Pembimbing:
dr. Lucky Handaryati, Sp. KK
Presentan:
Rima Nur Annisa
1813020017
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
1.1 Definisi..............................................................................................................3
1.2 Epidemiologi....................................................................................................3
1.3 Etiologi-Patogenesis........................................................................................3
1.4 Manifestasi Klinis............................................................................................6
1.5 Klasifikasi.........................................................................................................6
1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang.......................................................10
1.7 Diagnosis Banding.........................................................................................13
BAB II....................................................................................................................16
2.1 Terapi non-farmakologi.................................................................................16
2.2 Terapi farmakologi........................................................................................16
BAB III..................................................................................................................24
3.1 Komplikasi.....................................................................................................24
3.2 Prognosis........................................................................................................24
BAB IV..................................................................................................................25
4.1. Pencegahan.....................................................................................................25
BAB V....................................................................................................................26
5.1 Kesimpulan.....................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6
minggu2, pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian)
selama lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam.
Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait dengan
kualitas hidup (Djuanda, Adi et al, 2008).
1.2 Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan
bahwa urtikaria (kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi
pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU)
terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya. Data epidemiologi CIU
lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya. Sedangkan pada
anak-anak, sekitar 0,1-0,3 % anak mengalami urtikaria kronik sehingga
mengganggu kualitas hidup seperti ketidak hadiran di sekolah (Greenberger,
2014).
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada
perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik
berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota
(Djuanda, Adi et al, 2008).
1.3 Etiologi-Patogenesis
Banyaknya kausa tak terhitung sebagai penyebab urtikaria.
Makanan, obat-obatan, faktor infeksi, dan stress emosional adalah kausa
yang paling banyak menyebabkan urtikaria kronik (Burge, 2016).
1. Faktor makanan, ada banyak pendapat mengenai alergen berupa
makanan sebagai pencetus urtikaria kronis. Pada urtikaria akut makanan
3
paling banyak menjadi pencetus urtikaria, sedangkan pada urtikaria
kronik makanan menjadi faktor yang kurang menjadi pencetus urtikaria.
Alergenik terbanyak pada makanan seperti coklat, kerang, kacang-
kacangan, biji-bijian, mentega, tomat, strawberry, melon, daging babi,
keju, bawang-bawangan,dan bumbu-bumbu. Dan masih banyak lagi
makanan yang dapat membuat seseorang menjadi alergik
Metode terbaik membedakan alergi makanan tertentu adalah
dengan mengganti makanan dengan makan makanan lunak yang tidak
membuat alergi. Seperti mengkonsumsi makanan seperti: daging sapi,
nasi, kentang, wortel, buncis, kacang polong, sayur labu, saus apel
dengan tepung tapioka, buah pear, buah cherri, gula, teh tanpa susu atau
lemon. Kopi tanpa krim. Diet ini dilakukan untuk tiga minggu, kemudian
megira-ngira makanan satu per satu yang menimbulkan reaksi alergi.
Pemakaian skin test (intradermal test) tidak dapat dipercaya dan
tidak informatif. Makanan (sebagai alergen) akan memberi respon yang
negatif pada pemeriksaan.
2. Obat-obatan. Obat juga paling banyak menyebabkan urtikaria dan
angioedema. Rata-rata obat yang sering menyebakan urtikaria adalah
golongan Penisilin.
3. Aspirin. Michaelsson dan Juhlin mempunyai penekanan tersendiri pada
insiden tertinggi dari aspirin yang menyebabkan urtikaria. Beberapa obat-
obatan yang dapat membuat gatal-gatal adalah sulfonamid, golongan
narkotik, ACTH, vitamin, estrogen, insulin, golongan kuinin,
fenilbutazone,golongan salisilate, fenotiazine, probenesid, difenhidramin,
nitrofurantoin, prokain, thiourasil, dan isoniazid.
4. Makanan tambahan. Meski makanan dapat membuat urtikaria,
makanan tambahan penting juga dalam hal faktor etiologi. Makanan
tambahan alami seperti ragi, salisilate, asam sitrat, telur dan ikan.
Sebagai tambahan yaitu makanan tambahan dengan zat tambahan buatan.
Dan yang pal;ing banyak yaitu, derivat asam benzoat dan penisilin.
Ragi sering dipakai dan sering dikatakan sebagai agen kausatif,
roti, sosis, anggur, bir, anggur, cuka, asinan, saus tomat, dan ragi yang
4
perlu dihindari. Makanan yang berisi asam benzoat yaitu : soft drinks,
jelly, puding, bermacam kue dan campuran pancake, mayonaise, salad,
sop, dan pasta.
