Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

STASE KULIT DAN KELAMIN


URTIKARIA KRONIS

Pembimbing:
dr. Lucky Handaryati, Sp. KK

Presentan:
Rima Nur Annisa
1813020017

PENDIDIKAN DOKTER PROGRAM PROFESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
1.1 Definisi..............................................................................................................3
1.2 Epidemiologi....................................................................................................3
1.3 Etiologi-Patogenesis........................................................................................3
1.4 Manifestasi Klinis............................................................................................6
1.5 Klasifikasi.........................................................................................................6
1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang.......................................................10
1.7 Diagnosis Banding.........................................................................................13
BAB II....................................................................................................................16
2.1 Terapi non-farmakologi.................................................................................16
2.2 Terapi farmakologi........................................................................................16
BAB III..................................................................................................................24
3.1 Komplikasi.....................................................................................................24
3.2 Prognosis........................................................................................................24
BAB IV..................................................................................................................25
4.1. Pencegahan.....................................................................................................25
BAB V....................................................................................................................26
5.1 Kesimpulan.....................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6
minggu2, pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian)
selama lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam.
Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait dengan
kualitas hidup (Djuanda, Adi et al, 2008).

1.2 Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan
bahwa urtikaria (kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi
pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU)
terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya. Data epidemiologi CIU
lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya. Sedangkan pada
anak-anak, sekitar 0,1-0,3 % anak mengalami urtikaria kronik sehingga
mengganggu kualitas hidup seperti ketidak hadiran di sekolah (Greenberger,
2014).
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada
perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik
berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota
(Djuanda, Adi et al, 2008).

1.3 Etiologi-Patogenesis
Banyaknya kausa tak terhitung sebagai penyebab urtikaria.
Makanan, obat-obatan, faktor infeksi, dan stress emosional adalah kausa
yang paling banyak menyebabkan urtikaria kronik (Burge, 2016).
1. Faktor makanan, ada banyak pendapat mengenai alergen berupa
makanan sebagai pencetus urtikaria kronis. Pada urtikaria akut makanan

3
paling banyak menjadi pencetus urtikaria, sedangkan pada urtikaria
kronik makanan menjadi faktor yang kurang menjadi pencetus urtikaria.
Alergenik terbanyak pada makanan seperti coklat, kerang, kacang-
kacangan, biji-bijian, mentega, tomat, strawberry, melon, daging babi,
keju, bawang-bawangan,dan bumbu-bumbu. Dan masih banyak lagi
makanan yang dapat membuat seseorang menjadi alergik
Metode terbaik membedakan alergi makanan tertentu adalah
dengan mengganti makanan dengan makan makanan lunak yang tidak
membuat alergi. Seperti mengkonsumsi makanan seperti: daging sapi,
nasi, kentang, wortel, buncis, kacang polong, sayur labu, saus apel
dengan tepung tapioka, buah pear, buah cherri, gula, teh tanpa susu atau
lemon. Kopi tanpa krim. Diet ini dilakukan untuk tiga minggu, kemudian
megira-ngira makanan satu per satu yang menimbulkan reaksi alergi.
Pemakaian skin test (intradermal test) tidak dapat dipercaya dan
tidak informatif. Makanan (sebagai alergen) akan memberi respon yang
negatif pada pemeriksaan.
2. Obat-obatan. Obat juga paling banyak menyebabkan urtikaria dan
angioedema. Rata-rata obat yang sering menyebakan urtikaria adalah
golongan Penisilin.
3. Aspirin. Michaelsson dan Juhlin mempunyai penekanan tersendiri pada
insiden tertinggi dari aspirin yang menyebabkan urtikaria. Beberapa obat-
obatan yang dapat membuat gatal-gatal adalah sulfonamid, golongan
narkotik, ACTH, vitamin, estrogen, insulin, golongan kuinin,
fenilbutazone,golongan salisilate, fenotiazine, probenesid, difenhidramin,
nitrofurantoin, prokain, thiourasil, dan isoniazid.
4. Makanan tambahan. Meski makanan dapat membuat urtikaria,
makanan tambahan penting juga dalam hal faktor etiologi. Makanan
tambahan alami seperti ragi, salisilate, asam sitrat, telur dan ikan.
Sebagai tambahan yaitu makanan tambahan dengan zat tambahan buatan.
Dan yang pal;ing banyak yaitu, derivat asam benzoat dan penisilin.
Ragi sering dipakai dan sering dikatakan sebagai agen kausatif,
roti, sosis, anggur, bir, anggur, cuka, asinan, saus tomat, dan ragi yang

