Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal
sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta disebut dalam kitab injil, terjemahan dari
bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit lainnya.
Termasuk bahwa berbagai deskripsi mengenai penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa
berbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibandingkan dengan
kusta yang kita kenal sekarang.1

Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan
kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari
saluran pernafasan atas dan lesi kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat,kusta
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.2

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun
tajam di sebagian besar Negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada
permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara,
sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus
kusta permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar
17.441 orang. Distribusi tidak merata yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah
0,76.Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, reaksi kusta adalah
interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik.
episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbulnya
efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit kusta yang sebenarnya bersifat kronik.
Hal ini biasanya terjadi selama menggunakan MDT dan merupakan respon
hipersensitivitas tipe lambat terhadapat M. leprae.1

1
Reaksi kusta dapat terjadi mulai dari ringan hingga berat yang dapat menyebabkan
gangguan pada organ lain. Terapi dari reaksi kusta bervariasi mulai dari hanya terapi
simptomatik hingga anti inflamasi. Maka sebagai dokter kita sebaiknya memahami dan
mengetahui bagaimana tatalaksana reaksi kusta.3

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali sussunan saraf pusat. Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat
timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada sistem imunitas seluler penderita. Bila imunitas selulernya baik akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya apabila rendah memberikan gambaran lepromatosa.1

Gambar 2.1 Kusta tipe Pausibasilar6

3
Gambar 2.2 Kusta tipe Multibasilar6

2.2 Definisi Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas betul, terminologi dan klasifikasi
masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya yang belum jelas tersebut akan
dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula
merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta tergolong di dalamnya.
Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang tampaknya paling banyak dianut pada
akhir-akhir ini, yaitu:

4
- Reaksi reversal (reaksi tipe 1)
Disebabkan karena hipersensitivitas tipe IV (Coombs dan Gel). Antigen dari M.leprae
bereaksi dengan T limfosit karena adanya perubahan yang cepat dari imunitas seluler.

Gambar 2.3 Reaksi Kusta tipe 13

5
- Eritema Nodusum Leprosum (ENL) (reaksi tipe 2)
Terjadi karena kompleks imun (reaksi antigen-antibodi yang melibatkan komplemen)
Istilah ENL digunakan bila terdapat adanya lesi kulit berupa nodul-nodul eritematus.
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat bila pada BL, berarti
makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul ENL.

Gambar 2.4 Reaksi Kusta tipe 23


- Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan varian reaksi kusta yang jarang ditemukan dengan
gambaran klinis necrotizing erythema pada pasien kusta lepromatosa yang belum
mendapatkan terapi atau tidak menyelesaikan terapinya, khususnya pasien dengan
Diffuse Lepromatous Leprosy (DLL). Pada tahun 2008 ditemukan organisme yang
serupa secara genetik dengan kuman kusta dan disebut dengan M.lepromatosis yang
secara mikrobiologis sangat mirip dengan M.leprae.1,4,5

6
Gambar 2.5 Fenomena Lucio

7
2.3 Faktor Risiko Reaksi Kusta
Tabel 2.1 Faktor Risiko Reaksi Kusta4
Reaksi reversal Eritema nodusum leprosum
(reaksi tipe 1) (reaksi tipe 2)
- Tipe borderline terutama BL dan - LL dengana infiltrasi kulit
BB - Reaksi timbul tahun pertama MDT
- Reaksi dapat timbul sebelum, - Usia muda
selama dan setelah pengobatan - Obat MDT kecuali klofazimin
- Usia tua - Indeks bakteri (IB) >4+
- Lesi dan keterlibatan saraf multipel - Dipengaruhi stres fisik dan mental
- Lesi pada wajah dan dekat mata, - Infeksi penyerta: Streptococcus,
berisiko terjadinya lagoftalmus virus, parasite intestinal, filarial,
- Infeksi penyerta: Hepatitis B atau C malaria
- Saat puerpurium - Kebanyakan pada trimester ke-3
- Lain-lain seperti trauma, operasi,
imunisasi protektif, tes Mantoux
positif kuat, minum kalium
hidroksida

