Anda di halaman 1dari 26

Bab 54

Pemfigus
Aimee S. Payne & John R. Stanley

Sekilas tentang Pemfigus


 Dua jenis utama: pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus.
 Pemfigus vulgaris: erosi pada membran mukosa dan kulit ; lepuh datar pada kulit.
 Pemfigus foliaseus: berkrusta, lesi kulit bersisik.
 Diagnosis tergantung pada histologi menunjukkan studi akantolisis intraepidermal dan studi
imunofluoresensi mendokumentasikan adanya autoantibodi permukaan sel, baik terikat pada
kulit pasien maupun dalam serum.
 Histologi pemfigus vulgaris: akantolisis suprabasal.
 Histologi pemfigus foliaseus: akantolisis subkorneal.
 Imunofluoresensi langsung menunjukkan adanya Imunoglobulin G (IgG) pada permukaan sel
keratinosit kulit pasien; imunofluoresensi tidak langsung menunjukkan IgG dalam serum
pasien yang terikat pada permukaan sel keratinosit normal.
 Autoantigen berupa desmoglein, molekul adhesi transmembran desmosomal.
 Terapi meliputi kortikosteroid topikal dan sistemik, serta agen imunosupresif.

Istilah kata pemphigus merujuk kepada sekelompok penyakit autoimun terkait kulit dan
membran mukosa yang pada pemeriksaan histologis tampak karakteristik berupa lepuh intraepidermal
akibat akantolisis (yaitu, terpisahnya sel-sel epidermis dari satu sama lain) dan terikat secara in vivo
immunopatologik dan immunoglobulin (Ig) sirkulasi yang bergerak melawan permukaan sel
keratinosit. Klasifikasi dari kelompok penyakit ini diuraikan pada kotak 54-1. Pada dasarnya,
pemfigus dapat terbagi menjadi 4 jenis: (1) Vulgaris, (2) Foliaseus, (3) Paraneoplastik (lihat Bab 55),
dan (4) pemfigus IgA (lihat Bab 54). Pada pemfigus vulgaris (PV), lepuh terjadi pada bagian lebih
dalam epidermis, tepat di atas lapisan basal, sedangkan pada pemfigus foliaseus (PF), yang juga
disebut pemfigus dangkal, lepuh terdapat pada lapisan granular.

Menurut sejarah awal ditemukannya pemfigus serta berbagai variasi jenisnya oleh Walter
Lever, pemfigus terbagi menjadi Pemfigus dan Pemfigoid. Istilah dari PV maupun PF menunjukkan
gambaran dari penyakit. Banyak istilah unik yang diberikan pada berbagai macam gambaran pada
penyakit ini, tetapi karena gambaran umum dari penyakit ini adalah adanya cairan, penyakit pasien
biasanya bersamaan dengan tanda – tanda lainnya seiring waktu. Dengan demikian, pasien dengan PV
dapat muncul dengan penyakit yang terlokalisir, suatu bentuk yang disebut Pemfigus Vegetans
Hallopeau. Apabila bentuknya menjadi lebih luas dan bergabung menjadi Pemfigus Vegetans

1
Neumann. Pada akhirnya, dengan kondisi yang lebih berat, PV dapat muncul. Demikian pula, pasien
dengan PF mungkin muncul dengan penyakit yang lokal, tampak sebagai pemfigus eritematosus.
Namun, kondisi ini biasanya berkembang menjadi PF yang lebih luas.
Berdasarkan penemuan oleh Ernst Beutner dan Robert Jordon pada tahun 1964 diketahui
bahwa antibodi sirkulasi yang bergerak melawan permulaan sel keratinosit dalam serum pasien
dengan PV, membuat kita mengetahui bahwa PV merupakan penyakit spesifik terkait autoimun pada
kulit dan mukosa. Pada akhirnya, hasil penemuan mereka mengarahkan kepada penemuan auto
antibodi pada penyakit kulit autoimun bulosa lainnya.

EPIDEMIOLOGI
INSIDENSI DAN PREVALENSI
Beberapa penelitian prospektif dan retrospektif pada pasien dengan pemfigus jelas
menunjukkan bahwa epidemiologi pemfigus tergantung pada kedua area di dunia yang dipelajari serta
populasi etnis dalam area tersebut. PV lebih sering terjadi pada keturunan Yahudi dan mungkin pada
keturunan Mediterania dan Timur Tengah. Dominasi etnis yang sama ini tidak ada untuk PF. Oleh
karena itu, di daerah di mana terdapat dominasi penduduk keturunan Yahudi, Timur Tengah,
Mediterania, rasio PV cenderung lebih tinggi dibandingkan kasus PF. Misalnya, di New York, Los
Angeles, dan Kroasia, rasio PV dibandingkan PF adalah sekitar 5:1 ; di Iran rasio 12:1 ; sedangkan di
Singapura adalah 2:1 ; dan di Finlandia, hanya 0,5:1. Angka kejadian pemfigus bervariasi berdasarkan
wilayahnya. Kejadian PV di Yerussalem diperkirakan 1,6 per 100.000 orang per tahun dan di Iran
sekitar 10,0 per 100.000 orang per tahun. Di tempat lain di Eropa, insiden lebih rendah, mulai dari
tinggi 0,7 kasus PV per 100.000 orang di Inggris, serta 0,5-1,0 per juta orang di Finlandia, Prancis,
Jerman, dan Swiss.

2
Prevalensi dan insidensi PF sangat tergantung pada lokasinya, contohnya adalah
ditemukannya fokus endemik PF di Brazil, Kolombia, dan Tunisia. Penemuan kejadian PF endemik
pertama adalah di Brazil dan disebut dengan fogo selvagem, yang dalam bahasa Portugis berarti "wild
fire". Penyakit ini merupakan penyakit yang secara klinis, histologis, dan imunopatologi sama
sporadisnya dengan PF pada setiap individu pasien, tetapi unik secara epidemiologi. Fogo selvagem
endemik di daerah pedesaan Brazil, terutama sepanjang dasar sungai di pedalaman. Distribusi
geografis penyakit ini mirip dengan lalat hitam, Simulium nigrimanum, yang dianggap oleh penduduk
asli menjadi vektor pada penyakit ini. Sebuah studi faktor risiko lingkungan yang potensial pada
gigitan lalat hitam ini, menunjukkan bahwa Fogo selvagem secara signifikan lebih sering terjadi di
antara orang-orang dengan lalat hitam apabila dicocokkan dengan usia, jenis kelamin, dan pekerjaan
dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan dermatosis yang tidak terkait. Pada sebuah studi
peneliti India yang dirancang dengan baik diketahui bahwa prevalensi Fogo selvagem di pedesaan
Brazil dapat sebesar 3,4%, dengan kejadian hingga 0,8-4,0 kasus baru per 1.000 orang per tahun. Pada
penelitian di Limao Verde, 55% dari orang sehat memiliki respon antibodi IgG1 yang rendah terhadap
desmoglein 1, autoantigen PF, yang menjadi respon IgG4 titer tinggi melawan epitop yang lebih
patogen pada penyakit. Hasil ini menunjukkan bahwa beberapa agen lingkungan (seperti, serangga
atau agen penyakit menular lainnya) dapat memicu respons autoantibodi tingkat rendah yang menjadi
patogen oleh epitop intramolekul yang dapat menyebar pada individu yang rentan secara genetik.
Dengan adanya teori ini, diketahui hal yang menarik bahwa 40%-80% pasien dari Brasil dengan
penyakit terkait gigitan serangga seperti onchocerciasis, leishmania, dan penyakit Chagas memiliki
antibodi antidesmoglein 1 kadar rendah, namun pasien dengan penyakit infeksi lainnya jarang
memiliki antibodi ini.

Fogo selvagem sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, tidak seperti PF yang
sporadis, yang sering terjadi pada pasien dengan usia setengah baya atau lebih tua. Dan berbeda
dengan PF, fogo selvagem terjadi namun jarang pada anggota keluarga terkait genetik, meskipun
penyakit ini tidak menular. Fakta ini mungkin menyiratkan paparan yang sering terjadi, serta adanya
kerentanan. Tidak diketahui adanya dominasi pada suatu ras atau etnis, dan siapa pun yang pindah ke
daerah endemik mungkin rentan terhadap penyakit ini. Dengan adanya pemicu dari lingkungan,
adanya pembangunan di pedesaan Brazil menyebabkan penurunan insiden penyakit.endemik. Hal ini
membuat kita dapat memahami bagaimana penyakit yang menarik ini dapat memicu respon autoimun.