5. Infeksi. Peran infeksi fokal kronik pada urtikaria tidak dapat dibedakan.
Meskipun begitu, kemungkinan infeksi kronik pada tonsil, infeksi
periapikal gigi, kerusakan gigi, atau infeksi sinus, kandung empedu atau
ginjal menjadi faktor penyebab yang diselidiki.
Urtikaria bisa dihubungkan juga dengan infeksi saluran pernafasan
atas, dan banyak etiologi karena virus. Kemungkinan sensititasi karena
obat juga harus diperhitungkan. Urtikaria bukan karena hipersensitivitas
terhadap agen infeksi tetapi mungkin karena perubahan tubuh oleh
karena infeksi
6. Stress emosional. Banyak keraguan bagi para peneliti untuk mengatakan
stress emosional yang berat merupakan faktor penyebab urtikaria. Pada
kolinergik urtikaria menjadi sangat jelas ketika stress emosional yang
membuat berkeringat yang menajdi kausa dari urtikaria.
7. Faktor Fisiologi. Bermacam respon dari tubuh terhadap beberapa faktor,
seperti faktor dingin, trauma atau sinar matahari, memberi kesan faktor
fisiologi menjadi mekanisme patogenik. Cryoglobulin, cryofibrinogen
dan cold-hemolisin menjadi agen mediator pada kaskade komplement,
yang mana urtikaria menjadi salah satu manifestasi klinis.
8. Serum sickness. Urtikaria dapat disebabkan oleh injeksi dari serum atau
obat-obatan. Bentuk ini menjadi pelopor dari neuritis, poliarteritis
nodosa, atau anafilaksis.
9. Menthol. Ini adalah penyebab paling jarang pada urtikaria.
Bagaimanapun juga, ketika itu terjadi, beberapa zat yang tergabung akan
menyebabkan respon urtikaria. Rokok mentol, permen mint, obat batuk,
aerosol (gas), dan medikasi topikal diantaranya.
10. Neoplasma. Urtikaria sudah seringkali dihubungkan dengan karsinoma
dan penyakit Limfoma Hodgkin.
11. Virus. Serum hepatitis, mononukleus infeksiosa, dan psittacosis dapat
menginduksi ukrtikaria.
5
12. Parasit. Banyak infekstasi cacing yang seringkali dihubungkan dengan
urtikaria. Diantaranya seperti Ascaris, Ankylostoma, Strongyloides,
Filaria, Echinococcus, Schistosoma, Trichinela, dan Toxocara (Burge,
2016).
1.5 Klasifikasi
Urtikaria kronis bukan suatu penyakit tunggal. Urtikaria kronis dapat
dibagi menjadi beberapa subgroup klasifikasi klinis yaitu urtikaria spontan
(ordinary urticaria), urtikaria terinduksi kronis (Chronic inducible urticaria),
urtikaria bentuk lain(other forms of urticaria). Macam-macam klasifikasi
urtikaria kronis diuraikakn dalam tabel berikut ini:
6
Tabel 1. Klasifikasi urtikaria kronis
7
2. Cronic Autoimmune Urtikaria (CAU): 30% disebabkan oleh tidak
terkendalinya pengeluaran autoantibodi histamin. Sering dihubungkan
dengan autoimunitas tiroid (thyroid autoimmunity) (Burge et al, 2016).
8
serangan. Gejalanya gatal setelah di usap menggunakan kain atau
handuk. (Kaplan, 2008).
b) Termal
Cold urticaria
Reaksi urtikaria terhadap penurunan suhu kulit yang tiba- tiba.
Dapat bersifat primer (idiopatik) atau sekunder (penyakit
hematologis atau infeksi). Kedua- duanya dapat memberik
gambaran ruam dan gatal, sering disertai simptom sistemik akut
seperti hipotensi, sinkop, napas pendek, palpitasi, mual muntah
dan nyeri kepala. (Kaplan, 2008)
Local heat urticaria
c) Lainya
Solar urticaria
Dicetuskan oleh paparan pada cahaya matahari dan langsung
menimbulkan ruam, gatal, wheal, dalam semenit setelah paparan
langsung pada permukaan kulit. Sering dihubungkan dengan
sindrom lupus eritomatous yang tanpa diketahui penyebabnya.
Aquagenic urticaria
Jarang terjadi. Dicetus oleh air ataupun air laut pada berbagai
temperatur Timbul erupsi dan wheal dalam ukuran kecil secara
langsung setelah adanya kontak dengan air (Djuanda, Adi et al,
2008).