4
perlu dihindari. Makanan yang berisi asam benzoat yaitu : soft drinks,
jelly, puding, bermacam kue dan campuran pancake, mayonaise, salad,
sop, dan pasta.
5. Infeksi. Peran infeksi fokal kronik pada urtikaria tidak dapat dibedakan.
Meskipun begitu, kemungkinan infeksi kronik pada tonsil, infeksi
periapikal gigi, kerusakan gigi, atau infeksi sinus, kandung empedu atau
ginjal menjadi faktor penyebab yang diselidiki.
Urtikaria bisa dihubungkan juga dengan infeksi saluran pernafasan
atas, dan banyak etiologi karena virus. Kemungkinan sensititasi karena
obat juga harus diperhitungkan. Urtikaria bukan karena hipersensitivitas
terhadap agen infeksi tetapi mungkin karena perubahan tubuh oleh
karena infeksi
6. Stress emosional. Banyak keraguan bagi para peneliti untuk mengatakan
stress emosional yang berat merupakan faktor penyebab urtikaria. Pada
kolinergik urtikaria menjadi sangat jelas ketika stress emosional yang
membuat berkeringat yang menajdi kausa dari urtikaria.
7. Faktor Fisiologi. Bermacam respon dari tubuh terhadap beberapa faktor,
seperti faktor dingin, trauma atau sinar matahari, memberi kesan faktor
fisiologi menjadi mekanisme patogenik. Cryoglobulin, cryofibrinogen
dan cold-hemolisin menjadi agen mediator pada kaskade komplement,
yang mana urtikaria menjadi salah satu manifestasi klinis.
8. Serum sickness. Urtikaria dapat disebabkan oleh injeksi dari serum atau
obat-obatan. Bentuk ini menjadi pelopor dari neuritis, poliarteritis
nodosa, atau anafilaksis.
9. Menthol. Ini adalah penyebab paling jarang pada urtikaria.
Bagaimanapun juga, ketika itu terjadi, beberapa zat yang tergabung akan
menyebabkan respon urtikaria. Rokok mentol, permen mint, obat batuk,
aerosol (gas), dan medikasi topikal diantaranya.
10. Neoplasma. Urtikaria sudah seringkali dihubungkan dengan karsinoma
dan penyakit Limfoma Hodgkin.
11. Virus. Serum hepatitis, mononukleus infeksiosa, dan psittacosis dapat
menginduksi ukrtikaria.

5
12. Parasit. Banyak infekstasi cacing yang seringkali dihubungkan dengan
urtikaria. Diantaranya seperti Ascaris, Ankylostoma, Strongyloides,
Filaria, Echinococcus, Schistosoma, Trichinela, dan Toxocara (Burge,
2016).

1.4 Manifestasi Klinis


Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa terbakar atau rasa tertusuk.
Pada urtikaria kronis gatal adalah gejala yang paling umum. Lesi dengan
individu yang mengalami urtikaria kronis dengan wheals berlangsung kurang
dari 24 jam. Lesi biasanya dapat digambarkan: Lesi primer adalah edematous,
papula eritematosa atau plak dengan pusat pucat (wheal) dan eritema
sekitarnya (flare), lesi pucat (hipopigmentasi) sampai merah (tergantung latar
belakang warna kulit), dengan distribusi lesi terlokalisasi atau generalisata,
lesi bisa berbentuk bulat, oval, annular, arcuate, serpiginous, dan lesi sembuh
tanpa perubahan pigmen atau perubahan skala postur inflamasi (kesembuhan
jaringan parut) (Hogan, 2011).

1.5 Klasifikasi
Urtikaria kronis bukan suatu penyakit tunggal. Urtikaria kronis dapat
dibagi menjadi beberapa subgroup klasifikasi klinis yaitu urtikaria spontan
(ordinary urticaria), urtikaria terinduksi kronis (Chronic inducible urticaria),
urtikaria bentuk lain(other forms of urticaria). Macam-macam klasifikasi
urtikaria kronis diuraikakn dalam tabel berikut ini:

6
Tabel 1. Klasifikasi urtikaria kronis

A. Chronic spontaneous (ordinary ) urticaria


 Chronic Idopatic Urticaria (CIU)
 Chronic Autoimmune Urticaria (CAU)
B. Chronic inducible urticaria
 Physical urticaria
 Mechanical
 Delayed pressure urticaria
 Symptomatic dermographism
 Vibratory angioedema
 Thermal
 Cold urticaria
 Localize heat urticaria
 Other
 Aquagenic urticaria
 Solar urticaria
 Exercise-induce anaphylaxis
 Cholinergic urticaria
 Contact urticarial
C. Other forms of urticaria
 Urticaria vasculit
 Auto-inflammatory disease
 Hereditary: cryoprin-associated periodic syndrome
 Acquired: schnitzler syndrome
Sumber: oxford medical handbook 2016

Chronic spontaneous (ordinary) urticaria

1. Chronic Idiopathic Urticaria (CIU)4,5:55% dari pasien dengan urtikaria


kronik adalah disebabkan oleh CIU, yaitu penyebab urtikaria kronis tidak
teridentifikasi.2 Lesi berupa ruam ataupun angioedema berlokalisasi di
mana- mana pun dan menghilang setelah 12- 18 jam. Tidak meninggalkan
bekas dan pruritus. Pasien jarang menggaru tapi biasanya meraba dan
menyebabkan lebam tapi tidak merusak lapisan epidermis.