RASIO JENIS KELAMIN


Sulit untuk memperkirakan secara akurat rasio jenis kelamin dari kasus pemfigus akibat
insidensi kasus yang rendah. Berdasarkan studi epidemiologi yang lebih luas (Identifikasi pada lebih
dari 100 kasus) diketahui bahwa rasio jenis kelamin pemfigus pada wanita dibandingkan pria berkisar

3
dari 1,33 / 2,25 : 1. Berbeda dengan fokus endemik PF di Tunisia dimana didominasi oleh perempuan
(4 : 1), serta fokus endemik PF di Colombia dengan dominasi laki-laki (19 : 1).

ONSET TERJADINYA KASUS


Rata-rata usia onset terjadinya penyakit bervariasi berdasarkan berbagai wilayah. Di Turki,
Arab Saudi, Tunisia, dan Iran, usia rata-rata onset adalah sekitar 40 tahun. Studi di Amerika Serikat
dan di beberapa wilayah di Eropa menunjukkan usia onset rata-rata berkisar antara 50 hingga 70
tahun. Pemfigus jarang terjadi pada anak-anak, kecuali di daerah endemik dari penyakit.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Penemuan pemfigus sebagai, penyakit autoantibodi pada desmosom, organ spesifik, yang
menyoroti gabungan antara perawatan klinis dan penelitian ilmu dasar. Perkembangan dari mikroskop
cahaya dan mikroskop elektron memungkinkan dermatologis untuk mengidentifikasi morfologi dan
imunopatologi dari penyakit. Serum IgG pasien berfungsi sebagai reagen kunci untuk membantu
mengidentifikasi antigen PF dan PV. Kloning dan karakter dari antigen pemfigus telah membua
perkembangan dari tes enzim-linked immunosorbent assay (ELISA) dalam meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas dari diagnosis penyakit, dan studi lanjutan patofisiologi pemfigus yang bertujuan
untuk mengembangkan terapi yang lebih aman dan efektif untuk penyakit yang berpotensi untuk
menjadi fatal ini.

AUTOANTIGEN PEMFIGUS
Antigen pemfigus adalah desmoglein, glikoprotein transmembran desmosom (struktur
adhesi sel ke sel, dibahas pada Bab 53). Desmoglein merupakan bagian dari superfamili cadherin dari
molekul adhesi sel tergantung kalsium. Anggota asli dari famili ini (seperti, E-cadherin) menunjukkan
interaksi adhesi homofilik (seperti pengikat antar molekul). Desmoglein juga menunjukkan hal yang
sama seperti ikatan homofilik tetapi juga dapat berpartisipasi dalam ikatan heterofilik dengan ikatan
desmocollins, yang merupakan glikoprotein transmembran utama dari desmosom.
Antigen dari PF (seperti antigen fogo selvagem) adalah desmoglein 1, sebuah protein 160-
kDa. Sedangkan antigen dari PV yaitu desmoglein 3, protein 130-kDa yang 64% mirip dan 46%
identik dalam urutan asam amino desmoglein 1. Seluruh pasien PV memilik antibodi antidesmoglein
3, dan beberapa dari pasien ini juga meiliki antibodi antidesmoglein 1. Pasien dengan PV mukosa-
dominan cenderung hanya memiliki antibody antidesmoglein 3, sedangkan orang-orang dengan
penyakit mukokutaneous biasanya memiliki baik antibodi antidesmoglein 3 dan antibodi
antidesmoglein 1. Pasien PF biasanya hanya memiliki antibodi terhadap desmoglein 1.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa antibodi antidesmoglein 1 dan 3 pada pasien pemfigus
dapat langsung menyebabkan lepuh dan oleh karenanya disebut sebagai agen etiologi penyakit.
Transfer pasif IgG PV atau PF IgG pada neonatus tikus atau kulit manusia dapat menyebabkan lepuh

4
yang secara klinis dan histologis mirip dengan beberapa tipe pasien pemfigus. Antibodi
antidesmoglein bertanggung jawab untuk pembentukan lepuh pada contoh transfer pasif, dimana
autoantibodi antidesmoglein 1 dan 3 yang telah dimurnikan dapat menyebabkan lepuh PF dan PV,
yang masing-masing dapat terjadi adsorpsi autoantibodi desmoglein-reaktif hilangnya IgG PF atau
PV. Beberapa percobaan transfer pasif pada manusia, dimana ibu dengan PV ringan bahkan dapat
mentransfer autoantibodi IgG pada janinnya, dan dapat menimbulkan lepuh oral dan penyakit kulit
yang membaik dalam waktu 6 bulan, bersamaan dengan hilangnya IgG ibu dari sirkulasi.
Desmoglein 4, yang diekspresikan pada pembentukan korteks rambut dan epidermis
superfisial, merupakan target dari beberapa antibodi pemfigus. Namun, antibodi antidesmoglein 4
pada PV dan PF mukokutanes menunjukkan hasil reaksi silang dari autoantibodi desmoglein 1 dan
reaksi desmoglein 4 belum terbukti penting perlu atau cukup untuk terjadinya akantolisis. Molekul
permukaan sel lain seperti reseptor asetilkolin dan E-cadherin juga telah diidentifikasi sebagai target
imunologi dari autoantibodi pemfigus, meski belum jelas keterlibatan langsung mereka dalam
patofisiologi pemfigus.

PATOFISIOLOGI AKANTOLISIS
Tidak seperti banyak penyakit autoantibodi lainnya, seperti pemfigoid dan epidermolisis
bulosa acquisita, di mana diperlukan wilayah konstan antibodi untuk pembentukan lepuh untuk
mengaktifkan komplemen atau ikatan reseptor antibodi pada sel-sel inflamasi, pada beberapa wilayah,
antibodi pemfigus cukup menimbulkan lepuh pada tikus neonatal atau kulit manusia. Untuk alasan ini,
sejumlah besar penelitian tentang patofisiologi penyakit yang terfokus kepada ikatan epitop oleh
antibodi patogenik, dan pada wilayah ini cenderung penting untuk menjaga adhesi desmosom sel.
Studi pemetaan epitop telah menunjukkan bahwa autoantibodi pathogen PV dan PF yang
sensitif mengikat kalsium, epitop konformasi dalam domain aminoterminal ekstraseluler dari
desmoglein, sedangkan antibodi patogenik cenderung mengikat domain proksimal membran
ekstraseluler. Domain amino-terminal yang terikat oleh autoantibodi patogen merupakan domain yang
sama yang diperkirakan untuk membentuk interaksi molekul kunci untuk adhesi antar desmoglein,
berdasarkan studi ultrastruktur cadherin. Bukti ini menjadi dasar utama untuk hipotesis "steric
hindrance", yang mengusulkan bahwa antibodi patogen secara langsung mengganggu interaksi adhesi
desmoglein, yang menyebabkan akantolisis.
Studi pada keratinosit telah menunjukkan bahwa hilangnya adhesi interseluler oleh
autoantibodi patogen menyebabkan internalisasi dan degradasi dari desmoglein, menunjukkan bahwa
ikatan antibodi pemfigus mengikat mengarah kepada hilangnya fungsi desmoglein. Jika hal ini terjadi
pada sebuah kasus, maka model sistem lain dengan kehilangan fungsi desmoglein harusnya mirip
dengan pemfigus. Dalam hal ini, tikus yang secara genetik kekurangan desmoglein 3 menunjukkan
lepuh suprabasal pada histologi mukosa oral yang identik pada pasien PV. Selain itu, pembelahan
desmoglein 1 oleh toksin staphylococcal eksfoliatif (pada impetigo bulosa atau staphylococcal

5
scalded skin syndrome) menyebabkan lepuh yang secara histologis identik dengan yang terlihat pada
pasien PF.
Apabila inaktivasi isoform dari desmoglein menghasilkan lepuh, lalu mengapa lepuh pada
PV dan PF terlokalisasi pada jaringan tertentu yang tidak selalu berkorelasi dengan lokasi di mana
antibodi terikat dengan immunofloresensi? Misalnya pada PF, antibodi antidesmoglein 1 terikat pada
seluruh epidermis dan membran mukosa, dimana lepuh hanya terjadi hanya pada epidermis
superfisial. Paradoks ini dapat dijelaskan oleh kompensasi desmoglein, seperti diuraikan pada
Gambar. 54-1. Konsep kompensasi desmoglein berasal dari asumsi bahwa autoantibodi terhadap satu
isoform desmoglein hanya menonaktifkan isoform tersebut dan bahwa isoform lain yang
dikoekspresikan pada area yang sama yang dapat mengkompensasi pada adhesi. Kompensasi
desmoglein menjelaskan kenapa PF pada neonatus ini sangat tidak biasa, karena meskipun maternal
antibodi antidesmoglein 1 dapat melewati plasenta, pada kulit neonatus, namun tidak pada kulit orang
dewasa, desmoglein 3 dikoekspresikan dengan desmoglein 1 pada epidermis superfisial, sehingga
memberikan perlindungan terhadap hilangnya adhesion desmoglein 1. Kompensasi desmoglen juga
dapat menjelaskan tentang perbedaan lokasi dari lepuh pada PV dan PF, baik dalam kaitannya dengan
histologi (seperti, suprabasal atau superfisial) serta daerah keterlibatan (mukosa dan/atau kulit.)