2.4 Gejala Klinis Reaksi Kusta


1. Reaksi tipe 1
Timbul pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) karena ketidakstabilan
imunologis. Disebut juga sebagai reaksi upgrading atau reaksi reversal bila kenaikan
imunitas seluler yang cepat.
Gejala klinis berupa lesi dikulit makula eritematus, menebal, teraba panas dan
nyeri tekan. Bila berat dapat membengkak sampai pecah. Gejala sistemik jarang
dijumpai namun gejala saraf biasanya menonjol berupa keradangan saraf yang
mendadak pada satu atau beberapa saraf tepi (yang paling sering n. ulnaris dan n.
medianus), dengan gejala nyeri yang hebat dan atau adanya gangguan fungsi.
2. Eritema leprosum nodusum
Terjadi pada 50% tipe LL dan 25% tipe BL. Dapat terjadi sebelum, selama
ataupun setelah pengobatan. Gejala terutama pada kulit berupa Eritema Nodusum

8
Leprosum (ENL) yaitu adanya nodul kemerahan yang nyeri, pada perabaan dapat
superfisial ataupun dalam. Pada reaksi tipe 2 berat, lesi ENL menjadi vesikuler atau
bula dan pecah, disebut sebagai eritema nekrotikans. Dapat juga menyerang mata
(iridosiklitis), testis (orkitis), ginjal (nefritis), sednri (artritis), limpadenik dan neuritis.
Gejala sistemik berupa malaise, panas badan, sakit kepala, dan kelemahan otot.
3. Fenomena Lucio
Awalnya berupa bercak eritematosa di kaki yang kemudian menjalar ke tungkai
bawah, paha, tangan, batang tubuh dan kemudian wajah. Lesi berupa bercak
eritematosa dalam berbagai bentuk, ukuran, yang terasa nyeri. Dalam 24 jam hingga
48 jam akan timbul infiltrasi, kemudian pada hari ketiga atau keempat, lesi akan
menjadi lebih gelap dan tampak purpura diikuti nekrosis sentral berupa vesikel kecil.
Akhirnya terbentuk skar merah gelap dan akan lepas beberapa hari kemudian
meninggalkan jaringan parut atrofi berwarna putih (pearl white). Proses patologi ini
terjadi selama 15 hari. Gejala biasanya muncul bersamaan dengan keluhan lainnya
yaitu demam, menggigil, nyeri sendi, dan keadaan umum yang buruk.4,5

2.5 Kriteria Diagnosis Reaksi Kusta


Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Reaksi Kusta4
Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta tipe Hanya pada kusta tipe MB.
PB maupun MB.
Waktu timbulnya Biasanya dalam 6 bulan Biasanya setelah
pertama pengobatan mendapatkan pengobatan
yang lama umumnya lebih
dari 6 bulan.
Keadaan umum Umumnya baik, demam Ringan hingga berat disertai
ringan (subfebris) atau kelemahan umum dan
tanpa demam. demam tinggi.
Peradangan kulit Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
bengkak, berkilat, hangat. Biasanya pada lengan dan
Kadang-kadang hanya pada tungkai. Nodus dapat pecah
(ulserasi).

9
sebagian lesi. Dapat timbul
bercak baru.
Neuritis Sering terjadi, berupa nyeri Dapat terjadi
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf.
Silent neuritis (-)
Radang mata Dapat terjadi pada kusta tipe Hanya pada kusta tipe MB.
PB maupun MB.
Edema ekstremitas (+) (-)
Peradangan pada organ lain Hampir tidak ada Terjadi pada mata, kelenjar
getah bening, sendi, ginjal,
testis, dll.

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut, yaitu adanya4:
1. Lagoftalmos baru baru terjadi dalam 3 bulan terakhir
2. Nyeri raba saraf perifer
3. Kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Makula pecah atau nodul pecah
5. Makula aktif (meradang), diatas lokasi saraf tepi
6. Gangguan pada organ lain

Kriteria diagnosis fenomena Lucio dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa


hal berikut4:
1. Distribusi geografis pasien dengan fenomena Lucio umumnya di Meksiko, namun
beberapa kasus dilaporkan juga di India.
2. Terjadi pada pasien dengan kusta Lucio yang tidak diobati dalam waktu lama.
3. Gambaran klinis klasik
4. Tidak ada gejala konstitusional
5. Gambaran histopatologis spesifik
6. Kondisi membaik dengan dimulainya MDT

