Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Urtikaria adalah salah satu dari sepuluh besar penyakit utama pada bidang
dermatologi.1 Keluhan awal dari penyakit ini adalah bentol dan gatal, dan dapat
disertai dengan pembengkakan pada area mata, bibir, atau kulit kemaluan yang
disebut dengan angioedema. Masyarakat Indonesia umumnya lebih mengenal
urtikaria sebagai kaligata atau biduran. Hampir setiap orang pernah mengalami
urtikaria dengan atau tanpa disertai angioedema. Studi epidemiologi terbaru
menunjukan bahwa urtikaria pernah dikeluhkan setidaknya oleh satu dari dua belas
orang (8,8%), sedangkan pada anak-anak prevalensi urtikaria sebesar 22,5%.1,2

Penelitian dari Universitas Airlangga menyebutkan bahwa angka kejadian urtikaria


sebesar 4,9% selama kurun waktu 2007 hingga 2009.3Angka ini kemungkinan
bersifat underestimated atau dibawah angka riil, karena sifat urtikaria yang cepat
hilang dalam 1x24 jam sehingga jarang menjadi alasan pasien untuk datang untuk
memperoleh pengobatan. Penyebab tersering urtikaria adalah alergi terhadap
makanan, obat-obatan, bulu hewan, gigitan serangga, atau infeksi virus tertentu.

Terdapat variasi onset waktu urtikaria yangdapat bersifat menetap atau hilang-
timbul, sehingga mengganggu kualitas hidup pasien yang mengalaminya. Kondisi
ini disebut urtikaria kronis bila keluhan berlangsung selama enam minggu atau
lebih. Prevalensi dari urtikaria kronis pada anak-anak dan dewasa sebesar 1,8%,
dengan wanita memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami urtikaria kronis bila
dibandingkan dengan laki-laki.1,2 Penyebab urtikaria dibagi menjadi dua yakni
akibat stimulan tertentu (physical urticaria, special types urticaria, urticarial
vasculitis, dll), atau spontan tanpa stimulan yang jelas (chronic idiopathic
urticaria/CIU).4 Berkembangnya teknologi kedokteran biomolekuler
memunculkan hipotesis tentang proses autoimun sebagai penyebab urtikaria kronis
yang sebelumnya bersifat idiopatik. Hipotesis ini ditunjang oleh beberapa
penelitian diantaranya hubungan antara urtikaria kronis dan penyakit autoimun
yang menyerang tiroid, persendian, pankreas, dan penyakit autoimun sistemik lain.
Penelitian lain menemukan adanya jenis antibodi spesifik yang ditemukan pada
pasien urtikaria kronis, dan disinyalir menjadi penyebab degranulasi sel mast dan
basofil sehingga menimbulkan manifestasi klinis menyerupai urtikaria akibat
paparan alergen lain seperti makanan, obat-obatan, dan gigitan serangga.

Perubahan paradigma hubungan antara autoimun dan urtikaria kronis menuntut


adanya kajian teori yang lebih mendalam, baik dari segi patogenesis, manifestasi
klinis, diagnosis penunjang, dan terakhir kemungkinan terapi pada pasien dengan
urtikaria kronis akibat autoimun (chronic autoimmune urticaria/CAU). Tulisan ini
diharapkan mampu menghimpun perkembangan teori terbaru, sehingga dapat
digunakan sebagai acuan ilmiah untuk praktek klinis pada pasien dengan urtikaria,
khususnya urtikaria kronis akibat autoimun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Urtikaria Autoimun Kronis

Definisi urtikaria secara umum adalah erupsi eritematosa yang meninggi disertai
edema pada dermis, biasanya terjadi secara singkat dan berhubungan dengan rasa
gatal.3,5

Hampir 15-25% populasi dunia pernah mengalami urtikaria sekali waktu dalam
hidupnya.6 Berdasarkan studi komprehensif Global Burden of Diseases tahun 2016,
prevalensi disabilitas (disability-adjusted life years/DALYs) akibat urtikaria
sebesar 55,59/100.000 orang. Urtikaria secara general menempati peringkat kelima
dari seluruh penyakit kulit yang mengakibatkan keterbatasan dalam aktivitas fisik
sehari-hari (DALYs), dibawah acne vulgaris (214/100.000); dermatitis
(152/100.000); penyakit kulit akibat infeksi virus (80,02/100.000); dan psoriasis
(76/100.000).6

Gambar 1. Prevalensi keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari (DALYs) akibat urtikaria. Eropa Tengah, Eropa
Timur, dan Asia Tengah menjadi regio dengan prevalensi tertinggi.6

Urtikaria dikatakan kronis apabila terjadi selama enam minggu atau lebih.
Dikatakan urtikaria kronis autoimun jika terbukti pada serum darah pasien dengan
urtikaria kronis ditemukan adanya antibodi spesifik imunoglobulin (Ig) G yang
bersifat cross-reactive terhadap reseptor berafinitias tinggi dari domain Fc IgE—
khususnya pada subunit alfa (FcɛRIα), serta IgG anti-IgE yang terdapat pada
membran dari sel mast dan basofil.