6
Tantangan pada hipotesis steric hindrance, beberapa studi telah menunjukkan bahwa
modulasi jalur sinyal sel dapat mencegah pembentukan lepuh setelah transfer pasif dari IgG pemfigus
IgG pada model neonates tikus, termasuk p38 mitogen activated protein kinase (MAPK) dan ρ
GTPases, di antara lainnya. Apakah sinyal ini meningkat atau menurun pada hilangnya adhesi
interseluler masih menjadi kontroversi. Namun demikian, menurut konsensus umum saat ini, adhesi
desmosomal merupakan proses yang dinamis yang terganggu oleh autoantibodi pemfigus. Oleh
karena itu, terapi yang bertujuan untuk memperkuat adhesi keratinosit oleh modulasi jalur sinyal

7
mungkin memiliki efek menguntungkan pada pemfigus, terlepas dari apakah adanya sinyal dari sel
merupakan penyebab patologis utama penyakit.

RESTRIKSI GENETIK PADA RESPON IMUN PEMFIGUS


Dibandingkan dengan populasi yang ada, pasien dengan PV memiliki peningkatan
frekuensi tertentu antigen kelas II histocompatibility kompleks utama (MHC). Di antara Yahudi
Ashkenazi dengan PV, serologis yang didefinisikan bahwa haplotipe HLA-DR4 dominan, sedangkan
pada kelompok etnis lain dengan PV, alel DQ1 lebih sering terjadi. Namun, kaitan antara kerentanan
penyakit menjadi lebih jelas pada analisis alel MHC tingkat genetik. Hampir seluruh pasien dengan
serotipe DR4 memiliki alel yang tidak biasa seperti DRB1*0402, dan hampir seluruh pasien dengan
serotipe DQ1 memiliki langka alel DQB1*0503. Sama, namun lebih jarang, alel HLA-DR
berhubungan dengan PF. Rantai protein yang dikode oleh alel MHC II PV ini berbeda variasi dengan
yang ditemukan dalam HLA-DR4 dan DQ1 kontrol tanpa penyakit dengan hanya beberapa asam
amino.
Alel MHC kelas II mengkode molekul permukaan sel yang diperlukan untuk
mempresentasikan antigen ke sistem kekebalan tubuh; oleh karena itu, hipotesis bahwa molekul MHC
kelas II PV memungkinkan terjadinya presentasi peptida desmoglein 3 kepada sel T. Sesuai dengan
hipotesis ini, peptida tertentu dari desmoglein 3, diprediksi dapat masuk ke dalam sarung ikatan
peptida DRB1*0402, yang diketahui untuk merangsang sel T pasien.
Beberapa studi lainnya lain menyatakan bahwa respon imun pada pemfigus terbatas pada
peptida desmoglein tertentu dan alel MHC kelas II. Sebuah pengamatan yang tak terduga bahwa sel T
pada orang normal dengan DRB1*0402 atau DQB1*0503 memiliki respon yang sama dengan peptida
desmoglein 3 pada pasien pemfigus, menunjukkan bahwa reaktivitas sel T untuk peptida desmoglein
3 tidak cukup untuk menimbulkan onset penyakit. Faktor yang dapat menentukan siapa yang dapat
menderita pemfigus dan yang tidak, dikaitkan dengan kehadiran sel T regulator yang dapat menekan
respon autoimun pada mereka yang tidak memilikinya.
Kloning antibodi antidesmoglein dari pasien PV dan PF pasien mengindikasikan adanya
pembatasan yang ditandai oleh penggunaan gen antibodi oleh antibodi antidesmoglein, terutama
untuk variabel area rantai berat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa antibodi patogen dari pasien
yang berbeda, terikat pada atau dekat dengan epitop yang sama pada desmoglein dan dapat berbagi
idiotipe yang sama. Perbandingan antara antibodi sel B yang terbatas pada penggunaan variabel area
gen, terdapat banyak heterogenitas dari penggunaan variabel gen pada reseptor sel T pada pasien
pemfigus. Apabila antibodi spesifik atau pola gen reseptor sel T ditemukan terdapat di antara
beberapa pasien pemfigus, ini dapat berfungsi sebagai penanda klinis untuk menargetkan populasi
penyakit spesifik sel imun pada pasien pemfigus.

8
GEJALA KLINIS
PEMFIGUS VULGARIS
Lesi Kutaneus
Lesi kulit pada PV dapat menyebabkan timbulnya pruritus atau rasa sakit bagi pasien.
Paparan radiasi ultraviolet dapat menimbulkan eksaserbasi dari penyakit. Lesi primer dari PV adalah
lepuh kendur, yang dapat muncul pada berbagai lokasi pada permukaan kulit, tetapi biasanya tidak
terdapat pada telapak tangan dan kaki (Gambar.54-2). Biasanya, lepuh muncul pada kulit normal,
namun dapat berkembang pada kulit yang eritematosa. Karena lecet pada PV rapuh, lesi kulit yang
paling sering diamati pada pasien adalah erosi akibat lepuh yang pecah. Erosi ini biasanya berukuran
cukup besar, karena memiliki kecenderungan untuk meluas pada pinggirannya (Gbr.54-3).

9
Temuan yang khas pada pasien pemfigus adalah bahwa erosi dapat meluas pada kulit
normal dengan cara menekan sisa dari dinding lepuh atau menggosok bagian pinggir dari lesi yang
aktif; selain itu, erosi dapat diinduksi pada kulit normal kulit yang jauh dari lesi aktif dengan cara
memberi tekanan atau memberi gaya geser mekanis. Fenomena ini dikenal sebagai tanda Nikolsky.
Tanda ini dapat membantu membedakan pemfigus dari jenis penyakit dengan lepuh kulit lainnya
seperti pemfigoid (Kotak 54-1); namun, temuan serupa juga dapat timbul pada staphylococcal scalded
skin syndrome, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.

Lesi Vegetasi
Pada pasien tertentu, erosi cenderung terbentuk menjadi jaringan granulasi yang berlebihan
dan berkrusta, yang menunjukkan lesi vegetatif (Gbr. 54-4). Jenis lesi cenderung lebih sering terjadi
pada daerah intertriginosa, kulit kepala, atau pada wajah (lihat Gambar.54-4A). Menurut sejarah,
pasien dengan lesi vegetatif dibagi dalam berbagai istilah penyakit, yaitu: pemfigus vegetans
Hallopeau dan pemfigus vegetans Neumann. Namun, analisis subsekuen histologi dan
imunofluoresensi dari lesi vegetatif kulit menunjukkan bahwa kasus ini adalah varian klinis dari PV.
Pada varian Hallopeau, lesi vegetasi dan pustular yang muncul pada awal penyakit, namun tidak
didahului oleh bula, biasanya berada pada daerah fleksor (lihat Gambar.54-4B). Umumnya, prognosis
untuk pasien ini dianggap lebih baik, ringan dan terjadinya remisi lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien PV yang khas. Pada pasien dengan varian Neumann, erosi PV biasanya sembuh dengan
formasi papillomatous, dengan prognosis yang berkaitan dengan aktivitas perjalanan penyakit. Pada
tipe vegetatif respon juga dapat muncul lesi tertentu yang cenderung resisten terhadap terapi dan
menetap pada satu lokasi dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, lesi vegetatif tampak sebagai
pola reaktif kulit terhadap kerusakan autoimun pada PV.

10
Lesi Membran Mukosa
Membran mukosa yang paling sering terkena pada PV adalah rongga orofaringeal (lihat
Gambar.54-2B). Seperti pada lesi kulit, jarang tampak lepuh utuh. Erosi orofaringeal dapat begitu
menyakitkan sehingga pasien tidak dapat makan atau pun minum. Ketidakmampuan untuk makan
atau minum membuat pasien perlu untuk dirawat inap untuk dilakukan pengendalian penyakit dan
pemberian cairan intravena dan nutrisi.
Pada sebagian besar pasien, adanya erosi membran mukosa yang nyeri adalah tanda
munculnya PV dan mungkin merupakan satu-satunya gejala dalam waktu rata-rata 5 bulan sebelum
muncul lesi kulit. Namun, gejala yang muncul dapat bervariasi; pada sebuah studi dari Kroasia, lesi
oral yang menyakitkan adalah gejala muncul pada 32% pasien. Sebagian besar dari pasien
berkembang menjadi erupsi generalisata dalam waktu 5 bulan hingga 1 tahun; Namun, beberapa
memiliki lesi oral selama lebih dari 5 tahun sebelum timbul erupsi generalisata. Di sisi lain, di
Teheran, 62% pasien hanya mengalami lesi oral saja. Keterlibatan kulit tanpa keterlibatan membran
mukosa pada PV lebih jarang terjadi, dimana didapatkan pada satu studi yaitu 11% dari kasus PV.
Keterlibatan saluran pencernaan pada PV seperti pada esofagus, lambung, duodenum, dan
anus, meskipun hanya pada biopsi esofagus yang terbukti terjadinya akantolisis suprabasal.
Keterlibatan membran mukosa lainnya juga dapat terjadi, seperti pada vulvovaginal, nasal, laring, dan
mukosa konjungtiva. Pada wanita, lesi servikovaginal dapat ditemukan pada lebih dari 51 % pasien
dengan penyakit aktif tetapi lesi ini dapat muncul tanpa gejala. Walaupun tanpa lesi yang jelas, Pap
smear mungkin positif pada wanita dengan pemfigus dan sel-sel akantolitik dapat disalahartikan
sebagai indikasi displasia servikal. Terdapat beberapa laporan kasus yang jarang terjadi perihal
adanya erosi kornea pada pasien PV, tetapi tidak terdapat konfirmasi histologi adanya akantolisis.