2.6 Diagnosis Banding Reaksi Kusta


1. Reaksi tipe 1

10
Diagnosa banding utamanya adalah relaps. Diagnosa banding yang lain adalah
selulitis, urtikaria, erisipelas, dan gigitan serangga.
2. Eritema leprosum nodusum
 Eritema nodusum yang disebabkan oleh tuberkulosis, infeksi Streptococcus dan
obat.
 Infeksi kulit karena Streptococcus  hemolyticus
 Alergi obat sistemik
 Demam reumatik
 Lain-lain:
o Penyakit kulit bulosa
o Pioderma gangrenosum
o Keganasan
3. Fenomena Lucio
 Reaksi kusta tipe 2 dengan fenomens vaskulonekrotikan (ENL nekrotikan).4,5
Tabel 2.3 Diagnosis Banding Fenomena Lucio dan Reaksi tipe 24
Fenomena Lucio Reaksi tipe 2 dengan fenomena
vaskulonekrotikan
- Hanya terjadi pada kusta tipe - Terjadi pada kusta dengan lesi
lepromatosa difus tanpa riwayat plak dan nodular
nodus
- Terjadi pada pasien kusta yang - Lebih sering terjadi setelah bulan
tidak/belum diobati pertama pengobatan MDT
- Lesi berupa bercak eritematosa - Lesi berupa nekrosis luas dan
berukuran 0,5 hingga 1 cm yang dalam
dalam beberapa waktu menjadi
ulserasi.
- Sensasi nyeri seperti terbakar - Nyeri iskemik
- Biasanya tidak disertai demam - Disertai demam
- Tidak melibatkan saraf - Dapat disertai neuritis
- Vaskulitis leukositoklastik - Vaskulitis leukositoklastik
superfisial dan nekrosis superfisial dan dalan, nekrosis
dalam; berhubungan dengan ENL
- Tidak respons dengan talidomid - Respons dengan talidomid

11
- Resolusi dalam 15 hari - Resolusi lambat
- Jaringan parut hipokrom - Jaringan parut hipertrodik besar
berukuran kecil dengan tepi
hiperkrom.

2.7 Pemeriksaan Penunjang Reaksi Kusta


1. Reaksi tipe 1
 Pemeriksaan histopatologi
 Pemeriksaan neuroelectrophysiology
2. Eritema leprosum nodusum
 Pemeriksaan histopatologi
 Pemeriksaan sitologi Sehgal
 Pemeriksaan neuroelectrophysiology
3. Fenomena Lucio
 Pemeriksaan BTA
 Pemeriksaan histopatologi
 Pemeriksaan imunopatologi4

2.8 Tatalaksana Reaksi Kusta


- Non Medikamentosa
Reaksi Kusta tipe 1 dan 2
1. Istirahat dan imobilisasi.
2. Perbaikan gizi dan keadaan umum.
3. Mengobati penyakit pernyerta dan menghilangkan faktor pencetus.4

Fenomena Lucio
1. Memperbaiki keadaan umum.
2. Mengatasi infeksi sekunder (bila ada).
3. Perbaikan gizi dan asupan cairan yang adekuat.
4. Perawatan diri.4

- Medikamentosa
1. Penanganan Reaksi

12
Prinsip pengobatan reaksi ringan:
 Berobat jalan, istirahat di rumah.
 Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.
 Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.4

Prinsip pengobatan reaksi berat:


 Imobilisasi lokal organ tubuh yang terkena neuritis/ istirahat di rumah.
 Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.
 Mnghindari/menghilangkan faktor pencetus.
 Memberikan obat anti reaksi: prednisone, lamprene, talidomid (bila tersedia).
 Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit.
 Reaksi tipe 2 berat dan berulang diberikan prednisone dan klofazimin.4

2. Pengobatan untuk reaksi tipe 1 dan 24


Prinsip tatalaksana reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:
 MDT harus segera dimulai (bila pasien belum mendapat terapi kusta) atau tetap
dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta).
 Terapi reaksi tipe 1 sesuai dengan tingkat keparahan:
 Reaksi ringan ditandai dengan tingkat inflamasi pada beberapa lesi lama.
 Reaksi berat ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda-tanda berikut:
o Terdapat beberapa lesi lama dan juga bisa terdapat lesi baru.
o Nyeri saraf, nyeri tekan, paresthesia, atau berkurangnya fungsi saraf.
o Demam, rasa tidak nyaman, nyeri sendi.
o Edema pada tangan dan/atau kaki.
o Lesi ulserasi di kulit.
o Reaksi menetap lebih dari 6 minggu.
 Terapi spesifik
Terapi spesifik bertujuan untuk menekan respons hiperesensitivitas tipe
lambat terhadap antigen M. leprae dengan memberikan terapi anti inflamasi.
Tatalaksananya berdasarkan tingkat keparahannya sebagai berikut:
o Terapi reaksi reversal ringan
Reaksi reversal ringan dapat diterapi dengan aspirin atau parasetamol
selama beberapa minggu.