2. Cholinergic urticaria : disebabkan oleh kenaikan singkat suhu tubuh
seperti mandi pada air hangat, latihan yang lama atau demam dengan
episode tertentu.. Terjadi pada individu usia 23-28 tahun. Akan tampak
gambaran klinis erupsi urtikaria makula atau papul terutama di tangan,
leher, ketiak dan bisa generalisata.
9
3. Contact Urticaria: dapat terjadi urtikaria kronik karena kontak dengan
subtansi yang berbeda. Dapat dimediasi oleh IgE atau non-immunologi.
Akan muncul lesi dalam hitungan menit dan ketika IgE telah termediasi.
Misalnya protein dari pemakaian latex yang dapat meningkatkan IgE
sehingga menyebakan urtikaria kronis. Dan sering berkaitan dengan
manifestasi sistemik seperti rinitis, konjungtivitis, dispneu dan shock.
(Kaplan, 2008).
10
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan
Laboratorium
b. Pemeriksaan gigi,
telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.
c. Tes Alergi
11
spesifik (radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal
menggunakan serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST)
dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk
mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing
autoantibodies (Djuanda, Adi et al, 2008)
d. Tes kulit
e. Tes Provokasi
f. Tes eleminasi
makanan
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar
(Djuanda, Adi et al, 2008)
h. Suntikan mecholyl
intradermal
12
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa
urtikaria kolinergik (Djuanda, Adi et al, 2008)
i. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila
dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu.2 Dapat dilakukan challange
test pada pasien dengan suspek physical urticaria. Tes dilakukan dengan
memberi rangsangan padan pasien seperti rasa dingin, tekanan, panas,
pajanan cahaya ultraviolet (Djuanda, Adi et al, 2008).
j. Pemeriksaan
histopatologik
13
meningkat jumlahnya terutama disekitar pembuluh darah (Djuanda,
Adi et al, 2008).
a) Mastocytosis
Merupakan kelainan pada kulit yang dikenal dengan nama urtikaria
pigmentosa dan dapat terlihat dalam berbagai bentuk klinis. Gejala dan
tanda yang terlihat dapat berupa pruritus, flushing, tanda Darier,
dermografisme, purpura dan telangiektasia. Tanda Darier : bila lesi
urtikaria pigmentosa digosok atau dipukul, maka akan timbul respons
edema dan eritema, sedangkan Dermografisme dapat terlihat pada kulit
yang tampak normal (Djuanda, Adi et al, 2008).
b) Purpura Anafilaktoid
c) Pitriasis Rosea
14
sekunder generalisata. Pada lesi sekunder akan ditemukan 2 tipe lesi yang
memberikan gambaran Christmas tree. Pada gejala atipikal tidak
ditemukannya herald patch atau berjumlah multipel. Bentuk lesi lebih
bervariasi berupa urtika, eritema multiformis, purpura, pustul dan
vesikula. Distribusi lesi biasanya menyebar ke daerah aksila, inguinal,
wajah, telapak tangan dan telapak kaki (Djuanda, Adi et al, 2008).
d) Urticaria vasculitis
Sering ditemukan pada urtikaria kronik bisa disertai angiedema.
Gejala klinis diperlihatkan adanya ruam, rasa lembut bila di palpasi,
persisten dan menetap sehingga 24 jam, rasa gatal yang inkonsisten dan
terbentuk purpura. Bisa disertai artalgia dan malaise. Sering disertai
underlying disease seperti Sistemik lupus eritematousus dan sindrom
Sjogrens. Urticarial vasculitis adalah suatu vaskulitis kompleks imun.
Menyerang vena- vena post kapiler di kulit dan mukosa membran
(Burge, 2016).
e) Schnitzler Syndrome
Merupakan varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh pruritic
non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgia,
atau radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate
(ESR) dan monoclonal IgM gammopathy (Burge, 2016).
15
BAB II
TATALAKSANA
16
Menurut wardhana, 2012, berikut dosis dari antihistamin H1 yang telah
di modifikasi (Burge et al, 2016)
17
Berikut gambaran alur penatalaksanaan farmakologi urtikaria kronis:
(Hogan, 2011)
18
Eosinofil terdapat pada beberapa pasien dengan urtikaria kronik, dan
adanya aktivasi eosinofil pada kulit berlesi telah dibuktikan dengan
pewarnaan major basic protein (MBP) pada jaringan ekstraseluler. Oleh
karena MBP dapat mengaktivasi sel mast, maka efek anti-eosinofil dari
omalizumab mungkin merupakan mekanisme lain yang menyebabkan
berkurangnya lesi pada urtikaria kronik idiopatik (spontan) pada beberapa
pasien (Fernando, 2011).