PEMFIGUS FOLIASEUS
Lesi Kutaneus
Karakteristik klinis pada lesi PF yaitu adanya sisik, erosi berkrusta, sering dengan dasar
eritematosa. Pada penyakit yang lokal dan awal dari penyakit, lesi ini biasanya berbatas tegas dan
distribusinya tersebar seperti seboroik, termasuk wajah, kulit kepala, dan tubuh bagian atas (Gambar.
54-5A). Lesi primer dari lepuh datar kecil biasanya tidak ditemukan. Penyakit mungkin menetap pada
suatu tempat selama beberapa tahun. atau mungkin berkembang dengan cepat menjadi generalisata,
dapat menghasilkan eritroderma eksfoliatif (Gbr.54-5B). Seperti PV, PF dapat mengalami eksaserbasi
akibat radiasi ultraviolet. Pasien dengan PF sering mengeluh adanya rasa sakit dan terbakar pada lesi
kulit. Berbeda dengan pasien dengan PV, pasien dengan PF sangat jarang, jika pun pernah,
mengalami keterlibatan membran mukosa, bahkan dengan lesi yang luas.

11
Istilah sehari-hari untuk pemfigus endemik Brazil, fogo selvagem (Bahasa Portugis untuk
"wild fire"), memperhitungkan banyak aspek klinis dari penyakit ini: rasa terbakar pada kulit,
eksaserbasi penyakit akibat paparan matahari, dan lesi berkrusta yang membuat pasien tampak seolah-
olah terbakar.

PEMFIGUS ERITEMATOSUS
Pada tahun 1926, Francis Senear dan Barney Usher mendeskripsikan sebelas pasien dengan
Pemfigus yang tumpang tindih dengan lupus eritematosus (Senear-Usher syndrome). Selama
beberapa dekade berikutnya, perdebatan masih berlanjut mengenai apakah pasien memiliki lupus
eritematosus, pemfigus, dermatitis seboroik, atau ketiga penyakit ini, dan Senear akhirnya
menyimpulkan bahwa penyakit ini merupakan varian dari pemfigus yang disebut pemfigus
eritematosus.
Pengamatan yang dilakukan untuk perkembangan dari pemeriksaan imunofluorenesi untuk
pemphigus dan lupus, diagnosis terutama berdasarkan pada gejala klinis: erosi dengan krusta dengan
distribusi seboroik, pada waktu bersamaan dengan lesi diskoid seperti lupus dengan skala "carpet-
tack". Walter Lever mencatat bahwa banyak pasien yang pada awalnya dikategorikan sebagai
pemfigus eritematosus berkembang menjadi lupus sistemik, atau PF yang lebih luas, atau bahkan PV,
pada beberapa kasus karena diagnosis awal yang salah. Oleh karena itu, daripada mengabadikan
penggunaan satu istilah untuk penyakit yang berbeda, ia mengusulkan bahwa lebih baik menggunakan
istilah pemfigus eritematosus untuk menggambarkan bentuk lokal dari PF dengan prognosis yang
lebih baik. Setelah perkembangan dari imunofluoresensi dan pemeriksaan antibodi antinuklear untuk
pemfigus dan lupus, ditemukan bahwa pasien pemfigus eritematosus menunjukkan kondisi
imunologis yang tumpang tindih; dengan definisi semua menunjukkan pola klasik dari pewarnaan
permukaan sel pada pemfigus, sekitar 30% memiliki titer positif antibodi antinuklear, dan 80%
memiliki tes ikat lupus positif, meskipun tes terakhir hanya positif sebesar 20% -40% dari hasil biopsi
pada kulit yang tidak terpapar sinar matahari. Seperti kebanyakan pasien dengan pemfigus
eritematosus tidak menunjukkan gejala sistemik atau gejala dari lupus, dan beberapa mungkin

12
berkembang penyakit lokal menjadi PF generalisata, diagnosis dari pemfigus eritematosus lebih
sering ditegakkan berdasarkan riwayat penyakitnya dibandingkan dengan kondisi klinisnya.

PEMFIGUS NEONATAL
Bayi yang lahir dari ibu dengan PV dapat menunjukkan secara klinis, histologis, dan tanda-
tanda imunopatologi dari PV. Tingkat keterlibatan bervariasi dari tidak ada hingga cukup parah untuk
dapat menyebabkan kematian saat lahir. Jika bayi dapat bertahan, penyakit cenderung untuk hilang
seiring katabolisasi antibodi maternal. Ibu dengan PF juga dapat mentransmisi autoantibodi mereka
kepada janin, namun, seperti yang dibahas pada bagian "Patofisiologi Akantolisis”, neonatal PF
jarang terjadi. Pemfigus neonatus harus dibedakan dari PV dan PF yang terjadi pada masa anak-anak,
yang mirip dengan penyakit autoimun pada orang dewasa.

PEMFIGUS YANG DIINDUKSI OBAT


Meskipun terdapat laporan kasus sporadis mengenai pemfigus yang terkait dengan
penggunaan beberapa macam obat yang berbeda, dalam kaitannya dengan penisilamin, dan mungkin
captopril, adalah yang paling jelas. Prevalensi pemfigus pada pengguna penisilamin diperkirakan
sekitar 7%. PF (termasuk pemfigus eritematosus) pada pasien yang diobati dengan penisilamin lebih
sering terjadi dibandingkan dengan PV, meskipun keduanya mungkin terjadi. Pemeriksaan
imunofluoresensi langsung dan tidak langsung mendapatkan hasil yang positif pada sebagian besar
pasien ini. Tiga pasien dengan PF yang diinduksi obat dan satu pasien dengan PV yang diinduksi obat
telah terbukti memiliki autoantibodi terhadap molekul yang sama yang terdapat pada pemfigus
sporadis, yaitu, masing-masing desmoglein 1 dan desmoglein 3. Oleh karena itu, pada
imunofluoresensi dan pemeriksaan imunokimia, pasien dengan pemfigus diinduksi obat mirip dengan
penyakit sporadis.
Baik penisilamin maupun captopril mengandung gugus sulfhidril yang mengemukakan
bahwa terdapat interaksi gugus sulfhidril pada desmoglein 1, 3 atau keduanya, sehingga dapat
menyebabkan pemphigus baik yang langsung mengganggu adhesi dari molekul atau, lebih mungkin,
dengan memodifikasi mereka sehingga mereka menjadi lebih antigenik. Penggunaan obat ini juga
dapat menyebabkan disregulasi umum respon imun, yang menyebabkan produksi autoantibodi lainnya
seperti yang mengakibatkan myastenia gravis. Sebagian besar, tetapi tidak semua, pasien dengan
pemfigus yang diinduksi obat mengalami remisi setelah menghentikan obat yang dikonsumsinya.
Selain itu, sebuah laporan anekdot langka melaporkan hubungan antara asupan makanan
dengan pemfigus, yang memberikan hipotesis bahwa makanan yang mengandung thiol seperti
bawang putih, daun bawang, dan bawang dapat memicu terjadinya penyakit. Catatan pada beberapa
pasien diketahui bahwa beberapa makanan tertentu dapat memperberat lesi oral, namun tidak
memungkinkan bahwa intervensi diet saja dapat menyebabkan penyakit pada sebagian besar pasien.

13
Sebuah hal yang menarik, mengenai laporan kasus anekdot yang melaporkan perbaikan dari
PV pada perokok, seperti bersamaan dengan kolinergik agonis piridostigmin, carbachol dan
pilokarpin. Studi yang menunjukkan aktivasi dari reseptor kolinergik yang mengatur jalur sinyal yang
dimodulasi oleh IgG PV, yang akhirnya mempengaruhi adhesi sel. Hasil ini menarik mengingat
manfaat klinis dari nikotin pada penyakit inflamasi lain seperti kolitis ulseratif.