13
o Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut
Kortikosteroid (prednisolone) masih merupakan terapi utama dan terapi
pilihan pada reaksi reversal.

Tabel 2.4 Regimen standar pemberian oral prednison untuk reaksi


tipe 1 WHO berat (1998) 4
Dosis per-hari Minggu terapi
40 mg/hari (1x8 tab) Minggu 1 dan 2
30 mg/hari (1x6 tab) Minggu 3 dan 4
20 mg/hari (1x4 tab) Minggu 5 dan 6
15 mg/hari (1x3 tab) Minggu 7 dan 8
10 mg/hari (1x2 tab) Minggu 9 dan 10
5 mg/hari (1x1 tab) Minggu 11 dan 12
Diminum pagi hari sesudah makan.
Bila diperlukan dapat digunakan kortikosteroid jenis lain dengan dosis
yang setara dan penurunan dosis yang bertahap juga.

Dengan pemberian dosis standar WHO, kesembuhan dapat tidak


tercapai dan sering terjadi rekurensi. Durasi pemberian steroid yang lama
dapat memberikan perbaikan yang lebih baik dan berthan lebih lama.
Pada sebuah studi acak membandingkan pemberian prednisolon 30 mg
yang diturunkan dosisnya daalam 20 minggu jauh lebih baik
dibandingkan dengan pemberian prednisolon 60 mg yang diturunkan
dalam 12 minggu.4

Prinsip tatalaksana reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut:


 Identifikasi tingkat keparahan reaksi tipe 2
o Reaksi ringan (hanya ada beberapa lesi ENL, tanpa keterlibatan organ lain,
tetapi pasiennya merasa tidak nyaman)
o Reaksi sedang (demam ringan <100F dan lesi ENL dalam jumlah sedikit-
sedang, ditemukan leukositosis dan keterlibatan beberapa organ lain kecuali
saraf, mata, dan testis).

14
o Reaksi berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan atau lesi pustular/nekrotik,
neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis, orkitis, dan/atau nyeri tulang
hebat, dan lain-lain), harus dirawat inap untuk diobservasi dan ditatalaksana
lebih lanjut.
 Mencari dan mengatasi faktor resiko
 Melanjutkan pemberian MDT. Pemberian MDT bila terjadi reaksi harus tetap
dilanjutkan, dan bila MDT belum diberikan saat terjadi reaksi, harus segera
diberikan saat terjadi reaksi, harus segera diberikan bersamaan dengan terapi
spesifik, terutama pada pasien LL/BL.
 Penatalaksanaan manifestasi ENL reaksi tipe 2: neuritis, iridosiklitis akut,
epididimo-orkitis akut.4

Tatalaksana rekasi tipe 2 sesuai dengan berbagai tingkat keparahan penyakit maka
pilihan pengobatan untuk reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut:
 Reaksi tipe 2 ringan dengan obat analgetik, antiinflamasi, misalnya aspirin atau
NSAID lainnya. Aspirin diberikan dengan dosis 600 mg setiap 6 jam setelah
makan.
 Terapi reaksi tipe 2 sedang dengan antimalarial (klorokuin), amonial (stibophen),
dan kolsikin)
 Terapi reaksi tipe 2 berat
Pasien dengan ENL berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan pustular/nekrotik,
neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis, orkitis, atau nyeri tulang hebat, dan
lain-lain) harus dirawat inap untuk diobservasi dan ditatalaksana lebih lanjut.
Reaksi tipe 2 berat terdiri atas reaksi tipe 2 episode pertama ENL berat dan reaksi
tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik.4
 Terapi reaksi tipe 2 episode pertama ENL berat4
o Pilihan pertama: prednison
Pemberian pemberian prednisone jangka pendek, tetapi dengan dosis
awal yang tinggi, 40-60 mg sampai ada perbaikan klinis kemudian taper
5-10 mg setiap minggu selama 6-8 minggu atau lebih. Dosis rumatan 5-
10 mg diperlukan selama beberapa minggu untuk mencegah rekurensi
ENL.
o Pilihan kedua: kombinasi prednisolon dan klofazimin

