc IgE—khususnya pada rantai
alfa (FcɛRIα), serta IgG anti-IgE yang terdapat pada membran dari sel mast dan
basofil.