2.2 Sejarah Urtikaria Autoimun Kronik

Pada mulanya, pasien dengan urtikaria kronis tanpa stimulan yang jelas
dikategorikan sebagai urtikaria kronis idiopatik. Sebuah studi dari Leznoff dkk pada
tahun 1983 menemukan bahwa 12,1% (17/140) pasien dengan urtikaria kronis
dilaporkan mengalami peningkatan titer thyroid microsomal antibodies (TMAs)
diatas ambang batas normal.7 Delapan dari tujuh belas pasien ini mengidap penyakit
goiter atau gangguan tiroid. Sedangkan pada kelompok kontrol, hanya 5,6%
(27/477) orang dilaporkan mengalami peningkatan titer TMAs ≥1:1,600. Leznoff
dkk kemudian membuat hipotesis bahwa penyakit urtikaria kronis kemungkinan
dapat disebabkan oleh gangguan autoimun.7

Pada tahun 1986, penelitian yang dilakukan oleh Grattan dkk menyebutkan bahwa
tujuh dari dua belas pasien dengan urtikaria kronis memiliki hasil Autologous
Serum Skin Test (ASST) positif, sedangkan tidak ada satupun dari 19 orang grup
kontrol memiliki hasil ASST positif.7,8 ASST adalah uji cukit kulit dengan
menyuntikan serum pasien pada lengan bawah pasien sendiri. Prosedur ini mirip
dengan uji cukit kulit (skin prick test) pada pasien dengan kecurigaan alergi tertentu,
seperti kacang-kacangan, daging, atau obat-obatan. Perbedaannya hanya terdapat
pada bahan kandungan yang diuji. Hasil yang positif pada ASST mengindikasikan
bahwa terdapat suatu zat aktif pada serum pasien yang bertindak sebagai pemicu
urtikaria yang dialaminya.7

2.3 Bukti Urtikaria Kronik Sebagai Penyakit Autoimun

Meskipun memiliki korelasi signifikan terhadap penyakit autoimun pada tiroid, dan
ditunjang dengan hasil positif pada prosedur ASST, namun urtikaria kronis tidak
bisa ditetapkan sebagai penyakit autoimun yang definitif karena tidak memenuhi
postulat Witebsky. Postulat Witebsky menyaratkan penyakit autoimun harus
memenuhi setidak-tidaknya kaidah berikut: penyakit autoimun disebabkan oleh
adanya reaksi autoantibodi atau terkait aktivitas sel-sel imun; agen autoantibodi
yang dimaksud harus bisa diidentifikasi, dan terakhir agen yang berhasil
diidentifikasi harus menimbulkan keluhan serupa pada penelitian menggunakan
hewan coba.8

Identifikasi autoantibodi pada kasus urtikaria kronis ditemukan pertama kali oleh
Grattan dkk pada tahun 1991. Antibodi spesifik itu termasuk dalam jenis IgG anti-
IgE, dan ditemukan pada 5-10% dari sampel serum pasien dengan urtikaria
kronis.7,8 Tahun 1993, Hide dkk juga menemukan adanya antibodi jenis IgG yang
memiliki sifat cross-reactive terhadap FcɛRI subunit α pada 40% dari serum darah
pasien.7,8 Penelitian sejenis mulai dilakukan untuk mengonfirmasi temuan-temuan
ini, dan mendapatkan hasilyang sama yakni ditemukan IgG anti-IgE dan IgG anti-
FcɛRIα dengan perbandingan kuantitas 1:4 pada serum pasien.7,8 Autoantibodi yang
sama juga ditemukan pada serum pasien dengan hasil ASST positif. Temuan ini
memberikan fondasi awal hipotesis autoimun yang menjadi dasar dari sebagian
kasus urtikaria kronis. Dengan ditemukannya agen autoantibodi yang definitif,
maka penelitian terhadap hewan coba harus dilaksanakan untuk memenuhi postulat
Witebsky.

2.4 Patogenesis Urtikaria Autoimun Kronik

Studi dalam bidang imunogenetika banyak mengonfirmasi temuan antara kejadian


urtikaria kronis dan perbedaan kode genetis yang terkait dengan aktivitas sistem
imunitas manusia. Salah satu yang sering disebutkan adalah kompleks gen Human
Leukocyte Antigen (HLA), khususnya HLA molekul tipe II yang menyandi protein-
protein pada membran sel major histocompatibility complexclass II (MHC tipe II).
Sel limfosit B adalah salah satu contoh MHC tipe II yang berfungsi sebagai
penghasil antibodi dan berperan penting dalam patogenesis dari urtikaria kronis
autoimun. Dua kandidat utama kompleks gen HLA yang berhubungan dengan
urtikaria kronis adalah HLA-DQ dan HLA-DR yang terdapat pada lengan
kromosom 6p21.9 Beberapa variasi polimorfisme juga ditemukan pada gen yang
berhubungan dengan reseptor FcɛRI pada sel mast, serta polimorfisme pada
kompleks gen yang berfungsi dalam sintesis histamin, leukotrien, dan jalur
pembentukan asam arakidonat. Histamin, dan leukotrien adalah molekul yang
terdapat pada granula-granula sel mast, dan bertanggungjawab terhadap manifestasi
klinis urtika (wheal and flare) pada pasien dengan urtikaria kronis.9
Manifestasi klinis berupa bintik-bintik besar kemerahan pada urtikaria terjadi akibat
degranulasi sel mast, sehingga terjadi pelepasan histamin dan komponen vasoaktif
serta sitokin pro-inflamasi lainnya. Degranulasi sel mast merupakan reaksi sistem
imun berantai yang diaktifkan karena antigen spesifik dari alergen menempel pada
IgE, kemudian diikat oleh reseptor FcɛRI pada permukaan sel mast. Mirip seperti
mekanisme degranulasi akibat paparan alergen, urtikaria kronis autoimun juga
mensensitisasi sel mast dan basofil akibat autoantibodi IgG yang menempel pada
reseptor IgE dan FcɛRI di membran kedua sel tersebut. Berdasarkan kriteria
hipersensitivitas dari Gells dan Coombs, para pakar masih memetakan apakah
urtikaria kronis autoimun termasuk dalam hipersensitivitas tipe I dan II sesuai
kriteria klasik, atau hipersensitivitas tipe IIb dan V dengan kriteria modifikasi.10