15
Kombinasi prednisolon (dosis seperti di atas) dan klofazimin diberikan
dengan dosis sebagai berikut:
 300 mg/hari selama 1 bulan
 200 mg/hari selama 3-6 bulan
 100 mg/hari selama gejala masih ada
penggunaan klofamizin dengan dosis tinggi dan periode yang cukup
lama dapat mengurangi dosis atau bahkan menghentikan pemberian
steroid selain itu dapat mencegah atau mengurangi rekurensi reaksi.
Sebaiknya pemberian klofazimin tidak melebihi 12 bulan.
o Pilihan ketiga: talidomid
Talidomid diberikan sebagai pilihan terakhir, dengan dosis awal 400 mg
atau 4x100 mg selama 3-7 hari atau sampai reaksi terkontrol, diikuti
penurunan dosis dalam 3-4 minggu atau diturunkan perlahan-lahan jika
rekurensi terjadi, yaitu:
 100 mg pagi hari + 200 mg malam hari selama 4 minggu
 1x200 mg malam hari selama 4 minggu
 1x100 mg malam hari selama 4 minggu
 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, malam hari, selama 8-
12 minggu.
 Terapi reaksi tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik
o Pilihan pertama: prednisolon + klofazimin
Kombinasi klofazimin dan prednisolone lebih dianjurkan. Dosis
klofazimin adalah sebagai berikut:
 300 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan
 200 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan
 100 mg selama gejala dan tanda masih ada
ditambah
Prednisolon 30 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan:
 25 mg/hari selama 2 minggu
 20 mg/hari selama 2 minggu
 15 mg/hari selama 2 minggu
 10 mg/hari selama 2 minggu
 5 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dihentikan
o Pilihan kedua: talidomid

16
Dosis talidomid:
 2x200 mg selama 3-7 hari kemudian dilanjutkan
 100 mg pagi hari + 200 mg malam hari selama 4 minggu
 200 mg malam hari selama 4 minggu
 100 mg malam hari selama 4 minggu
 100 mg setiap malam atau selang sehari, malam hari selama 8-12
minggu atau lebih
Bila terjadi relaps atau perburukan reaksi, dosis dinaikkan segera hingga
200 mg, kemudian secara perlahan diturunkan menjadi 100 mg selang
sehari atau 50 mg/hari selama beberapa bulan.

3. Terapi ENL dengan talidomid sebagai pengganti steroid (bagi pasien yang sudah
mendapat steroid)
Mengganti steroid dengan talidomid lebih sulit dibandingkan terapi talidomid
sejak awal. Steroid harus diturunkan secara bertahap. Indikasi mengganti steroid
dengan klofazimin adalah sebagai berikut:
 Pasien ketergantungan terhadap steroid
 ENL rekuren yang tidak dapat ditatalaksana dengan steroid
 Sebagai steroid sparing pada ENL kronik pada pasien DM, TB atau hipertensi
 Amiloidosis fase awal, bila disertai albuminuria ringan persisten.4
4. Pengobatan alternatif/ second-line treatment
 Reaksi tipe 1: beberapa obat yang dipakai antara lain azatioprin, siklosporin,
dan metotreksat
 Reaksi tipe 2: beberapa terapi yang dipakai antara lain pentoksifillin,
siklosporin, mofetil mikofenolat, metotrekasat.4
5. Terapi Fenomena Lucio
 Terapi kusta dengan MDT multibasiler (MB).
o Segera dimulai (bila pasien belum mendapatkan terapi kusta).
o Tetap dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta).
o Tidak perlu diberikan lagi (bila pasien sudah selesai terapi). .4

17
Tabel 2.5 MDT multibasiler (MB)4
Jenis Obat < 10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 Minum di
mg/bulan depan
petugas
25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 Minum di
mg/bulan depan
Dapson petugas
25 mg/bulan 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di
rumah
Klofazimin 10 mg/bulan 150 mg/bulan 300 mg/hari Minum di
(Lamprene) depan
petugas
50 mg 2 kali 50 mg setiap 50 mg/hari Minum di
seminggu 2 hari rumah
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan

Pengobatan kusta pada keadaan khusus4:


o Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui.
Kusta seringkali mengalami eksaserbasi pada masa kehamilan, oleh
karena itu MDT harus tetap diberikan. Menurut WHO, obat-obatan MDT
standar aman dipakai selama masa kehamilan dan menyusui baik untuk
ibu maupun bayinya. Tidak diperlukan perubahan dosis pada MDT. Obat
dapat melalui air susu ibu dalam jumlah kecil, belum ada laporan
mengenai efek simpang obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat
klofazimin.
o Pengobatan kusta pada pasien yang menderita tuberkulosis (TB) saat
yang sama.
o Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB aktif,
pengobatan harus ditunjukkan untuk kedua penyakit. Obat anti TB tetap
diberikan bersamaan dengan pengobatan MDT untuk kusta tipe MB.
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin
sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan

18
jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai, maka
pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT.
o Pengobatan kusta pada penderita yang disertai infeksi HIV pada saat yang
sama. Manajemen pengobatan pasien kusta yang disertai infeksi HIV
sama dengan manajemen untuk penderita non HIV.
o Pasien tidak dapat mengonsumsi rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi obat, menderita penyakit penyerta hepatitis
kronis, atau terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan rifampisin.
Pasien dengan kuman resisten terhadap rifampisin, biasanya resisten juga
terhadap dapson. Oleh sebab itu digunakan regimen berikut:

Tabel 2.6 Regimen untuk pasien yang tidak dapat konsumsi


Rifampisin4
Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis
6 bulan pertama Klofazimin 50 mg/hari
Ditambah 2 dari obat
berikut:
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari
Klaritromisin 500 mg/hari
Dilanjutkan 18 bulan Klofazimin 50 mg/hari
Dengan ofloksasin 400 mg/hari
ATAU
Minosiklin 100 mg/hari

o Pasien yang menolak klofazimin


o Pasien yang tidak dapat mengonsumsi dapson
 Selain itu, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (mulai dari 1 mg/kgBB) juga
perlu dimulai dan diturunkan secara perlahan dalam hitungan bulan.
 Talidomid dosisi rendah menyebabkan kegagalan terapi pada fenomena
Lucio, tetapi Kementerian Kesehatan Meksiko masih menganggap talidomid
(dengan dosis tinggi dan waktu yang lama) sebagai terapi plihan karena efek
anti TNF- yang dimiliki.4

19
- Edukasi
Reaksi kusta tidak dapat diprediksi atau dicegah, tetapi terdapat berbagai langkah yang
dapat dilakukan agar kecacatan tidak terjadi, yaitu diagnosis dan memberikan terapi
reaksi kusta sedini mungkin. Langkah-langkah tersebut adalah4:
1. Membangun kerjasama yang baik dengan pelayanan kesehatan primer dengan
melatih stafnya untuk mengenali tanda dan gejala reaksi kusta ke pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi untuk diagnosis dan ditatalaksana dengan baik.
2. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya keteraturan
pengobatan dan menyelesaikannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
3. Memberikan edukasi mengenai tanda dan gejala awal reaksi kusta serta neuritis.
4. Mengenal tanda dan gejala awal sugestif penyakit kusta.
5. Pasien dengan risiko tinggi mengalami reaksi kusta harus diperiksa secara berkala,
minimal sebulan sekali.
6. Memulai terapi reaksi sedini mungkin.

20
BAB 3
RINGKASAN

Reaksi Kusta selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan, sedang
dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu: reaksi
tiper 1 atau reaksi reversal dan reaksi tipe 2 atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis yang
jelas. Reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum jelas.
Beberapa kepustakaan menyebutkan adanya factor pencetus diduga berkaitan dengan angka
kejadian reaksi ini, seperti: setelah pengobatan antikusta yang intensif, trauma, dan lain-lain.
Penatalaksanaan dan terapi yang tepat adalah hal utama untuk reaksi kusta ini, di
samping itu monitoring dan evaluasi pengobatan juga menjadi hal penting lainnya demi
penanganan yang adekuat dan tepat guna.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu, I. Made, dkk. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal 87
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Infodatin. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. hal 1
3. Dep/SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
2009. Surabaya: Airlangga University Press. hal 41-56
4. Widaty, S.dr., dkk. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI. hal 80-97
5. Listyawan MY.,dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya. hal 46-
52.
6. Wolff, K.,dkk. 2012. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology
7th Edition. United States: Mc Graw Hill Education. hal 571-572

22

Anda mungkin juga menyukai