7
2. Cronic Autoimmune Urtikaria (CAU): 30% disebabkan oleh tidak
terkendalinya pengeluaran autoantibodi histamin. Sering dihubungkan
dengan autoimunitas tiroid (thyroid autoimmunity) (Burge et al, 2016).

Chronic Inducible Urticaria


1. Physical urticaria: Urtikaria kronis yang diprovokasi dari suatu stimulus
fisikal, selalunya kontak langsung pada kulit ataupun mukosa dan
membentuk reaksi wheal-and-flare atau respon angioedematous, dengan
atau tidak dengan pruritus, berlokalisasi pada area terpajan. Berikut
adalah subset dari physical urticaria (Kaplan, 2008)
a) Mekanik
 Delayed Pressure urticaria
Lesi dalam jenis urtikaria yang lebih dalam dibandingkan dengan
urtikaria dermografik. Sering terjadi disertai dengan chronic
idiopathic urticaria. Pembengkakan yang nyeri berkembang 3 - 6
sehingga 24 jam setelah adanya tekanan dikulit yang terkena
Biasanya tidak beresopon dengan pengobatan antihistamin.
(Djuanda, Adi et al, 2008).
Bisa disertai dengan simptom sistemik. Misalnya pada keadaan
duduk dengan kursi yang keras, keadaan kaki setelah berlari,
sabuk pengaman, atau keadaan tangan setelah melahirkan.
(Kaplan, 2008).
 Symptomatic dermographism
Urtikaria dermografik merupakan yang paling umum dari physical
urticaria. Bintul (wheal) disertai rasa gatal terjadi segera dan akan
memudar dalam waktu 30 menit. Biasanya tidak berhubungan
dengan atopi dan terjadi sebanya 22% dari semua pasien dengan
urticaria kronis. Pada Delayed dermographism, lesi dapat
berkembang 3-6 jam setelah stimulasi bisa dengan atau tanpa
reaksi langsung (Kaplan, 2008).
 Vibratory Angioedema: Setelah beberapa tahun mengalami
paparan kerja terhadap getaran.berkaitn dengan pola dominan
autosomal. Peningkatan tingkat histamin plasma terdeteksi selama

8
serangan. Gejalanya gatal setelah di usap menggunakan kain atau
handuk. (Kaplan, 2008).
b) Termal
 Cold urticaria
Reaksi urtikaria terhadap penurunan suhu kulit yang tiba- tiba.
Dapat bersifat primer (idiopatik) atau sekunder (penyakit
hematologis atau infeksi). Kedua- duanya dapat memberik
gambaran ruam dan gatal, sering disertai simptom sistemik akut
seperti hipotensi, sinkop, napas pendek, palpitasi, mual muntah
dan nyeri kepala. (Kaplan, 2008)
 Local heat urticaria

Urtikaria yang mengalami wheal setelah terpapar oleh panas. Dan


meningkat pada keadaan atopi. Histamin aktifitas neutofil
kemotaktik dan PGD2 terdeteksi di urticaria ini. (Kaplan, 2008)

c) Lainya
 Solar urticaria
Dicetuskan oleh paparan pada cahaya matahari dan langsung
menimbulkan ruam, gatal, wheal, dalam semenit setelah paparan
langsung pada permukaan kulit. Sering dihubungkan dengan
sindrom lupus eritomatous yang tanpa diketahui penyebabnya.
 Aquagenic urticaria
Jarang terjadi. Dicetus oleh air ataupun air laut pada berbagai
temperatur Timbul erupsi dan wheal dalam ukuran kecil secara
langsung setelah adanya kontak dengan air (Djuanda, Adi et al,
2008).
2. Cholinergic urticaria : disebabkan oleh kenaikan singkat suhu tubuh
seperti mandi pada air hangat, latihan yang lama atau demam dengan
episode tertentu.. Terjadi pada individu usia 23-28 tahun. Akan tampak
gambaran klinis erupsi urtikaria makula atau papul terutama di tangan,
leher, ketiak dan bisa generalisata.

9
3. Contact Urticaria: dapat terjadi urtikaria kronik karena kontak dengan
subtansi yang berbeda. Dapat dimediasi oleh IgE atau non-immunologi.
Akan muncul lesi dalam hitungan menit dan ketika IgE telah termediasi.
Misalnya protein dari pemakaian latex yang dapat meningkatkan IgE
sehingga menyebakan urtikaria kronis. Dan sering berkaitan dengan
manifestasi sistemik seperti rinitis, konjungtivitis, dispneu dan shock.
(Kaplan, 2008).

urticaria kronis lainnya


1. Urticaria vaskulitis: terjadi karena inflamasi pembuluh darah
sehingga muncul lesi pada kulit berupa palpable purpura yang
mengenai jaringan kapiler, lesi muncul dalam waktu cepat dan
menghialgn dalam 24 jam dengan distribusi simetris pada daerah
sakrum, sedangkan keluhan lainya seperti rasa terbakar atau nyeri
demam mialgia, dan anoreksi. Biasanya merupakan tanda dari suatu
syndrome lupus eritomatous (SLE) (Burge et al, 2016).