19
didapatkan pada levocetirizine namun tidak dengan desloratadine;[4] nilai
dapat tidak berubah dari penilaian dasar atau dapat lebih rendah dengan
menggunakan kedua pengobatan aktif tersebut (Wardhana, E.A. 2012).
Omalizumab
Omalizumab efektif untuk urtikaria kronik yang resisten terhadap
antihistamin. Berbeda dengan pengobatan asma berat persisten dimana pasien
harus dinilai 4 – 6 bulan setelah terapi omalizumab, berkurangnya pruritus
dan lesi urtikaria terjadi dalam 1 minggu setelah injeksi tunggal 150 atau 300
mg secara subkutan. Tingkat keparahan dan durasi urtikaria kronik pada
subjek penelitian digambarkan dengan rata-rata penggunaan 4.3 obat dan
rata-rata durasi lesi selama 6.8 tahun (Greenberger, P.A. 2014).
Omalizumab telah disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat pada
urtikaria kronik idiopatik yang tidak dapat terkontrol oleh antagonis reseptor
H1 pada pasien berusia 12 tahun atau lebih. Dosisnya 150 mg atau 300 mg
secara subkutan setiap 4 minggu. Belum ada masalah keamanan baru pada
pengobatan pasien dengan urtikaria kronik. Respon cepat disebabkan oleh 1)
ikatan antara omalizumab dengan antibodi IgE bebas, yang terjadi dalam
beberapa jam setelah pemberian obat, yang mengurangi ikatan IgE dengan
reseptor berafinitas tinggi FcɛRI pada basofil dan sel mast, dan 2)
downregulation ekspresi FcɛRI pada basofil (dalam 2 minggu) dan sel mast
(dalam 8 minggu) di dalam darah. Apabila efek farmakologisnya
diekstrapolasi dari percobaan pada pasien dengan rhinitis alergika, maka
omalizumab berkaitan dengan terjadinya pengurangan ukuran papul/plakat
yang terinduksi alergen serta rekruitmen eosinofil menjadi reaksi kulit fase
lanjut (Fernando, 2011).
Eosinofil terdapat pada beberapa pasien dengan urtikaria kronik, dan
adanya aktivasi eosinofil pada kulit berlesi telah dibuktikan dengan
pewarnaan major basic protein (MBP) pada jaringan ekstraseluler. Oleh
karena MBP dapat mengaktivasi sel mast, maka efek anti-eosinofil dari
omalizumab mungkin merupakan mekanisme lain yang menyebabkan
berkurangnya lesi pada urtikaria kronik idiopatik (spontan) pada beberapa
pasien. Pada pasien dengan asma sedang dan berat persisten mungkin tidak
20
melanjutkan pengobatan dengan omalizumab, dengan alasan kurangnya
manfaat terhadap efek yang diinginkan (Greenberger, P.A. 2014).
Efektivitas obat-obatan untuk urtikaria kronik
Antidepresan trisiklik
21
Pada sebuah studi double-blind, crossover, kontrol-plasebo, tidak
terdapat perbedaan antara montelukast 10 mg dengan placebo (termasuk pada
pasien dengan intoleransi aspirin yang timbul bersamaan) sebagai terapi
tambahan. Sebuah ulasan sistematis tahun 2009 menyimpulkan bahwa
“montelukast mungkin efektif pada urtikaria kronik yang berhubungan
dengan hipersensitivitas terhadap aspirin (ASA) atau zat aditif makanan atau
dengan autoreaktivitas terhadap injeksi serum intradermis (ASST) apabila
diberikan dengan antihistamin, tetapi tidak berlaku pada urtikaria kronik
idiopatik ringan atau sedang (urtikaria tanpa penyebab sekunder yang
mungkin...)” (Fernando, 2011).
Literatur tersebut menyebutkan bahwa jika suatu respon terhadap
antagonis reseptor leukotrien bagus, hal tersebut terjadi selama 3 minggu
pertama. Maka dari itu, seorang pasien dapat diuji selama 3 – 4 minggu dan
apabila tidak terjadi reaksi simptomatik, antagonis reseptor leukotrien dapat
dihentikan. Merupakan hal menarik bahwa antagonis reseptor leukotrien telah
dilaporkan efektif pada beberapa tipe urtikaria fisik seperti urtikaria kontak
dingin, urtikaria tekanan lama dan dermatografisme (Fernando, 2011).