Gambar 2. Mekanisme degranulasi sel mast pada pasien dengan urtikaria kronis autoimun.10

Peran sel mast dalam urtikaria kronis autoimun

FcɛRI merupakan reseptor tetramer yang disusun atas masing-masing satu


subunit α dan β, serta dua subunit γ. IgG anti-FcɛRI berikatan pada subunit
α, dan mengakibatkan transduksi signal immunoreceptor tyrosine-based
activation motifs (ITAMs) pada subunit β dan γ.5 Aktivasi ITAMs
mengakibatkan pembentukan dua molekul berbeda yakni inositol 1,4,5
trifosfat (IP3) dan 1,2 diasylgliserol (1,2-DAGs).11 IP3 meningkatkan
konsentrasi ion kalsium (Ca2+) intrasel, kemudian menginisiasi sintesis
mediator lipid melalui jalur asam arakidonat dan meningkatkan transkripsi
sitokin pro-inflamasi pada inti sel mast.11

Pembentukan molekul lysophospholipids pada 1,2-DAGs bergantung


terhadap konsentrasi ion kalsium intrasel. 1,2-DAGs mem-fasilitasi reaksi
fusi antara membran sel dan membrangranula pada sel mast.11 Ketika terjadi
penggabungan antar kedua membran tersebut, maka membran granula akan
luruh dan menyatu menjadi membran sel, sehingga melepaskan semua
molekul yang terkandung dalam granula-granula tersebut. Peristiwa ini
kemudian dikenal sebagai proses degranulasi sel mast.11

Peningkatan ion kalsium juga mengaktifkan sintesis mediator lipid yang


dibentuk dari asam arakidonat. Gugus –COOH pada asam arakidonat
mengalami fosforilasi untuk membentuk empat molekul utama yakni
prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien B4 dan C4 (LTB4 dan LTC4), dan
terakhir Platelet Activating Factor (PAF).11 Selain mediator lipid, aktivasi
subunit β dan γ pada FcɛRI juga meningkatkan transkripsi sitokin pro-
inflamasi diantaranya interleukin-1 (IL-1), interferon gamma (IFN- γ), dan
tumor necrosis factor alfa (TNF-α).11

Histamin, PGD2, LTC4, PAF, dan sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan oleh
sel mast bersifat vasodilator aktif, sehingga mengakibatkan augmentasi dari
protein plasma seperti imunoglobulin dan komplemen. Sedangkan LTB4
dan kemokin berfungsi untuk merekrut sel-sel leukosit lain seperti limfosit
T dan B, neutrofil, dan basofil.11 Keseluruhan proses ini bermuara pada
reaksi inflamasi lokal yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler darah,
sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisial dan
mengakibatkan keluhan edema, eritema, serta rasa gatal dan panas pada
kulit pasien dengan urtikaria kronis autoimun.
Gambar 3. Tiga gugusan utama molekul-molekul yang dihasilkan oleh sel mast yang teraktivasi.11

Hipotesis lain menyebutkan bahwa terjadi kemungkinan “autoimun


kondisional” terkait dengan autoantibodiIgG anti- FcɛRI. Premis dari
hipotesis ini adalah ditemukannya autoantibodi IgG anti- FcɛRI pada serum
subjek yang sehat tanpa manifestasi klinis urtikaria kronis autoimun.12
Adapun penjelasan yang diberikan adalah tingginya konsentrasi ligan alami
dari FcɛRI, yakni IgE. Autoantibodi IgG anti-FcɛRI bersifat kompetitif
terhadap IgE karena sama-sama berikatan pada subunit α. Ketika
konsentrasi IgE pada serum pasien tinggi, maka IgE akan mengokupansi
subunit α sehingga menghalangi penempelan IgG anti-FcɛRI. Sebaliknya,
jika konsentrasi IgE dalam serum menurun maka IgG anti-FcɛRI akan
menempel pada subunit α dan menginisiasi degranulasi dari sel mast.12

Peran basofil dan komplemen C5a dalam urtikaria kronis autoimun

Basopenia, atau berkurangnya konsentrasi basofil dalam darah pasien


menjadi indikator awal keterlibatan basofil dalam patogenesis urtikaria
kronis autoimun.12 Basofil adalah salah satu jenis leukosit yang juga
mengekspresikan reseptor FcɛRI pada membran selnya. Pemeriksaan
histologi juga menemukan adanya basofil pada perivaskuler lesi kulit yang
diamati.12 Pemeriksaan imunohistokimia menggunakan basofil dari pasien
urtikaria kronis autoimun mengindikasikan sifat hiper-responsif ketika
diinkubasi dengan serum pasien dibandingkan ketika dengan inkubasi
menggunakan serum kontrol. Kondisi hiper-responsif ini ditandai dengan
meningkatnya pelepasan histamin yang diukur dengan basofil histamine-
release assay (BHRA).12