2. Autoiflammaatory disease: a)Penyakit bawaan: ini terjadi tanpa


adanya penyebab infeksi, autoantibodi, atau limfosit auto-reaktif,
dan berasal dari cacat pada kekebalan bawaan Gejalanya bersifat
intermiten tanpa periodisitas sejati. Penyakit auto-inflammatory. b)
sindrom schnitzler adalah (urtikaria yang tidak gatal, demam
intermiten, tulang nyeri, artritis atau artralgia, meningkatkan laju
sedimentasi eritrosit (ESR), IgM gammopathy, neutrofil dalam
biopsi kulit). Mungkin varian vaskulitis urtikaria (Burge et al, 2016).

1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, mudah ditegakkan
diagnosis urtikaria, namun perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk
membuktikan penyebabnya (Djuanda, Adi et al, 2008).

10
1. Anamnesis

Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi


rash/ruam, dan gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria
sebagai akut, rekuren, atau kronik (Djuanda, Adi et al, 2008).

2. Pemeriksaan Fisik

Teknik pemeriksaan fisik penting untuk mengevaluasi integumen


(kulit) (Djuanda, Adi et al, 2008).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan
Laboratorium

Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada


tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. 2
Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui
kemungkinan adanya penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan
seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal,
faal hati, faal hati, dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria
vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat
penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria. 19
Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria
dingin. (Djuanda, Adi et al, 2008).

b. Pemeriksaan gigi,
telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.

Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal


(Djuanda, Adi et al, 2008)

c. Tes Alergi

Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi


dengan melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE

11
spesifik (radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal
menggunakan serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST)
dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk
mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing
autoantibodies (Djuanda, Adi et al, 2008)

d. Tes kulit

Meskipun terbatas kegunaannya dapat membantu diagnosis, uji


gores (Stracch test) dan uji tusuk (prick test), serta test intradermal
dapat dipergunakan untuk mencari alergen inhalan, makanan
dermatofit dan kandida (Djuanda, Adi et al, 2008).

e. Tes Provokasi

Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila


tes-tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun
demikian, tes provokasi ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk
menjamin keamanannya (Djuanda, Adi et al, 2008)

f. Tes eleminasi
makanan

Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang


dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu
(Djuanda, Adi et al, 2008)

g. Tes foto tempel

Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar
(Djuanda, Adi et al, 2008)

h. Suntikan mecholyl
intradermal

12
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa
urtikaria kolinergik (Djuanda, Adi et al, 2008)

i. Tes fisik

Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila
dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu.2 Dapat dilakukan challange
test pada pasien dengan suspek physical urticaria. Tes dilakukan dengan
memberi rangsangan padan pasien seperti rasa dingin, tekanan, panas,
pajanan cahaya ultraviolet (Djuanda, Adi et al, 2008).

Tabel 2. Pemeriksaan pada urtikaria fisik

Sumber: Fernando, S; Broadfoot, A. 2011

j. Pemeriksaan
histopatologik

Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat


membantu diagnosis. Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak
terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan epidermis. Pada dermis
mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-serabut
kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat
dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh
limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat
limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast

13
meningkat jumlahnya terutama disekitar pembuluh darah (Djuanda,
Adi et al, 2008).

1.7 Diagnosis Banding

a) Mastocytosis
Merupakan kelainan pada kulit yang dikenal dengan nama urtikaria
pigmentosa dan dapat terlihat dalam berbagai bentuk klinis. Gejala dan
tanda yang terlihat dapat berupa pruritus, flushing, tanda Darier,
dermografisme, purpura dan telangiektasia. Tanda Darier : bila lesi
urtikaria pigmentosa digosok atau dipukul, maka akan timbul respons
edema dan eritema, sedangkan Dermografisme dapat terlihat pada kulit
yang tampak normal (Djuanda, Adi et al, 2008).

b) Purpura Anafilaktoid

Adalah sindrom klinis vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik


berupa lesi spesifik purpura nontrombositopenik. Memiliki trias berupa
ruam purpura pada ekstremitas bawah,nyeri abdomen atau kelainan ginjal
dan artritis. Gejala klinis berupa ruam makula eritomatosa pada kulit
ekstremitas bawah yang simetris yang berlanjut menjadi palpable purpura
tanpa adanya trombositopenia, dalam 12 – 24 jam makula akan berubah
menjadi lesi purpura yang berwarna merah gelap dan memilikidiameter
0,5 – 2 cm. Lesi dapat menyatu menjadi plak yang lebih besar yang
menyerupai echimosis yang kemudian dapat mengalami ulserasi
(Djuanda, Adi et al, 2008).

c) Pitriasis Rosea

Gejala klasik dari Pityriasis Rosea berupa makula eritematosa


oval atau anular dengan ukuran yang bervariasi antara 2-4 cm, soliter,
bagian tengah ditutupi oleh skuama halus dan bagian tepi mempunyai
batas tegas yang ditutupi oleh skuama tipis yang berasal dari keratin
(herald patch). Diawali gejala prodromal. kemudian akan timbul lesi