PENYAKIT TERKAIT
Myastenia gravis, timoma, atau keduanya telah dikaitkan dengan PV dan PF. Diperkirakan
sebagian dari kasus pemfigus merupakan vulgaris; sebagian dari kasus lainnya adalah foliaseus atau
eritematosus. Sebagian besar data ini, bagaimanapun, dilaporkan sebelum diakuinya pemfigus
paraneoplastik sebagai entitas yang berbeda. Oleh karena itu, meskipun timoma mungkin jelas
berhubungan dengan PV dan PF, mungkin juga terkait dengan pemfigus paraneoplastik (lihat Bab 55).
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang dimediasi autoantibodi spesifik jaringan yang
menyebabkan terjadinya kelemahan otot rangka. Pada awal penyakit biasanya mempengaruhi otot-
otot wajah, yang kemudian menyebabkan gejala seperti disartria, disfagia, ptosis, atau diplopia.
Penyakit dapat berkembang mempengaruhi otot-otot yang lebih besar pada dari tubuh dan
ekstremitas, dengan potensi terjadi komplikasi yang fatal pada keterlibatan otot pernapasan.
Sebaliknya timoma, biasanya tanpa gejala pada orang dewasa. Gejala timoma pada anak-anak lebih
mungkin seperti batuk, nyeri dada, sindrom vena kava superior, disfagia, dan / atau suara serak akibat
perluasan tumor lokal perambahan.
Myastenia gravis lebih baik dievaluasi oleh seorang ahli saraf, yang dapat melakukan
pemeriksaan neurologis lengkap dan dapat melakukan pengujian keberadaan serum autoantibodi
reseptor asetilkolin. Kejadian myasthenia gravis dan pemfigus tampak independen satu sama lain.
Demikian juga dengan kelainan timus dapat mendahului atau mengikuti perjalanan dari pemfigus.
Kelainan pada timus termasuk timoma jinak atau ganas dan hiperplasia timus. Follow up pada
radiografi posteroanterior dan lateral dada dengan atau tanpa computerized tomography dapat
mendeteksi sebagian besar dari timoma. Irradiasi pada timus atau timektomi, walapun memiliki
manfaat yang jelas untuk myasthenia gravis, namun tidak menunjukkan perbaikan dari aktivitas
penyakit pada pemfigus. Meskipun kaitan ini dilaporkan setidaknya dalam 30 kasus, jarang
didapatkan temuan adanya timoma atau myastenia gravis pada pasien dengan PV atau PF.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Diagnosis pemfigus bergantung pada histologi dari biopsi kulit lesi baru untuk menentukan
lokasi pembentukan lepuh, sebagaimana studi konfirmasi imunokimia untuk mendokumentasikan
kehadiran dari autoantibodi kulit, baik dengan menggunakan imunofluoresensi langsung dari kulit
perilesional ataupun imunofluoresensi tidak langsung atau juga ELISA dari serum pasien.

14
HISTOLOGI
Karakteristik histopatologi yang didapatkan pada PV berupa lepuh suprabasal dengan
akantolisis (Gambar. 54-6). Tepat di atas lapisan sel basal, sel-sel epidermis kehilangan kontak antar
sel yang normal dan membentuk lepuh. Seringkali, beberapa keratinosit yang dibulatkan (akantolitik)
berada pada rongga lepuh. Sel basal tetap melekat pada membran basal, tetapi mungkin kehilangan
kontak dengan tetangganya; dan sebagai akibatnya, mereka mungkin muncul sebagai "row of
tombstones" yang secara simbolis menunjukkan prognosis yang fatal pada penyakit ini. Biasanya,
epidermis atas (dari satu atau dua lapisan sel di atas sel-sel basal) tetap utuh, karena sel-sel ini
mempertahankan adhesi sel mereka. Pemfigus vegetans menunjukkan tidak hanya akantolisis
suprabasilar, tetapi juga papillomatosis dari papila dermal dan pertumbuhan ke bawah dari epidermis
ke dalam dermis, dengan hiperkeratosis dan pembentukan skala-krusta. Selain itu, lesi pemfigus
vegetans mungkin menunjukkan abses intraepidermal yang berisis eosinofil dan / atau neutrofil. Lesi
PV awal mungkin menunjukkan spongiosis eosinofilik.

Gambaran histopatologi lepuh dini pada pasien PF menggambarkan akantolisis (kehilangan


kontak antar sel) tepat di bawah stratum korneum dan lapisan granular (Gambar.54-7A). Stratum
korneum seringkali hilang dari permukaan lesi ini. Epidermis lebih dalam, di bawah lapisan granular,
tetap utuh. Gambaran lain yang sering adalah pustul subkorneal, dengan neutrofil dan sel epidermis
akantolitik pada rongga lepuh (Gambar. 54-7B). Gambaran histologis pada PF sering tidak bisa
dibedakan dari bula pada impetigo / staphylococcal scalded skin syndrome, karena lepuh pada
penyakit ini juga akibat disfungsi dari desmoglein 1, dalam kasus ini karena pembelahan proteolitik
oleh toksin eksfoliatif stafilokokus. Oleh karena itu, studi imunokimia penting untuk mengkonfirmasi
diagnosis dari PF, yang negatif pada penyakit kulit lepuh yang dimediasi stafilococcus. Lokasi dari
lepuh pada pemphigus eritematosus identik dengan PF. Seperti pada lesi PV, lesi dini dari PF
mungkin menunjukkan spongiosis eosinofilik.

15
IMUNOFLORESENSI
Ciri khas dari pemfigus adalah ditemukannya autoantibodi IgG terhadap permukaan sel
keratinosit. Autoantibodi ini pertama kali ditemukan pada serum pasien dengan teknik
imunofluoresensi tidak langsung dan segera setelah itu didapatkan oleh imunofluoresensi langsung
dari kulit pasien.

Imunofloresensi Langsung
Pada dasarnya semua pasien dengan PV aktif atau PF mendapatkan hasil positif pada
pemeriksaan imunofluoresensi langsung, dimana tes untuk melihat ikatan IgG pada permukaan sel
keratinosit di kulit perilesional (Gambar.54-8A). Pemeriksaan ini merupakan tes non kuantitatif (baik
negatif atau positif). Diagnosis pemfigus harus dipertanyakan dengan serius apabila uji
imunofluoresensi langsung mendapatkan hasil negatif. Hal ini penting bahwa biopsi untuk
imunofluoresensi langsung, dilakukan pada kulit perilesional yang tampak normal, dimana reaktan
imun dapat sulit dideteksi pada radang lepuh epidermis (yang dapat menunjukkan hasil yang negatif).
Pada beberapa kasus pemphigus eritematosus, IgG dan C3 dapat terdeposit pada zona membrane
basal dari kulit wajah yang eritematosa, selain IgG permukaan sel epidermis, menunjukkan hasil band
test lupus yang positif sebagai tambahan pada pola khas dari pemphigus interseluler.

Imunofloresensi Tidak langsung


Imunofluoresensi tidak langsung dilakukan dengan menginkubasi pengenceran serial dari
sera pasien dengan substrat epitel. Hal ini dilaporkan sebagai titer semi kuantitatif (yang
mengindikasikan pengenceran terakhir dimana serum menunjukkan pola pewarnaan permukaan sel
yang positif). Tes ini ditawarkan oleh sebagian besar laboratorium nasional utama dan dapat tetap
positif selama beberapa minggu atau bulan setelah lesi kulit sembuh, sehingga ini dapat menjadi tes
diagnostik yang baik jika tidak terdapat lesi kulit aktif pada kondisi pasien saat ini, misalnya, karena
sudah diberi pengobatan empiris dengan prednison oleh dokter yang merujuk. Tergantung pada

16
substrat yang digunakan untuk imunofloresensi tidak langsung, lebih dari 80% pasien dengan
pemfigus memiliki IgG antiepitelial sirkulasi permukaan sel (Gambar.54-8B) Substrat yang
digunakan untuk mendeteksi ikatan antibodi pemfigus pada imunofluoresensi tidak langsung sangat
mempengaruhi kadar sensitivitas dari tes. Secara umum, esofagus monyet lebih sensitif untuk
mendeteksi antibodi PV, dan esofagus babi guinea atau kulit manusia normal merupakan substrat
superior untuk mendeteksi antibodi PF. Pasien dengan penyakit terlokalisir dini dan pada pasien yang
mengalami remisi cenderung untuk mendapatkan hasil negatif pada tes imunofloresensi tidak
langsung; untuk pasien ini peningkatan sensitivitas dari ELISA dapat membantu dalam diagnosis
(lihat di bawah).
Pasien dengan PV dan PF biasanya menunjukkan gambaran yang sama dari
imunofluoresensi langsung dan tidak langsung, dengan IgG pada permukaan sel dari sel epidermal
sepanjang epidermis, meskipun profil autoantigen pada kedua penyakit ini berbeda. Oleh karena itu,
biasanya tidak mungkin untuk membedakan kedua penyakit dari pola imunofluoresensi. Terdapat hal
yang positif, tetapi tidak sempurna, kaitan antara titer dari antibodi sirkulasi permukaan antisel dan
aktivitas penyakit pada PV dan PF. Meskipun korelasi ini mungkin secara umum, dan meskipun
pasien yang mengalami remisi sering menunjukkan remisi serologi dengan hasil negatif pada
imunofluoresensi langsung dan tidak langsung, aktivitas penyakit pada individu pasien tidak selalu
berkorelasi dengan titer imunofluoresensi tidak langsung. Oleh karena itu, dalam pengelolaan sehari-
hari pasien ini, mengikuti perkembangan aktivitas penyakit lebih penting daripada mengikuti
perkembang titer antibodi.

ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY


Untuk mendiagnosis penyakit ini, antigen - spesifik ELISA telah terbukti lebih sensitif dan
spesifik dibandingkan imunofluoresensi, dan titernya berkorelasi lebih baik dibandingkan

17
imunofluoresensi tidak langsung dengan aktivitas penyakit. Selain itu, ELISA lebih mudah untuk
dilakukan dan kurang subjektif dibandingkan imunofloresensi, dan mungkin dapat menggantikan uji
diagnostik utama untuk pemfigus, meskipun beberapa laboratorium nasional utama saat ini tidak
melakukan ELISA desmoglein. Tes ini menggunakan desmoglein 1 dan 3 yang terikat pada plates,
yang kemudian diinkubasi dengan serum pasien dan dikembangkan dengan reagen IgG antihuman
(Gambar.54-9). Manfaat yang lebih dibandingkan imunofluoresensi tidak langsung, ELISA dapat
membantu membedakan antara PV dan PF karena perbedaan profil autoantigen pada kedua penyakit
ini. Pada kebanyakan kasus, ELISA positif untuk desmoglein 3 (tapi tidak desmoglein 1) pada
mukosa PV, dan dapat positif untuk desmogelein 3 dan 1 pada PV pada kedua PV mukosa dan
keterlibatan kulit yang jelas, dan pada PF hanya positif desmoglein 1. PV jarang berkembang menjadi
PF dan sebaliknya, yang ditentukan oleh kondisi klinis, histologis, dan kriteria imunokimia. Sebagian
kecil dari pasien PF mungkin menunjukkan autoantibodi terhadap desmoglein 3; oleh karena itu,
diagnosis seharusnya dibuat berdasarkan korelasi dari kondisi klinis dan serologi. Pada beberapa
pasien (seperti, pasien dengan pemfigoid bulosa) mungkin menunjukkan kadar yang rendah dari
autoantibodi antidesmoglein 3, yang terdeteksi karena sensitivitas yang tinggi dari ELISA. Oleh
karena itu, hasil pada kisaran tak tentu harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena hal ini dapat
mewakili hasil positif asli atau negatif palsu, negatif palsu ini mungkin karena pembentukan
autoantibodi non-patogen bystander setelah kerusakan epidermal. Seperti pada imunofloresensi tidak
langsung, korelasi antara nilai indeks ELISA dengan aktivitas penyakit tidak sempurna. Dalam
membuat keputusan untuk pengobatan, hasil negatif pada desmoglein ELISA lebih bermanfaat
daripada hasil yang positif, pada mantan pasien lebih mungkin untuk mencapai remisi tanpa
pemberian imunosupresif, sedangkan pasien yang terakhir bisa mengalami atau juga tidak. Dengan
kata lain, aktivitas penyakit merupakan dukungan utama untuk menentukan pengobatan.

18
PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT
Sebelum munculnya terapi glukokortikoid, PV hampir selalu fatal karena adanya lepuh
parah pada kulit dan mukosa membran yang menyebabkan malnutrisi, dehidrasi, dan sepsis. PF
berakibat fatal pada sekitar 60% pasien. PF hampir selalu berakibat fatal pada pasien usia lanjut yang
memiliki masalah medis bersamaan; namun, pada pasien lainnya walapun tanpa terapi, prognosisnya
jauh lebih baik daripada PV.
Penggunaan sistemik dari glukokortikoid dan penggunaan terapi imunosupresif secara
dramatis meningkatkan prognosis untuk pasien dengan pemfigus; namun, pemfigus masih merupakan
penyakit yang berhubungan dengan morbiditas dan mortaliti yang signifikan. Angka kematian
pemfigus pertahun di Amerika Serikat, (usia disesuaikan dengan standar populasi) diperkirakan
sebesar 0.023 kematian setiap 100,000. Sebuah studi di Inggris menunjukkan bahwa risiko kematian
pada pasien PV adalah 3,3 kali lebih besar daripada untuk kelompok kontrol. Infeksi sering menjadi
penyebab kematian, dan dengan menyebabkan imunosupresi diperlukan dalam pengobatan penyakit
yang aktif, terapi sering merupakan faktor yang memberi kontribusi. Dengan terapi glukokortikoid
dan imunosupresif, kematian (baik dari penyakit ataupun terapi) pasien PV yang diikuti selama 4
hingga 10 tahun adalah sekitar kurang dari 10%, dimana jumlah ini mungkin kurang pada pasien PF.
Dalam sebuah studi dari 40 pasien dengan PV, dua pasien (5%) meninggal karena sepsis dan 17%
pasien yang mendapat terapi rata-rata selama 18 bulan, mengalami remisi yang sempurna dan jangka
panjang (>4 tahun, rata-rata, dianggap permanen) yang tidak membutuhkan terapi lanjutan.

19
Sedangkan 37% dari pasien mencapai remisi namun kambuh kembali setelah terapi dihentikan;
sebagian besar juga akhirnya mencapai remisi jangka panjang. Sisa dari pasien memerlukan terapi
terus menerus. Pada kelompok dengan 159 pasien PV dari Kroasia, hanya sekitar 12% yang
mengalami remisi jangka panjang setelah terapi dengan glukokortikoid dan imunosupresif, tetapi
sebagian besar mengalami kekambuhan. Pada sebuah studi di Teheran dari 1.206 pasien pemfigus
yang dilihat selama lebih dari 20 tahun, 6,2% dari PV dan 0,2% dari pasien PF meninggal, sebagian
besar akibat septikemia; hanya 9,3% yang mengalami remisi sempurna tanpa terapi. Pada beberapa
penelitian kecil, persentase yang lebih tinggi dari pasien dilaporkan mengalami remisi lengkap (lihat
di bawah). Dengan munculnya terapi rituximab, remisi sempurna pada pemfigus mungkin menjadi
lebih sering terjadi.

PENGOBATAN
Meskipun prognosis pada penyakit ini berpotensi fatal, saat ini tidak ada pengobatan yang
disetujui oleh FDA. Pendekatan terapi untuk pemfigus bervariasi dan sangat luas, bahkan di antara
para ahli. Secara umum telah disepakati bahwa PV, bahkan jika pada awalnya luasnya terbatas, harus
diobati pada awal onset, karena dapat meluas dan apabila tidak dilakukan terapi, prognosisnya sangat
buruk. Mungkin lebih mudah untuk mengontrol dari awal penyakit dibandingkan apabila telah
meluas, dan angka kematian mungkin lebih tinggi apabila terapi terlambat diberikan. Karena PF
mungkin terlokalisir selama beberapa tahun, dan prognosisnya mungkin baik apabila tidak diberikan
terapi sistemik, pasien dengan jenis pemfigus ini tidak selalu memerlukan terapi sistemik; dimana
mungkin cukup dengan penggunaan kortikosteroid topikal. Ketika PF dalam kondisi aktif dan meluas,
pengobatannya secara umum mirip dengan terapi untuk PV.
Sebuah pernyataan konsensus tentang definisi dan titik akhir penyakit baru diusulkan oleh
komite internasional ahli pemfigus. Sebagai tambahan, instrumen klinis telah dikembangkan untuk
melacak aktivitas penyakit. Standarisasi dari definisi penyakit dan skoring aktivitas penyakit akan
memfasilitasi uji klinis pemfigus di masa depan.