Penelitian yang dilakukan oleh Kikuchi dkk tahun 2002 menemukan bahwa
komplemen C5a memiliki pengaruh signifikan terhadap pelepasan histamin
pada pasien dengan urtikaria kronis. Peningkatan konsentrasi C5a sebanyak
50% meningkatkan konsentrasi histamin dalam darah sebanyak 40%-50%.
Sebaliknya ketika aktivitas C5a diinhibisi menggunakan antibodi terhadap
reseptornya, maka konstrasi histamin dalam darah berkurang sebesar 4%-
39%.12

Komplemen adalah salah satu komponen protein plasma yang berperan


dalam reaksi sistem imun pada manusia. Pada kasus urtikaria kronis
autoimun, pembentukan komplemen C5 diawali dengan aktivasi C1 akibat
cross-reactivityautoantibodi IgG melalui jalur klasik (classical pathway).
Proses ini diawali dengan pembentukan komplemen C1q kemudian menjadi
reaksi berantai aktivasi komplemen berturut-turut yakni C4, C2, dan C3.5

Gambar 4. Aktivasi komplemen C5a akibat ikatan autoantibodi IgG anti-IgE dan IgG anti FcɛRI.5
Tiap-tiap komplemen tersebut memiliki subunit a dan b. Ikatan gugus
hidroksil antara C4b, C2a, dan C3b mampu memecah komplemen C5
menjadi C5a dan C5b, kemudian terjadi pengikatan antara C5a dan reseptor
C5a pada sel mast dan basofil.5 Komplemen C3a, C4a, dan C5a sering
disebut dengan anafilatoksin karena mampu men-degranulasi sel mast
sehingga memicu reaksi pro-inflamasi. C5a merupakan komponen
anafilatoksin dengan konsentrasi pelepasan histamin tertinggi.5

2.5 Manifestasi Klinis Urtikaria Autoimun Kronik

Manifestasi klinis dari urtikaria adalah berupa lesi kulit dengan batas yang jelas,
meninggi, eritema, disertai dengan pruritus dimana lesi ini terbatas pada lapisan
dermis bagian superfisial. Jika lesi urtikaria ini telah mencapai lapisan dermis yang
lebih dalam maka disebut dengan angioedema. Angioedema menyertai hampir
33,3% dari kasus urtikaria kronis. Terdapat sekitar 6,1% kasus urtikaria kronis
dengan gejala hanya berupa angioedema rekuren tanpa disertai urtika yang jelas.1

Gambar 5. Manifestasi klinis urtikaria.5

Terdapat dua gejala pada penyakit urtikaria yaitu gejala subjektif dan gejala
objektif. Gejala subjektif adalah gejala atau keluhan yang dirasakan pasien dan
tidak dapat dilihat atau diukur oleh pemeriksa. Pada pasien dengan urtikaria,
keluhannaya adalah rasa gatal, panas seperti terbakar dan sakit seperti ditusuk.
Gejala objektif adalah gejala yang dapat dilihat atau diukur oleh pemeriksa. Dalam
hal ini, gejala yang dapat dilihat terdapat pada kulit pasien. Gejalanya adalah
eritema dan urtika yang berbatas tegas, kadang pada bagian tengah dapat terlihat
lebih pucat, dan ukurannya dapat papular sehingga plakat. Urtika biasanya
ditemukan pada badan dan punggung (57,1%), ekstrimitas atas dan bawah (28,6%),
dan wajah (14,3%). Sedangkan angioedema paling sering ditemukan pada wajah,
utamanya daerah mata, bibir, hingga seluruh wajah.1

Sangat susah membedakan urtikaria kronis autoimun dengan penyakit urtikaria


secara umum. Hal ini diakibatkan karena gambaran effloresensi dari kasus-kasus
urtikaria hampir mirip meskipun memiliki etiologi yang berbeda. Dari anamnesis
harus ditegaskan tentang onset, dan kemungkinan pencetus yang menjadi faktor
risiko masing-masing diagnosis urtikaria.

Tabel1. Diagnosis banding urtikaria kronis autoimun.5

Urtikaria Kontak

Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di


tempat dimana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa.
Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE)
atau non-alergi (IgE-independen).5

Urtikaria Fisik

a) Dermographism

Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan


merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk
linier yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit
digores.Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear wheal).
Transient wheal atau biduran yang sementara muncul secara cepat dan
biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami
pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.5

b. Delayed dermographism

Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau
tanpa immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri
dari nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed
pressure urticaria.5

c. Vibratory angioedema

Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat,


dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa
tahun karena paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di
pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat
sebagai kelainan autosomal dominan yang diturunkan dalam keluarga.
Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah.5

d. Cold urticaria

Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan


(herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang
meliputi perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung
dengan objek dingin. Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya
gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12
jam.5

e. Cholinergic urticaria

Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh.