14
sekunder generalisata. Pada lesi sekunder akan ditemukan 2 tipe lesi yang
memberikan gambaran Christmas tree. Pada gejala atipikal tidak
ditemukannya herald patch atau berjumlah multipel. Bentuk lesi lebih
bervariasi berupa urtika, eritema multiformis, purpura, pustul dan
vesikula. Distribusi lesi biasanya menyebar ke daerah aksila, inguinal,
wajah, telapak tangan dan telapak kaki (Djuanda, Adi et al, 2008).

d) Urticaria vasculitis
Sering ditemukan pada urtikaria kronik bisa disertai angiedema.
Gejala klinis diperlihatkan adanya ruam, rasa lembut bila di palpasi,
persisten dan menetap sehingga 24 jam, rasa gatal yang inkonsisten dan
terbentuk purpura. Bisa disertai artalgia dan malaise. Sering disertai
underlying disease seperti Sistemik lupus eritematousus dan sindrom
Sjogrens. Urticarial vasculitis adalah suatu vaskulitis kompleks imun.
Menyerang vena- vena post kapiler di kulit dan mukosa membran
(Burge, 2016).
e) Schnitzler Syndrome
Merupakan varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh pruritic
non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgia,
atau radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate
(ESR) dan monoclonal IgM gammopathy (Burge, 2016).

15
BAB II
TATALAKSANA

2.1 Terapi non-farmakologi


Terapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab atau paling tidak
mengurangi penyebab seperti menghindari kontak langsung sehingga tidak
terjadi urtikaria kronis (Djuanda, Adi et al, 2008).

2.2 Terapi farmakologi


Terapi dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Bukan
hanya itu juga dapat mengurangi gatal, ukuran lesi, dan durasi atau lama lesi
urtikaria yang terjadi.7 Cara kerja yang jelas menghambat histamin pada
reseptor. Berdasarkan reseptornya antihistamin dibagi menjadi 2 kelompok
besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1) dan H2 (AH2)
(Djuanda, Adi et al, 2008).
Strategi penanganan awal sebaiknya menggunakan antihistamin H1 non
sedatif. Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H 1 sedatif
menjelang tidur, antidepresan trisiklik, atau antihistamin H 2. Sebagai
tambahan antihistamin H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan
kortikosteroid jangka pendek dengan harapan dapat memotong siklus
penyakit (Djuanda, Adi et al, 2008).
Antihistamin harus diberikan setiap hari, tidak boleh diberikan hanya jika
perlu saja, Antihistamin yang biasanya digunakan adalah antihistamin
generasi ke-2. Antihistamin generasi ke-2 seperti (cetrizine, famotizine,
loratadine, acrivastine) mempunyai molekul lipofilik yang besar yang
mempunyai rantai sisi yang terikat kuat dengan protein, mencegah obat untuk
menembus sawar darah otak dan mengurangi efek sedasi pada pasien (Hogan,
2011).
Cetrizine dan beberapa Antihistamin generasi ke-2 dapat menimbulkan
efek samping yaitu rasa pusing kepada beberapa pasien, terlebih pada
pemberian antiistamin dosis tinggi yang digabung dengan dengan
antihistmain lain (Hogan, 2011).

16
Menurut wardhana, 2012, berikut dosis dari antihistamin H1 yang telah
di modifikasi (Burge et al, 2016)

Tabel 3. Dosis antagonis reseptor H1

17
Berikut gambaran alur penatalaksanaan farmakologi urtikaria kronis:

(Hogan, 2011)

18
Eosinofil terdapat pada beberapa pasien dengan urtikaria kronik, dan
adanya aktivasi eosinofil pada kulit berlesi telah dibuktikan dengan
pewarnaan major basic protein (MBP) pada jaringan ekstraseluler. Oleh
karena MBP dapat mengaktivasi sel mast, maka efek anti-eosinofil dari
omalizumab mungkin merupakan mekanisme lain yang menyebabkan
berkurangnya lesi pada urtikaria kronik idiopatik (spontan) pada beberapa
pasien (Fernando, 2011).