Obat-obatan imunosupresif
22
cyclosporine diturunkan. Jika kadar kreatinin tidak kembali ke nilai awal
dalam 2 minggu lebih, (setelah 1 bulan meningkat), dapat diambil keputusan
untuk menghentikan pengobatan (Greenberger, P.A. 2014).
Dosis harian tacrolimus dilaporkan setinggi 0.05 – 0.07 mg/kg 2 kali
sehari selama 4 minggu lalu diturunkan menjadi ½ selama 6 minggu. Pada
akhirnya, dosisnya menjadi 1 mg/hari. Dikarenakan oleh efek samping (nyeri
abdomen, diare, nyeri kepala, dll), pengarang memulai dengan 5 mg/hari
untuk dewasa untuk memastikan tolerabilitas dan keamanan. Khan
merekomendasikan pemberian awal 1 mg 2 kali sehari. Mycophenolate
mofetil, yang tidak menyebabkan gangguan ginjal namun dapat
meningkatkan risiko infeksi, diawali dengan dosis 1000 mg 2 kali sehari.4
Azathioprine dapat menyebabkan nyeri abdomen akut, nausea, arthralgia,
fungsi hati abnormal dan sitopenia, dan juga mungkin efektif sebagai
monoterapi. Pengarang mengawali terapi pada dewasa dengan dosis 100
mg/hari. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan setiap 2 minggu pada 2
bulan pertama lalu menjadi interval yang lebih sedikit bila terdapat respon
terhadap azathioprine (Greenberger, P.A. 2014).
Obat-obat lain sebagai alternatif pada urtikaria kronis
23
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA
3.1 Komplikasi
3.2 Prognosis
Quo ad functionam: ad bonam
Quo ad Vitam: ad bonam
Quo ad Sanctionam: dubia ad bonam
Quo ad Comestikum: dubia ad bonam (Hogan, 2011).
24
BAB IV
PENCEGAHAN
4.1. Pencegahan
Tidak ada pencegahan pasti untuk urtikaria, namun kita dapat
menghindari factor pencetusnya seperti :
1. Faktor makanan, Hindari makanan alergenik, terbanyak pada
makanan seperti coklat, kerang, kacang-kacangan, biji-bijian, mentega,
tomat, strawberry, melon, daging babi, keju, bawang-bawangan,dan
bumbu-bumbu. Dan masih banyak lagi makanan yang dapat membuat
seseorang menjadi alergik.
2. Obat-obatan. Obat juga paling banyak menyebabkan urtikaria dan
angioedema. Rata-rata obat yang sering menyebakan urtikaria adalah
golongan Penisilin dan Aspirin.
3. Stress emosional. Kendalikan stress emosional yang berat, stress
emosional yang berat merupakan faktor penyebab urtikaria. Pada
kolinergik urtikaria menjadi sangat jelas ketika stress emosional yang
membuat berkeringat yang menajdi kausa dari urtikaria.
4. Faktor Fisiologi. Hindari faktor cuaca ekstream. Bermacam respon
dari tubuh terhadap beberapa faktor, seperti faktor dingin, trauma atau
sinar matahari, memberi kesan faktor fisiologi menjadi mekanisme
patogenik. Cryoglobulin, cryofibrinogen dan cold-hemolisin menjadi
agen mediator pada kaskade komplement, yang mana urtikaria menjadi
salah satu manifestasi klinis (Hogan, 2011).
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama lebih dari 6 minggu dapat
mengganggu kualitas hidup seseorang. Beberapa penyebab urtikaria kronis
tidak teridentifikasi. Melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis,
mudah ditegakkan diagnosis urtikaria, namun perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan untuk membuktikan penyebabnya. Sehingga dapat diberikan
terapi seperti antihistamin, antidepresan trisiklik, imunosupresan maupun
kortikosteroid yang tepat dengan efek samping yang sangat rendah dan tidak
membutuhkan jangka waktu yang terlalu lama dalam pengobatan urtikaria
kronis tersebut sehingga tidak menyebabkan remisi penyakit.
5.2
26
DAFTAR PUSTAKA
Burge, S., Martin, R., Walls, D. 2016 Oxford Medical Handbook of Dermatology
2nd Edition.;p 228-230
Djuanda, Adi et al, 2008. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin Edisi Kelima Jakarta:
Balai Penerbit FKUI Editor.
Kaplan AP. Urticaria and angioedema. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. Edisi ke-7. New York: MacGraw-Hill,
2008; p.414-430
27