Cholinergic urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast.
Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira
2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas merupakan
gambaran khas dari urtikaria jenis ini.5
Gambar 6. Gambaranmacamurtikariafisik; A. Dermographism; B. Cold Urticaria; C. Cholinergic
Urticaria.5

f. Local heat urticaria

Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi
dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya
muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang
terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak
dan indurasi.5

g. Solar urticaria

Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-
kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan
dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah
setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar atau
cahaya yang terlihat.5,13

h. Delayed pressure urticaria

Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal,


sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan
terhadap kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras,
di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan
setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.5

i. Exercise-induced anaphylaxis

Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri


dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan
sinkop yang berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced
anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sebagai stimulusnya.5,13

j. Adrenergic urticaria

Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white


halo yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi
karena peran norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah
rangsangan faktor pencetus seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan
coklat.5,13

k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus

Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan


urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak
sebagai pembawa antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri
dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan cholinergic urticaria.5,13

l. Angioedema herediter

Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang disertai urtikaria. Pada


kelainan ini terdapat edema subkutan atau submukosa periodik disertai rasa
sakit dan terkadang disertai edema laring. Edema biasanya mengenai
ekstremitas dan mukosa gastrointestinal yang sembuh setelah 1-4 hari. Pada
keluarga terdapat riwayat penyakit yang serupa. Diagnosis ditegakkan
dengan menemukan kadar komplemen C4 dan C2 yang menurun dan tidak
adanya inhibitor C1-esterase dalam serum.13

2.6 Hubungan Urtikaria Autoimun Kronik dengan Penyakit Lain

Angka kejadian urtikaria kronis autoimun juga meningkat pada pasien yang telah
didiagnosis dengan penyakit autoimun. Leznoff dan Sussman membuat hipotesis
tentang suatu sindrom yang mencakup urtikaria, angioedema, dan penyakit
autoimun pada tiroid berdasarkan hasil penelitiannya di tahun 1983 dan 1989.12
Sebuah penelitian dari Israel yang dikerjakan oleh Confine-Cohen dkk pada tahun
2012 membandingkan 12.778 data register pasien dengan urtikaria kronis dan
10.714 kontrol tanpa urtikaria kronis. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa
pasien dengan urtikaria kronis memiliki kemungkinan lebih besar mengidap
penyakit autoimun jika dibandingkan dengan kontrol.14

Tabel 2. Daftar odd ratio (OR) pada penelitian yang dilakukan oleh Confine-Cohen dkk tahun 2012.14

Populasi total (n=12.778 dengan


urtikaria kronis dan n=10.714 kontrol)

Penyakit autoimun OR 95% CI nilai p

Hipotiroidisme 17.3 13.5-22.2 <0.0005

Hipertiroidisme 28.81 15.4-54.25 <0.0005

Rhematoid Artritis 13.25 7.39-23.76 <0.0005

Diabetes Mellitus tipe I 7.703 4.78-12.65 <0.0005

Sjorgen syndrome 15.17 5.54-14.54 <0.0005

Celiac disease 26.96 6.6-110.17 <0.0005

Lupus Eritematosa Sistemik 14.59 4.56-46.73 <0.0005

Studi dari Korea di tahun 2017 juga menemukan bahwa pasien dengan penyakit
Hashimoto dan Grave memiliki hazard ratio (HR 1,46; p<0,0001) lebih tinggi
untuk mengidap urtikaria kronis jika dibandingkan dengan kontrol tanpa kedua
penyakit autoimun tiroid tersebut.19 Selain penyakit autoimun, kejadian urtikaria
kronis juga sering terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit atopis seperti asma,
rhinitis alergi, dermatitis atopik, dan alergi terhadap substrat tertentu.8,14

Sebuah penelitian epidemiologi dilakukan oleh Zuberbier dkk pada tahun 2009
dengan melibatkan 4093 peserta yang merupakan warga kota Berlin, Jerman.
Penelitian ini menemukan bahwa prevalensi urtikaria pada populasi dewasa sebesar
8,8%, sedangkan prevalensi urtikaria kronis sebanyak 1,8%. Rata-rata umur pasien
dengan urtikaria kronis berada pada dekade ketiga atau keempat. Wanita memiliki
kerentanan lebih besar untuk menderita urtikaria kronis jika dibandingkan dengan
laki-laki, dengan perbandingan 2:1.1 Menariknya, hampir setengah pasien dengan
urtikaria kronis memiliki penyakit atopis lain yakni: rhinitis alergi (41,9%),
dermatitis atopis (18,9%), dan asma (17,6%). Pemeriksaan titer IgE pada serum
pasien dengan urtikaria kronis rata-rata sebesar 88,7kU/L. Angka ini lebih tinggi
jika dibandingkan dengan rata-rata titer IgE pada pasien urtikaria akut yang hanya
sebesar 51,3kU/L. Sedangkan 17,4% pasien urtikaria kronis mengeluhkan
penurunan kualitas hidup yang diintepretasikan berdasarkan kuisioner
Dermatology Life Quality Index (DLQI).1

Studi epidemiologi juga dilakukan oleh Lee dkk tahun 2015 untuk mengetahui
prevalensi urtikaria dan urtikaria kronis pada populasi anak-anak di Korea Selatan.
Studi ini melibatkan 4096 peserta dengan rentang usia 4-13 tahun, dan menemukan
bahwa prevalensi urtikaria dan urtikaria kronis masing-masing sebesar 22,5% dan
1,8%. Usia rata-rata anak dengan urtikaria adalah 9,4 tahun, kemudian kejadian
urtikaria dilaporkan menurun secara signifikan dibarengi dengan peningkatan usia
pasien.2 Tidak ditemukan adanya perbedaan jenis kelamin yang signifikan
memengaruhi angka kejadian urtikaria pada anak-anak. Angka kejadian urtikaria
akut meningkat hampir dua kali lipat jika ditemukan adanya riwayat atopis pada
orangtua pasien, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap angka kejadian
urtikaria kronis.2