KORTIKOSTEROID
Penggunaan glukokortikoid sistemik, biasanya prednison, merupakan terapi andalan untuk
pemfigus. Sebelum terapi imunosupresif adjuvant tersedia, dosis awal pada pengobatan diberikan
prednison dengan dosis yang sangat tinggi (> 2,0 mg/kg/hari), meskipun rejimen tersebut secara
retrospektif dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan dari terapi. Pada banyak
pasien penyakit ini bisa dikendalikan dengan dosis harian tunggal 0,5-1,0 mg/kg/hari 0,5-1,0,
terutama apabila digunakan dalam kombinasi dengan terapi imunosupresif ajuvan, yang diduga
mengakibatkan komplikasi yang lebih sedikit dan penurunan angka kematian dibandingkan dengan
glukokortikoid dosis tinggi. Pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap terapi atau

20
memburuk, dapat diberikan dosis terbagi menjadi 2 hingga 3 dosis dalam sehari untuk mengontrol
penyakit. Glukokortikoid sistemik dosis lengkap telah ditetapkan dalam pedoman konsensus yaitu
prednison dengan dosis 1,5 mg/kg/hari yang setara selama 3 minggu. Oleh karena itu, pasien yang
mendapatkan dosis total prednison harian melebihi 100 mg harus dipertimbangkan untuk diberikan
terapi adjuvant, seperti yang dibahas di bawah. Beberapa ahli tetap menyarankan pemberian terapi
untuk mengontrol awal penyakit dengan cara meningkatkan dosis prednison (kenaikan 50% setiap 1
hingga 2 minggu hingga penyakit dapat terkontrol atau untuk mencegah efek samping), dengan dosis
total harian sebesar 240 mg.
Setelah aktivitas penyakit dapat dikendalikan, dilakukan tapering prednisone hingga dosis
terendah sebagai tujuan terapi. Terapi minimal didefinisikan sebagai 10 mg prednison perhari atau
yang setara. Meskipun tidak ada pedoman yang ditetapkan, jika aktivitas penyakit dapat dikendalikan
dengan dosis minimal prednison atau bahkan lebih rendah, maka monoterapi glukokortikoid mungkin
dapat diberikan tergantung kepada komorbiditas lain pasien dan kontraindikasi untuk agen
imunosupresif alternatif. Apabila pasien kembali mengalami kekambuhan dengan dosis prednison
harian sebesar 10 mg atau lebih tinggi, pemberian agen imunosupresif ajuvan harus dipertimbangkan.
Sebuah hal yang menarik bahwa prednison dapat mengontrol lepuh dalam waktu beberapa
hari, pada saat titer autoantibodi akan tidak berubah. Sebuah penjelasan yang mungkin adalah bahwa
prednison dapat meningkatkan sintesis desmoglein atau molekul adhesi sel lain atau mengubah proses
posttranskripsi mereka untuk memperpanjang waktu paruh mereka. Jika IgG pemfigus menipiskan
desmosom dari desmoglein, maka prednison bisa menangkal efek ini.
Kortikosteroid topikal dapat digunakan sebagai monoterapi pada bentuk ringan dari
penyakit, atau sebagai terapi tambahan untuk membantu menyembuhkan lesi baru. Pasien dengan
penyakit mukosa mungkin dapat mendapatkan manfaat dari penggunaan racikan glukokortikoid
sebagai swish dan spit atau nampan gigi untuk membantu mengaplikasikan jel atau ointment
kortikosteroid golongan I pada gusinya. Sebagai tambahan, kortikosteroid golongan I-IV dapat
digunakan sebagai terapi topikal untuk membantu mengatasi lepuh yang baru, bahkan pada pasien
yang sedang menggunakan glukokortikoid sistemik .

AGEN IMUNOSUPRESIF
Ketika dosis minimal glukokortikoid perlu ditingkatkan untuk mengontrol penyakit, atau
apabila terdapat kontraindikasi untuk penggunaan glukokortikoid oral, mungkin dapat digunakan agen
imunosupresi sebagai terapi pada pemfigus. Pada banyak kasus, regimen pengobatan sering dimulai
dengan penggunaan agen imunosupresif dan prednison secara bersamaan. Sebuah studi acak
prospektif telah menunjukkan bahwa agen imunosupresif seperti mycophenolate mofetil, azathioprine,
dan siklofosfamid memiliki efek steroid-sparing; studi retrospektif lain menyarankan penggunaan
adjuvant disertai steroid untuk menurunkan mortalitas dibandingkan dengan penggunaan steroid saja.

21
Karena pasien mungkin meninggal karena komplikasi dari terapi, penting untuk melakukan
pemantauan selutuh pasien secara detil untuk melihat potensi efek samping yang dapat terjadi, seperti:
pemantauan hitung darah, kelainan laboratorium hati dan ginjal, penyakit gastrointestinal, tekanan
darah tinggi, diabetes, glaukoma, katarak, osteoporosis, dan infeksi. Keputusan untuk menggunakan
agen imunosupresif terutama pada pasien berusia muda, juga harus memperhitungkan potensi
terjadinya keganasan yang mungkin terkait dengan penggunaan jangka panjang dari obat ini, serta
risiko infertilitas (untuk siklofosfamid) dan teratogenik (untuk mycophenolate mofetil, azathioprine,
dan siklofosfamid, yang merupakan kategori D pada kehamilan).

Azathioprine
Pada sejarah penggunaan azathioprine, obat ini dianggap sebagai agen imunosupresif lini
pertama untuk pemfigus, dengan tingkat remisi klinis sebesar 50% pada studi retrospektif. Dalam
sebuah uji coba acak prospektif dari metilprednisolon dosis tinggi (2,0 mg / kg / hari) ditambah
azathioprine (2,0 mg / kg / hari), 72% dari pasien mencapai remisi klinis dalam rata-rata 74 hari,
meskipun 33% mengalami efek samping yang signifikan dari terapi, termasuk hiperglikemia, pusing,
tes enzim hati yang abnormal, dan infeksi.
Azathioprine adalah sebuah prodrug, yang diubah menjadi merkaptopurin aktif,
thioguanine, dan metabolit thioinosin, sebagian oleh methyltransferase thiopurine (TPMT), enzim
yang tingkatnya dapat bervariasi pada populasi. 89% dari Kaukasia menunjukkan kadar TPMT
normal hingga tingkat tinggi, 11% kadar sedang, dan 0,3% kekurangan TPMT, pada kelompok
terakhir mewakili mereka yang tidak dapat mentoleransi terapi azathioprine. Sebagai tambahan, 1% -
2% dari Kaukasia mungkin memiliki kadar super tinggi dari TPMT, yang berkorelasi dengan
resistensi terhadap kedua terapi pengobatan seperti adanya peningkatan hepatotoksisitas dari produksi
metabolit yang berlebihan. Dari keseluruhan, diperkirakan bahwa 5% dari pasien akan intoleransi
terhadap azathioprine, meskipun kaitan dari genotipe-fenotip nya tidak sempurna.
Pada pasien dengan kadar TPMT yang normal, berdasarkan dari konsensus akan diberikan
regimen dosis yang mendefinisikan kegagalan pengobatan sebesar 2,5 mg/kg/hari selama 12 minggu.
Namun dari sudut pandang praktisi, tidak semua laboratorium menyediakan uji TPMT. Juga
diketahui, sejak pasien dengan kadar TPMT normal juga mungkin mengalami keracunan azathioprine,
sehingga adalah suatu hal yang wajar untuk memulai dosis yang lebih rendah pada semua pasien
(misalnya, 50-100 mg sehari) dan titrasi upward hingga mencapai remisi klinis, dengan target dosis
sebesar 2,5 mg/kg/hari, atau muncul efek samping yang tidak dapat diterima. Pemantauan rutin hitung
darah dan hati harus terus dilakukan, khususnya selama 8-12 minggu pertama ketika toksisitas
tertunda dapat muncul akibat dari akumulasi metabolit.

22
Mycophenolate Mofetil
Mycophenolate mofetil juga dianggap sebagai agen imunosupresif lini pertama untuk
pemfigus. Pada tahun 2006, FDA memberikan status granted orphan untuk mikofenolat mofetil
sebagai pengobatan untuk PV, sehingga meningkatkan kelayakan untuk persetujuan obat baru. Dosis
obat berkisar antara 30-40 mg/kg/hari diberikan dua kali sehari (2,0-3.0 g/hari), meskipun pasien
tertentu seperti orang tua dapat mencapai kondisi terkontrol dengan dosis rendah sebesar 1,0 g/hari.
Pada sebuah case series mycophenolate mofetil telah terbukti memiliki efek yang cepat
dalam menurunkan titer antibodi pemfigus dan menurunankan aktivitas penyakit, bahkan pada pasien
yang tidak responsif terhadap azathioprine. Sebuah uji coba acak prospektif membandingkan
penggunaan metiprednisolon (2,0 mg/kg/hari) dengan azathioprine (2,0 mg/kg/hari) atau
mycophenolate mofetil (2,0 g/hari) pada pasien pemfigus yang menunjukkan bahwa sebesar 72%
pada kelompok azathioprine dan 95% pada kelompok mycophenolate mofetil mengalami remisi klinis
rata-rata masing - masing dalam 74 hari dan 91 hari. Sebesar 19% dari pasien mengalami efek
samping yang signifikan dari terapi mycophenolate mofetil, dibandingkan dengan 33% pada
kelompok azathioprine. Tak satu pun dari perbedaan-perbedaan ini yang signifikan secara statistik.
Sebuah studi acak prospektif lainnya menunjukkan bahwa azathioprine secara signifikan lebih efektif
daripada mycophenolate mofetil sebagai agen yang diberikan bersamaan dengan steroid, meskipun
studi ini membandingkan azathioprine dosis penuh (2,5 mg/kg/hari) dengan mycophenolate mofetil
dosis parsial (2,0 g/hari). Hal yang perlu diperhatikan bahwa walaupun penggunaan mycophenolate
mofetil dibenarkan, infeksi fatal dan sepsis terjadi pada 2% -5% dari pasien transplantasi penerima
mycophenolate mofetil, dan peningkatan risiko infeksi dengan atau reaktivasi cytomegalovirus,
herpes zoster, atypical mycobacteria, tuberkulosis, dan virus John Cunningham (JC) (pada
progressive multifocal leukoencephalopathy) yang telah tercatat saat dilakukan pengawasan setelah
dipasarkan. Menariknya, mycophenolate mofetil mungkin dapat memberikan perlindungan terhadap
infeksi Pneumocystis carinii.