Terapi terbaru sebagai pilihan untuk urtikaria kronik persisten

Dosis antagonis reseptor H1 yang lebih tinggi

Peningkatan 4 kali lipat dosis standar antagonis reseptor H1 generasi


kedua untuk dewasa, levocetirizine dan desloratadine, menunjukkan
penurunan gejala pada 75% pasien dengan urtikaria kronik idiopatik
(termasuk pasien dengan urtikaria fisik yang timbul bersamaan). 80 pasien
(yang terpilih secara acak) dengan urtikaria kronik “yang sulit diobati”
mencakup 58 pasien (72.5%) yang mendapat kortikosteroid oral dalam 3
minggu terakhir. Subjek penelitian tidak dapat dikontrol dengan antagonis
reseptor H1 generasi pertama maupun kedua (Wardhana, E.A. 2012).
Penelitian menggunakan pengobatan aktif levocetirizine atau
desloratadine secara crossover, dengan dosis awal 5 mg. Pada interval 1
minggu, dosis antagonis reseptor H1 ditingkatkan menjadi 10 mg lalu 20 mg
jika belum dapat mencapai kontrol. Jika subjek terbebas dari gejala dan
urtikaria selama 3 hari (“berhasil”), mereka tidak melanjutkan ke kelompok
crossover penelitian (Wardhana, E.A. 2012).
Hasil penelitian mencakup pengawasan berikut: [1] penggandaan dosis
menjadi 10 mg cukup efektif pada kedua pengobatan aktif tersebut; [2]
tingkat keberhasilan awal (peningkatan hingga 20 mg jika diperlukan) lebih
tinggi pada levocetirizine (22 dari 40 subjek) dibandingkan dengan
desloratadine (12 dari 37 subjek); [3] saat pengobatan pada subjek yang
bergejala diganti dengan kelompok alternatif lain, manfaat terapeutik

19
didapatkan pada levocetirizine namun tidak dengan desloratadine;[4] nilai
dapat tidak berubah dari penilaian dasar atau dapat lebih rendah dengan
menggunakan kedua pengobatan aktif tersebut (Wardhana, E.A. 2012).
Omalizumab
Omalizumab efektif untuk urtikaria kronik yang resisten terhadap
antihistamin. Berbeda dengan pengobatan asma berat persisten dimana pasien
harus dinilai 4 – 6 bulan setelah terapi omalizumab, berkurangnya pruritus
dan lesi urtikaria terjadi dalam 1 minggu setelah injeksi tunggal 150 atau 300
mg secara subkutan. Tingkat keparahan dan durasi urtikaria kronik pada
subjek penelitian digambarkan dengan rata-rata penggunaan 4.3 obat dan
rata-rata durasi lesi selama 6.8 tahun (Greenberger, P.A. 2014).
Omalizumab telah disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat pada
urtikaria kronik idiopatik yang tidak dapat terkontrol oleh antagonis reseptor
H1 pada pasien berusia 12 tahun atau lebih. Dosisnya 150 mg atau 300 mg
secara subkutan setiap 4 minggu. Belum ada masalah keamanan baru pada
pengobatan pasien dengan urtikaria kronik. Respon cepat disebabkan oleh 1)
ikatan antara omalizumab dengan antibodi IgE bebas, yang terjadi dalam
beberapa jam setelah pemberian obat, yang mengurangi ikatan IgE dengan
reseptor berafinitas tinggi FcɛRI pada basofil dan sel mast, dan 2)
downregulation ekspresi FcɛRI pada basofil (dalam 2 minggu) dan sel mast
(dalam 8 minggu) di dalam darah. Apabila efek farmakologisnya
diekstrapolasi dari percobaan pada pasien dengan rhinitis alergika, maka
omalizumab berkaitan dengan terjadinya pengurangan ukuran papul/plakat
yang terinduksi alergen serta rekruitmen eosinofil menjadi reaksi kulit fase
lanjut (Fernando, 2011).
Eosinofil terdapat pada beberapa pasien dengan urtikaria kronik, dan
adanya aktivasi eosinofil pada kulit berlesi telah dibuktikan dengan
pewarnaan major basic protein (MBP) pada jaringan ekstraseluler. Oleh
karena MBP dapat mengaktivasi sel mast, maka efek anti-eosinofil dari
omalizumab mungkin merupakan mekanisme lain yang menyebabkan
berkurangnya lesi pada urtikaria kronik idiopatik (spontan) pada beberapa
pasien. Pada pasien dengan asma sedang dan berat persisten mungkin tidak

20
melanjutkan pengobatan dengan omalizumab, dengan alasan kurangnya
manfaat terhadap efek yang diinginkan (Greenberger, P.A. 2014).
Efektivitas obat-obatan untuk urtikaria kronik

Antidepresan trisiklik

Antidepresan trisiklik, doxepin, telah diteliti pada uji 2 double blind


terkontrol. Meskipun doxepin telah digunakan selama sekurang-kurangnya 30
tahun, antagonis reseptor H1 (dan reseptor H2) tetap poten dan efektif pada
beberapa pasien tanpa adanya intoleransi maupun rasa kantuk. Dalam sebuah
studi pada 50 pasien, doxepin 10 mg 3 kali sehari dibandingkan dengan
diphenhydramine 25 mg 3 kali sehari. “Hilangnya pruritus dan lesi urtikaria
terjadi pada 43% pasien yang mendapat doxepin, dan hanya 5% pada pasien
yang mendapat diphenhydramine” (Greenberger, P.A. 2014).
Pada studi lain yang mencakup 16 dewasa, doxepin lebih unggul
dibandingkan plasebo serta mampu meredakan papul/plakat kutaneus yang
diproduksi histamin dan codein. Efek samping anti-kolinergik seperti
konstipasi dan mulut kering dapat terjadi selain efek sedasi. Bagaimanapun
juga, doxepin (dan antidepresan trisiklik lain seperti nortriptyline) mungkin
bermanfaat untuk mengobati urtikaria kronik yang sulit (Greenberger, P.A.
2014).
Antagonis reseptor leukotrien