Infeksi oportunis dari Helicobacter pylori disebutkan sebagai salah satu faktor
risiko dari urtikaria kronis autoimun. Pemberian regimen terapi untuk
mengeradikasi H. pylori disebutkan mampu menurunkan angka kejadian urtikaria
kronis autoimun. Dinding sel bakteri H. pylori mengandung lipopolisakarida (LPS)
dengan sifat automimikri terhadap reseptor IgE dan FcɛRI.12 Selain H. pylori,
Campylobacter tetanii sebagai bakteri penyebab tetanus juga menghasilkan toksoid
yang bersifat automimikri terhadap terhadap reseptor IgE dan FcɛRI.12 Sifat
automimikri ini mengakibatkan pelepasan histamin dan zat vasoaktif laindari sel
mast sehingga dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa urtika.12

2.7 Tes Diagnosis Untuk Urtikaria Autoimun Kronik

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisis pasien dengan urtikaria kronis, harus dicari
kemungkinan faktor pencetus dan gambaran effloresensi untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti dermatografisme, urtikaria kolinergik, dan urtikaria
kronis terinduksi lainnya. Diagnosis awal untuk menegakkan diagnosis urtikaria
kronis autoimun adalah dengan pemeriksaan darah sederhana. Parameter ini
digunakan untuk melihat profil basopenia dan menyingkirkan tanda-tanda infeksi
lainnya. Peningkatan leukosit dan laju endap darah (LED) mengindikasikan
kemungkinan urtikaria vaskulitis.11 Sayangnya, profil basopenia pada urtikaria
kronis tidak bisa membedakan antara autoimun dan idiopatik.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan selanjutnya adalah autologous serum


skin test (ASST). Prosedur ini pertama kali dilakukan oleh Grattan dkk tahun 1986
untuk mendiagnosis urtikaria kronis idiopati.12 Prosedur ASST dimulai dengan
mengambil darah pasien dan dibiarkan menggumpal selama 30 menit dalam suhu
ruangan. Selanjutnya sampel disentrifugasi untuk membuang kandungan sel-sel
darah yang telah mengendap sehingga yang tersisa hanya berupa serum pasien.
Serum kemudian diinjeksikan pada bagian volar ekstrimitas atas, dengan kontrol
positif dan negatif menggunakan histamin (10μg/mL) dan normal salin. Volume
masing-masing serum, histamin, dan normal salin adalah 0,05mL dengan jarak
antar injeksi minimal 5cm.15 ASST dikatakan positif bila ditemukan adanya urtika
berukuran 1,5mm-5mm lebih besar dari urtika yang didapatkan pada injeksi normal
salin.15 Prosedur ASST memiliki angka spesifisitas dan sensitivitas masing-masing
80% dan 70%.15

Pemeriksaan enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA) dan Western blot


digunakan untuk mendeteksi keberadaan autoantibodi spesifik IgG anti-FcɛRI dan
IgG anti-IgE. Adanya IgG anti-FcɛRI yang ditemukan pada subjek yang sehat
membuat pemeriksaan ini dapat memberikan interpretasi positif palsu. Pemeriksaan
tambahan secara in vitro dapat dilakukan dengan menghitung konsentrasi pelepasan
histamin dari basofil (BHRA). BHRA mengindikasikan autoantibodi spesifik IgG
anti-FcɛRI dan IgG anti-IgE bersifat fungsional karena mampu menginduksi
degranulasi sel mast dan basofil. Konsensus internasional menyarankan
pemeriksaan ASST, deteksi autoantibodi spesifik dengan metode imunohistokimia,
ditambah dengan diagnosis in vitro menggunakan BHRA sebagai pemeriksaan
baku emas untuk diagnosis definitif urtikaria kronis autoimun.12

2.8 Penatalaksanaan Urtikaria Autoimun Kronik

Penatalaksanaan urtikaria autoimun dapat dibagi menjadi terapi lini pertama, terapi
lini kedua serta terapi lini ketiga sebagai berikut:16
1. Terapi Lini Pertama

Terapi lini pertama dalam penatalaksanaan urtikaria meliputi modifikasi


terhadap fakor pencetus munculnya lesi. Adapun faktor-faktor pencetusnya
meliputi suhu panas, stres, alkohol, penggunaan asetilsalisilat, NSAID. Selain
itu penggunaan obat juga dapat dikombinasikan dengan modifikasi faktor
pencetus. Adapun obat lini pertama yang dipilih adalah penggunaan
antihistamin. Penggunaan antihistamin ini dikatakan efektif pada 40% kasus
uritikaria. Dimana mekanisme kerja antihistamin adalah mencegah produksi
bergai mediator-mediator inflamasi yang berperan penting dalam terbentuknya
lesi urtikaria. Jika satu jenis antihistamin tidak dapat membantu dalam
menghilangkan gejala, maka penggunaan lebih dari satu antihistamin dapat
dicoba.16,17

Antihistamin generasi pertama yaitu antihistamin antagonis reseptor H1 klasik


seperti hidralazin, pepenhidramin, ciprohepatidin, dan klorfeniramin, jarang
digunakan karena memiliki efek sedatif serta efek antikolinergik. Akan tetapi
obat-obat tersebut dapat digunakan sebagai terapi adjuvan pada pasien urtikaria
yang sampai mengalami gangguan tidur. Sedangkan antihistamin antagonis
reseptor H1 generasi kedua seperti cetirizin, levocentrizin, loratadine, destortidin
dan miztolastin tidak hanya memiliki efek antihistamin tetapi juga memiliki efek
anti-inflamasi berupa yang meliputi inhibisi faktor aktivasi platelet, kemotaksis
eosinofil, adhesi endotelium serta migrasi transendotelial menuju ke sel
endotelium dermis.16,17