Siklofosfamid
Siklofosfamid, meskipun lebih toksik daripada azathioprine atau mycophenolate mofetil,
dianggap sangat efektif dalam mengendalikan penyakit yang berat, terdapat satu laporan bahwa 19
dari 23 pasien dengan pemfigus mencapai remisi lengkap dalam waktu rata-rata 8,5 bulan. Pada
beberapa variasi serial kasus kecil telah dievaluasi bahwa rejimen siklofosfamid untuk pemphigus
berbeda, diantaranya dosis terapi oral harian (1,1-2,5 mg/kg/hari), terapi oral harian (50 mg) dengan
pemberian intermiten deksametason dan siklofosfamid intravena dosis tinggi, serta siklofosfamid
intravena imunoablatif. Seluruh metode ini efektif pada jangka pendek, meskipun tidak ada yang
bersifat kuratif. Efek samping yang signifikan, termasuk hematuria, infeksi, dan karsinoma sel
transisional dari kandung kemih, diamati dengan rejimen dosis yang lebih tinggi, meskipun satu studi
menggunakan dosis siklofosfamid harian yang lebih rendah (1,1-1,5 mg / kg / hari) tidak melaporkan

23
perbedaan profil keamanan secara signifikan dibandingkan dengan agen imunosupresif lainnya.
Bersamaan dengan adanya risiko infertilitas, siklofosfamid umumnya tidak dianggap sebagai agen lini
pertama pada pengobatan PV.

Dapson
Pada serial kasus dan uji coba secara acak double-blind, dapson menunjukkan
kecenderungan manfaat sebagai obat steroid-sparing pada fase pemeliharaan PV, meskipun hasil ini
tidak signifikan secara statistik. Dapson juga dapat diberikan bersamaan dengan agen imunosupresif
lainnya, khususnya rituximab (dibahas di bawah), di mana ia menawarkan manfaat tambahan dari
profilaksis terhadap pneumonia Pneumocystis.

TERAPI TAMBAHAN
Terdapat beberapa terapi tambahan yang dapat digunakan ketika pengobatan standar yang ada
ternyata tidak efektif.

Rituximab
Terapi yang sangat efektif untuk pemfigus yang refrakter terhadap terapi standar adalah
antibodi monoclonal anti-CD20 rituximab, yang telah disetujui untuk terapi keganasan sel B. Pada
pasien pemfigus, antibodi monoklonal ini mungkin menargetkan sel B, prekursor sel plasma yang
memproduksi antibodi. Sel B juga bertindak untuk memproses autoantigen dan mempresentasikannya
kepada sel T dan memberikan sinyal “help” dalam menstimulasi respon autoantibodi. Rituximab
diberikan secara intravena dengan dosis 375 mg/m2 sekali seminggu selama 4 minggu. Sebagai
alternatif dapat diberikan rejimen dosis rheumatoid arthritis (1.000 mg intravena pada hari 1 dan hari
ke 15). Cara ini dapat diulang dalam waktu sekitar 6 bulan pada pasien dengan penyakit refrakter,
walaupun siklus tunggal dari rituximab telah terbukti sangat efektif, dengan 86% dari pasien
mengalami remisi lengkap yang berlangsung selama minimal 34 bulan. Aktivitas penyakit biasanya
berkurang dalam wakt 1-2 bulan setelah terapi. Beberapa ahli mempertimbangkan rituximab sebagai
terapi pilihan untuk pemfigus berat yang tidak terkontrol oleh kortikosteroid dan azathioprine atau
mycophenolate mofetil atau yang memiliki kontraindikasi untuk kortikosteroid. Bagaimanapun,
infeksi yang fatal dengan terapi rituximab telah diamati, termasuk pneumonia Pneumocystis,
reaktivasi hepatitis B, dan infeksi virus JC infeksi atau reaktivasi menyebabkan leukoencefalopati
multifokal yang progresif. Meskipun komplikasi ini jarang terjadi, beberapa ahli menyarankan
profilaksis Pneumocystis selama 1 tahun dilanjutkan pemberian infus rituximab.

24
Imunoglobulin Intravena
Metode lain dari penurunan autoantibodi serum adalah dengan penggunaan γ-globulin
intravena (IVIG) dalam dosis tinggi. IVIg diduga berfungsi dengan menjenuhkan sirkulasi Fc reseptor
neonatus, sehingga meningkatkan katabolisme antibodi serum pasien, yang meliputi autoantibodi
patogen. Hal ini mungkin berguna sebagai terapi adjuvant pada pasien pemfigus yang kondisinya
tidak respon terhadap terapi konvensional. Studi acak multisenter, placebo-controlled, double blind
telah mengkonfirmasi manfaatnya pada pemfigus, tapi mahal dan mungkin memerlukan pemberian
infus lanjutan untuk pemeliharaan remisi. Juga mungkin terjadi efek samping yang signifikan dengan
terapi ini, termasuk stroke, trombosis vena dalam, dan gagal ginjal with sucrose-containing
formulation. Beberapa pusat studi akan menggunakan IVIg untuk membangun kontrol awal lepuh
pada pasien dengan kondisi yang parah karena hal ini tidak meningkatkan risiko infeksi sebesar
penggunaan kortikosteroid dan imunosupresan. IVIg juga telah digunakan sebagai kombinasi dengan
rituximab, meskipun tidak jelas apakah kombinasi tersebut lebih aman atau lebih efektif dibandingkan
dengan penggunaan tunggal dari obat tersebut.

Plasmaferesis
Plasmaferesis kadang-kadang diberikan pada pemfigus yang parah, atau pada pemfigus
yang tidak responsif terhadap kombinasi prednison dan agen imunosupresif. Meskipun sebuah studi
terkontrol menemukan bahwa terapi ini tidak efektif, studi lain menemukan bahwa terapi ini
menurunkan kadar autoantibodi serum pemfigus dan mengontrol aktivitas penyakit. Terapi
plasmaferesis ditambah siklofosfamid intravena dosis denyut telah dilaporkan menghasilkan remisi
pada PV. Untuk efek maksimum, mungkin diperlukan untuk dilakukan plasmaferesis pada pasien
yang mengkonsumsi agen imunosupresif untuk mencegah fenomena antibody-rebound yang dapat
mengikuti proses hilangnya IgG. Imunoadsorpsi protein A, yang menghilangkan IgG dengan selektif
dari plasma, juga telah digunakan.

Glukokortikoid Intravena Dosis Denyut


Pemberian metilprednisolon intravena dosis denyut sebesar 250-1.000 mg diberikan selama
sekitar 3 jam sehari selama 4-5 hari berturut-turut, dapat memberikan remisi jangka panjang dan
mengurangi dosis total glukokortikoid yang diperlukan untuk mengontrol penyakit. Meskipun tujuan
terapi ini adalah untuk menurunkan kejadian komplikasi penggunaan steroid jangka panjang, hal itu
dapat mengakibatkan semua komplikasi penggunaan glukokortikoid biasa, seperti aritmia jantung
dengan kematian mendadak, dan penggunaannya masih kontroversial. Selanjutnya, uji coba terkontrol
menemukan bahwa penggunaan deksametason oral dosis denyut sebagai adjuvant pada terapi standar
dengan prednisolon dan azathioprine untuk PV ternyata tidak bermanfaat. Oleh karena itu mungkin
dengan pemberian dosis terbagi prednison yang lebih rendah dapat mencapai hasil yang sama meski
dengan efek samping yang lebih sedikit.

25
Dari banyak hal, telah ada kemajuan luar biasa dalam armamentarium terapi untuk
pemfigus sejak sebelum pengembangan glukokortikoid ketika PV merupakan penyakit yang fatal.
Berkat kemajuan ini, "row of tombstones" yang terlihat pada patologi PV tidak lagi berkaitan dengan
prognosisnya.

26

Anda mungkin juga menyukai