Akibat injeksi intradermis LTD4 dosis minimal dapat menyebabkan


reaksi papul/plakat/eritema, antagonis reseptor leukotrien zafirlukast dan
montelukast telah diuji coba pada pasien dengan urtikaria kronik idiopatik.
Dalam uji kontrol-plasebo 2 kelompok, penambahan zafirlukast 20 mg 2 kali
sehari ke cetirizine 10 mg 1 kali sehari menghasilkan suatu penurunan
“sederhana namun signifikan” dalam skala analog visual (visual analogue
scale) ketika dinilai selama 3 minggu dibandingkan dengan cetirizine
monoterapi. Apabila ditinjau ke belakang, pasien-pasien yang memiliki serum
uji kulit autologus positif cenderung berespon terhadap montelukast sebagai
terapi “tambahan” (Fernando, 2011).

21
Pada sebuah studi double-blind, crossover, kontrol-plasebo, tidak
terdapat perbedaan antara montelukast 10 mg dengan placebo (termasuk pada
pasien dengan intoleransi aspirin yang timbul bersamaan) sebagai terapi
tambahan. Sebuah ulasan sistematis tahun 2009 menyimpulkan bahwa
“montelukast mungkin efektif pada urtikaria kronik yang berhubungan
dengan hipersensitivitas terhadap aspirin (ASA) atau zat aditif makanan atau
dengan autoreaktivitas terhadap injeksi serum intradermis (ASST) apabila
diberikan dengan antihistamin, tetapi tidak berlaku pada urtikaria kronik
idiopatik ringan atau sedang (urtikaria tanpa penyebab sekunder yang
mungkin...)” (Fernando, 2011).
Literatur tersebut menyebutkan bahwa jika suatu respon terhadap
antagonis reseptor leukotrien bagus, hal tersebut terjadi selama 3 minggu
pertama. Maka dari itu, seorang pasien dapat diuji selama 3 – 4 minggu dan
apabila tidak terjadi reaksi simptomatik, antagonis reseptor leukotrien dapat
dihentikan. Merupakan hal menarik bahwa antagonis reseptor leukotrien telah
dilaporkan efektif pada beberapa tipe urtikaria fisik seperti urtikaria kontak
dingin, urtikaria tekanan lama dan dermatografisme (Fernando, 2011).
Obat-obatan imunosupresif

Obat-obatan imunosupresif dapat menjadi terapeutik sebagai monoterapi


untuk pasien dengan urtikaria kronik tidak terkontrol. Terdapat respon nyata
terhadap obat-obatan imunosupresif pada 1-4 minggu awal terapi. Beberapa
pasien berespon setelah 3 – 5 bulan pengobatan. Pertimbangan manfaat-risiko
harus dinilai, dan pasien harus diawasi mengenai bahaya klinis dan
abnormalitas hasil laboratorium. Cyclosporine, tacrolimus, mycophenolate
mofetil, methotrexate, azathioprine dan mizoribine telah diketahui efektif
pada beberapa pasien yang sulit disembuhkan, khususnya urtikaria kronik
bergantung-prednisone (Greenberger, P.A. 2014).
Terdapat berbagai macam tinjauan mengenai pilihan pengobatan ketika
pasien mengalami gagal terapi-terapi lain. Dosis awal harian cyclosporine
adalah 5 mg/kg namun untuk menghindari hipertensi dan hilangnya fungsi
ginjal (biasanya reversibel), digunakan dosis yang lebih rendah yaitu 1.5 – 2.5
mg/kg/hari. Apabila kreatinin serum meningkat 30%, maka dosis

22
cyclosporine diturunkan. Jika kadar kreatinin tidak kembali ke nilai awal
dalam 2 minggu lebih, (setelah 1 bulan meningkat), dapat diambil keputusan
untuk menghentikan pengobatan (Greenberger, P.A. 2014).
Dosis harian tacrolimus dilaporkan setinggi 0.05 – 0.07 mg/kg 2 kali
sehari selama 4 minggu lalu diturunkan menjadi ½ selama 6 minggu. Pada
akhirnya, dosisnya menjadi 1 mg/hari. Dikarenakan oleh efek samping (nyeri
abdomen, diare, nyeri kepala, dll), pengarang memulai dengan 5 mg/hari
untuk dewasa untuk memastikan tolerabilitas dan keamanan. Khan
merekomendasikan pemberian awal 1 mg 2 kali sehari. Mycophenolate
mofetil, yang tidak menyebabkan gangguan ginjal namun dapat
meningkatkan risiko infeksi, diawali dengan dosis 1000 mg 2 kali sehari.4
Azathioprine dapat menyebabkan nyeri abdomen akut, nausea, arthralgia,
fungsi hati abnormal dan sitopenia, dan juga mungkin efektif sebagai
monoterapi. Pengarang mengawali terapi pada dewasa dengan dosis 100
mg/hari. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan setiap 2 minggu pada 2
bulan pertama lalu menjadi interval yang lebih sedikit bila terdapat respon
terhadap azathioprine (Greenberger, P.A. 2014).
Obat-obat lain sebagai alternatif pada urtikaria kronis