Antihistamin antagonis reseptor H2 juga dapat digunakan dalam penanganan


urtikaria. Sebanyak 15% reseptor histamin pada kulit merupakan reseptor H2.
Oleh karena itu, antagonis reseptor H2 seperti simetidin, ranitidin, dan famotidin
diketahui menunjukkan beberpaa efek terapi pada pasien dengan urtikaria.16,17

2. Terapi Lini Kedua

Obat-obat anti-depresan, kortikosteroid, calcium channel blocker (CCB),


levotiroksin, dan antagonis reseptor leukotrin merupakan obat lini kedua dalam
terapi urtikaria yang tidak menunjukkan perbaikan dengan hanya dengan terapi
antihistamin saja. Antidepresan yang dapat digunakan antara lain doxepin dan
mirtrazapin. Doxepin merupakan antidepresan trisiklik yang memiliki efek
antagonis terhadap aktivitas seseptor H1 dan H2. Doksepin bekerja dengan baik
apabila dikonsumsi pada malam hari sebelum tidur, dan efektif sebagai terapi
pada pasien urtikaria dengan depresi. Dosis 10-30 mg per hari direkomendasikan
sebagai terapi terhadap urtikaria kronis. Agen antidepresan lain yaitu mirtrazipin
memiliki efek terhadap reseptor H1 dan memiliki sifat antipruritus.Obat ini
dapat digunaan sebagai terapi lini kedua dalam penanganan urtikaria dengan
dosis 30 mg per hari.17,18

Kortikosteroid sistemik dapat digunakan sebagai terapi lini kedua pada kasus
urtikaria yang parah sebagai terapi dalam jangka waktu yang singkat. Terapi
jangka panjang dengan kortikosteroid tidak direkomendasikan karena berbagai
efek samping yang dapat ditimbulkan. Agen lini kedua lainnya yaitu montelukas
yang merupakan antagonis reseptor leukotrin juga dapat digunakan sebagai
terapi urtikria kronis yang tidak merespon terhadap terapi antihistamin. Terdapat
bukti bahwa obat ini dapat mencegah eksaserbasi urtikaria akibat penggunaan
NSAID. Akan tetapi penggunaan agen ini sebagai terapi urtikaria masih
merupakan suatu kontroversi. Agen lini kedua terakhir yaitu CCB. Penggunaan
CCB yaitu nifedipin dalam terapi urtikaria dikatakan efektif dalam
menurunankan pruritus pada pasien urtikaria kronis dengan komorbid hipertensi.
Hal ini berkaitan dengan mekanisme kerja dari CCB yaitu memodifikasi influks
kalsium ke dalam sel mast. 18

3. Terapi Lini Ketiga

Terapi lini ketiga dalam penatalaksanaan urtikaria adalah penggunaan agen-agen


imunomodulator seperti siklosporin, takrolimus, metotreksat, siklofisfamid dan
imunoglobulin intravena. Terapi ini efektif dalam penanganan urtikaria
autoimun. Suatu penelitian oleh Greaves menyebutkan bahwa 75% pasien
dengan urtikaria autoimun menunjukkan respon yang baik terhadap terapi
dengan siklosporin dimana setelah terapi dihentikan, sepertiga pasien tetap
dalam remisi, sepertiga pasien lainnya mengalami relaps ringan dan sepertiga
lagi kembali ke kondisi awal seperti sebelum terapi. Selama pengobatan dengan
siklosporin, penggunaan antihistamin H1 tetap dilanjutkan serta harus dilakukan
pemantauan terhadap tekanan darah dan fungsi ginjal.16,18

Pada kasus urtikaria yang bergantung terhadap kortikosteroid, penggunaan


takrolimus dengan dosis 20 mg/hari menunjukkan hasil yang mamuaskan.
Mikofenolat mofetil, siklofosfamid intravena, dan metotreksat juga telah
digunakan dan menunjukkan hasil yang baik untuk penanganan urtikaria
autoimun yang bersifat refrakter. Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG)
juga efektif dalam penanganan urtikaria autoimun. Suatu hipotesis menyatakan
bahwa imunoglobulin intravena mengandung antibodi anti-idiotipik yang akan
berkompetisi dengan IgG endogen terhadap reseptor H1 dan memblokade
pelepasan histamin.19,20

Metode plasmaparesis dilaporkan bermanfaat dalam penatalaksanaan urtikaria


autoimun kronis. Plasmaparesis berfungsi untuk mencegah akumulasi auto
antibodi yang berperan dalam pelepasan histamin. Namun plasmaparesis tetap
harus dikombinasikan dengan penggunaan agen-agen imunosupresan.20
BAB III
RINGKASAN

Urtikaria kronis autoimun adalah penyakit yang ditandai dengan lesi kulit berupa
edema dan eritema lokal dengan onset waktu enam minggu atau lebih dan
disebabkan karena adanya antibodi spesifik IgG yang bersifat cross-reactive
terhadap reseptor berafinitias tinggi dari domain Fc IgE—khususnya pada rantai
alfa (FcɛRIα), serta IgG anti-IgE yang terdapat pada membran dari sel mast dan
basofil.

Urtikaria menempati urutan kelima sebagai penyakit kulit dengan prevalensi


DALYs tertinggi secara global, sedangkan prevalensi spesifik urtikaria kronis
diperkirakan sekitar 1,8% baik pada populasi anak-anak dan dewasa. Faktor risiko
dari urtikaria kronis autoimun meliputi predisposisi genetik, riwayat penyakit
autoimun dan penyakit atopis, serta infeksi beberapa bakteri yang bersifat
automimikri terhadap reseptor IgE dan FcɛRI. Autoantibodi IgG anti-FcɛRI dan
IgG anti-IgE dapat memicu reaksi degranulasi sel mast, dan basofil sehingga
merangsang pelepasan histamin, mediator lipid, dan sitokin pro-inflamasi.
Degranulasi sel mast dan histamin juga dibantu oleh komplemen C5a sebagai salah
satu komponen anafilatoksin.

Pemeriksaan standar baku untuk mendiagnosis urtikaria kronis autoimun meliputi


ASST, pemeriksaan imunohistokimia antibodi spesifik IgG anti-FcɛRI dan IgG
anti-IgE, dan pemeriksaan in vitro menggunakan metode BHRA. Penatalaksanaan
urtikaria kronis autoimun meliputi senyawa antihistamin, kortikosteroid, imuno-
depresan, antibodi mononuklear, dan plasma paresis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Zuberbier T, Balke M, Worm M, Edenharter G, Maurer M. Epidemiology of


urticaria: a representative cross-sectional population survey. Journal of Clinical
and Experimental Dermatology vol 35;2010. Pp 869-873.
2. Lee SJ, Ha EK, Jee HM, Lee KS, Lee SW, Kim MA, dkk. Prevalence and risk
factors of urticaria with a focus on chronic urticaria in children. Journal of
Allergy, Asthma, and Immunology Research vol 9;2017. Pp 212-219.
3. Vella, Widiasmara D, Hutomo M. Urtikaria-studi retrospektif. Berkala ilmu
kesehatan kulit dan kelamin vol 22 no 3;2010. Pp 172-179.
4. Zuberbier T, Aberer W, Asero R, Latif AHA, Baker D, Ballmer-Weber B, dkk.
The EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guideline for the definition, classification,
diagnosis, and management of urticaria. European journal of allergy and
clinical immunology vol 73;2017. Pp 1393-1414.
5. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th edition. New York:
McGraw-Hill; 2012. Pp 365-379.
6. Maxim E, Aksut C, Tsoi D, Dellavelle R. Global burden of urticaria: insights
from the 2016 global burden of diseases study. Journal of america academia
dermatology vol 79 no 3;2018. Pp 567-569.
7. Maurer M, Abuzakouk M, Berard F, Canonica W, Elberink HO, Gimenez-
Amau A, dkk. The burden of chronic spontaneous urticaria is substansial: real-
world evidence from ASSURE-CSU. European Journal of Allergy and Clinical
Immunology vol 72;2017. Pp 2005-2016.
8. Kim YS, Han K, Lee JH, Kim NI, Roh JY, Seo SJ, dkk. Increased risk of
chronic spontaneous urticaria in patients with autoimmune thyroid diseases: a
nationwide, population-based study. Journal of Allergy, Asthma, and
Immunology Research vol 9;2017. Pp 373-377.
9. Losol P, Yoo HS, Park HS. Molecular genetic mechanism of chronic urticaria.
Journal of Allergy, Asthma, and Immunology Research vol 6;2014. Pp 13-21.
10. Grattan C. Autoimmune chronic spontaneous urticaria. Journal of Allergy and
Clinical Immunology vol 141 no 3;2018. Pp 1165-1166.
11. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, dkk.
Harrison’s princples of internal medicine, 18th ed. Singapore: McGraw
Hill;2011. Pp 2061-2067.
12. Konstatinou GN, Asero R, Ferrer M, Knol EF, Maurer M, Raap U, dkk. EAACI
taskforce position paper: evidence for autoimmune urticaria and proposal for
defining diagnostic criteria. European Journal of Allergy and Clinical
Immunology vol 68;2012. Pp 27-36.
13. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2010. Pp 121-127
14. Vohra S, Sharma NL, Mahajan VK. Autologous serum skin test: Methodology,
interpretation and clinical applications. Indian Journal of Dermatology,
Venereology, and Leprosy vol 75;2009. Pp 545-548.
15. Confino-Cohen R, Chodick G, Shalev V, Leshno M, Kimhi O, Goldberg A.
Chronic urticaria and autoimmunity: associations found in a large population
study. Journal of Allergy and Clinical Immunology vol 129 no 5;2012. Pp
1307-1313.
16. Kathuria PC. Urticaria and Its Management. Indian Journal of Allergy,
Asthma, and Immunology vol 25 no 1;2011. Pp 33-57.
17. Fine LM dan Berstein JA. Guideline of Chronic Urticaria Beyond. Allergy and
Asthma Immunologyvol 8 no 5;2016. Pp 396-403.
18. Spickett G. Urticaria and Angioedema. JR Coll Physicians Edinb vol 44;2014.
Pp 50-54.
19. Kaplan AP. Treatment of Chronic Spontaneous Urticaria. Allergy Asthma
Immunology vol 4;2012. Pp 326.
20. Lipinska IK, Korcynska P, Kuna P. Effectiveness and Adverse Events of
Plasmaparesis and Immunoglobulin G Infusion in Patient with Resistant
Chronic Urticaria and Angioedema, A Case Report. Clinical Translational
Allergy vol 5;2015. Pp 1-8.

Anda mungkin juga menyukai