Colchicine, dapsone dan sulfasalazine memiliki efek anti-inflamatorik


yang berkontribusi untuk mengurangi frekuensi dan keparahan lesi urtikaria
pada urtikaria kronik resisten-terapi. Dosis awal pada dewasa adalah sebagai
berikut: colchicine 0.6 mg/hari selama seminggu lalu 2 kali sehari; 25 – 100
mg/hari untuk dapsone, dan 500 mg/hari ditingkatkan mingguan hingga 2000
mg/hari untuk sulfasalazine (Greenberger, P.A. 2014).

23
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA

3.1 Komplikasi

Urtikaria dan angiodema dapat menyebabkan rasa gatal yang


menimbulkan ketidaknyamanan. Urtikaria kronik juga menyebabkan stres
psikologis dan sebaliknya sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderita
seperti pada penderita penyakit jantung.

Lesi-lesi urtikaria bisa sembuh tanpa komplikasi. Namun pasien dengan


gatal yang hebat bisa menyebabkan purpura dan excoriasi yang bisa menjadi
infeksi sekunder. Penggunaan antihistamin bisa menyebabkan somnolens dan
bibir kering. Pasien dengan keadaan penyakit yang berat bisa mempengaruhi
kualitas hidup.

3.2 Prognosis
 Quo ad functionam: ad bonam
 Quo ad Vitam: ad bonam
 Quo ad Sanctionam: dubia ad bonam
 Quo ad Comestikum: dubia ad bonam (Hogan, 2011).

24
BAB IV
PENCEGAHAN

4.1. Pencegahan
Tidak ada pencegahan pasti untuk urtikaria, namun kita dapat
menghindari factor pencetusnya seperti :
1. Faktor makanan, Hindari makanan alergenik, terbanyak pada
makanan seperti coklat, kerang, kacang-kacangan, biji-bijian, mentega,
tomat, strawberry, melon, daging babi, keju, bawang-bawangan,dan
bumbu-bumbu. Dan masih banyak lagi makanan yang dapat membuat
seseorang menjadi alergik.
2. Obat-obatan. Obat juga paling banyak menyebabkan urtikaria dan
angioedema. Rata-rata obat yang sering menyebakan urtikaria adalah
golongan Penisilin dan Aspirin.
3. Stress emosional. Kendalikan stress emosional yang berat, stress
emosional yang berat merupakan faktor penyebab urtikaria. Pada
kolinergik urtikaria menjadi sangat jelas ketika stress emosional yang
membuat berkeringat yang menajdi kausa dari urtikaria.
4. Faktor Fisiologi. Hindari faktor cuaca ekstream. Bermacam respon
dari tubuh terhadap beberapa faktor, seperti faktor dingin, trauma atau
sinar matahari, memberi kesan faktor fisiologi menjadi mekanisme
patogenik. Cryoglobulin, cryofibrinogen dan cold-hemolisin menjadi
agen mediator pada kaskade komplement, yang mana urtikaria menjadi
salah satu manifestasi klinis (Hogan, 2011).

25
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama lebih dari 6 minggu dapat
mengganggu kualitas hidup seseorang. Beberapa penyebab urtikaria kronis
tidak teridentifikasi. Melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis,
mudah ditegakkan diagnosis urtikaria, namun perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan untuk membuktikan penyebabnya. Sehingga dapat diberikan
terapi seperti antihistamin, antidepresan trisiklik, imunosupresan maupun
kortikosteroid yang tepat dengan efek samping yang sangat rendah dan tidak
membutuhkan jangka waktu yang terlalu lama dalam pengobatan urtikaria
kronis tersebut sehingga tidak menyebabkan remisi penyakit.

5.2

26
DAFTAR PUSTAKA

Burge, S., Martin, R., Walls, D. 2016 Oxford Medical Handbook of Dermatology
2nd Edition.;p 228-230

Djuanda, Adi et al, 2008. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin Edisi Kelima Jakarta:
Balai Penerbit FKUI Editor.

Fernando, S; Broadfoot, A. 2011. Chronic urticaria Assessment and treatment.


Reprinted from Australian Family Physician;9(3)

Greenberger, P.A. 2014. Chronic Urticaria: new management options. World


Allergy Organization Journal.

Hogan, D.J.Chronic Urticaria Clinical Presentation. Editor: William D James,


MD, 2011.

Kaplan AP. Urticaria and angioedema. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. Edisi ke-7. New York: MacGraw-Hill,
2008; p.414-430

Wardhana, E.A. 2012. Chronic Urticaria Autoimune. Indonesian Journal of


Internal Medicine. Siloam International Hospital. Karawaci;p-165-174

27

Anda mungkin juga menyukai